Putusan pengadilan mengabulkan gugatan Anisa untuk bercerai dari seorang pria yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun. Padahal dahulu kala ia bermimpi menikah hanya sekali dalam seumur hidupnya. Tapi kenyataan berkata lain.
Nasib, mungkin itulah yang terjadi. Anisa akan bertahan dengan Fatah, Andai saja pria itu bisa setia. Mungkin bagi Fatah, kata setia begitu singkat namun pada kenyataannya terlalu sulit untuk di lakukan.
Dahulu kala, Anisa memilih Fatah dari sekian banyak pria yang mendekatinya. Fatah adalah sosok penyayang, Pintar, cerdas dan juga pekerja keras. Mereka memulai segalanya dari awal. Fatah bukanlah siapa siapa hingga menjadi sukses seperti sekarang.
Teryata Fatah tidak tahan dengan godaan dunia yang berbentuk wanita. Dia berselingkuh dengan karyawan baru yang masih belia. Dan naasnya, perselingkuhan itu dipergoki sendiri oleh Anisa. Keduanya terciduk sedang bercinta di ruangan kantor Fatah.
*
Awan berarak di langit biru. Matahari masih berada tepat di atas ubun ubun. Siang itu Anisa duduk di sebuah bangku. Matanya memandang lurus ke arah deburan ombak. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu sedang menenangkan diri setelah putusan pengadilan yang dia terima. Akhirnya semua usai dengan begitu cepat. Persidangan demi persidangan berjalan begitu mudah. Fatah menyetujui setiap gugatan Anisa ajukan. Tidak ada sedikitpun keinginan Fatah untuk mempertahankan Anisa.
Anisa menarik nafas dalam kemudian mengeluarkannya dengan kasar. Seolah ingin menghempaskan rasa sesak di dadanya. Masih terbayang wajah Fatah yang tanpa rasa kehilangan melepas dirinya dengan iklas.
Anisa mempertanyakan kemana cinta yang dulu berkobar untuknya. Kemana perginya perasaan belas kasih Fatah yang selama ini dirasakan Anisa. Fatah seperti menjelma jadi pria asing.
Bahkan Fatah dengan mudah menyerahkan hak asuh putrinya semata wayang mereka dengan mudah. Tidakkah Alea berarti untuknya? Mungkin Fatah yang dulu sudah mati hatinya. Tak terasa air mata Anisa meleleh.
Lima tahun kebersamaan mereka terhapus tanpa jejak. Kelebat peristiwa yang begitu menyayat kembali berputar. Waktu itu Anisa sedang dinas ke kota Jogya. Anisa bertugas mengawal muridnya yang akan berlomba di sebuah universitas terkemuka di sana.
Hanya dua malam saja. Begitu sorenya pulang, Anisa ingin membuat kejutan untuk Fatah. Anisa berhias begitu cantik. Dengan dress hitam selutut yang begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih. Ia berniat menjemput Fatah yang sedang lembur di kantornya.
Untuk memudahkan aksinya, Anisa sengaja menggunakan taksi online menuju kantor Fatah. Sampai di kantor Fatah, suasana gedung dua lantai itu sudah lenggang. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Tanpa ragu Anisa terus melangkah menuju ruangan Fatah yang berada di lantai dua. Anisa sangat paham dengan sifat Fatah yang gila kerja.
Tanpa ragu Anisa membuka pintu ruangan Fatah. Ia hampir tidak mempercayai penglihatannya Suaminya sedang bergumul dengan panas. Seorang Wanita yang sudah tidak lagi berbusana berada di bawah kuasa Fatah.
Seketika Anisa menjerit, Amarah dan rasa jijik berguling jadi satu dalam hatinya. Anisa luruh, ia bersimpuh di lantai yang dingin. Fatah terkejut dengan kedatangan Anisa yang tiba tiba. Pria itu menghentikan aktifitasnya dan memunguti pakaiannya yang terserak di lantai. Keduanya tidak berkutik.
Fatah mendekati Anisa. Ia mengulurkan tangannya agar Anisa Bagun dari lantai. Anisa segera menepis tangan Fatah dengan kasar.
"Maaf, NIS" suara Fatah terdengar datar tanpa ekspresi. "Aku khilaf, aku tidak akan menyangkal. Aku sudah lama berhubungan dengan Gina. Mungkin enam bulan terakhir. Aku mencintai dia, Nis" Pengakuan Fatah Semakin menyayat hati Anisa
Anisa mengalihkan pandangannya pada wanita muda yang ada di belakang Fatah. Dia begitu cantik dan menggoda. Dan Fatah mencintai perempuan itu. Penghianatan Fatah tidak hanya menyakiti hati Anisa tapi juga merendahkan harga dirinya.
Ditatap begitu intens oleh Anisa, Wanita yang bernama Gina itu menunduk. Melihat Gina terpojok Fatah meraih jemari kekasih gelapnya. Jemari mereka bertautan erat. Fatah seolah sedang melindungi Gina.
"Kita cerai mas" Ucap Anisa sambil berlari, Siapa yang mampu melihat kemesraan dua penghianat itu
Ia berlari tanpa menoleh lagi. Perasaannya hancur berkeping keping. Anisa berlari sejauh mungkin dari dua orang yang mengkhianatinya.
Sambil terus menahan diri ia keluar gedung. Dan "Brughh" Anisa menubruk sosok tegap yang berdiri persis di depannya. Seorang pria yang sama sama sedang berjalan dengan tergesa.
"Maaf,. maaf saya tidak sengaja" lirih Anisa.
Anisa mendongak memperlihatkan wajah sembabnya. Sesaat keduanya sama sama terdiam hingga. Sebenarnya pria itu tampak kesal, namun melihat wanita di depannya sedang bersedih ia justru menjadi iba.
Anisa hendak melangkah, namun karena tergesa heel sepatu Anisa tergelincir. Dengan Reflek yang bagus, pria di depan Anisa segera merengkuh tubuh mungil Anisa agar tidak terjatuh. Ia bahkan rela beberapa berkas yang ada di genggamannya berhamburan demi menyelamatkan Anisa.
"Hati hati"
"Maaf" Anisa segera membantu memunguti berkas berkas milik pria yang sudah menolongnya.
Anisa memberikan berkas berkas yang berhasil ia pungut. Setelah mengucapkan terima kasih Anisa segera meninggalkan pria itu.
Pria Asing itu hanya bisa menatap punggung Anisa hingga menghilang. Jauh Dalam lubuk hatinya ia merasa kawatir. Tapi wanita itu bukanlah siapa siapanya. Dan ia pun melanjutkan pekerjaannya lagi.
Anisa menyetop taksi dan segera masuk. Setelah menyebutkan alamat yang dituju. Anisa hanya diam sambil kembali terisak. Sepanjang perjalanan, Anisa menumpahkan rasa sedihnya. Tanpa perduli tatapan supir taksi yang terlihat sangat iba.
Sampai di depan rumah, Anisa menyeka air matanya. Anisa ingin menghilangkan jejak kesedihan di wajahnya. Dia tidak ingin sang ibu ikut merasakan kesakitan yang dia rasakan saat ini.
Di rumah mewah ini Anisa tinggal bersama suami, ibu dan putri semata wangnya. Ia menenangkan diri sebelum membuka pintu gerbang. Dia harus kuat, Hati kecilnya melarang berbagi sakit dengan sang ibu.
"Aanisa, sudah pulang, nak. Dimana Ayah Alea?" ujar ibu
" Mas Fatah masih lembur, Bu. Jadi Anisa pulang duluan"
Anisa berlalu dari hadapan ibu sambil menundukkan wajahnya. Ia tidak berani menatap balik wajah sang ibu .
Sukses menghindari ibu. Anisa dihadang oleh putri kecilnya. Alea, bocah itu ingin mendapat pelukan dari sang bunda. Anisa tak kuasa, Ia segera memeluk Putri kecilnya.
"Mana Ayah, bunda?"
"Ayah masih sibuk"
"Lea, mau sama Ayah"
"Nanti, sabar, ya"
Lea mengangguk kemudian mengurai pelukannya. Gadis kecil itu terlihat kecewa. Lalu Alea pun menuju teras depan ingin menanti sang ayah pulang.
Melihat itu, Anisa makin tersayat hatinya. Ia duduk di atas sofa dengan pandangan kabur. Dia tidak sanggup menanggung rasa sakit ini sendirian. Tak terasa, ibu sudah berada di samping Anisa. Hati ibu begitu peka. Beliau tau ada yang tidak baik baik saja pada putrinya.
"Ada apa, Nis. Katakan! Ibu tau ada sesuatu yang kamu sembunyikan" Ibu mengusap kepala Anisa. Anisa pun tidak bisa lagi mengelak. Anisa menceritakan semua yang di alaminya hari ini.
Sedikit terobati oleh usapan lembut tangan sang ibu. Anisa pun meminta maaf. Dia kalah dengan rasa sakit yang Fatah berikan.
Malam harinya, Fatah pulang ke rumah. Pria itu dengan nyaman tidur di sisi Anisa. Dia tidak sedikitpun menampakan perasaan menyesal.
Anisa merasa sangat jijik, kemudian pindah ke kamar putrinya. Semalaman Anisa tidak bisa memejamkan mata. Dengan perasaan yang kacau Anisa terbangun di pagi hari. Ia meminta ijin kepada kepala sekolah untuk istirahat sejenak.
Anisa mengajar di sebuah SMA swasta yang cukup elit. Dia wanita cantik, cerdas, pintar juga sederhana. Hampir sempurna tapi tidak dengan nasib pernikahannya .
Ibu pergi mengantar Alea ke sekolah. Hingga di rumah itu hanya tinggal Anisa dan Fatah. Para pekerja sedang sibuk dengan aktifitasnya masing masing. Fatah menghampiri Anisa.
" Nisa,kamu sudah tau semua. Jika kamu ingin bercerai, aku tidak bisa menolak. silahkan kamu yang mengajukan ke pengadilan. Tapi, jika kamu ingin bertahan. Aku akan mencoba menjadi suami yang Adil" ujar Fatah dengan datar
Anisa menatap Fatah sengit. Tentu saja ia tidak lagi bisa bersama dengan pria itu. Bagaimana ia bisa hidup dengan bayang bayang wanita lain. Bahkan perasaannya untuk Fatah pun sudah tak bersisa. Sejak peristiwa kemarin.
"Kita, cerai"
"Terserah kamu, Nisa. Aku akan datang jika pengadilan memanggilku"
"Kamu bahkan begitu tenang, kamu puas, mas?"
" Maaf " singkat Fatah
" Bisa kamu katakan salahku ?" sambil berderai air mata, Anisa menuntut penjelasan.
Fatah hanya bisa memalingkan wajahnya . Dia tidak sanggup berkata. Diamnya Fatah seperti sebuah misteri. Yang membuat perasaan benci semakin mengakar di hati Anisa.
Fatah berlalu dari hadapan Anisa. Anisa semakin terpuruk saat menatap cermin. Wajah dan penampilannya sangat kacau pagi ini. Matanya sembab, hidung kemerahan juga rambutnya yang berantakan.
Di khianati oleh orang yang sangat ia cintai. Membuat Anisa seperti kehilangan rasa percaya diri. Harga dirinya pun terluka, Semua ini melemahkan Anisa yang selalu ceria.
**
Dan pengadilan Agama sudah mengabulkannya gugatannya. Anisa makin merasa kecewa. Dia masih terguncang dengan jalan yang dia pilih sendiri. Berpisah...
Tentu tak ada satupun yang siap dengan situasi yang menyedihkan ini. Anisa berdiri setelah dirasa cukup untuk meratapi nasib dirinya sendiri. Jiwanya kembali dapat ia kendalikan.
Anisa masuk kedalam mobil Honda jazz warna merah. Mobil mungil itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri selama mengajar. Fatah memang selalu memanjakannya dengan materi setelah sukses. Namun Anisa bukanlah orang yang terlalu mengumbar materi. Dia sederhana dan mobil ini sangat cocok untuknya. Perlahan mobil itu melaju meninggalkan pantai yang tak henti menghempaskan ombaknya.
Sudah sedikit larut malam ketika Anisa sampai di rumah. Mulai saat ini, ia harus menyusun langkah selanjutnya. Meninggalkan istana yang penuh kenangan bersama Fatah. Berlahan ia akan menghapus seluruh jejak Fatah di hatinya.
Ia akan memboyong ibu dan putri cantiknya ke sebuah rumah yang lebih sederhana. Anisa mendapat tawaran rumah di lokasi strategis. Meski sederhana yang penting bisa menaungi keluarga kecilnya.
Suara dering telepon dari pak Yakub orang yang menunjukan rumah untuknya.
" Assalamu'alaikum Bu Anisa "
" Wangalaikumsalam , pak "
"Besok ibu sudah bisa pindah, bu. Rumah yang ibu beli sudah kami rapihkan "
" Alhamdulilah, terima kasih pak "
" Sama sama bu, Apa ibu butuh kendaraan untuk untuk mengangkut barang "
" Sepertinya tidak, pak. Kami hanya akan membawa baju baju saja "
Anisa tak akan membawa apapun dari rumah ini kecuali mobil merah kesayangannya dan juga baju secukupnya
Dia akan memulai segalanya agar terlepas dari bayangan Fatah.
**
Rumah itu sederhana, mempunyai dua kamar, satu ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga kemudian satu kamar mandi dan dapur yang lumayan luas. Lokasi rumah ini cukup terpencil dari rumah rumah lainya . Hanya ada rumah Anisa dan satu rumah yang sangat besar di sampingnya. Kedua rumah itu hanya di batasi oleh pohon jambu biji saja. Padahal biasanya rumah mewah seperti di samping rumah Anisa berpagar tembok yang menjulang.
Anisa bersyukur mendapat rumah ini, selain strategis. Harganya terjangkau dan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat ia mengajar dan juga TK tempat sekolah Alea.
Ya dalam kemalangan ini, ia masih beruntung. Anisa menghabiskan seluruh tabungannya untuk membeli rumah ini. Dia hanya akan mengandalkan gajinya sebagai guru untuk membiayai kehidupan keluarganya. Anisa tidak mau menerima apapun dari Fatah. Entah bodoh atau sembrono. Kesakitan dan rasa muaklah yang membuat Anisa memutuskan semua itu.
Hari ini Anisa disibukan dengan menata rumah barunya. Sengaja Anisa memesan seluruh perabotan untuk rumah barunya. Dia tidak ingin menggunakan barang barang dari rumah lama. Kenangan bersama Fatah terlalu menyakitkan untuk di ingat. Anisa sudah bertekad untuk memulai lembaran hidup barunya.
Anisa memberi pengarahan pada beberapa kurir yang mengantar perabot pesanannya. Dari tempat tidur hingga barang barang dapur. Ia tersenyum puas saat semuanya sudah tertata rapi.
Di teras depan Anisa juga menata beberapa pot bunga hidup untuk membuat suasana rumahnya lebih cantik dan asri. Perasaannya begitu lepas saat menatap masa depan yang akan ia lalui. Tidak terlalu buruk, menjanda saat usianya masih muda dengan bonus Putri kecil yang begitu menggemaskan. Tentang Alea, sedari tadi putrinya asih bermain di dalam rumah berasa ibu.
Anisa mendengar langkah kecil yang menghampirinya. Dia menoleh, Alea dengan wajah manja menghampirinya.
"Bunda, Lea ngantuk"
"Mau bobok?" Anisa merangkul tubuh mungil Lea lalu menggendongnya.
Mereka masuk ke dalam rumah. Saat melihat ke arah jam dinding, Anisa terkejut. Dia terlalu asik menata rumah sampai lupa waktu.
Anisa merebahkan tubuhnya di samping Alea, tangannya mengusap usap pucuk kepala Alea.
"Lea suka kamar baru kita?" Tanya Anisa pada putrinya. Lea kembali membuka mata kemudian mengangguk
"Suka, tapi kapan ayah pulang?" Bocah kecil itu sudah mulai merindukan sang Ayah rupanya.
Anisa terdiam dengan pertanyaan Alea. Dia harus menjawab apa. Dengan terpaksa Anisa harus berbohong.
"Ayah sedang keluar kota, Lea. Mungkin masih lama. Apa Lea mau telepon, Ayah ?"
"Lea ngantuk, nanti saja" mata Lea kembali terkatup. Rasa kantuk sudah menguasai bocah itu. Ada rasa lega saat Alea berhenti bertanya tentang ayahnya.
Tidak butuh waktu yang lama, Alea sudah terlelap dengan damai. Wajahnya yang putih bersih semakin terlihat cantik. Lea memiliki sebagian besar wajah Anisa. Hanya bagian matanya yang sangat mirip dengan Fatah. Sebelum meninggalkan Alea yang sudah terlelap, Anisa mengecup kening putrinya penuh kasih.
"Maafkan bunda ya, Lea. Bunda tidak bisa memberimu keluarga utuh. Bunda tidak punya pilihan lain. Bunda harap, suatu saat kamu bisa mengerti, Lea. Semoga kamu bisa bahagia meski hanya bersama bunda" Bisik hati Anisa sambil menatap sendu.
Anisa menuju dapur membantu ibu yang sedang menyiapkan makan siang.
"Bu, biar Nisa saja yang meneruskan masaknya"
"Tidak usah, Nis. Ini sudah matang semua. Kamu siapkan saja di meja makan. Ibu mau solat dulu"
"Iya, Bu"
Anisa membawa beberapa lauk yang sudah matang dan menyajikannya di meja makan. Perutnya mulai terasa lapar setelah mencium aroma masakan yang dibuat oleh ibu.
Memasak adalah keahlian ibu yang belum bisa Anisa tandingi. Apapun yang diolah oleh ibu pasti akan terasa lezat. Tidak kalah dengan chef handal di restoran bintang. Sedari muda, memang ibu sangat senang berada di dapur. Sedangkan Anisa hanya sesekali memasak, itupun jika ada waktu luang.
Selesai solat, ibu menghampiri Nisa di meja makan. Keduanya makan siang bersama tanpa menunggu Alea bangun. Tadi sebelum mengantuk, ibu sudah membuatkan menu simpel kesukaan Alea. Udang goreng tepung.
"Bu, Senin besok Nisa harus berangkat pagi sekali. Jadi Nisa tidak bisa mengantar ibu dan Lea ke sekolah" ucap Anisa membuka obrolannya sembari makan siang.
"Apa ada angkutan umum yang lewat sini, Nis?"
"Ibu tenang saja, Nisa sudah minta pak ojak untuk mengantar jemput ibu dan Lea"
"Ya sudah kalau begitu"
"Maaf ya Bu, Nisa selalu merepotkan ibu" ada rasa tidak nyaman selalu membuat ibu kerepotan seperti ini. Anisa sadar, Alea adalah tanggung jawabnya. Tapi mau bagaimana lagi. Ia hanya memiliki ibu saat ini.
"Sudah, Nis. Ibu tidak merasa direpotkan. Ibu cuma punya kamu dan Lea. Kita harus saling menguatkan. Ibu yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Iklas, kita jalani saja"
Wejangan dari ibu lah yang selalu memberi Anisa kekuatan. Selesai makan, Anisa segera membawa piring piring yang kotor ke dapur dan mencucinya.
Anisa dan ibu keluar dari rumah. Mereka memeriksa halaman yang cukup luas. Sayangnya banyak tanaman yang sudah tidak terawat di sana. Dengan dibantu ibu, Anisa mulai menyikirkan tanaman tanaman yang sudah mati,
Ketika sedang asik membereskan taman depan rumahnya. Anisa melihat ke arah pohon jambu biji yang membatasi rumahnya dan juga rumah besar di sampingnya. Ada sesuatu yang bergerak di balik dedaunan itu. Anisa menajamkan penglihatannya. Seperti ada seseorang yang sedang bersembunyi di sana.
"Hai, kamu siapa? ayo turun, bahaya di situ. Kamu bisa jatuh" Anisa melihat anak kecil sedang berada di dahan pohon jambu biji.
Anak kecil itu hanya tersenyum sambil menjulurkan lidahnya, seolah sedang mengejek Anisa. Dengan santainya bocah itu duduk sambil mengayunkan kaki.
Anisa tersenyum melihat kebandelan anak itu. Sebagai seorang guru, ia sangat paham dengan karakter karakter anak. Bocah kecil
Yang ada di atas pohon itu, tipe pencari perhatian. Ia akan semakin bertingkah untuk memancing perhatian dari orang lain.
"Ayo turun, Tante bantu" Anisa membujuk penuh kelembutan. Ia mengulurkan tangannya. Anak yang berada di atas pohon itu menatap Anisa. Sepertinya bocah itu mulai terpengaruh dengan sikap keibuan Anisa.
" Tante gendong, mau?" Kembali Anisa membujuk.
Anak kecil itu diam dan menutup mulutnya dengan satu jari. Memberi tanda agar Anisa jangan berisik. Mimik wajah anak itu seolah sedang menimbang nimbang antara mau turun atau tetap di atas pohon.
"Baiklah kalau tidak mau turun, Tante pergi" Anisa mulai mengancam.
" Bundaaa ....." Teriakan Alea dari dalam rumah.
Rupanya Alea sudah terbangun dari tidur siangnya. Alea kemudian menghambur pada sang bunda dan disambut Anisa dengan pelukan hangat. Anisa mengusap lembut wajah Alea yang masih kuyu.
" Sudah bangun?" Tanya Anisa pada putrinya. Alea hanya mengangguk sambil membenamkan wajahnya di dada Anisa dengan manja.
Dari Atas pohon bocah itu memperhatikan interaksi Anisa dan Alea. Terbesit rasa ingin di benak hati bocah itu. Terbukti ia terus memperhatikan Alea yang bermanja manja dengan Anisa.
"Tante, aku mau turun " Teriak anak yang ada di atas pohon
Anisa tersadar ada anak yang masih di atas pohon. Anisa menurunkan Alea dari gendongannya. Kemudian ibu mendekati Alea yang terpaksa turun dari gendongan Anisa karena harus menolong anak yang ada di atas pohon
"Ayo turun, Tante gendong'' Anisa mengulurkan tangannya. Dengan lincah anak itu melompat dan sudah berada di dalam gendongan Anisa.
Anisa terkekeh, bocah itu langsung menempel dan tidak mau turun, bahkan ia mengikuti tingkah Lea dengan menyembunyikan wajahnya di dada Anisa.
"Nama kamu siapa?"
"Ara, Tante" Anisa memperhatikan wajah bocah itu. Rambutnya dipotong pendek persis anak laki laki. Dia juga mengenakan setelan kaos dengan gambar kapten Amerika. Tapi wajahnya terlihat cantik dengan bulu mata yang lentik tapi penampilannya persis anak laki laki.
"Nama kamu Ara? Cantik seperti orangnya" puji Anisa."Sekarang turun dulu, ya" Anisa mengurai pelukannya agar anak itu mau turun.
"Aku mau digendong" Ara mengaitkan kakinya ke pinggang Anisa dan mengeratkan pelukannya. Rupanya Anisa harus lebih bersabar pada bocah kecil ini.
Melihat Anisa menggendong Ara, Alea tampak tidak suka. Wajah Alea tampak cemberut karena merasa bundanya direbut .
"Turun dulu! kenalan sama anak Tante" bujuk Anisa lagi.
Akhirnya setelah dibujuk beberapa kali, Ara menurut dan turun dari gendongan Anisa. Ia menatap Alea yang cemberut, Kemudian keduanya berkenalan, Ara mendekati Lea dan berdiri sejajar. Tiba tiba Ara menarik rambut Alea yang diikat jadi satu. Beruntung pelan tidak sampai membuat Lea menangis.
"Aku juga mau rambutnya panjang " ucap Ara. Teryata Ara tertarik memiliki rambut panjang. Anisa kembali heran. Mungkin orang tuanya memaksa gadis itu berambut pendek. Itu dugaan pertama Anisa saja.
Alea dan Ara dalam waktu singkat langsung menjadi akrab. Keduanya saling bercerita meski keduanya tampak saling berbeda karakter. Alea yang lemah lembut sedang Ara terlihat lebih dominan.
Saat sedang asik mengobrol, muncul wanita setengah baya dengan wajah panik menghampiri Ara.
"Ya ampun non Ara, bibik cariin teryata ada disini" Ucap bibik sambil mendekati Ara. Kemudian wanita itu menoleh pada Anisa dan ibu. "Eh ada tetangga baru ? Kenalkan neng, saya bik Siti pembantu rumah sebelah. Saya yang bertugas mengasuh non Ara" bik Siti mengulurkan tangannya dengan sopan.
"Saya Anisa, ini ibu saya dan itu Alea putri saya, bik. Kami baru pindah hari ini. Senang, teryata kita tetanggaan. Lea langsung punya teman" balas Anisa tidak kalah ramah pada bik Siti.
"Sudah punya anak, neng? saya kira masih kuliahan dan itu adek nya" tutur bik Siti polos. Mendengar pujian bik Siti, Anisa langsung tertawa lucu. Memang Anisa tampak semuda itu?
"Bik Siti, bisa aja. Saya sudah tua bik, dua puluh tujuh. Saya juga sudah bekerja. Saya mengajar di SMA Garuda"
"Bu gurunya muda dan cantik. Pasti muridnya pada betah. Alhamdulilah, semoga betah di sini, dan non Ara jadi punya teman sebaya. Kasian dia, neng"
"Mudah mudahan, bik. Ara umurnya berapa, bik? sepertinya sebaya dengan Alea"
"Lima tahun neng"
"Selisih satu tahun dengan Alea, Alea baru empat tahun" ucap Anisa.
Tidak terasa waktu merambat menjelang sore. Bik Siti membujuk Ara agar mau pulang. Tetapi Ara masih menolak. Gadis kecil itu malah asik bermain dengan Lea.
Anisa mengajak Alea mandi karena hari memang sudah sore.
"Lea mandi dulu, ya. Sudah sore" Lea yang memang dasarnya penurut langsung menghentikan acara bermainnya. Ia mengikuti Anisa dan Ara di tinggalkan begitu saja.
Ara pun tanpa malu malu mengikuti Alea dan Anisa masuk ke dalam rumah. Lea menggandeng tangan Anisa sebelah kiri dan Ara mengikuti menggandeng lengan Anisa yang sebelah kanan. Anisa merasa heran dengan tingkah Ara. Anak ini seolah ingin selalu meniru apa yang dilakukan Lea.
"Sebentar lagi papi pulang, non" Bik Siti mengikuti majikan kecilnya. Dia pun merasa tidak enak hati pada Anisa.
Mendengar kata papi membuat Ara menghentikan langkahnya. Ara menarik tangan Anisa.
"Tante aku mau ikut mandi" bocah itu merengek. Tatapannya penuh permohonan. Anisa merasa tidak tega. Ia harus memberi pengertian pada Ara yang kelihatannya haus akan kasih sayang.
"Dengar, Ara. Ara harus nurut sama bik Siti, ya. Besok siang, Ara bisa main lagi di sini dengan Lea dan nenek" mendengar ucapan Anisa, mata Ara berkaca kaca. Sepertinya ia tidak rela pergi dari rumah ini.
"Iya, non. Besok kita main ke sini lagi. Papi non Ara sebentar lagi pulang. Kalo papi marah, bagaimana?"
Mendengar ucapan bik Siti, Ara menghentakkan kakinya kemudian memeluk bik Siti. Bik Siti segera berpamitan pada Anisa juga ibu. Ara pulang ke rumah sebelah dengan bik Siti. Anak itu melambaikan tangannya pada Alea dan Anisa.
Anisa segera mengajak Lea mandi. Jadwalnya sudah menanti. Setiap sore Anisa akan mengantarkan putrinya mengaji di TPA yang tidak terlalu jauh dari komplek rumahnya yang sekarang.
Sebelum pindah ke tempat ini. Anisa sudah memperhitungkan semua. Dia menyadari harus bisa menangani segala sesuatunya sendiri. Resiko sebagai single parent.
"Bun, besok Lea mau ajak Ara main lagi boleh?" Tanya Ara saat sudah selesai memakai baju gamisnya.
"Boleh, dong"
"Lea mau main boneka"
"Tentu asal jangan lupa bobok siang ya, Lea kan harus pergi mengaji kalau sore"
Lea mengangguk, mengerti ucapan ibunya. Selain bermain ia punya jadwal mengaji. Lea sudah terbiasa seperti itu sejak dulu.
**
Ara berlari kecil menyambut seorang pria berbadan tegap dan penuh kharisma. Senyum Ara mengembang kemudian menghambur pada pelukan sang Ayah. Pria itu bernama Raditya .
" Papi ...." Panggil Ara sambil mengeratkan pelukannya.
"Ara sudah mandi?' tanya Radit pada putrinya. Ara mengangguk " Pantas cantik dan wangi" Radit terkekeh sembari mencium aroma wangi dari tubuh mungil yang slalu ia rindukan.
"Pi, Ara punya teman baru" Ara berceloteh sambil menggandeng tangan kokoh sang ayah.
" Oh, ya? Siapa teman baru putri papi ?" Radit menanggapi celotehan putri kecilnya .
"Alea Pi, rumahnya di sebelah" kata Ara sambil menunjuk rumah sebelah
"Hmm" Radit hanya bergumam tanda mengerti.
Keduanya berjalan masuk kedalam rumah. Radit meletakkan tas di atas meja kerjanya.
Sedang Ara terus mengekor, mengikuti Radit yang masuk ke kamarnya. Radit yang merasa lelah merebahkan dirinya di ranjang. Ara pun mengikutinya. Gadis kecil itu berbaring di samping sang Ayah. keduanya berjajar memandang langit langit kamar
" Pi, apa mami akan pulang? "
Radit terkejut dengan pertanyaan Ara. Sudah lama Ara tidak mempertanyakan keberadaan mami nya.
"Kenapa Ara bertanya tentang mami? Mami Ara sudah di surga, sayang "
"Ara ingin di gendong mami. Seperti tadi, Ara digendong bundanya Alea. Ara suka, Pi" Radit memejamkan matanya. Ada rasa perih yang menelusup. Ia mengusap kepala putrinya dengan tatapan penuh kasih.
"Papi yang akan menggendong Ara. Mami kamu sudah bahagia di surga. Dia tidak bisa pulang lagi. Kalau Ara mau di gendong, ayok papi gendong sekarang" Tangan Radit segera menjulur kemudian Ara digendong. Wajah Ara seperti menampakkan rasa kecewa. Dia sudah terbiasa di gendong papi. Yang diinginkan Ara adalah sosok wanita yang tadi ia temui. Ia merasakan kelembutan yang tidak pernah di dapat dari sosok papi.
"Ara suka di gendong papi?"
"Hmm"
"Papi akan gendong Ara, kapan saja Ara mau" Hibur Radit pada putrinya. Meski itu sepertinya hanya bualan saja. Ia selalu sibuk dengan urusan kantor yang tidak ada habisnya.
Meski kecewa, Ara tetap menikmati gendongan papi yang nyaman. Ia bermanja manja sesaat. Waktu seperti ini sangatlah jarang. Biasanya ia akan seharian penuh bersama bik Siti dan pembantu yang lain.
"Ara, Papi mandi dulu ya. Setelah itu kita makan malam bersama" Radit meminta ijin pada putri kecilnya dan hanya dijawab dengan anggukan.
Radit bergegas ke kamar mandi. Dengan perasaan yang bercampur aduk. Radit menyadari, Ara membutuhkan sosok ibu. Tapi belum ada wanita yang menurutnya layak untuk menjadi ibu sambung Ara.
Selesai mengenakan baju, Radit bergegas menuju meja makan. Di sana putrinya sudah menunggu untuk makan malam bersamanya. Ara tidak banyak lagi berceloteh saat makan malam. Ia terlihat begitu menikmati hidangan yang tersaji. Diam diam Radit memperhatikan Ara yang semakin besar. Wajahnya semakin menampakan kemiripan dengan dirinya. Radit tersenyum bahagia.
Ibu menatap takjub dengan tampilan baru putri tercintanya. Penampilan Anisa berubah total. Tubuhnya berbalut baju panjang yang dihiasi kerudung dengan warna senada. Dia terlihat semakin cantik dan teduh.
Anisa mengerti tatapan ibunya "Mulai di hari yang baik ini, aku ingin menjaga diriku dengan hijab, bu. Sudah saatnya aku memperbaiki diri" Anisa tersenyum lembut.
"Alhamdulilah, Nis. Ibu turut senang. Semoga kita Istikomah dalam kebaikan, nak" ujar ibu antusias.
"Bismillah ya, Bu. Terima kasih untuk setiap doa yang ibu lantunkan untuk kebaikanku"
"Ibu selalu bangga memilikimu, Nis. Semoga bahagia akan kembali menaungi mu" mata ibu berkaca kaca. Kemudian memeluk putri semata wayangnya. Anisa adalah putri yang selalu membuatnya tenang dan bangga selama ini. Mungkin ini jalan yang harus di lalui putrinya menuju kebahagian yang hakiki. Ibu selalu berbaik sangka pada sang pencipta semesta.
"Terima kasih untuk semuanya, Bu. Nisa harus segera berangkat" Anisa mengurai pelukannya.
"Iya, hati hati di jalan" ibu mengantar Anisa sampai teras.
Anisa tersenyum lega seraya meraih tangan ibu yang selalu ada untuknya, kemudian menciunya. Anisa melambai kemudian masuk kedalam mobil merah yang terparkir depan rumah.
Mobil kecil merah, melesat tenang di jalanan aspal menuju sebuah sekolah SMA swasta elit di Jakarta, SMA Garuda. Di sanalah Anisa mengajar. Anisa menjadi salah satu staf pengajar yang cukup kompeten.
Anisa memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Kemudian berjalan dengan percaya diri menuju ruangan guru. Kebetulan ia ada jam pelajaran pertama di kelas IPA dua. Beruntungnya dia bisa sampai dengan tepat waktu. Bahkan dia masih punya sisa lima menitan untuk sekedar menyiapkan diri.
Sampai di ruangan guru, Anisa meletakan tas di atas mejanya. Menyiapkan buku yang akan dibawa kedalam kelas nanti. Beberapa staf pengajar yang sudah datang menyapa Anisa yang berpenampilan baru. Mereka memuji dan memberi Anisa semangat.
"Pagi Nisa, Tampilan baru nih" Nania sahabat terdekat Anisa. Ia menggoda Nisa yang tampil beda hari ini. Anisa hanya tersipu.
"Iya, Na. Minta doanya, ya. Semoga aku bisa Istikomah"
"Pasti, Nis. Aku dukung seratus persen" Nania menepuk pelan bahu Anisa. Memberi semangat.
"Thanks, Na" keduanya tertawa ceria.
Nania dan Anisa memang begitu dekat. Kepada Nania lah Anisa bisa lebih terbuka tentang keadaan rumah tangganya. Nania dengan senang hati mendengarkan keluhan Anisa. Meski kadang Nania sering melakukan hal konyol yang membuat Anisa kesal.
Bel berbunyi tanda kelas akan segera di mulai. Mereka menuju kelas masing masing untuk mengajar. Sebelum berpisah, Nania masih menyempatkan diri memberi kode jempol pada Anisa. Anisa hanya menggelengkan kepalanya menanggapi Nania.
Anisa melangkah masuk kedalam kelas. Sejenak muridnya terdiam, kemudian mereka saling bersahutan mengomentari penampilan baru Anisa. Anisa hanya tersenyum santai mendengar komentar murid muridnya. Menghadapi anak seusia mereka janganlah terlalu kaku. Kadang celotehan mereka bisa menjadi hiburan tersendiri.
**
Tepat jam dua, Anisa sudah sampai di rumahnya. Ia di sambut oleh putri kecilnya yang baru saja bangun dari tidur siangnya.
"Bunda sudah pulang" mata indah itu mengerjap lucu. Rambut Alea masih berantakan.
"Iya" ujar Anisa sembari meletakkan tas di atas tempat tidur.
"Sini, bunda sisirin dulu rambutnya" Anisa sudah memegang sisir dan ikatan rambut untuk Alea. Alea mendekat sambil menguap ia membiarkan Anisa merapihkan rambutnya yang panjang.
"Lea mau dikepang dua" ucap Lea saat Anisa hendak menguncir rambutnya jadi satu.
"Oh, oke" Anisa lantas membagi dua bagian rambut Alea untuk dikepang sesuai permintaan.
"Lea selalu cantik, anak siapa sih, ini" puji Anisa saat menyelesaikan kepangan rambut Alea. Dia mulai gemas dengan putrinya. Ia berkali kali mencium pipi Alea. Alea hanya tertawa tawa senang dengan pujian sang ibu.
Saat sedang asik bercengkrama. Ara datang dengan bik Siti. Ara memakai stelan baju celana warna hijau bergambar Ultraman. Selera berpakaian yang aneh. Sayang sekali, Anak secantik itu di dandani seperti lelaki.
Anisa tersenyum lepas melihat Ara. ingin rasanya menyisir dan mendandani Ara sesuai dengan gendernya. Paling tidak pakaiannya bermotif feminim.
"Ara sudah datang?" Tanya Anisa sambil meletakkan sisir yang baru saja ia gunakan.
Ara hanya menatap Anisa yang sedang bertanya padanya. Raut mukanya seperti sendu. Tangan kecil Ara meraih tangan Anisa kemudian menggelayut manja. Anisa membiarkan saja tingkah Ara yang seperti itu.
"Sudah Tante"
" Lea, ada Ara. Katanya mau main boneka" Anisa menoleh pada putrinya. Kemudian Alea mengangguk.
Alea mengajak Ara bermain di ruang tengah. Di sana koleksi boneka bonekanya berada. Ara belum melepaskan tangan Anisa. Sepertinya, sangat menyenangkan menggandeng tangan Anisa bagi Ara. Anisa mengikuti Alea dan Ara masuk ke ruang tengah.
Anisa di bantu bik Siti mengeluarkan koleksi boneka Alea dari tempat penyimpanannya. Ara sudah mulai antusias dengan boneka boneka milik Lea.
"Sekarang, Lea dan Ara boleh main boneka di sini. Bunda akan ke kamar dulu" ucap Anisa. Kedua bocah itu mengangguk. Sebelum pergi Anisa mengecup kening putrinya. Ia hendak kembali ke kamar untuk istirahat sejenak.
Ara mendekati Anisa. Dia menyodorkan keningnya juga. Dengan spontan Anisa pun memberi hadiah kecupan sayang di kening Ara. Ara terlihat sangat senang dengan perlakuan Anisa padanya. Mata beningnya mengerjap di barengi senyum yang mengembang. Tanpa diduga Ara memeluk Anisa erat.
Anisa masih terkejut dengan tindakan Ara yang tiba tiba memeluk dirinya. Ada rasa iba di hati Anisa.
"Ara dan Lea tidak boleh rebutan, ya. Selamat bersenang senang"
Lea mengangguk dan mengajak Ara bermain boneka. Mereka membagi boneka boneka yang ada menjadi dua bagian, untuk Ara dan untuk Lea. Kemudian keduanya mulai larut memainkannya bersama.
Bik Siti sedang mengobrol dengan bu Ratna di teras depan. Sedang Anisa kembali ke kamar untuk beristirahat sejenak. Menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku setelah seharian beraktifitas. Kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Semuanya berjalan sempurna dan tenang. Anisa sudah mulai terlelap.
Tiba tiba terdengar suara jeritan dari ruang tengah. Suara ibu dan juga bik siti. Anisa mengerjapkan matanya. Dengan wajah yang masih kuyu ia segera menuju ke arah ruang tengah. Di sana sudah ada bik Siti ,ibu juga Ara dan Lea .
Anisa sangat terkejut ketika melihat keadaan Ara. Kulit tubuhnya terlihat merah merah seperti ruam.
"Ada apa ini? Kenapa kulit Ara merah semua?"Anisa mulai cemas.
"Ara makan udang sama non Lea tadi, neng" bik Siti tidak kalah panik. Wanita itu lebih kebingungan.
"Apa Ara alergi udang?"
" Iya neng "
"Ya ampun, bik. Kenapa tidak bilang dari tadi. Kita harus cepat membawa Ara ke rumah sakit. Saya takut terjadi apa apa"
Anisa bergegas masuk kedalam kamar mengambil tas dan juga kunci mobil. Bik Siti sudah menggendong Ara yang tampak lemah. Mungkin ia sedang menahan rasa ruam juga nafasnya yang mulai sesak.
"Bu, titip Lea. Saya bawa Ara dulu ke rumah sakit"
"Iya, hati hati, Nis. Kalau sudah sampai cepat kabari ibu.
Anisa melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Ara harus secepatnya mendapat pertolongan. Jangan sampai terjadi sesuatu pada Ara. Bisa kacau semuanya. Andai saja ia tidak lelah tadi. Tentunya ia bisa menemani putrinya dan kejadian ini tidak perlu terjadi.
Sampai di rumah sakit, Ara langsung masuk ruangan unit gawat darurat. Beberapa tenaga medis segera memberi pertolongan pada Ara. Anisa dan bik Siti hanya bisa berdoa dari luar ruangan. Berharap Ara tidak mengalami hal yang lebih buruk lagi.
"Bik, cepat telepon Ibunya Ara" Anisa baru ingat ada orang yang paling berhak tau tentang keadaan Ara.
"Bibi tidak bawa telepon, neng "
"Ya sudah, nomornya ingat tidak?"
"Kalo nomor Papinya bibi tidak hapal, hanya hafal no rumah saja"
"Ya sudah, tidak apa apa. Paling tidak keluarganya harus tau, bik "
Kemudian bik Siti menyebutkan nomor rumah. Anisa segera melakukan panggilan. Untuk memberi tahu keadaan Ara pada orang yang ada di rumah sebelah itu.
Bik Siti dan Anisa semakin gelisah. Dari UGD belum ada kabar juga. Perasaan kawatir, takut mendera jadi satu. Ia harus ikut bertanggung jawab dengan keadaan Ara sekarang. Tidak lama petugas medis memanggil Anisa dan bik Siti. Keduanya bisa bernafas lega.
Setelah mendapat infus dan suntikan, Ara bisa di tempatkan di ruang perawatan. Untunglah keadaan Ara sudah tertangani hanya menunggu waktu saja, semoga semuanya semakin membaik
" Neng, saya takut sekali pada Papinya non Ara. Dia pasti marah. Bibik sudah teledor saat menjaga non Ara''
"Bukan cuma bibik, saya juga takut. Yang kasih udang itu Lea anak saya. Kejadiannya juga di rumah saya, bik. Jadi ..., Sudahlah, bik"
Kondisi Ara semakin membaik, setelah mendapat tindakan. Anisa duduk di sisi tempat tidur Ara. Ia menggenggam tangan kecil milik Ara. Sambil terus berdoa.
Ara membuka matanya, ia tersenyum saat melihat Anisa yang masih setia menunggunya.
"Maafkan Tante ya, Ara" Anisa mengusap kepala Ara penuh kasih. Ara hanya mengangguk. Anisa mengecup kening Ara yang masih kemerahan. Ara tampak sangat menikmati saat saat bersama Anisa.
***
Di kantor, Raditya baru saja selesai meeting dengan jajarannya. Badannya sudah terlihat letih karena urusan yang menguras tenaga, dan pikirannya. Bahkan ia belum sempat menyentuh makan siangnya meskipun sudah tersedia.
Ponselnya berdering kemudian ia duduk dan mengangkatnya. Dilihatnya nomor rumah. Apakah Ara sedang rewel? Radit sedang tidak memiliki energi untuk meladeni putri kecilnya.
"Ya halo"
"Den Radit, non Ara masuk rumah sakit. Non Ara tidak sengaja makan udang di rumah temannya"
"'Apa?" Seketika rahang Radit langsung mengetat. Pria itu benar benar menahan amarahnya.
"Maaf Den, kami teledor"
Radit menggeram menahan emosi . Bisa bisanya Ara memakan udang. Padahal seisi rumah tau putrinya alergi dengan udang. Dan apa lagi ini, putrinya makan udang di rumah tetangga ? tangannya mengepal erat .
Radit menatap Arman asistennya yang sedari tadi berdiri di sampingnya .
"Aku pergi, Ara masuk rumah sakit , kamu tangani urusanku di sini"
Tanpa menunggu jawaban Arman, Radit sudah melenggang pergi dengan langkah tergesa
Seperti orang kesetanan, Radit segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Arman hanya bisa menggelengkan kepala . Dia harus menangani urusan Radit di kantor. Dia sudah hapal betul, jika bukan hal yang gawat, Radit tidak akan pergi dari kantor begitu saja.
Radit masuk ke ruang perawatan Ara dengan amarah yang membara. Putri tercintanya tergolek tak berdaya dengan ruam kemerahan di sekujur tubuh dan selang infus.
"Bik Siti, Siapa yang meyuruh bik Siti membawa Ara keluar?. Apa lagi sampai makan di tempat tetangga. Kita tidak tau mereka itu menjaga kebersihan atau tidak. Dan satu lagi, kenapa Ara di rawat di ruangan ini ? apa bik Siti tidak bisa bilang untuk menempatkan Ara minimal ruang VIP" Bik Siti hanya menunduk sambil terus meminta maaf.
Anisa mendengar semua ocehan Radit dengan hati yang nyeri. Tadinya ia ingin menyapa pria itu dengan baik baik dan meminta maaf. Dia tidak tau kalau Ara memiliki riwayat Alergi. Tapi ucapan pria itu sudah melukai hati dan harga dirinya. Sungguh Arogan dan bermulut pedas.
Anisa masuk dan menemui papi Ara yang masih duduk sambil memeriksa tubuh Ara.
"Maaf pak tetangga. Untuk keteledoran saya. Saya tidak tau kalau putri anda alergi udang" Anisa berdiri tepat di belakang Radit sambil menahan emosi.
Radit menoleh pada arah suara Anisa. Sejenak pria itu tertegun menatap Anisa. Wanita itu tampak sangat tersinggung oleh ucapannya.
"Kami memang miskin tidak sekaya anda, tapi kami menjaga kebersihan untuk setiap makanan yang kami konsumsi" Anisa menatap sengit pria di depannya.
Radit masih terdiam, ia ingat sekali dengan wajah itu. Perempuan yang menangis di area gedung perkantoran yang menabraknya beberapa bulan yang lalu.
Radit sangat terkesan dengan wajah ini hingga tercetak di memori otaknya dengan jelas. Wajah sembab yang kemarin membuat dirinya kawatir. Sekarang terlihat begitu garang dan sedang menyindir dirinya. "Jadi dia tetangga baru sebelah rumah" bisik hati Radit.
Kemudian Radit tidak berkata apapun, pria itu pergi begitu saja dari hadapan Anisa. Radit menuju ruang administrasi untuk memindahkan ruang perawatan Ara agar lebih nyaman.
Sedang Anisa semakin kesal merasa tidak dianggap keberadaannya oleh Radit. Ingin rasanya mencakar muka pria menyebalkan itu.
Anisa menoleh, saat Ara memanggilnya. Wajahnya kembali berubah manis saat berhadapan dengan gadis kecil itu.
"Bunda" Ara memanggil Anisa dengan sebutan yang sama dengan Alea.
Anisa bingung mendapat panggilan itu dari Ara. Kemudian melirik bik siti yang masih syok dengan ucapan papinya Ara.
" Ara manggil Tante ?" Anisa memastikan diri. Dan Ara mengangguk. Gadis kecil itu meminta Anisa untuk mendekat. Anisa pun mengikuti keinginan Ara, ia duduk di sisi Ara.
"Ara boleh panggil Tante, dengan bunda? biar sama dengan Lea ?" Ara yang sedang terbaring lemah tampak memohon. Dan Anisa tidak tega melihatnya
Anisa masih bingung dengan keinginan Ara. Dan harus bersikap seperti Apa. Namun naluri keibuannya lebih dominan kemudian ia mengangguk tanda setuju.
Di balik pintu Radit memperhatikan interaksi putrinya dan Anisa. Ada beban yang menghimpit dadanya. Menyakitkan sekali, melihat dengan mata kepala sendiri Putrinya meminta wanita yang baru dikenal untuk mau dipanggil bunda. Ia menghembuskan nafas panjang sebelum kembali masuk.
Anisa berdiri dan menjaga jarak dari Ara begitu Radit dan beberapa suster masuk ke dalam ruangan. Anisa melihat Radit yang sangat angkuh. Suster membawa Ara ke ruangan VVIP diikuti oleh Radit.
"Pak tetangga" Anisa memanggil Radit
Radit menghentikan langkahnya dan menatap tajam Anisa.
"Maaf... untuk semua kelalaian. Dan sebagai bentuk rasa tanggung jawab, saya membawa Ara ke rumah sakit. Saya hanya mampu memasukan Ara di ruangan ini. Saya tidak akan mampu jika harus membayar perawatan di ruang VVIP"
Anisa mengeluarkan seluruh yang cash yang ada di dalam tasnya, mungkin sejumlah lima juta rupiah. Anisa meraih tangan kokoh Radit dan meletakkan uang itu di tangannya. Radit terkejut dengan tingkah dan reaksi Anisa. Radit mengembalikan uang dari Anisa. Ia menolaknya dengan tegas dan Angkuh.
"Tidak perlu nona tetangga. Saya masih bisa mengurus putri saya dengan baik" Radit segera meninggalkan Anisa yang terpaku dengan kesombongan Radit.
"Angkuh, saya hanya berusaha untuk bertanggung jawab" teriak Anisa kesal. Radit tidak bergeming, ia mengikuti Ara yang di dorong oleh para suster menuju tempat rawat inap yang baru.
Jauh di dalam hati, Radit merasa sangat menyesal telah menyinggung perasaan Anisa. Radit pun merasa, Anisa cukup bertanggung jawab. Rasanya tidak tega melihat sorot mata Anisa yang terluka karena ucapannya. Karena itu Radit memilih untuk pergi begitu saja.
Lain halnya dengan Anisa yang merasa Sikap Radit sangat Arogan dan merendahkan harga dirinya. Bibit permusuhan mulai tertanam. Dengan perasaan yang dongkol Anisa meninggalkan rumah sakit.
Untuk apalagi dia berada di sana. Toh si tetangga tidak bisa menerima niat baik dan rasa tanggung jawab darinya. Anisa memang tidak mampu jika harus membayar ruang perawatan VVIP. Uang lima juta yang tadi di tolak Radit adalah harta terakhir Anisa. Anisa sudah tidak memiliki simpanan lain. Tabungannya habis untuk membeli rumah juga seluruh isinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!