NovelToon NovelToon

Menikah Karena Perjodohan (Haris Dan Hana)

BAB I: Permintaan haji Zakaria

Adzan isya berkumandang. Suaranya membelah alam memanggil orang-orang dengan khidmat untuk patuh terhadap perintah Tuhan Nya yaitu melaksanakan ibadah Shalat secara rutin. Semilir angin berhembus pelan, mobil dan motor bertahap memasuki pelataran mesjid juga langkah-langkah kaki mulai ramai terdengar.

Haris, pemuda berusia 25 tahun itu baru saja menapakkan kaki di depan masjid Syuhada, ia segera bergegas menuju tempat wudhu dan masuk ke dalam barisan orang-orang yang Shalat berjamaah.

Imam Shalat dipimpin oleh ustadz Yahya. Ustadz Yahya berumur 34 tahun dan sudah menjadi imam di masjid ini sejak 10 tahun lalu menggantikan ayahnya yang sudah sepuh.

Selepas shalat, ustadz Yahya memanggil Haris sebab ada amanah yang harus beliau sampaikan.

“Assalamu’alaikum Ustadz” Haris melakukan salam takzim.

“Wa’alaikumsalam, apa kabar Haris?" Sudah lama tidak melihat kamu, bagaimana pekerjaannya? lancar?” tanya Ustadz Yahya berbasa basi dan tak lupa beliau menyematkan senyum ramah seperti biasa.

“Alhamdulillah saya sehat dan kerjaan lancar Ustadz, beberapa minggu terakhir saya ada tugas keluar kota. Namun sudah tertangani dengan baik."

“Alhamdulillah. Besok main ke rumah, ya! Abah sudah rindu padamu, sekalian makan malam di rumah. Jangan lupa ajak ibu juga.” Titah ustaz Yahya.

“Baik ustaz. Insya Allah.”

Keluarga Haris memiliki hubungan kerabat dengan keluarga ustaz Yahya, walaupun bukan kerabat dekat namun hubungan mereka sangat akrab. Ibu nya ustaz Yahya bu hajjah 'Aisyah sudah seperti kakak kandung bagi ibunya Haris.

Haris pulang dengan banyak pertanyaan yang berputar dikepalanya. Ada apa haji Zakaria tiba-tiba mengundangnya ke rumah beliau untuk makan malam, tidak seperti biasa. Apakah haji Zakaria sedang tidak sehat? Namun, kalau tidak sehat tidak mungkin beliau mengundangnya dan ibu hanya untuk makan. Apa haji Zakaria sedang perlu bantuan? Atau hanya sekedar ingin agar ia dan ibunya silaturrahim saja? Tapi rasanya juga tidak mungkin sebab ibu hampir setiap hari mengunjungi istri haji Zakaria.

Pertanyaan-pertanyaan yang membuat ia penasaran dan hanya dapat ditemukan jawabannya esok. Insya Allah besok malam ia dan ibu akan mengunjungi keluarga haji Zakaria.

***

“Ayo bu, kita penuhi undangan haji Zakaria.” Haris yang tengah mengancingkan kancing terakhir kemejanya mengajak Ibu memenuhi undangan. Ia telah menceritakan tentang undangan ini sebelumnya begitu tiba di rumah sepulangnya dari kantor.

“Iya. Ibu siap-siap dulu, Nak. Nanti kita singgah sebentar ke toko bakery nya bu Linda juga ke toko buah, kita bawa sedikit oleh-oleh kesana.”

“Baik, Hmh tapi apa ibu sama sekali tidak mengetahui undangan ini dalam rangka apa?"

ibu menggeleng,

“Ibu tidak tau nak, tapi bu hajjah pernah bertanya apa kamu sudah punya calon istri, mungkin-mungkin saja kamu akan dijodohkan” iseng ibu berkata sambil setengah tertawa.

“Ah, ibu ada-ada aja. Saya kan mau melamar Arini, bu” Ucap Haris menanggapi perkataan ibunya dengan serius.

“Ih, Kamu itu ya, kok serius sekali. Ibu hanya bercanda saja, Nak! Nanti kita lihat, semoga ada kabar baik” Ibu menoel hidung Haris gemas. Bayi laki-lakinya sudah berubah jadi pemuda dewasa sekarang.

Suasana rumah haji Zakaria selalu terlihat syahdu, ada balai pengajian besar di samping halaman rumah beliau. Anak-anak dari berbagai penjuru datang mengaji ke sini.

Haris ingat ketika masih kecil ia mengaji disana. Ia juga di kirim ke luar kota oleh haji Zakaria untuk mengaji dengan berbagai Syaikh, hingga disekolahkan sampai sarjana dan sekarang ia berhasil bekerja di sebuah perusahaan besar swasta dengan posisi yang sudah lumayan tinggi dengan memiliki banyak bawahan.

Dalam hal ini ia selalu bersyukur akan kebaikan keluarga haji Zakaria, mengingat ayah nya yang sudah tiada sejak ia masih kecil.

Ia juga tidak tau bagaimana cara membalas budi yang ia rasakan luar biasa berkahnya. Hanya doa yang bisa ia panjatkan kepada Allah agar haji Zakaria dan keluarga selalu sehat, memiliki rejeki yang terus mengalir.

Selepas makan malam bersama, Ustaz Yahya mengatakan pada Haris ia sudah bisa menemui haji Zakaria di ruang bacanya. Haris pun segera menemui beliau. Ada rasa sungkan dan segan menyelinap di hati nya, haji Zakaria yang sudah sepuh ini sangat dihormati, beliau adalah ulama kharismatik dengan senyum yang tidak pernah pudar, tutur bahasa yang lembut namun menyiratkan ketegasan.

“Masuk nak. Jangan sungkan. Temani abah sebentar.” Panggil haji Zakaria yang melihat Haris baru tiba di depan pintu.

“Baik bah”

“Langsung saja ya nak, abah tidak ingin berbasa basi. Umur kamu sekarang berapa?” Tanya haji Zakaria dengan menatap Haris dalam.

“25 tahun bah, insya Allah bulan 9 nanti genap 26 tahun”

Haji Zakaria mengangguk-angguk sambil mengusap janggutnya.

“Ngaji nya bagaimana? Apa kamu masih ikut pengajian sabtu sore di rumah haji Amir?”

“Alhamdulillah bah, saya rutin kesana setiap sabtu sore”

“Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu? lancar? Apa ada kendala?" Haji Zakaria terus membandrol Pertanyaan-pertanyaan ringan pada Haris, kali ini mungkin agar lebih rileks dalam mengobrol.

“Alhamdulillah juga lancar bah, berkat doa-doa abah” Ucap Haris dengan menyunggingkan senyum ramah.

Haji Zakaria kembali mengangguk-angguk.

“Sebenarnya, Ada hal yang ingin abah sampaikan, Nak! Abah mengundang kamu kesini selain untuk silaturrahim karena kerinduan, Abah juga ingin menyampaikan satu hal yang penting menyangkut masa depan kamu, Abah tahu kalau kamu sibuk akhir-akhir ini dengan pekerjaaanmu, Abah maklumi”

Haris menunduk menyimak perkataan ustaz Zakaria dengan saksama.

“Ada seorang gadis yang baik agama nya, santun perangainya…" haji Zakaria menjeda kalimatnya.

Haris mulai cemas mendengar lanjutan perkataan Abahnya. Semoga yang dicemaskan tidak terbukti. Ia menunggu kelanjutan kalimatnya.

“Ia sekarang tengah kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri, semester satu, dulu sempat mondok sama seperti kamu. Beliau anak perempuan haji Amir satu-satunya... "Haji Zakaria kembali menjeda kalimat-kalimatnya, lalu beliau menatap serius ke manik mata Haris seraya melanjutkan ucapannya,

"Abah berencana meminang anak perempuan beliau untuk kamu. Namanya Hana, usianya 18 tahun. Abah merasa kalian cocok. Abah mengenal baik ayahnya, sebagaimana kamu juga sudah lama mengikuti pengajian bersama beliau dan tentu sudah mengetahui bagaimana kepribadian haji Amir itu....

"Insya Allah kalau kamu setuju, kalian akan sangat cocok. Untuk haji Amir sendiri, Abah dan beliau sudah pernah membahas masalah ini, beliau setuju..."

"Abah memilih kamu karena Abah sudah tidak memiliki anak laki-laki yang belum berkeluarga. Abah sudah paham betul bagaimana kamu, Abah berharap kamu bisa memahami permintaan abah ini..."

"Kamu jangan risau, abah akan berikan kamu waktu untuk berfikir, diskusi dengan ibumu juga shalat istikharah. Semoga kamu segera bisa memberikan abah jawaban" Haji Zakaria menutup kalimatnya dengan menepuk-nepuk pundak Haris, anak angkat kesayangan yang memang sudah beliau anggap seperti anaknya sendiri, kasih sayang yang sama dan tidak dibeda-bedakan.

Lama Haris tercenung, ia sedikit menarik nafasnya lalu menjawab,

“Baik Bah, Haris akan Shalat istikharah juga diskusi dengan ibu tentang hal ini dan insya Allah akan segera mengabarkan Abah” Jawab Haris pada akhirnya.

Haris kembali pulang bersama ibu dengan gemuruh kecemasan di dada, tidak ada sepatah dua patah kata yang ia tuturkan sejak keluar dari rumah haji Zakaria, ia sudah merasa lemas dengan permintaan yang baru saja ia dengar, ibu melihat ada hal yang tidak beres dengan pertemuan anaknya dan haji Zakaria yang sangat beliau hormati itu, namun ibu lebih memilih diam, nanti pasti Haris akan menceritakan pada nya berita tentang pertemuan itu.

Kini jam sudah menunjukkan pukul 10.30 malam. Mobil yang mereka kendarai membelah jalan yang tampak sepi, terlihat satu dua pedagang kaki lima yang masih setia membuka warung makanannya. Lampu merah silih berganti mereka lewati. Mereka pulang dengan mobil yang setengah tahun lalu Haris beli dengan uang hasil tabungannya, mobil honda CRV tersebut sudah menemani mereka selama 6 bulan ini. Sekitar setengah jam kemudian, baru tibalah mereka dirumah.

***

.

.

.

Hai Para Pembaca, ini adalah karya pertama Alana. Mohon dukungannya, jangan lupa di LIKE, KOMEN dan VOTE, juga HADIAHnya. Jazakumullah Khairal Jaza'. Terima Kasih ^^

Salam Hangat,

alana alisha

Ig: @alana.alisha

***

Bab 2: Dilema

Hana duduk di kelas memperhatikan dosen menjelaskan mata kuliah umum. Meskipun matanya menatap lurus kedepan namun nyatanya pikiran mahasiswi smester satu jurusan psikologi ini melayang pada sebuah pesan wattsapp yang diterimanya semalam dari Gibran.

Gibran adalah kakak dari sahabat Hana yang bernama Yura. Pemuda itu sudah lama menaruh hati padanya. Tepatnya di teras rumah Hana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Gibran yang kala itu mengantar adiknya untuk belajar kelompok bersama langsung tertarik pada Hana yang tampak santun, anggun dengan

paras yang juga cantik. Sejak saat itu, rasa ketertarikan muncul di hatinya.

Gibran menyukai Hana dalam diam. Ketika itu Hana masih begitu muda dan masih bersekolah, jadi tidak mungkin untuk meminangnya. Pemuda itu juga tidak mau mengajak Hana pacaran, sebab hal tersebut jelas dilarang oleh agama. Hana yang awalnya cuek, perlahan juga mulai menaruh hati pada Gibran. Tentu saja Yura sang sahabat juga memberinya semangat.

Keyakinan di hati Hana muncul ketika Gibran mengatakan akan meminangnya setelah ia tamat kuliah kelak. Memang waktu yang lumayan lama. Mereka bersabar menunggu dalam diam. Menyibukkan diri mempersiapkan masa depan yang baik dengan belajar, bekerja juga mencari pengalaman. Seperti itulah keseharian mereka.

Semalam dalam sebuah pesan melalui wattsapp Gibran mengatakan bahwa ia akan berangkat ke Maroko untuk mengambil program masgister nya. Ia baru saja mendapat kabar baik bahwa ia memenangkan beasiswa ke sana. Tak lupa Gibran berpesan agar Hana berkenan dan bersedia  untuk menunggu, insya Allah setahun kemudian Gibran berjanji akan meminangnya.

Benar saja, pesan tersebut sukses membuat Hana sulit berkonsentrasi pada mata kuliah nya. Ia sempat cemas, Apa benar tahun depan Gibran akan memenuhi janji untuk meminangnya?

Kita semua tidak mengetahui apa yang akan terjadi kedepan.  Hana merasa gadis Maroko bukanlah gadis sembarangan. Mereka memiliki paras jelita, sulit bagi laki-laki untuk menolak pesona mereka.

Namun, Hana juga harus berpikir jernih bahwa ini semua untuk masa depan Gibran, di Maroko setidaknya Gibran akan mendapat banyak ilmu dan pengalaman yang insya Allah akan sangat berguna kelak untuk diaplikasikan di Indonesia.

***

Jam istirahat. Selepas menunaikan ibadah shalat zuhur, Hana dan Yura makan siang bersama di kantin kampus, Yura memperhatikan gelagat aneh sahabatnya yang tidak biasa. Yura sudah bisa menebak hal ini pasti menyangkut keberangkatan Kakaknya ke Maroko.

“Kamu kepikiran mas Gibran ya?” Tanya Yura yang sudah dari tadi melihat gelagat aneh sang sahabat.

"Sedikit” ucap Hana dengan menyunggingkan sedikit senyuman.

“Kamu tenang ya, aku tau banget mas Gibran itu orangnya gimana, ia pasti akan melaksanakan janjinya memimang kamu” ucap Yura sambil setengah memeluk Hana. Sahabatnya ini seolah dapat memahami apa yang Hana rasakan.

“Hehe aku ga kepikiran tentang itu kok” muka Hana memerah. Ia terlalu malu untuk mengakui.

“Hahaha. Nah tuh, baru gitu doang muka kamu udah kayak kepiting rebus. Udah deh, aku juga tau gimana kamu, kita udah sahabatan lama, dan aku sangat berharap kamu yang akan menjadi kakak ipar ku, Hana! ”

Hana tersipu mendengar perkataan Yura, dalam hati ia membenarkan bahwa ia mengharapkan Gibran segera meminangnya.

“Makasih Yura, kita ga tau kedepannya seperti apa. Bagaimana jalan takdir akan membawa kita. Apapun itu Aku berharap Allah memberi yang terbaik untuk kita semua. Takdir terbaik dan terindah dari Nya” Hana memeluk hangat Yura.

“Kamu sendiri bagaimana Ra, jadi sama mas Ridwan?”

“Aku menikah masih lama, Han, aku ingin berkarir dulu, mungkin nanti di saat usiaku 25 tahun atau mungkin 27 tahun..." Yura menatap lurus ke depan seolah masa depan berada dalam pandangannya.

"Lagian aku ke mas Ridwan itu hanya sebatas aku mengagumi beliau, beliau sendiri mungkin tidak memikirkanku sama sekali, dan aku pikir ini juga yang terbaik, jangan sampai kita saling memikirkan lawan jenis, kita bisa kena zina hati dan pikiran lho, haha"

“Astaghfirullah, ah. Iya kamu benar Ra, ga sia-sia aku punya sahabat hafizhah Shaliha kaya raya kayak kamu Hahaa” Hana berseloroh tapi tidak bisa dipungkiri, gadis itu mengagumi sahabat nya, mengagumi pola pikirnya yang matang dan dewasa.

“Idihh, kamu lebay haha” Yura tertawa lepas mendengar ocehan Hana.

“Ah sudahlah, yuk bersiap-siap ke kelas, sekarang jam nya pak Paul, tau sendirikan kamu kalau beliau ga suka mahasiswa nya telat” lanjut Yura menggandeng lengan Hana. Benar-Benar sahabat karib yang tak terpisahkan.

***

Permintaan haji Zakaria benar-benar mengisi pikiran Haris sepenuhnya, hal ini membuat ia merasa sulit bernapas dan beraktifitas. Bagaimana tidak, persiapan untuk melamar Arini sudah jauh-jauh hari ia pikir dan siapkan dengan matang.

Arini adalah satu-satunya orang yang ia harapkan akan menjadi pendampingnya kelak. Orang yang akan ia curahkan segenap cinta dalam mahligai pernikahan yang suci lagi halal. Kini Ia benar-benar berada dalam kebimbangan, pernyataan ibu semalam tentang jodoh ternyata memang benar adanya.

Di satu sisi Haris sangat ingin menolak tawaran tersebut, namun di sisi lain ia juga tidak enak untuk tidak mengiyakan. Haji Zakaria sudah seperti ayah kandungnya. Selain Haris merasa belum bisa berbakti sepenuhnya terhadap beliau atas apa yang beliau berikan padanya, ia juga sangat menghormati haji Zakaria. Pemuda itu tahu bagaimana ketulusan Uama kharismatik itu. Dan, jika ia menolak permintaan haji Zakaria, sudah tentu beliau akan sangat kecewa.

Dilemma pun menghampiri rasanya. Ia segera berwudhu dan Shalat sunah untuk menenangkan fikirannya. Perlahan ia buka mushaf al-Qur’an lalu bertadarus melanjutkan ayat yang sebelumnya sudah ia baca.

Selesai membaca al-Qur’an hatinya masih saja diliputi rasa bimbang. Haris memang tidak bisa memutuskan perkara besar ini secepat kilat, namun bagaimanapun mau tidak mau dan suka tidak suka hal ini harus ia putuskan. Bergegas ia menemui ibu untuk membicarakan tentang ini. Pendapat ibu akan menjadi pertimbangan utama nya dalam mengambil keputusan.

“Ibu setuju kamu dijodohkan dengan anak haji Amir, Nak!” ucap ibu dengan sorot mata teduhnya namun menyiratkan ketegasan di sana.

“Tapi bu, ibu kan tau saya mau melamar Arini. Saya sudah mengatakan saya serius akan meminangnya 3 bulan kedepan" Ucap Haris lirih, ia merasa lemas mendengar pendapat ibunya.

“Entah kenapa ibu merasa seperti kurang sreg kamu menikah dengan nak Arini, tapi mungkin ini hanya perasaan ibu saja” Ibu kembali menyatakan pendapatnya.

“Kenapa bu? Arini gadis baik. Insya Allah shaliha. Arini akan jadi istri yang baik untuk saya dan menjadi menantu yang baik untuk ibu” Haris mencoba meyakinkan ibu.

“Nak, Shalat istikharahlah! Keputusan ada di tangan mu. Allah akan menuntun kamu  mendapatkan jodoh yang baik, namun jika kamu menanyakan pendapat ibu, ibu yakin akan jodoh yang ditawarkan haji Zakaria, pandangan beliau insya Allah tidak salah... " Ibu menjeda kalimatnya, menarik nafas sejenak.

“Yang paling penting kamu ingat kan bagaimana haji Zakaria sudah membantu keluarga kita dari awal hingga kamu bisa seperti sekarang? Sudah saatnya kamu membalas jasa beliau, nak! Kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti hal ini, tapi apapun itu ibu ingin yang terbaik untukmu. Jika pun pada akhirnya kamu memilih Arini, ibu akan ridha, asal kamu Bahagia” lanjut ibu diplomatis.

“Baiklah, bu. Terima kasih. Haris akan Shalat istikharah dan mempertimbangkan hal ini dengan baik”

***

Bab 3: Keputusan Haris

Hampir tiga pekan sudah Haris melakukan Shalat istikharah namun hatinya masih di penuhi oleh keraguan dan kebimbangan. Ia benar-benar tidak bisa memutuskan. Ibu juga terus saja mendesaknya. Wanita paruh baya yang memancarkan keteguhan itu juga cendrung condong pada pilihan haji Zakaria. Hal Ini semakin mempersulit niatnya untuk melamar Arini.

Haris mengambil gawainya. Di tengah kemelut yang ada di hatinya, ia mencoba mengajak Arini untuk bertemu.

“Rin, mas mau membicarakan hal penting padamu, itu sebabnya mas minta kita bertemu” Haris membuka percakapan. Mereka bertemu di cafe A.

“Iya, mas mau ngomong apa? Apa mas mau bahas masalah pernikahan kita?" Mata Arini berbinar-binar. Ia mengira pertemuannya kali ini dengan Haris adalah untuk membahas masalah persiapan pernikahan mereka yang tinggal beberapa bulan lagi. Jarang-jarang mereka bisa bertemu seperti ini, kali ini Haris menyempatkan diri untuk menemui Arini disela-sela waktu istirahat jam makan siangnya.

Haris tersenyum kecut.

“Maaf Rin, sebenarnya….”

"Ya?" Arini menunggu apa yang akan Haris katakan.

“Maaf, sepertinya...

"Sepertinya Aku tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita. Aku tidak bisa menikahimu. Aku benar-benar minta maaf. ” Dengan sangat menyesal Haris harus menyampaikan ini. Keputusan ini dipilih dengan sebelumnya ia belum menemukan titik terang.

“Sungguh ini sangat berat buat mas, tapi sepertinya kita tidak ditakdirkan untuk menikah” Haris memejamkan matanya. Bibirnya kelu.

"A.. Apa? Bagaimana maksudnya, Mas?! " Arini gagal mencerna perkataan Haris.

"Dengan sangat menyesal Aku tidak bisa menikahimu, Rin" Haris mengulang kembali kalimat nya sambil menundukkan wajahnya.

“Kenapa begitu mas? Kenapa mas mengabarkan hal ini begitu mendadak? Arini mulai bergetar, matanya tampak berkaca-kaca sebelum tadi sempat berbinar-binar.

“Mas bercanda kan? Kenapa harus bercanda begini? Mas ga berniat mempermainkan aku kan?" Arini merasa seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya tepat menghujam ke jantungnya.

"Mas juga tidak mau seperti ini, Rin. Aku terpaksa melakukan ini, tapi sebaiknya aku juga tidak perlu membela diri, karena benar ini adalah salahku dan Aku tidak bisa memenuhi janji padamu, padahal baru 2 bulan lalu mas mulai membahas rencana pernikahan kita" Haris mengatakan hal ini dengan berkaca-kaca, sungguh sebenarnya ia juga terluka.

“Kalau begitu nikahi aku mas, please! Ku mohon, aku tidak mau mendengar alasan apapun” kali ini Arini benar-benar menangis.

“Kamu akan menemukan laki-laki yang lebih baik dari Aku" Haris mengatakan ini dengan hati yang sama terlukanya.

“Rin, maaf…”

Pada akhirnya Haris hanya bisa mengucapkan kata maaf.

“Tapi kenapa mas? Kenapa?” Arini mulai tersedu sedan.

“Haji Zakaria, Ayah angkat yang sudah membesarkan dan menjadikanku seperti sekarang, aku sudah pernah menceritakan tentang beliau padamu, memintaku untuk menikahi anak temannya, mereka juga sudah membicarakan tentang hal ini, aku tidak ingin membuat beliau kecewa”

“Tapi kamu malah mengecewakan aku dengan mudahnya mas!” Arini jengah.

“Andai aku punya pilihan Rin, kumohon pahamilah posisiku”

Arini berdiri, ia hendak keluar ruangan. Tangisnya pecah. Ia sambil menangis tersedu.

“Rin, tunggu!" Haris berusaha mengejar Arini, bagaimana pun masalah ini harus mereka selesaikan dengan baik. Tetapi ia gagal karena harus membayar tagihan minuman yang mereka pesan pada pelayan café.

Arini sungguh tidak menyangka Haris akan tega melakukan ini padanya, walau mereka belum memiliki ikatan apapun, namun ia sudah terlanjur berharap lebih pada pemuda itu, tak bisa dipungkiri ia sudah jatuh hati padanya. Keputusan sepihak ini benar-benar membuatnya terluka. Selama ini Haris memang menjaga jarak dari Arini untuk menghindari fitnah, namun ia sudah meyakinkan hatinya untuk meminang Wanita itu, maka ia mengutarakan keinginannya tersebut, dan gayung pun bersambut, Arini ternyata menyetujui rencana ini, ia sudah jatuh hati pada pemuda taat, yang menjaga pandangannya dan pekerja keras itu.

Permasalahan ini tidak selesai dengan mudah, Arini jelas marah dan Haris juga tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri, ia sedih dengan keputusannya, tapi mungkin ini yang terbaik, ia berharap dengan mematuhi ibu, Allah akan ridha kepadanya.

***

“Gua harus bagaimana Wan?” Haris mengunjungi sahabatnya Ridwan setelah menyelesaikan pekerjaan kantornya.

“Gampang, lu tinggal nikahi aja kedua gadis itu Ris” jawab Ridwan dengan diplomatis.

“Ha? Lu gila, gua ga pernah kepikiran untuk punya dua istri Wan”.

“Nah, untuk sekarang kamu udah bisa memikirkannya, agar tidak ada yang teluka dan kecewa” jawab Ridwan enteng.

“Ga semudah itu Wan, belum tentu semua pihak setuju, gua juga ga bisa memiliki dua istri”.

“Haris Haris, orang punya satu istri aja susah, lu udah ada dua gadis didepan

mata malah galau”

“Wan, gua ga bercanda!?” Haris mulai emosi

“Sorry, okay okay… sekarang kita ngomong serius”

"Beuhh sialan lu Wan, gua dari tadi memang udah serius” Haris mengetuk kepala Ridwan asal.

“Haha maaf, okay, hmh gini, kalau menurut gua, lu  harus tegas Ris, lu harus ikut gimana kata hati lu, karena hati ga bisa dipaksa, gimana lu bisa menikah ma orang yang ga lu cinta, yang ada ntar jatuhnya malah zhalim” Ridwan mencoba bijak.

Haris menghembuskan nafas kasar.

“Sebenarnya gua udah batalin rencana pernikahan kami, tadi gua ketemu ma Arini”

“What the F*ck! Astaghfirullah, gua tebak doi pasti marah” Ridwan bangkit lalu mendekat ke arah Haris.

“Ya jelas, lantas gue harus apa coba? Lu pikir gua ga menderita? FRUSTASI”. Haris menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“hahaha”.

“Terus apa langkah lu selanjutnya?"

“Ke rumah haji Zakaria dan kabarkan keputusan ini”

“Good, Lu harus tegas, dan apapun itu gua berharap yang terbaik untuk lu” Ridwan menepuk pundak Haris.

“Thanks, gua balik ya” Haris hendak bangkit untuk pulang.

“Buru-buru amat, gua dah gojekin makanan tuk kita, lu parah banget, ke sini kalau galau aja”

“Seumur-umur baru kali ini juga gua galau” cebik Haris.

“Iya iya, yuklah kita dinner bareng, sebelum lu dinner ma istri lu, ntar pasti lu udah ga kesini lagi”

“Dan lu kapan nikah? Jangan bilang kalau lu bakal jomblo tuk selamanya haha” sambar Haris

“Naudzubillah, kagak… gua belum nemu orang yang tepat aja”

***

Jam sudah menunjukkan pukul 12.15 dini hari. Kali ini Haris pulang begitu larut. Seperti biasa. Ia pulang sendirian, setibanya di halaman rumah, tampak ibu yang sudah menunggu di depan teras, beliau duduk mengenakan baju rumahan dengan kerudung sederhana. Terlihat sorot kecemasan diwajahnya yang teduh.

“Darimana saja kamu nak? Pulang selarut ini tidak memberi kabar, ibu menelfon berulang kali tidak kamu angkat”

“Maaf Haris tidak memberi kabar, tadi Haris menemui Arini dan singgah sebentar ke apartemennya Ridwan bu, handphone Haris tiba-tiba lowbate, lupa bawa powerbank” Haris menjelaskan sambil merangkul ibu memasuki rumah mereka.

“Ya sudah. Makan dulu, ibu panaskan lauknya sebentar sambil menunggu kamu mandi”

Ibu dan Haris saling beriringan masuk ke dalam rumah.

“Jangan dipanaskan lagi, Haris sudah makan, tadi Ridwan menjamu Haris di apartemen nya. Oh iya bu, lain kali ibu jangan menunggu Haris di luar, tunggu di dalam saja, di luar dingin, nanti ibu malah masuk angin” Haris mengkhawatirkan kesehatan ibunya.

“Ibu khawarir kamu kenapa-kenapa, ibu cemas kamu tidak memberi kabar”

“Sekali lagi Haris mohon maaf, besok insya Allah Haris akan mengabari ibu” Ibu mengangguk.

Selesai mandi Haris menemui ibunya di ruang keluarga, menyampaikan perihal keputusannya dan bagaimana tadi pertemuannya dengan Arini. Ia duduk di samping ibu yang tengah membaca buku dengan kacamata plus nya.

“Semoga kamu memutuskan yang terbaik, nak!”

“Arini marah bu”

“Wajar, ibu juga akan marah, tapi ini juga bukan kesalahan kamu, sebelum janur kuning melengkung, kalian tetap bukan pasangan sah. Lagian kamu dan Arini juga bukan sepasang kekasih”

“Tapi saya juga sedih bu, jujur saya sangat mengharapkan Arini” Haris

"Lantas mengapa kamu tidak menikahinya? Mari kita bicarakan hal ini dengan haji Zakaria, beliau akan paham nak…” Ibu tidak ingin anaknya bersedih.

“ibu tidak berharap apa-apa kecuali yang terbaik untuk hidup kamu, ibu hanya ingin kamu Bahagia” ibu akhirnya luluh, ibu juga tidak tega melihat anak laki-lakinya yang sedari kecil ini patuh pada orang tua namun pada akhirnya hidupnya tidak Bahagia.

“Benarkah ibu setuju? Ibu mengangguk menatap Haris dengan senyuman tulus.

"Terima kasih banyak atas pengertian ibu. Baiklah bu, besok kita akan ke rumah haji Zakaria, terima kasih ibu sudah mengerti saya” Haris memeluk ibu nya haru. Muncul semangat baru dihatinya, sungguh dukungan ibu sangat berarti dan Ridha ibu adalah segalanya. Jika haji Zakaria sudah mengetahui hal ini, ia akan mengabarkan kembali berita baik ini pada Arini.

Rabbi, berilah segala kebaikan dan keberkahan, tuntunlah hamba dijalanMu, berilah petunjuk yang baik atas segala permasalahan yang kami hadapi, lirih Haris dalam hati.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!