Siang ini, aku akan memulai kembali tulisan dengan ditemani secangkir kopi dan rokok. Entah, teman setiaku adalah mereka.
Namaku Milla, disini aku akan bercerita berdasarkan pengalaman yang aku alami dari kecil hingga aku beranjak dewasa sekarang ini.
Masalah demi masalah, ujian demi ujian bertubi-tubi menimpaku.
Dari usiaku menginjak 5tahun, ayah dan ibuku sudah berpisah karena ayahku lebih memilih wanita lain dari pada ibuku yang menemaninya saat dia susah. Disitu aku sangat merasa benci kepada ayahku.
Ayahku sama sekali tak mau membawaku kala itu, dia meninggalkan aku dan ibuku begitu saja tanpa mengurus perceraian sama sekali.
Aku tinggal bersama ibu, paman, nenek, dan kakek tiriku. Itu adalah rumah peninggalan dari buyutku dan lalu di berikan kepada nenekku setelah beliau meninggal dunia.
Rasanya dulu damai-damai saja suasana. Mungkin karena aku masih kecil aku belum mengerti bagaimana keluargaku sebenarnya.
Setelah berpisah dengan ayah, ibuku mulai memutuskan untuk bekerja kembali. Memang sebelum menikah ibuku sudah bekerja disebuah Garment di Bandung. Namun usai menikah ibuku menjadi ibu rumah tangga saja.
Dengan perpisahannya dengan ayah, ibuku mulai merasa frustasi dan entah apa yang harus ia lakukan.
Di tempat kerjanya itu, ibu mulai berusaha untuk mengalihkan kesakit hatiannya terhadap ayah. Disitu ibu mencoba untuk merokok sama hal seperti teman-teman lainnya.
Ibu merasa sedikit tenang kala itu dan mulai kecanduan merokok. Tiap kali dia merasa sedih, selalu iya nyalakan sebatang rokok.
Disitu aku Mulai merasa kekurangan perhatian dari ibu karena sibuk bekerja, sama halnya dengan nenekku yang juga bekerja disebuah Garment yang berbeda dengan ibuku.
Nenekku adalah seorang wanita karir, yang ia fikirkan hanyalah bekerja dan bekerja. Tak jarang dia lupa untuk melayani suaminya sendiri yaitu kakek tiriku.
Kakek tiriku yang biasa kupanggil opah, dia bekerja di sebuah sekolah swasta elit di Bandung. Dengan posisinya sebagai kepala security disana. Ada jadwal sift pagi, siang, dan sift malam.
Maka ketika ibu dan nenekku sibuk bekerja di pagi dan siang hari, yang menjagaku adalah opah saat dia bekerja di sift malam.
Pamanku benama doni(anak kandung nenekku dari opah) kala itu masih SMA. Dia sangat dimanja sekali oleh nenek dan opah. Segalanya serba mereka perhatikan, dia seperti anak kesayangan mereka.
Dulu nenek menikah dengan kakek kandungku, lalu melahirkan 2 anak yaitu om wahab anak pertama, dan anak kedua adalah ibuku. Saat ibuku masih dalam kandungan, nenek dan kakekku berpisah. Tak lama dari itu nenek kenal lah dengan opah lalu mereka menikah. Setelah ibuku lahir, yang ibu tau papanya itu adalah opah bukan kakek kandungku. Sama sekali nenek tidak menjelaskan soal papa kandung ibu saat itu.
Entah kenapa, nenek lebih memilih opah dengan meninggalkan kakek kandungku. Setelah ibuku mulai beranjak sekolah dasar, nenek melahirkan pamanku Doni. Bisa dibilang Doni si anak emas Doni si anak kesayangan dibandingkan dengan ibu dan om Wahab. Hingga saat ini, om Doni selalu jadi perhatian utama dari nenek dan opah walau sekarang ini dia telah menikah.
Om Doni itu adalah anak laki-laki dan rasanya tak wajar jika sampai sekarang ini mereka masih memanjakannya. Berbeda hal nya dengan ibuku, ibu adalah satu-satunya anak perempuan nenek yang mungkin ya... ia kekurangan kasih sayang dari orang tuanya.
Kala itu aku sudah menginjak Sekolah Dasar dan om Doni menginjak kelas 3 SMA. Setiap aku sendirian dirumah, terkadang om Doni yang menemaniku. karena jadwal sekolah hanya dari pukul 07.00-12.00. Siang menuju sore aku di temani pamanku. Karena nenekku selalu pulang pukul 17.00 dan ibuku pulang pukul 22.00 karena selalu sift siang. Terkadang aku lebih merasa tenang jika kakek tiriku bekerja di sift pagi atau siang. Entah kenapa aku merasakan seperti itu, merasa tidak terlalu banyak tekanan saat itu. Pukul 15.00 tepat waktunya aku pergi ke mesjid untuk mengaji. Hanya ada om Doni, dan seperti biasa setiap hari aku selalu menyiapkan pakaianku sendiri.
Dari awal masuk SD, aku belum pernah merasakan rasanya diantar sekolah oleh orang tuaku. Mereka hanya menitipkanku pada orang tua temanku. Hingga suatu saat ada sebuah kejadian dimana aku dijambret oleh seorang ibu-ibu. Kala itu aku dikenakan anting dan cincin emas oleh nenekku. Aku sangat ingat kejadian itu saat aku menginjak kelas 2 SD. Pada hari sabtu, sepulang pramuka pada pukul 16.00. Aku dan temanku Diana diam menunggu orang tua Diana menjemput. Seperti biasa aku hanya nebeng saja. Tak kunjung juga orang tua Diana entah lupa mungkin, akhirnya aku dan Diana memberanikan diri pulang berdua saja. Kami pulang lewat belakang sekolah, karena kami belum berani lewat depan, banyak kendaraan yang berlalu lalang yang menurut kami berbahaya.
Jalan lewat belakang sekolah memang menyusuri rumah warga karena memang banyak gang juga.
Terlihat disudut gang ada seorang ibu yang tengah berdiri dengan menggandeng tas dibahunya. Seraya aku teringat nasihat nenekku "nak kalo ada orang tak dikenal dan dia mengajakmu pergi jangan mau".
Oke " jangan mau".
Aku dan Diana saling bertatap, namun Diana tidak memiliki curiga sedikitpun berbeda halnya denganku. Entah kenapa aku sangat bertanya-tanya soal ibu itu. Dia seperti memperhatikan kita yang hendak melewat.
"Selamat sore anak-anak, apa bu Nanan masih ada disekolah? " tanya nya.
Astaga seraya aku melihat mata ibu itu seperti ingin mengikutinya. Dan sialnya lagi dia mengenal bu nanan wali kelasku.
"tadi sih aku lihat masih ada dikelas bu" jawab Diana.
"oh begitu, kalian tunggu disini dulu ya ibu ada perlu dulu sama bu nanan, nanti kalian ibu kasih uang saku kalo mau nunggu" ujarnya.
Diana mengangguk begitu saja. Aku hanya terdiam dan heran, kenapa aku ini. Hati ingin berlari seperti tau akan ada bahaya pada kita. Tapi tak bisa seperti mulut ini kaku untuk berbicara pada Diana. Tersirat di otakku untuk mengajak Diana berlari, Lagi-lagi tak bisa.
"Hey Milla!! jangan melamun gitu dong. Kita tunggu sebentar ibu itu, lumayan juga kan kita dapat uang jajan tambahan untuk besok hari minggu". Ucap Diana sambil tersenyum senang.
Aku mengangguk dengan memberi senyum kecil padanya. Aku bingung dengan pikiranku sendiri, yang jelas saat itu aku ingin berlari namun tetap tak bisa. Aku berusaha untuk mengalihkan perhatian Diana.
"Diana, bagaimana kalo ibu kamu menjemput lewat pintu depan sekolah? Apa lebih baik kita kedepan sekolah saja?" tanyaku membujuk.
"Mungkin juga Mill, tapi sudahlah mungkin ibuku lupa atau memang sedang sibuk dirumah. Karena ibu tak pernah setelat ini untuk jemput aku" jawab Diana.
Dari sudut gang tempat kita menunggu, aku melihat ke arah pintu belakang sekolah seperti ada ancaman yang tak tahu apa. Ibu itu keluar dari pintu belakang sekolah, aku melihat ke arahnya ingin rasanya ada orang lewat melewati kita agar ibu itu tidak berlaku jahat. Dan Diana hanya tersenyum melihat kedatangan ibu itu. Aku terdiam lalu....
Lalu.. Ibu itu mendekati kita. Diana hanya tersenyum melihat kedatangan ibu itu. "Aduh dik, ternyata bu nanan sudah pulang ke rumahnya. Ibu bingung, ibu ada perlu sama bu nanan tapi bu Nanan nya sudah pulang barusan katanya" Ucap ibu itu mencurigakan. Tak lama ibu itu meminta kami untuk mengantarnya ke rumah bu Nanan. Sekali lagi Diana hanya mengangguk dan semangat untuk mengikutinya. Dengan di iming-iming uang saku juga beberapa coklat yang akan ia berikan kepada kami jika kami sudah membantu ibu itu. Ya Allah, kenapa aku ini tidak bisa membantah ibu itu apalagi semangat Diana. Aku tak bisa mencegah keinginan Diana. Ibu itu melihatku seperti melihat keraguan di raut wajahku. Seraya dia memegang tangan dan menatap mataku tajam.
"Dik Milla, mau kan membantu ibu seperti Diana? Apa adik gak kasihan sama ibu. Ibu mau kerumah bu Nanan hanya tak ada teman untuk kesana" Bujuknya dengan ekspresi kasihan.
Lagi-lagi sifat tak tegaku muncul begitu saja. Oh tolonglah jangan pasang ekspresi seperti itu. Matanya juga yang membuatku ingin sekali menuruti kata-katanya dan akhirnya aku mengangguk. Akhirnya kita dibawa berjalan kaki menuju rumah bu Nanan. Aku yang tidak tau dimana keberadaan rumah bu Nanan hanya menurut saja. Dia mengaku sebagai teman akrabnya bu Nanan. Di perjalanan ibu itu tak henti memberi iming-iming. Aku yang tak terbuai dengan iming-iming itu tak mau merusak kesenangan Diana saat itu.
Kita berjalan sudah cukup jauh, lalu melewati sekumpulan anak muda yang sedang duduk. Diantara mereka ada juga yang sedang bermain gitar. Si ibu berbicara padaku,
"dik Milla, jangan lihat ke sebelah pemuda-pemuda itu ya. Itu adalah jambret yang suka menculik dan mengambil perhiasan anak-anak. Lebih baik sini ibu copotkan anting dik Milla dan cincinnya." ucapnya membujukku. Akhirnya ia berhasil melepaskan perhiasanku saat itu dengan sedikit memaksa. Dia memasukkannya kedalam tas yang aku gendong di belakang. Aku disitu percaya saja dan tak banyak bicara.
Kita berhenti di sebuah sekolah dasar yang aku tak begitu tahu. Si ibu lalu mengangkat teleponnya. Entah itu benar-benar atau hanya sandiwara. Ia menyampaikan pada kami bahwa bu Nanan itu belum sampai rumah karena ada tugas dulu di sekolah dasar yang kita hampiri itu.
"Dik Milla dan Diana ternyata bu Nanan ada di sekolah ini, kalian tunggu sebentar ya ibu masuk dulu jangan kemana-mana." Lagi-lagi kami menurut apa perkataan si ibu itu. Kami menunggu sudah terlalu lama dan hampir petang.
"Diana, kita pulang saja. Si ibu itu gak akan kembali pada kita Diana. " ujarku.
Entah kenapa aku punya fikiran seperti itu padahal aku masih menginjak kelas 2 SD saat itu.
Kita yang benar-benar tidak tahu jalan pulang, hanya kebingungan. Dan aku tak sengaja melihat tetanggaku keluar dari sekolah itu.
"Astaga Diana, ini sekolah dasar Sejahtera. Tempat tetanggaku sekolah. Itu dia dijemput sama mama nya." Diana kaget ternyata kita dibawa sejauh itu. Aku yang sibuk mencari perhiasan kedalam tas yang ternyata memang tak ada. Kenapa dugaanku begitu benar saat itu? Dan bodohnya lagi aku tak bisa melawan. Sial, aku benar-benar di jambret. Aku yang kebingungan dan tak mau kehilangan jejak tetanggaku pun langsung menarik tangan Diana.
"Kita ini di culik. Dan perhiasanku di ambil sama ibu itu Diana!!! Kita pergi ikuti tetanggaku saja cepat. " ajakku sambil berlari. Aku yang ingin menangis saat itu, hanya bisa menahan dan berlari sambil menarik tangan Diana yang juga ikut berlari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!