Makoto Anekawa
Langkah sepatu yang tergesa-gesa.
Aoi mempercepat langkahnya. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi.
Sebuah mobil sport melaju dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli dengan kendaraan yang membunyikan klaksonnya.
Sampai ada sebuah genangan air kotor itu mengenai rok Aoi.
Aoi berteriak histeris. Para pejalan kaki menatapnya aneh.
"Aaa! Jadi kotor! Siapa yang membuat aku seperti ini?" Aoi mencari pelakunya. Tidak ada.
Sepertinya mencari pelaku tidak penting. Aoi bisa terlambat ke sekolah.
Saat sampai di depan gerbang SMA Sakura, bu Dora berkacak pinggang dengan wajah marahnya.
"Aoi Mianami. Kenapa kamu terlambat lagi? Alasan kesiangan? Macet di jalan? Main sama kucing kesayangan?" tanya bu Dora beruntun. Sudah hafal dengan alasan Aoi.
Aoi mengatur nafasnya. Lari selama 10 menit itu melelahkan.
"Maaf bu. Saya lupa tidak memasang alarm. Jadi terlambat. Apalagi ojekan di daerah saya sangat sulit," jawab Aoi. Sebenarnya ada sopir pribadi, tapi Aoi lebih suka berangkat dengan ojek atau angkot.
"Lupa memasang alarm? Lalu ibu kamu kemana?"
Pertanyaan itu lagi. Aoi bingung menjawab apa. Ibunya adalah model terkenal dan designer profesional yang di segani seluruh dunia. Sekali namanya di ketahui banyak orang, dirinya akan tersorot publik dari segala sisi dan aktivitasnya. Dan Aoi tidak suka hal yang ramai.
"E-itu. Ibu saya masih ada di luar negeri," jawab Aoi gugup. Bu Dora pasti akan tanya lebih banyak lagi.
"Ayah kamu?"
"Sama. Di luar negeri juga. Bu, saya ingin masuk. Nanti tidak bisa mengikuti ulangan Matematika," ucap Aoi memohon.
Bu Dora mengangguk. "Bailah, hari ini saya maafkan. Besok dan seterusnya, ada hukuman dan poin pelanggaran. Faham?"
Aoi tersenyum. "Makasih banget bu Dora yang cantik,"
Kelas 12 Ipa 1. Aoi memasuki kelas dengan santai. Guru yang mengajar Matematika ramah dan baik. Pasti akan di maafkan.
Pak Jiro menatap Aoi. Ulangan sudah berlangsung 5 menit yang lalu. Dan Aoi baru datang?
"Aoi. Kenapa terlambat lagi? Hobi kamu terlambat terus," omel pak Jiro.
"Kesiangan pak. Hehe," Aoi tersenyum kikuk.
"Ok. Silahkan duduk. Jangan terlambat lagi. Siapkan selembar kertas. Tulis soal yang ada di papan tulis," ucap pak Jiro.
Haruka menggeleng heran. Aoi sangat hobi terlambat.
"Untung saja pak Jiro maafin kamu. Kalau tidak, habis sudah," bisik Haruka menakuti Aoi.
"Huh. Gara-gara alarm kehabisan baterai. Jadi telat," Aoi menggerutu.
Satu jam berlalu, ulangan Matematika berjalan dengan lancar.
Haruka baru menyadari rok Aoi kotor.
"Renang di lumpur?" tanya Haruka tersenyum.
"Aduh, lupa. Harus ganti rok baru. Di lemari kelas ada gak?"
Fumie mengangguk. "Ada. Ambil aja,"
Aoi memgambil satu rok putih abu-abu panjang. Sebelumnya ia ragu, karena rata-rata rok di SMA Sakura hanya sampai lutut saja.
"Aoi. Kalau udah selesai pinjam rok. Kembalikan lagi ya? Jangan sampai di pinjam kelas lain. Nanti gak balik roknya," ujar Hikari sebagai ketua kelas.
"Siap bu bos!" Aoi memberikan hormat. "Fumie, ayo ke toilet. Kalau ada yang gosip, biar kamu saja mengatasinya ya?" pinta Aoi.
Haruka terkekeh. "Hahaha, yang sabar Fumie. Nanti aku bilang ke bu Nene,"
"Makasih Haruka yang cantik," puji Fumie mengedipkan kedua matanya, sangat manis. Siapa saja bisa jatuh cinta dengan paras cantik seorang Fumie Futaba.
Keduanya berjalan keluar kelas. Toilet sedikit jauh, dan harus melewati kelas 12 Ips 1. Dimana kelas itu terkenal nakal, terutama laki-lakinya menggoda perempuan yang sedang lewat.
Sepertinya ini kebetulan. Ada 5 laki-laki yang duduk di depan kelas, lebih tepatnya di lantai seperti lesehan.
Saat Fumie melangkah paling depan, perhatian 5 laki-laki itu beralih. Kedatangan mangsa baru. Saatnya beraksi.
"Halo? Ada cewek cantik. Mau kemana? Sendirian?"
"Temanmu juga boleh. Sangat cantik. Seleraku,"
Fumie menatap tajam dua laki-laki genit itu.
"Permisi. Kita hanya lewat saja,"
Saat Fumie memasuki lingkaran, dengan sengaja mereka menyentuh kakinya.
Fumie tidak terima. "Memangnya aku ini sabun colek? Mau aku tendang?!" Fumie sudah emosi. Semua laki-laki itu menyingkir memberikan jalan untuk Fumie.
Aoi tersenyum senang. Fumie sangat pemberani. Bukan berarti dirinya hanya diam saja, tapi ada alasan tertentu untuk tidak terlalu ikut campur.
Akhirnya sampai juga di toilet. Fumie menunggu, sambil membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Fumie memasangkan jepit di rambutnya.
Aoi sudah selesai mengganti roknya.
"Yuk balik ke kelas. Nanti bu Nene bisa marah," ajak Aoi. Fumie mengangguk.
Namun dari arah berlawanan, ada seorang cowok berlari sekuat tenaga agar terhindar dari hukuman bu Dora.
Aoi dan Fumie masih mengobrol tentang kecantikan di dunia model. Tidak menyadari akan ada peristiwa tabrakan. Dan pelakunya cowok itu.
Sampai pada akhirnya...
Bruk!
Aoi terjatuh dan duduk di lantai. Lututnya tergores lantai yang sudah berlubang.
"Aw! Sakit!"
Fumie membantu Aoi berdiri. "Ya ampun Aoi. Kamu tidak apa-apa?" tanya Fumie khawatir.
Aoi menatap tajam cowok penabrak itu.
"Hei! Gara-gara kamu aku jadi terluka!" sungut Aoi emosi.
Ryuji menunduk. "Biarin!" Ryuji kembali berlari sebelum bu Dora menangkapnya.
"Malah kabur!"
"Aoi, ke UKS saja ya? Lukamu itu harus di obati. Nanti bisa infeksi," ucap Fumie memberikan saran.
Aoi menggeleng. "Tidak perlu. Nanti juga sembuh sendiri. Kita ke kelas saja,"
Hari ini, Aoi selalu saja sial. Rok kotor, dan di tabrak cowok yang tidak menolongnya sama sekali.
Untungnya bu Nene belum datang. Kelas masih ramai seperti pasar saja.
"Beneran kamu baik-baik aja Aoi?" tanya Fumie sekali lagi.
Aoi tersenyum.
"Aku baik-baik aja kok,"
Haruka mengernyit. "Aoi kenapa?"
"Tadi jatuh, di tabrak sama Ryuji. Cowok nakal kelas Ips satu,"
"Ryuji? Yang sering melanggar peraturan sekolah itu?" tanya Haruka lagi.
"Gak penting. Nanti juga sembuh. Biasa, luka ringan kok," Aoi berusaha baik-baik saja. Jika Fumie bercerita lebih panjang lagi tentang Ryuji, mungkin sesudah hari Raya selesai.
Bu Nene memasuki kelas. Pelajaran bahasa Inggris.
Dan itu membuat Fumie pusing. Haruka tambah senang. Aoi akan mencatat setiap grammar atau verb yang bu Nene sampaikan.
"Terjemahkan halaman sepuluh sampai sebelas ya. Dan kerjakan soal selanjutnya," bu Nene kembali mengoreksi kumpulan tugas di buku tulis.
Fumie cemberut. "Haruka. Aoi. Nanti aku salin jawaban kalian ya? Please," Fumie menyatukan kedua tangannya.
Haruka mengangguk. "Iya. Tapi kamu diem ya. Jangan mengajak kita gosip. Nanti gak selesai tugasnya,"
Fumie mengangguk. Yang penting tugasnya selesai dan bisa santai.
Selama mengerjakan, Haruka bertanya beberapa kali ke Aoi. Keduanya kerja sama mengerjakan bahasa Inggris.
* * *
Aoi Mianami Rotschild
Hari ini Aoi selesai membereskan tempat tidurnya. Bangun lebih awal sangat baik, apalagi ia harus jalan kaki ke sekolah.
Pintu kamarnya di ketuk.
"Nona Aoi, sarapan di bawah sudah siap. Semua anggota keluarga Rotschild berkumpul lengkap," bu Idah sang pembantu yang bekerja 6 tahun lamanya sangat beruntung di terima kerja di keluarga besar Rotschild.
"Iya. Tunggu sebentar,"
Di meja makan, design mejanya memanjang seperti di istana kerajaan. Sangat sanggup mengajak satu kampung untuk makan.
Aoi menuruni tangga. Bunyi sepatunya menarik atensi semua keluarga Rotschild. Pandangannya pun menyorot Aoi.
"Aoi. Udah bangun sayang?" tanya Karin tersenyum senang.
Aoi mengangguk. "Iya ma," Aoi memandangi keluarganya, dari Ayah, mama, omah, dan pria asing? Siapa dia? Kenapa harus bergabung makan disini?
"Ma. Dia siapa? Kok makan bareng sama kita?" tanya Aoi menunjukkan ketidaksukaannya. Pasti pria itu ingin membocorkan identitas keluarganya.
"Dia itu calon suamimu sayang. Jadi lulus sekolah nanti, kalian langsung nikah aja. Kalau pertunangan dulu, yang ada kalian tidak tambah dekat. Iya kan yah?"
Amschel mengangguk. "Apa yang di katakan mama benar. Ayo perkenalkan dirimu,"
'Tampilannya aja kuno banget. Pakai kacamata. Bukan anak sekolah. Masa om-om sih? Aku ini masih sekolah! Meskipun udah lulus, melanjutkan ke pendidikan tinggi itu penting. Apa ayah gak mau ada penerusnya?' Aoi menggerutu dalam hati. Dan ia tidak akan membiarkan segala hartanya jatuh ke tangan pria itu. Enak saja huh.
"Makoto Anekawa. Panggil saja Mako," Makoto memperkenalkan diri.
"Dia ini keturunan Jepang. Pintar, dan perusahannya ada dimana-mana. Jadi ayah tidak salah memilihkan calon suami yang mapan untukmu Aoi," tutur Amschel, menambahi nilai lebih untuk Makoto.
"Perkenalkan dirimu Aoi. Agar dia tau siapa calon istrinya," titah Amschel tegas. Di keluarga ini, hanya dia yang berkuasa. Tidak ada tutur kata yang lembut, tatapan yang tajam. Ciri khas Amschel Rotschild.
"Namaku Aoi Mianami Rotschild," satu hal lagi, Aoi menutupi nama belakangnya. Publik tidak boleh mengetahuinya.
"Perkenalan bisa di lanjutkan setelah makan. Dan Makoto akan mengantarkanmu ke sekolah. Tidak ada penolakan," seakan Amschel menebak pikiran Aoi.
'Huh, berangkat ke sekolah sama om-om? Gimana sama semua temenku? Apa yang bakalan mereka katakan nanti?' batin Aoi bertanya-tanya. Pasti hal yang tidak-tidak.
Selesai makan, Amschel menitipkan Aoi kepada Makoto.
"Antarkan dia dengan selamat. Jangan sampai teelambat, jadi ngebut saja," ucap Amschel di setujui Makoto.
Aoi mendelik tak percaya. Mengebut? Gila, ini taruhannya nyawa! Aoi lebih baik jalan kaki saja daripada di antarkan Makoto.
Amschel mengeluarkan selembar check bernilai 20 juta.
"Ini, uang bulanan kamu. Kalau habis, bisa pinjam black card ayah. Hati-hati," Amschel beranjak pergi. Mengurusi kantornya, apalagi menjadi direktur utama yang super sibuk.
***
Di dalam mobil, sangat hening dan sepi. Aoi bosan, ia membaca novel digital di ponselnya.
"Nama sekolahmu apa?" tanya Makoto akhirnya berbicata setelah sekian lamanya terdiam.
"SMA Sakura," jawab Aoi super dingin.
"Oh,"
'Oh doang? Cuek banget sih. Ini calon suamiku? Bisa mati berdiri nih. Tanya lagi kek, atau apa gitu,' batin Aoi kesal.
Masih kurang 5 menit lagi akan sampai di sekolah SMA Sakura.
"Nanti pulang aku jemput. Ini perintah dari Tuan Amschel," ucap Makoto lagi.
Aoi tidak bisa bebas.
"Jadi gak bisa shopping lagi kan. Huh, menyebalkan," gumam Aoi lirih. Tapi Makoto mendengarnya.
"Shopping? Dimana? Nanti saya akan mengantarkan kamu," dengan senang hati Makoto menemani Aoi. Sebelum itu harus melapor Tuan Amschel.
"Eh? Gak kok. Pulang aja," lain di ucap lain di pikiran. Shopping dengan Makoto? Yang ada dirinya tidak bisa menanyakan kualitas produk mana bagus atau cocoknya.
Akhirnya sampai juga di SMA Sakura.
Aoi tidak bisa membuka pintu mobil. Di kunci. Makoto menyebalkan.
"Silahkan," Makoto membuka pintu mobil yang terkunci.
"Bebas juga dari dia. Sangat membosankan," Aoi mempercepat langkahnya ke kelas. Karena terlalu terburu-buru ia menabrak seseorang.
Dahi Aoi terasa sakit karena membentur dada bidang di depannya.
"Aduh. Jalan kok gak liat-liat sih?" Aoi mengusap dahinya.
"Lo lagi?"
Makoto masih belum pergi. Memantau gerak-gerik Aoi sampai cewek itu benar-benar masuk ke kelas.
"Berani sekali menabrak Aoi. Tidak tau siapa dia," Makoto keluar dari mobilnya. Kalau sampai Aoi lecet, Tuan Amschel marah besar.
"Hei kamu! Jangan sakiti Aoi. Dia adalah putri dari-aww" Makoto meringis kesakitan. Kakinya di injak Aoi.
"Tidak apa-apa. Ya kan sayang? Dia pacarku. Ryuji," sengaja Aoi berakting mempunyai pacar, agar perjodohan ini di cancel saja.
Makoto terkejut. "Pacar? Yakin ini pacarmu? Dari kalangan apa? Keluarga apa? Nama perusahaannya?" tanya Makoto beruntun.
Ryuji yang tak terima di klaim sebagai pacar pun tak suka.
"Gue buk-"
Aoi memeluk Ryuji. "Sayang, udah. Ayo masuk ke kelas. Pagi-pagi udah ngambek aja,"
Beberapa siswa yang lewat pun melihat kejadian itu. Mengejutakan. Ryuji ketua basket sekaligus Duta Mr. Handsome tahun ini mempunyai pacar?
"Yah, jadi gak bisa deketin Ryuji lagi,"
"Gak cocok ah. Aoi cewek tomboy. Ketua beladiri lagi,"
"Mending sama aku aja deh,"
"Aku masih tidak percaya jika itu pacarnya Aoi," Makoto memandangi Aoi dan Ryuji berjalan beriringan.
***
Di kelas, Haruka dan Fumie bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Ryuji.
"Sejak kapan kamu pacaran sama Ryuji? Kemarin aja tabrakan. Dan dia cuek ke kamu," ucap Haruka masih heran.
Aoi tidak tau harus menjawab apa.
"E-itu. Soalnya-"
"Cepetan elah," Fumie tak sabaran.
"Aku mau di nikahin sama om-om. Keturunan Jepang lagi,"
"Seriusan? Wah, pasti ganteng. Matanya sipit, putih, tinggi. Idaman banget tau," sepertinya Fumie menyukai Makoto. Ah tapi Aoi tidak yakin Fumie akan betah dengan pria super cuek itu.
"Terus aja puji dia. Gak ada menariknya sama sekali," gerutu Aoi kesal.
"Kaya gak?" tanya Haruka yang gila uang.
"Gak tau. Males aku ngurusin dia," Aoi menelungkupkan kepalanya. Lebih baik tidur daripada menggosipkan Makoto.
Di kelas 12 Ips 1 dimana jamkos selalu berlaku bagi kelas itu. Apalagi guru Sosiologi yang kadang tidak masuk, sibuk mengurusi Gerakan Literasi antarsekolah.
"Bro, beneran pacaran sama Aoi?" tanya Taiga menggoda Ryuji.
"Gak lah. Dianya aja yang mau pacaran sama gue,"
Syougo terkekeh. "Aoi cantik loh. Jago beladiri lagi. Lo tau kan Semika? Itu partnernya Aoi kalau di gym," jelas Syougo menceritakan aktifitas Aoi di sekolah.
"Bukannya sama Semio ya? Mereka kan kakak adik," Taiga heran. Semika dan Semio selalu latihan bersama di gym.
"Jadi gimana? Lo terima Aoi? Kalau gak mau, buat gue aja deh," Syougo menggoda Ryuji.
"Enak aja. Jangan, lo itu cowok gak bener. Yang ada bikin anak orang nangis," sungut Ryuji kesal.
"Pertahankan dia. Aoi emang tomboy, gue yakin hatinya baik," ucap Taiga bertopang dagu. Semilir dari kipas angin membuatnya pelan-pelan mengantuk.
Ryuji terdiam. Apakah harus menerimanya?
***
Jangan bosen ya sama cerita TMOO. Eps awal emang biasa aja, pertengahan sampai ending luar biasa.
See you next time.
Thank you for reading
Fumie Futaba
Di ruang kantor guru, Makoto berbincang dengan kepala sekolah bahwa dirinya ingin menjadi guru di SMA Sakura ini.
"Apakah anda memiliki pengalaman mengajar sebelumnya?" tanya Pak Daiji Sato selaku kepala sekolah SMA Sakura.
Makoto menggeleng. "Tapi saya pernah menjadi dosen di Universitas Sakura. Untuk mengajar, jangan di ragukan lagi. Saya sudah berpengalaman selama lima tahun," jawab Makoto tegas. Universitas Sakura adalah kampus paling elite di kota Cherry Blossom ini. Tidak akan mudah orang bisa lolos seleksi dari kampus terbesar nomor satu di Jepang itu.
Pak Daiji Sato mengangguk. "Baik. Anda di terima mengajar disini. Mulai besok, anda menjadi guru pelajaran Bahasa Jepang,"
Makoto tersenyum penuh arti. Dengan begini, ia bisa mengawasi Aoi dan pacarnya itu.
'Lihat saja kamu. Gak akan pernah lolos. Aku akan melaporkanmu kepada Tuan Amschel karena berani berpacaran,' mungkin dirinya keterlaluan. Tapi lebih baik di katakan jujur sebelum Tuan Amschel mendengarnya dari orang lain.
***
Aoi baru saja keluar dari kelas. Bel pulang baru saja berbunyi. Akhirnya bisa rebahan di rumah.
Makoto bersandar di pintu masuk. Menunggu Aoi.
"Duh, tanganku pegel banget gara-gara nulis tadi," Aoi memijat pergelangan tangannya.
Makoto yang mendengar suara Aoi menghampiri gadis itu.
"Mari, pulang dengan saya," Makoto mengulurkan tangannya, berniat menggandeng Aoi. Tapi cewek itu hanya diam.
"Aku bisa pulang sendiri," Aoi menatap lurus, lebih cuek dari sebelumnya. Ia merasa terganggu dengan kehadiran Makoto.
"Ini sudah menjadi tugas saya Aoi. Harus di tepati. Kalau kamu tidak ikut saya, apa yang harus saya katakan pada Tuan Amschel?"
Aoi menatap Makoto tidak suka. "Sudah dengar? Aku bilang gak mau. Aku bisa pulang sendiri. Gak perlu di anterin. Memangnya aku anak kecil?" suara Aoi meninggi, ia marah.
"Aoi. Kalau kamu tidak menurut, saya adukan ke Tuan Amschel," ancam Makoto. Mungkin dengan begini Aoi akan menurut.
Aoi tersenyum licik. "Adukan saja. Aku gak takut," tantangnya. Ayahnya itu tidak akan marah lama-lama sebelum ia sogok dengan masakan rendang dan nasi jagung.
Makoto mempunyai satu cara, yaitu menggendong Aoi dengan paksa. Cewek itu memberontak ingin di turunkan.
Keduanya menjadi perhatian siswa yang akan pulang.
"Astaga, Aoi sama siapa tuh?"
"Katanya udah punya pacar. Kok di gendong sama cowok lain?"
"Jangan-jangan selingkuhannya lagi,"
Aoi tak peduli. 'Gara-gara dia, aku jadi bahan gosip begini,' sungut Aoi dalam hati. Makoto pemaksa, jika saja ini di luar sekolah, sudah di pastikan Aoi akan melawan Makoto dengan tinjuannya ala kick boxer.
Saat sudah berada di mobil, Makoto menyalakan radio memilih musik keroncong kesukaannya.
'Musik apaan? Yang ada aku tambah bosen,' baginya, hanya musik Rock membangkitkan mood-nya. Selain asik juga berisik.
"Ganti! Aku gak suka!" perintah Aoi tak mau tau.
Makoto menggeleng. "Tidak perlu. Saya sangat menyukai lagu ini. Jadi, jangan banyak protes," tegas Makoto alisnya menyatu, ini mobilnya terserah ia melakukan apa.
Aoi berpaling menatap jendela mobil. 'Baru kali ini aku berurusan sama dia. Sebelumnya, hidupku tenang,' Aoi heran mengapa ayahnya harus menjodohkannya dengan Makoto.
"Sudah sampai,"
Aoi tersadar dari lamunannya. Kenapa begitu cepat?
Aoi keluar dan menutup pintu mobil dengan kasar.
Makoto menggeleng heran. 'Kenapa Tuan Amschel menjodohkan aku dengan Aoi? Apa ada tujuannya?' Makoto pikir hanya sebagai penerus harta warisan Rotschild, tapi belum tentu bisa saja Aoi yang mengambil alih itu semua.
Aoi merebahkan dirinya di kasur berukuran king size. Dinding yang bercat abu-abu, dan sebuah foto keluarga Rotchild. Kamar Aoi tidak ada hiasan apa-apa. Seperti hidupnya yang monoton.
"Semoga besok gak ketemu lagi sama dia,"
***
Malam harinya Aoi gunakan waktunya untuk belajar. Apalagi besok pelajaran bahsa Jepang.
Aoi membaca kamus bahasa Jepang. Kosa kata penting yang harus ia ketahui.
Pintu kamarnya di ketuk beberapa kali.
"Aoi? Mama boleh masuk gak?" Karin ingin membicarakan suatu hal penting.
"Masuk aja ma," Aoi meletakkan kembali kamusnya di rak buku.
"Ada apa ma?" tanya Aoi setelah Karin duduk di kursi.
"Ayahmu sudah memesan gaun untuk pernikahan nanti. Kau tau Aoi?" Karin menjeda sejenak. Sambil tersenyum membayangkan suaminya itu yang rela pergi ke toko gaun ternama sampai di goda para wanita. Bukannya tambah cemburu tapi semakin lucu. Amschel sekali marah semua wanita akan menjauh.
"Ayah kamu di godain loh. Terus kalau marah lucu banget, jadi pingin cubit pipinya deh," andai saja Amschel ada di sampingnya, sudah ia manjakan tanpa ampun.
Aoi menahan tawanya. "Masa sih ma? Padahal aku masih sekolah kok di nikahin," dengan wajah cemberut, Aoi sangat kesal dirinya di nikahkan secepat ini. Ia tidak kebelet nikah.
"Biasa. Ayahmu mau yang terbaik. Jadi dia rela ngelakuin apa aja buat kamu Aoi. Jangan kecewakan ayah ya?" pinta Karin memelas. Amschel tidak pernah salah dalam pilihannya, semuanya sudah di pikirkan matang-matang.
Aoi menghela nafasnya. 'Kalau udah begini, aku bisa apa? Demi ayah bahagia, aku akan menurutinya,' batin Aoi memantapkan pilihannya. Makoto tidak terlalu buruk, tapi sifat cuek minta ampunnya itu loh Aoi tambah gemas.
***
Kelas 12 Ipa 1 sangat heboh jika di pagi hari. Entah bergosip tentang cogan, sarapan dadakan, konser biasa, dan main bareng di game online.
Fumie dan Haruka bermain ABCD lima dasar yang mencari nama buah atau hewan, permainan pada masa kecil.
Seseorang yang melangkah menuju kelas 12 Ipa 1 sudah siap mengajar pelajaran bahasa Jepang. Ya, dia adalah Makoto Anekawa yang akan mengawasi segala aktivitas Aoi di sekolah. Terutama pacarnya itu.
Tepat memasuki kelas, semuanya diam dan mematung melihat kehadiran guru baru yang tampan dan tinggi. Para cewek-cewek langsung kagum dan memujinya.
"Ini guru baru bahasa Jepang? Ganteng banget,"
"Siapa namanya?"
"Kakak belum nikah kan?"
Di tanya seperti itu, Makoto melirik Aoi. Gadis itu tak peduli kehadirannya, terlalu fokus dengan kedua temannya yang masih bermain ABCD lima dasar.
"Semuanya perhatikan ya. Saya adalah Makoto Anekawa, guru baru mata pelajaran bahasa Jepang. Jadi, selama saya mengajar disini, semoga kalian dapat belajar lebih baik dan giat lagi," Makoto memperkenalkan dirinya.
Suara itu, Aoi menatap ke depan. Kenapa harus ada Makoto disini? Tidak adakah tempat lain dan harus bertemu dengannya?
Menyebalkan. Itulah yang di pikiran Aoi. Pasti ada tujuannya, tidak mungkin Makoto mengajar disini tanpa alasan tertentu.
"Oh ya. Saya sudah mengenal salah satu dari kalian. Dia sangat cantik, judes, jutek, dan bikin kangen," Makoto ingin memperkenalkan Aoi juga. Biarkan saja nanti ada gosip seorang guru menyukai muridnya. Dan pacar Aoi pasti akan memilih memutuskan hubungan itu.
Bisik-bisik tak suka juga penasaran saling menyahut.
"Siapa sih?"
"Jadi pacaran sama guru gitu?"
"Kayak gak ada cowok lain aja. Kan disini banyak cogannya. Kenapa harus sama guru?"
"Aoi. Kalian pasti mengenalnya. Saya menyukainya," terang Makoto to the point.
Aoi melotot tak percaya. Apa-apaan ini? Tidak seharusnya Makoto mengatakan itu disini.
Haruka menatap Aoi penuh tanya. "Beruntung banget kamu di sukai pak Makoto. Udah ganteng, tinggi, putih, macho, cool lagi. Jangan kasih ke cewek lain loh. Awas di ambil," Haruka menggoda Aoi. Sahabatnya ini sudah besar rupanya.
Fumie cemberut. "Yah, kenapa harus Aoi? Aku juga cantik. Tapi gak judes,"
Haruka menatap Fumie bosan. "Kamu itu pemberani. Di senggol sedikit saja langsung di pukul,"
Fumie itu cewek tangguh, ia juga ikut kelas kick boxer yang ada di ruangan gym. Sama dengan Aoi.
"Buka buku kalian halaman sepuluh. Baca dan saya akan menjelaskannya," Makoto melangkah menuju meja Aoi. Cewek itu mencari-cari bukunya.
Aoi panik. Semalam ia sudah mengecek semuanya. Apakah tertinggal?
"Gak ada. Masa ketinggalan? Duh, semoga aja gak ketauan," Aoi meletakkan tasnya di laci meja. Saat menatap lurus, sudah ada Makoto yang tersenyum.
'Kenapa sih? Dia waras? Senyum-senyum, mereka bakalan mikir yang tidak-tidak sama aku. Gimana kalau Ryuji tau?' batin Aoi kesal. Meskipun hanya pacar pura-pura, tapi Aoi tidak mau Ryuji marah.
"Kemana bukunya? Lupa ya? Sini," Makoto menarik tangan Aoi.
Keduanya menjadi pusat perhatian. Apalagi Makoto yang memegang tangan Aoi. Semakin penasaran dengan keduanya, hubungan apakah itu?
"Lepasin. Aku bisa jalan sendiri," Aoi menyingkirkan tangan Makoto. "Mau hukum aku kan?"
Makoto menghentikan langkahnya. "Tidak," ia menggeleng.
"Duduk di sebelah saya. Kamu bisa membaca buku punya saya. Sana," Makoto mendorong Aoi pelan. "Selama pelajaran berlangsung, kamu tetap duduk di sebelah saya. Karena tidak membawa bukunya,"
Terpaksa Aoi menurut. Lain kali ia tidak akan teledor dengan bukunya. Sudah kapok duduk dengan Makoto, lebih ia duduk di lantai saja.
Aoi melakukannya. Duduk di lantai tanpa mempedulikan Makoto yang menyuruhnya duduk di kursi. Biarkan saja, duduk bersebelahan seperti pengantin baru. Aoi tidak mau itu.
"Dasar bandel. Duduk di kursi, atau saya gendong?" ancam Makoto, sukanya gendong daripada yang lain. Seperti cium di cerita lain.
"Iya-iya. Bawel banget sih," Aoi duduk di sebelah Makoto. Rasanya kurang nyaman, apalagi di perhatikan teman sekelasnya. Risih.
***
Kalau kalian di posisi Aoi seneng atau kesel?
Sampai jumpa di bab selanjutnya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!