Semua terjadi begitu cepat aku merasakan apa itu kehilangan dengan umurku yang masih sangat muda aku tidak tahu mengapa takdir begitu kejam kepadaku.
Seketika aku ingat perkataan ibu yang mengatakan jangan pernah menyalahkan takdir walau itu membuat kita kehilangan segalanya.
Rasanya aneh bukan jika kau merasa senang padahal kenyataannya semua itu hanya sementara dan tidak selamanya.
Usia tujuh tahun, tepat ujian kenaikan kelas aku melakukannya dengan sangat baik dan juga jujur seperti kata ibu.
Ayah biasanya akan mengangkatku ke atas bahunya lalu tertawa bersama ibu dan juga adik yang masih dalam kandungan.
Tapi,
semuanya tidak akan pernah terjadi lagi
aku mengerti kenapa kita tidak bisa menyalahkan kehendak-Nya.
Aku masih ingat bagaimana ketika ibu datang kesekolahan dengan mata sembab seperti habis menangis.
Aku mengikuti langkah ibu yang terus menggenggam tanganku membawaku hingga sampai di sebuah ruangan dengan seorang suster bersama kami
membuka kain penutup putih yang menutupi sesuatu.
Terlihat di situ ibu langsung terduduk dilantai dengan tangis yang tak terdengar isakannya karena ibu menutup mulutnya.
Ukuran ranjang yang tinggi membuatku mengambil kursi untuk melihat siapa yang ibuku tangisi.
“Ayah.” Ucapku pelan dan kembali turun perlahan dari kursi.
Aku menahan air mata dan rasa sedih ini untuk menguatkan ibu.
Aku memeluk ibu dengan erat hingga seragam sekolah yang masih aku kenakan basah karena air mata ibu.
Ibu menarik dirinya perlahan dari pelukanku dan menatapku dengan wajah sedihnya ibu merapikan beberapa helai rambutku yang terlihat acak-acakan dan kemudian mencium lama keningku yang basah karena keringat.
Setelah selesai pada pemakaman ayah, ibu kembali ke rumah denganku.
Aku sengaja berceloteh ria
aku berusaha membuat ibu tertawa dan menghilangkan kesedihannya dengan tingkah yang aku buat lucu.
Membuat ibu sedikit senang dengan bantuanku melakukan pekerjaan rumah.
Beberapa minggu berlalu akhirnya libur semester kenaikan kelas tiba.
Aku pergi ke pasar bersama ibu untuk membawa belanjaannya dan juga membuat ibu sedikit tidak kelelahan. Karena membawa adikku di dalam perutnya.
Ibu seorang ibu rumah tangga yang bekerja membuat kueh untuk pesenan jika ada yang memesan, dan Ayahku juga bekerja mengandalkan keahlian mengemudi. Ayah bekerja sebagai supir taksi .
Ibu kadang menangis setiap malam di dalam kamar. Kadang aku melihat ibu hingga akhirnya ibu kembali tidur, dan aku menaikan selimutnya agar ibu tidak kedinginan.
Sebenatar lagi aku akan masuk sekolah.
Sudah sepuluh hari lebih liburan semester.
Malam ini aku melakukan hal sama melihat ibu sudah tidur atau belum.
Aku membuka sedikit pintu kamar ibu dan ternyata ibu sudah tertidur.
Aku melangkah masuk kedalam dan menaikan selimut ibu. Tapi, bau aneh aku mencium, amis darah.
Aku melihat baju daster ibu yang dari hijau menjadi merah hitam. Aku menarik pelan dan terlihat banyak darah.
Aku menggoyang tubuh ibu kencang, lalu ibu terbangun dengan wajah pucat dan keringat yang banyak.
"Juna anak ibu yang kuat ya sayang."
Ibu berucap dengan menahan sakit yang terlihat di wajahnya dan badan ibu yang seperti demam tinggi saat tangan mungilku menyentuh keningnya .
Aku ingat ibu pernah bilang jika ada keadaan darurat telpon nomor ini.
Aku mengambil telpon jadul ibu yang kecil dan membuka laci lemari mengambil buku kecil ibu yang ada banyak nomor penting di dalamnya. Ku buka dan ku ketik pelan nomor telpon tersebut hingga menekan panggilan tersambung.
"Halo Tolong ibu... ibu berdarah."
Dengan bicara nada yang biasa seperti anak kecil polos.
Telpon langsung tertutup ketika suara tuuut...
Aku kembali menghampiri ibu tak lama terdengar suara orang berjalan di teras dan mengetuk pintu.
Aku segera membukanya dan menarik tangan orang itu aku sudah tidak tahu tangan siapa yang aku tarik tapi, dari rasanya aku menarik tangan yang sedikit kasar dan agak keriput.
" Arjuna! ibu kenapa sayang?" tanya wanita paruh baya tersebut dan aku hanya menggeleng.
Ia menghampiri ibu dan melihat kasur penuh darah Ia langsung menelpon seseorang tak lama ambulan datang menjemputku mengikutinya hingga naik ikut bersama ambulan kunci rumah, wanita dewasa itu titipkan pada seorang wanita muda yang baru saja tiba ketika sebelum ambulan datang.
Sampai dirumah sakit dengan cepat. Aku melihat kedua kalinya aku masuk ke dalam bangunan dengan bau obat dan disenfekta.
Juga perawat yang sangat dekat di pandanganku.
" Nak kita tunggu disini. Biar dokter yang periksa keadaan ibu kamu ya."
Ia mengajakku untuk duduk di kursi tunggu lalu Ia menelpon seseorang lagi dan tak lama dokter datang.
"Keluarga pasien."
Wanita di sebelahku langsung menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa kami keluarganya. Dokter itu bicara panjang pada wanita dewasa itu yang sudah tua sekali. Aku penasaran dan aku mendekat aku mendengar.
"Maaf Kami dari tim dokter tidak bisa berbuat banyak lagi. Jika Anda ingin masuk dan menemani pasien, Silakan."
Aku dan wanita itu masuk ke dalam terlihat ibu menggunakan alat bantu pernapasan dan juga wajah ibu yang pucat seperti kapas dan keringat di dahi ibu yang gak kunjung hilang.
"Ibu." Suara lemahku membuat ibuku perlahan membuka mata dan menoleh kearahku. Dengan bantuan wanita tadi aku bisa duduk di samping ranjang ibu dan menatapnya lama. Ibu tersenyum lalu mengusap tangan dan kepala juga mengelus lembut pipiku. Aku akan menahan tangis ini.
" Arjuna Ibu tahu kamu anak ibu yang kuat. Suatu saat kamu pasti bisa menjadi kebanggaan. Ibu dan ayah gak.. bisa.. nemenin kamu sampai dewasa sayang. Dan adik. Adikmu sudah pergi terlebih dahulu jadi ibu harap. Kamu selalu berada dijalan yang baik ya sayang."
Aku menangis. Aku tidak bisa menahannya, air mataku sudah keluar dan membasahi kedua pipiku.
"Ibu.. JANGAN.. IBU... IBU JANGAN PERGI... IBU JUNA SAMA SIAPA... IBU SAMA AYAH NINGGALIN JUNA SENDIRIAN... ADEK JUGA, ADEK GAK MAU LIAT ABANG DULU APA? ADEK GAK MAU MAIN SAMA ABANG. IBU.. JUNA MOHON, IBU SAMA JUNA AJA JANGAN SAMA AYAH." Tangisku pecah saat itu juga aku merasakan apa itu arti kehancuran rasa sakit tapi tidak berdarah dan rasa perih di luka tapi tidak memiliki luka.
Tak lama ibu memejamkan matanya dan membuatku benar-benar kehilangan segalanya. Aku sudah tidak memiliki apapun aku, hanya aku. Sendiri dalam gelap sendiri dalam keramaian sendiri dalam diri ini.
Kegembiraan canda tawa semua hilang dalam usia tujuh tahun itu.
Hambar rasa, kedua orang tua yang seharusnya biasa bersamaku hingga kini sekarang hanya ada nisan mereka yang menemaniku hingga saat ini.
Duniaku berhenti sejenak ketika aku kehilangan sosok ayah.
Aku merasa aku harus kuat dan menjadi lebih dewasa ketika ayah sudah tiada.
Dan sekarang Ibu yang tiada, menyusul Ayah . Duniaku kini selamanya akan berhenti pada saat itu juga menjadi gelap secara perlahan dan hanya ada aku disudut ruang kosong dengan cahaya redup menerangiku.
Mungkin sebentar lagi akan sepenuhnya gelap.
Aku melangkah pulang bersama wanita yang mengantar dan menemaniku kerumah sakit hingga akhir waktu pemakaman Ibu.
Aku terkejut karena barang barangku semuanya sudah dibereskan.
Sebenarnya keluargaku tinggal disebuah kontrakan yang sederhana dan juga lumayan nyaman. Tapi karena sekarang aku sendiri dan masih kecil pemilik kontrakan menyerahkanku pada wanita disebelahku. Aku mendengar pembicaraan mereka. Ternyata namanya Bu Siti.
"Arjuna sekarang kamu tinggal sama Bu Siti ya... dan barang-barang kamu separuhnya sudah dibawa kepanti untuk keperluan kamu dan sisanya adalah sedikit barang yang ringan." Ucap pemilik kontrakan tersebut padaku.
Aku mengangguk patuh dengan wajah lugu aku menatap wajah wanita, yang di panggil Bu Siti. Dia tersenyum padaku hingga tiba, sebuah mobil biasa seperti taksi menjemput kami. Aku naik kedalam mobil bersama Ibu Siti.
Seiring mobil berjalan pandangan mata dari rumah itu juga mulai menghilang.
"Arjuna kamu boleh anggap ibu teman atau ibu kamu sendiri. Dan kamu juga boleh melakukan apapun asal kamu melakukannya dengan benar ya."
Penjelasannya membuatku samar mengangguk.
Sampailah aku di panti Asuhan. Sepanjang perjalanan Bu siti bilang, disini hanya ada anak-anak yang tidak beruntung dalam hidupnya dan yang beruntung mereka bisa tinggal dengan keluarga barunya.
Langkah demi langkah aku berjalan hingga masuk kedalam dan apa ini ... Sambutan.
Dua hari berlalu aku tinggal di panti asuhan ini tidak ada yang aku lakukan selain makan tidur dan kewajibanku untuk beribadah.
Saat asik dengan menatap keluar jendela tiba-tiba Teman sekamarku memintaku menghadap Bu Siti.
Aku mengangguk tanpa mau mengatakan terimakasih.
Aku mendatangi tempat Bu Siti lalu berdiri dan mengetuk pintu lalu masuk dengan permisi.
"Arjuna... Duduklah." Aku duduk di sofa yang Bu Siti persilakan.
"Kamu tetap akan sekolah Arjuna," kekeh Bu Siti. Aku menunduk.
"Jika tidak bisa saya tidak masalah, bu." Aku menatap lantai melihat kaki sebelah yang jari kakinya aku gerakkan didalam sendal rumah.
"Tidak bisa sayang... kamu tetap melanjutkannya." Bu Siti menjelaskan lagi dengan nada suara yang lebih lembut sambil berjalan menghampiriku lalu mengusap pipiku.
"Pendidikan itu penting setelah kamu dewasa dan setelah kamu mampu kamu akan punya bekal untuk menjalani hidup yang lebih baik di luar sana, Juna."
Aku mengangkat wajahku menatap Bu Siti yang berjongkok dirpanku.
Dengan sangat, mau tidak mau aku harus patuh. Karena siapa lagi yang akan menjadi tempatku berlindung sekarang.
Bu Siti mengatakan hal yang benar. Jika aku mau lebih baik maka aku harus melanjutkan pendidikanku lagi pula aku tidak akan bisa bertahan tanpa adanya pengetahuan sebelum prakteknya.
Sekolah Dasar .
Aku berjalan Santai melangkah melewati setiap kotak paping di jalan setapak menuju gerbang kecil, hingga sampai di depan kelas aku duduk di bangku ku seperti biasa. Dua hari aku tidak bersekolah itu membuatku tidak bisa tersenyum lagi setelah hari itu. Setelah dari ruangan Bu Siti aku baru sadar kalo aku memang harus sekolah.
Duduk di kursi kelas mengikuti pelajaran seperti biasa.
Aku sadar teman-teman yang membenciku sedang membicarakanku.
Mereka masih anak-anak dan aku juga mereka akan melihat dan merasakan jika mereka mau jadi aku.
Aku akan biarkan kalo mereka hanya memperhatikan dan menatapku.
Waktu pulang sekolah tiba. Aku yang sudah keluar gerbang kecil seketika di bawa teman-teman ke tempat lain aku sebenarnya tidak mau tapi, mereka memaksa.
Aku bisa menganggap mereka mau menjahiliku wajah mereka tak bisa terlihat baik walaupun sudah pura-pura, dasar anak-anak.
Disini gang sepi tempat aku berjalan sendirian dari panti. Teman-teman menatapku tiba-tiba menarik tasku dan menumpahkan isi didalamnya.
"Hahah... Gak punya Ibu... Gak Punya ayah." Mereka bernyayi layaknya seperti mengejek dengan menepuk tangan.
Mau membully ku mereka mengajakku ketempat ini, anak jaman sekarang.
Mereka kira aku selemah itu.
"Itu Kenyataan Teman-teman kenapa kalian membuat lagu yang membuatku bosan Hem." Kataku tanpa menatap mereka.
Aku merapikan semua barang yang di hamburkan keluar dari tasku.
Tiba-tiba datang ibu dari anak-anak ini dan menatapku.
"Sudah tidak punya ibu dan keluarga juga ayah berani sekali kamu mengajak anak-anak bermain denganmu," ucap salah satu ibu itu. Aku sudah selesai membereskan peralatan sekolah yang berceceran di tanah.
Aku menatap ibu dari anak-anak ini.
"Aku tidak mengajak mereka kemari, Mereka membawaku kemari mereka mengatakan kebohongan dan jangan salahkan aku, Kalian jika sudah membenci ibu ayah ku silakan, Kalian berhak tapi, jangan didepan anak kecil seperti inj," ucapku. Melangkah pergi tanpa mengatakkan apapun.
"Lihat dia bicara seperti orang dewasa."
"Didikan panti asuhan memang jelek," ucap ibu lainnya.
"Ayolah kita pulang kasihan anak-anak pasti lelah."
Aku menatap kedepan wajah tanpa ekspresi apapun aku merasa tak mau menangis dan tersenyum juga marah, buatku itu semua tidak ada pentingnya.
Beberapa hari berlalu dan anak-anak pembully yang masih anakingusan itu terus mengangguku bahkan di dalam kelas sampai guru yang mendengarkannyapun marah. Aku santai saja toh itu nyataan Mau menilai apapun terserah mereka.
Kemarahan dan air mataku sangat berharga untuk marah pada mereka yang hanya membuatku lelah.
Waktu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang dan saat ini semester Sekolah dasar dimulai untuk ujian lagi.
Saat Ujian sekolah semua esai juga soal dengan jawaban pilih aku mengerjakannya dengan baik dari seminggu ulangan dan berakhir di hari sabtu.
Aku yang sekarang berjalan keluar kelas tiba-tiba mendapatkan sodaoran bingkisan dari seorang guru, dia guruku wali kelasku dulu dan sekarang juga masih beliau ini.
"Ibu tahu kamu pasti udah merasa dewasa. Ibu Gak maksud buat nilai kamu Arjuna, tapi para guru yang melihat sikap kamu lebih diam dari pada murid lain buat kami sedih dan satu lagi Semua guru nitip ini ke Arjuna, Di gunakan dengan baik ya nak, Ibu Harap kamu pasti akan jadi orang sukses kedepannya." Katanya menyerahkan dengan tatapan sayu dan wajah tersenyum.
"Ini apa Bu? Saya buat masalah ya," ucap ku heran karena selama ini aku tidak pernah mendapatkannya.
"Bukaan Ini cuman hadiah, Pertanyaan kamu itulo yang aneh, mana ada Arjuna, Hukuman kok judulnya hadiah," ucap bu guru.
Aku berterimakasih mengangguk dan bu Guru pergi meninggalkanku.
Aku pulang ke panti Asuhan dan mendatangi ruangan Bu Siti.
"Assalamualaikum. " Sekarang aku harus rajin mengatakan Salam juga disini karena Bu Siti mengajarkannya.
"Waalaikumsalam Arjuna, Masuk nak Ada apa," ucap belaiu yang sedang mengerjakan sesuatu.
"Bu.. Ini dari Bu guru katanya hadiah dan katanya semua guru juga ngasih dan semuanya ada didalam sana." Jelasku dengan rinci dan pelan juga sopan.
"Oh iya.. Kenapa kamu bawa ke ibu, Kamu buka dulu hadiah ini di jalan," ucap Bu siti membuatku kaget.
"Eh.. iya Bu Maaf," jawabku jujur karena ternyata isinya uang bantuan jadi aku langsung memberikan pada Bu Siti.
"Iya Gak papa besok lagi kalo barang yang orang kasih jangan buka di jalanan apa lagi kamuliatnya di tempat ramai, Iya kalo itu isinya barang biasa kalo uang bisa jadi incaran orang jahat, Paham Nak," ucap Bu Siti dengan pelan.
Aku mengangguk. Beliau mengusap kepalaku dan memintaku untuk salin dan istirahat.
Waktu cepat sekali berlalu Aku juga masih ingin merasakan masa Sekolah dasar.
Kenyataannya Aku sudah ada di kelas Enam dan sebentar lagi aku akan lulus.
Ternyata aku sudah lebih dari setahun tinggal di panti asuhan atau lebih dari tiga tahun entahlah, bahkan aku juga dekat dengan teman sekamarku.
Aku juga kadang membaur dengan mereka jika penting jika tidak tidak akan aku mau bicara dan berdekatan dengan mereka.
Di sekolah setiap istirahat Aku lebih memilih pergi ke perpustakaan meninggalkan semua teman-temanku, Sama seperti ketika di acara perpisahan sekarang yang sedang berlangsung, tiba-tiba semuanya karena aku tak merasakan waktuku berjalan yang aku tahu baru kemarin Ayah dan ibu juga adikku pergi .
Alex, Beno memang menghentikanku tapi, aku tetap melangkahkan kakiku menuju perpustakaan. Ya... kalian tahu anak umur tujuh tahun ini sudah terlihat seperti anak berusia belasan tahun wajahnya sangat tampan aku akui aku tampan tapi, aku malah mengatakan aku tampan pada semua orang itu tidak penting.
Alex Beno adalah teman yang sadar kalo aku merasa biasa aja di bully mereka bahkan aku tak melawan mereka,
waktu di kelas tiga sekolah dasar aku menjadi teman mereka dengan mereka yang terus mendekatiku setiap hari bahkan mereka sering menanyakan kabarku.
Lucu sekali mereka tapi, Aku biasa saja. Kata Bu Siti yang aku ingat kalo kita tidak suka dengan seseorang tidak sukai saja sifatnya karena orangnya itu pasti baik tapi, perilaku dan sifat kadang terlihat buruk.
Aku membaca banyak buku dari awal masuk kemari.
Hanya belajar di sekolah dasar selama enam tahun kegiatan hanya belajar, mendengarkan guru istirahat kekantin kalo enggak di kelas kadang juga duduk di taman melihat teman-teman lainnya bermain.
Tidak ada yang asik dan menyenangkan bagiku semua monoton bahkan kegiatan sekolah dasarpun membuatku bosan dan aku memilih mundur saja padahal kegiatan karateku selalu mendapatkan nilai baik di penilain pelatih ekskul.
Suara sepatu berhak aku mengenalinya itu adalah suara sepatu yang selalu Bu Dewi pakai setiap ia di panggil kesekolah mewakilkan Bu siti.
Salah satu pengurus yang baik dan peduli sekali padaku tapi, aku lebih memilih menjauhinya karena aku bukan anak baik tapi, anak nakal.
Sampai di dalam perpustakaan Bu Dewi melihatku, Aku tahu ketika Bu Dewi menoleh kesana kemari, pikirku pasti Bu Dewi mencariku. Aku membiarkan saja Bu Dewi mencariku padahal aku bisa melihatnya.
"Arjuna." Panggilan Bu dewi membuatku menoleh sebentar, Bu Dewi menatapku dengan lembut . Aku kembali menatap Buku setelah beberapa menit menatap Bu Dewi yang berjalan mendekatiku.
"Kenapa kamu enggak ikutin acaranya Juna." Bu Dewi menghampiriku dengan suara lembutnya mengajakku bicara, aku hanya menggeleng. Bu Dewi tersenyum dan duduk di depanku.
" Sebentar saja ya, ini hanya mengambil raportmu dan juga ijazahmu yang sudah selesai di peroses. " Tanpa banyak bicara lagi aku mengangguk.
Aku bangkit dengan membawa semua buku yang aku baca tadu untuk di taruh kembali ketempatnya lalu berjalan mendahului Bu Dewi dengan santai.
Wajah datar dan Kaku selalu terlihat aku tanpa sadar bersikap angkuh pada Bu Dewi padahal beliau sangat baik padaku tapi, aku ini anak nakal jadi lebih baik aku tidak memiliki orang terdekat lagi.
"Ehm anak ini," gumam Bu dewi aku mendengar itu walaupun pelan.
Sambil melangkah dengan langkah cepatnya, mendekatiku yang berjalan sedikit cepat meninggalkannya di dalam perpustakaan.
Sampai di aula perpisahan Sekolah Dasar tepat setelah itu namaku di panggil,
oleh Bu laras salah satu wali kelasnya.
"Dewa Arjuna. Silakan."
Aku maju dengan santai dan menyalami beberapa guru lalu mengambil map yang kepala sekolah berikan.
Mereka menatapku dengan tatapan aneh, aku sudah biasa merasa seperti di kucilkan tapi, aku masih belum bisa mengartikan tatapan orang dewasa padaku dulu dan sekarang dengan caraku aku mengartikan sebagai tatapan rasa iba dan simpati.
"Silakan keruangan saya." Ucap Salah satu guru sepertinya petugas TU.
Aku mengangguk mengikutinya dan di belakangku ada Bu laras guru yang sama yang memberikan bingkisan mewakilkan guru lainnya, ia mengikuti Aku dan Bu Dewi.
Sampai di dalam ruangan guru Aku di berikan sebuah tinta cap berwarna biru didalam sebuah kotak kaleng dan juga dua map dengan berkas penting yang biasanya seorang siswa menunggu waktu berbulan-bulan untuk mengambilnya tapi beda denganku, setelah lulus tepat hari perpisahan atau wisuda Sekolah dasar, aku langsung mendapatkannya, seperti sekarang ini.
Selesai melakukan sidik jari Aku di bantu Bu Laras.
Dan Bu Dewi bergegas mengajakku pergi setelah berpamitan pada guru yang ada di depanku.
Sesuai ucapan Bu Dewi yang bilang jika setelah mengambil raport dan Ijazah atau lainnya Aku akan pulang bersamannya.
Aku dan Bu Dewi yang sudah pergi keluar ruangan TU, lalu melewati beberapa kelas dan langsung melangkah pergi melewati gerbang sekolah, seketika Taksi Online yang bisa Bu Dewi pesan seperti seorang langganan tetap, Aku dan Bu Dewi menghampiri taksi online itu.
"Juna gimana nilainya," ucapan Bu Dewi membuat Aku memberikan tiga berkas itu pada Bu Dewi.
Aku dan Bu Dewi sudah duduk nyaman di dalam Taksi dan aku juga sudah bersandar nyaman di jok mobil.
"Boleh ibu liat." Aku mengangguk tanda setuju. Dibukanya raport ijazah dan rekap nilai UN. semuanya sempurna, mungkin. Aku menoleh sebentar melihat raut wajah Bu Dewi, apa yang Bu Dewi perhatikan, Bu Dewi terkejut dan takjub.
"Cucu nya pasti pintar," lirih Bu Dewi.
"Juna ini biar Bu dewi Simpen ya... Nanti kamu lanjut Sekolah Menengah Pertama di Gumilang Atmadja." Jelas Bu Dewi membuatku lagi-lagi mengangguk. Aku seperti diatur tapi, itu memang kenyataannya. Aku merasa jika Aku harus seperti ini sebelum aku benar-benar jadi seirang remaja matang lalu dewasa. Aku menatap keluar jendela seketika hujan turun membasahi kaca mobil.
Semua hal yang aku lakukan akan terasa hambar tanpa kehadiran keluarga. Aku merindukan ibu Ayah dan Adikku yang bahkan aku belum sempat melihatnya. Waktu itu kandungan ibu sudah sangat besar seharusnya aku bisa melihat adikku tapi, aku tidak bisa.
Air mata yang mengenang membuat pandanganku buram seketika aku menatap keatas dan air mata itu perlahan menghilang tak jadi keluar dari kelopak mata.
Sampai di panti Asuhan Aku dan Bu Dewi pergi keluar dari taksi dan masuk ke halaman panti asuhan dengan berjalan kaki.
Didalam kamar aku duduk diam menatap keluar jendelan kamar kebetulan tempat tidurku di bawah dan teman sekamarku me
" Arjuna Main bola yuk!" seru Noe padaku seketika Aku mengangguk. Noe dan Aku bagaikan satu hal yang cocok karena saling mengisi kekurangan masing-masing.
Jika Aku yang jarang bicara jika tidak penting. Lalu Noe yang ceria dan hangat banyak sekali kalimat yang keluar dari mulut Noe ketika sudah memulai ceritanya.
Aku kembali keluar dari panti asuhan ketika sudah berganti pakaian yang santai.
Aku menoleh sebentar melihat seorang wanita tua yang masih cantik sedang bicara dengan Bu Siti. Sekeali dia tersenyum menatapku. Aku langsung mengalihkan tatapanku dan menghampiri Noe.
Noe adalah Temanku teman sekamarku, Entah kenapa kalo Noe sakit aku sangat perduli dengannya bahkan jika Noe sakit aku meminta bertukar tempat aku di ranjang atas dia di bawah. Noe anak yang aktif dia seumuran denganku. Noe lebih dariku bahkan dia pura-pura kuat jika aku menilainnya di setiap harinya karena aku dengar-dengar kalo Noe adalah anak yang sengaja di buang orang tuanya identitas dan apapun tentangnya tak jelas.
Sekarang satuhal yang mengusik pikiranku adalah wanita tua yang sepertinya lebih tua dari Bu Siti itu mirip sekali dengan ayahku bahkan sangat miripnya aku bisa bilang kali itu wajah ayahku dalam diri perempuan tua.
Aku acuh saja memilih bermain bersama mereka dan Noe.
Tiba saat tak pasti aku tak sengaja melempar bola mengenai lumpur dan menciprat baju wanita tua itu.
Bu siti menatapku.
Aku mendekat dan mengambil bola itu.
"Maaf Saya tidak sengaja." Kataku padanya dengan mengambil bola di kobangan lumpur.
"Tidak masalah Arjuna... jaga diri kamu baik-baik," ucap wanita itu padaku.
"Jika nanti saatnya tiba kamu panggil aku nenek dan Jangan pernah lakukan kesalahan yang sama seperti ayah dan ibu kamu lakukan, Bu Siti saya titip Arjuna untuk berikutnya kita tidak bisa bertemu lagi," ucap wanita itu dengan tatapan yang sangat tak terbaca olehku bahkan aku bingung kenapa dia menganggilku Arjuna dia tahu aku, ah.. mungkin Bu Siti mengenalkannya.
Aku mengangguk saja dan pergi dari sana tanpa mengatakkan apapun.
Mau memanggilnya apapun kurasa aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi, biarlah ia lupa denganku semoga saja. Semua yang aku temui pura-pura mengenalku Bu Siti Bu Dewi lalu wanita tua itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!