Lelaki dengan long coat yang terbuat dari kulit itu sedang memojokkan seorang wanita. Di sudut gang kecil, tepat dibawah cahaya lampu.
“Katakan!” teriak lelaki dengan perawakan tubuh tinggi dan besar.
Sebilah pisau tajam di arahkan tepat di leher wanita itu. Dia tetap diam meski pisau hampir menyabet lehernya. Tak mau membuang waktu, lelaki itu menekan pisaunya dengan kuat
*cresss*
Lehernya tergores. Luka yang tak begitu dalam tapi cukup membuat darah segar mengalir. Dalam keadaan seperti itu, dia masih tetap diam.
“Sepertinya dia memang lebih suka mati” batin lelaki itu.
“Pe-pencuri ....!”
Teriakan nyaring seorang wanita terdengar hingga membuat lelaki itu hilang fokus untuk sesaat. Melihat lawannya lengah, wanita itu segera merebut pisau, mendorong sang lelaki lalu menusuk perutnya.
Dengan cepat, wanita bertopi hitam pergi melewati pagar besi pembatas. Lelaki itu memandang ke sisi luar. Nampak pria pendek berlari ke arahnya dengan cepat di ikuti seorang wanita.
“Pencuri!! Tangkap dia ....!” teriak wanita itu terus mengejar.
Lelaki bertubuh besar itu langsung meraih tangan si pria kecil untuk menghentikan langkahnya. Setelah berhenti, dia meraih leher pria kecil dan langsung mematahkannya seketika.
Wanita yang mengenakan jaz putih itu terkejut dan berusaha menghentikan langkahnya. Namun sayang dia hilang keseimbangan dan jatuh.
Lelaki bertubuh kekar mengambil yang terjatuh di lantai, lalu datang menghampiri wanita itu. Keringat mengucur deras membasahi kening, tangannya gemetar tak terkontrol. Dia berusaha menjauh dengan menyeret kakinya ke belakang, tapi gerakannya terlalu lambat.
Nafas berat wanita itu terdengar jelas ditelinga si lelaki. Dia berjongkok dan melihat Id card yang menempel di saku sebelah kiri.
Dokter Leah Cou - Dokter kandungan - Rumah Sakit Xinjin
“Kau seorang dokter” ucap lelaki itu dengan suara yang setengah serak.
“I-ya, Dok-Dokter kandungan.” Leah mengepal tangannya yang gemetar.
“Bisa jahit?” Pria itu menatap tajam.
“Y-yah, aku bisa.”
Tanpa basi-basi, lelaki itu menarik paksa tangan Leah dan membawanya. Si wanita cantik berusaha melepaskan tangannya, tapi tenaga yang dimiliki lelaki itu cukup besar.
*ckiiitt*
Suara khas dari rem mobil yang di injak bersama dengan tuas rem tangan yang ditarik. Sebuah mobil yang bertuliskan Rubicon berhenti tepat didepan mereka.
Lelaki itu membuka pintu mobil, kemudian mendorong tubuh Leah masuk ke dalam.
“A-apa yang kau lakukan!?” pekik Leah berusaha melepaskan diri.
Lelaki itu hanya diam, dia terus mencengkram erat tangan Leah. Lelaki dengan tatapan tajam bagai elang itu menyandarkan pungungnya di kursi penumpang belakang. Darah segar masih keluar dari sela pisau, membasahi baju yang dia pakai.
“Ohh ya Tuhan! Ka-kau berdarah!” seru Leah yang terkejut saat melihat pisau masih menancap di sisi kiri perutnya.
“Aku harus bagaimana? Oh ya Tuhan, darahnya sangat banyak, harus segera diatasi!” Leah terlihat panik.
Dia ingin menolong, tapi posisinya sendiri tidak dalam keadaan yang menguntungkan.
Lelaki itu menarik tangan Leah dan membuatnya jatuh tepat di hadapannya. Dia memberikan tatapan dingin pada wanita yang tengah gusar. Hingga akhirnya Leah diam tak bersuara lagi.
“Bawa ke markas!” seru lelaki itu kepada anak muda yang memegang kemudi.
Lelaki bertubuh besar itu memiliki dua identitas. Mr. J, yang dikenal sebagai mafia berdarah dingin tanpa kenal ampun dan dikenal juga dengan nama, John Alexander. Lelaki muda dengan segudang bisnis yang sedang berkembang pesat, tentu saja harta yang dimiliki juga tak main-main.
Memiliki tinggi 185 sentimeter dengan berat badan lebih dari 100 kilogram. Otot- otot besar itu membuat tubuhnya terlihat kekar tanpa lemak.
John tepat berumur 30 tahun di akhir musim semi tahun ini. Kesibukannya di dunia mafia dan dunia bisnis membuatnya tak punya waktu untuk menjalin kisah cinta. Selain kesibukan, sifat dingin dengan tempramen yang buruk membuat para gadis memilih untuk menjauh.
*Jangan lupa Like *👍🏻
*Terima kasih *
Mobil putih telah memasuki gerbang, berjalan terus kebelakang setelah melawati rumah megah yang ada di depan. Sampai akhirnya, mobil itu berhenti di sebuah gudang tua.
John turun lebih dulu, sedangkan Leah harus turun dibantu lelaki yang kerap disapa Luis. Sebelumnya saat dalam perjalanan, John sudah menutup mata Leah dengan kain yang ia robek dari bajunya. Untuk mencegah adanya informasi yang bocor nantinya.
“Kamu terluka John?! Aku akan panggil dokter!” cetus seorang lelaki yang menyapa John saat baru turun dari mobil.
“Ngak perlu, aku bawa dokter. Buka pintunya!”
Sebuah pintu rahasia terbuka otomatis saat pria dengan kaus putih itu memencet tombol. Pintu dengan lebar dua meter didesain untuk jalur masuk menuju ruang bawah tanah.
Luis mengantar Leah sambil memegangi tangan Leah, membantunya turun perlahan melewati tangga. Sampai akhirnya mereka sampai, di sebuah ruangan yang penuh dengan alat-alat medis. Bau disenfektan dan antiseptik sangat familiar di hidung Leah.
“Kalian tunggu di luar!”
John membuka penutup mata Leah begitu mereka semua keluar. Leah sangat terkejut, melihat ruangan yang penuh dengan berbagai alat medis dan juga obat-obatan.
“Obati lukaku!” ucapan John membuyarkan rasa kagum Leah seketika.
“Aah... iya.”
Leah tak banyak bertanya. Dia sangat paham tentang posisinya saat ini. Lebih baik menurut untuk selamat dari pada harus mati karna memberontak atau bertanya sesuatu yang sensitif.
Leah pergi mencuci tangannya, kemudian menyiapkan beberapa alat yang akan dia gunakan.
“Tekanan darahmu cukup normal, darah yang keluar tidak terlalu banyak. Aku akan menyuntikkan anastesi sebelum mencabutnya,” ucap Leah saat mengecek tekanan darah John.
“Ngak tanya ....?”
“Aku lebih sayang dengan nyawaku, dan memilih diam dari pada harus kehilangan karna rasa penasaran yang konyol.”
“Hegh, kamu cukup pintar mengambil keputusan!”
Leah mengambil alkohol dan menuangkannya di atas kasa. Perlahan mengusap area di sekitar pisau lalu menyuntikkan obat bius.
“Apa sudah mulai kebas?” tanya Leah sembari menekan luka di perut John.
John menganggukkan kepala sambil menatap wanita yang sibuk menyiapkan wadah stainlis. Leah mengambil kasa tebal, menekan area disekitar luka lalu mencabut pisau.
*graaab classs*
Leah masih tampak tenang melihat darah yang mengucur. Dengan gerakan tangan yang cepat dan terampil, wanita itu mengambil kasa beralkohol dan mulai membersihkan darah di sekitar luka.
“Aku mulai menjahit,” ucap Leah yang sedang memegang jarum jahit ditangan.
John terus menatap wajah serius Leah yang tengah menjahit lukanya. Tatapan mata John terlihat waspada namun ada isyarat lain juga yang disampaikan.
Leah memotong benang terakhir lalu membalut luka jahitan di perut John dengan perban anti air.
*huft*
Hela nafas panjang Leah usai melepaskan masker yang di pakainya.
“Sudah selesai. Ini perban anti air, bisa bertahan sampai satu minggu. Setelah itu kamu harus pergi ke dokter untuk memeriksa lagi lukamu.”
John diam bergeming, dia melepaskan kaos hitam yang penuh darah itu lalu mengantinya dengan kemeja berlengan panjang yang mengantung di sudut ruangan.
Leah sedang sibuk membersihkan noda darah John yang ada di bajunya, ketika seorang lelaki bertubuh besar lainnya masuk dan mengantarkan baju untuknya.
“Disana ada kamar mandi. Ganti bajumu!” ucap John sambil melempar baju yang baru saja diantarkan.
Leah tak menjawab, hanya menangkapnya baju yang dilempar pria itu dengan cepat. Meski ada rasa khawatir, tapi dia tetap pergi ke kamar mandi untuk menganti bajunya. Sebelum berlalu, dia sempat mengambil pisau operasi yang sudah diincarnya sejak tadi, dan menyelipkannya di saku celananya.
“Gadis yang sangat waspada,” gumam John lirih ketika matanya menangkap tindakan dari wanita yang baru saja ditemuinya.
...----------------...
...🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀...
Leah Chou. Seorang dokter muda bergelar Sp.Og, yang baru menginjak usia dua puluh enam tahun di bulan ini.
Memiliki tinggi 168 cm dengan berat badan ideal.
Setelah menempuh gelar dokter, dia memutuskan untuk merantau dan hidup mandiri. Berpisah jauh dari orang tua dan lebih memilih tinggal di apartemen kecil yang disewanya dengan harga 135 ribu dolar setiap bulannya.
Jangan lupa tekan jempol ke atas secara GRATIS.!! 👍🏻
Terimakasih 👋🏻👋🏻
Leah Cou
Aku baru saja keluar dari rumah sakit dan berjalan ke halte. Tiba- tiba saja seorang pencuri datang dan menyabet tas yang sedang ku tenteng. Tanpa ragu-ragu segera mengejarnya hingga dia masuk ke gang kecil yang hanya punya satu penerangan di ujung.
Wajar saja jika berteriak memanggilnya pencuri, tapi siapa sangka teriakan ku menganggu seseorang. Pencuri itu mendekat ke arah lelaki bertubuh kekar. Seketika lelaki itu menangkap si pencuri dan langsung mencekiknya hingga membuat lehernya patah.
Aku tersentak kaget melihat si pencuri itu dijatuhkan begitu saja dengan mudahnya. Takut? tentu saja sangat takut, sampai-sampi aku kendali atas kakiku sendiri dan membuat tubuhku jatuh ke tanah.
Lelaki bertubuh besar itu mengambil tasku dan mendekat. Aku berusaha menghindar, namun dia menangkapku seketika. Tatapan pria itu begitu dingin, terlalu dingin sampai membuat seluruh tubuhku kaku.
Dia meraih Id yang menempel di saku sebelah kanan. Dengan penerangan yang minim, pria membaca Id Card ku dengn sangat jelas. Matanya seperti mata burung hantu yang bisa menembus gelapnya malam.
Saat itu dia menanyakan identitas yang tertera dan keahlianku dalam menjahit. Harusnya aku tidak menjawabnya dengan benar, itu membuatku berada dalam posisi seperti ini.
Ahh ....
Aku melepaskan baju putih kesayanganku yang penuh dengan bekas noda dan mencoba membersihkannya, namun noda darah itu terlalu pekat hingga sulit untuk menghilangkan bekasnya.
“Aahh baju delapan puluh dolarku!” pekikku kesal sambil melemparnya ke washtafel.
Lelah dengan noda darah yang tak kunjung hilang. Aku pun dengan berat hati membuangnya ke tempat sampah. Lalu segera berganti pakaian dengan baju yang sudah dia siapkan.
Setelah ini apa yang akan terjadi? Aku melihatnya, dia membunuh dengan mudah. Apa aku akan dibunuh juga setelah ini?
Ya Tuhan, tolong bantu aku. Aku masih ingin hidup. Sup ayam di lemari pendingin masih menungguku untuk pulang.
*tok tok*
Ooh astaga!!
Ketukan itu mengagetkanku!
“Sudah selesai?” tanya lelaki itu dari balik pintu.
“Ya Ya, sudah. Aku akan keluar.”
Aku menghela nafas panjang sebelum membuka pintu. Dia berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. Kaki ku sedikit berat saat melangkah mengikutinya.
Ada bau yang cukup mengoda selera. Hidungku memang cukup sensitif jika mencium bau makanan. Rupanya benar, meja yang ada di tengah ruangan itu penuh dengan makanan.
“Duduk!” cetusnya dengan nada memerintah.
Aku masih berdiri terpaku dengan mata yang fokus melihat banyak makanan di meja.
Lapar. Aku ingin memakannya, tapi ....
Apa dia menuangkan racun di sana?
Bagaimana jika dia memaksaku bunuh diri?
“Duduk dan makan!”
“Apa kamu takut aku menaruh racun disini?” lanjutnya sembari menatap tajam.
Dia mengambil beberapa hidangan dan memakannya dengan lahap.
“Sudah? Gak terjadi apa- apa kan?”
“Duduk dan makanlah!”
Benar ngak ada racun kan?
Ini terlalu royal untuk menyambut orang asing.
Dengan ragu aku melangkahkan kaki perlahan dan duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya.
“Makanlah!”
Hatiku menolak untuk makan, tapi tubuhku sepertinya tak menurutinya. Tanganku memegang sendok, lalu mengambil beberapa lauk dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Ini enak!” batinku dengan rasa haru saat merasakan asin, gurih bercampur menjadi satu di dalam mulut.
Suap demi sesuap masuk ke dalam mulut dengan cepat. Aku sampai melupakan lelaki dingin dan cukup berbahaya itu sedang duduk di hadapanku dengan santai.
Seperti serigala yang memberi wortel untuk kelinci. Menunggunya hingga kenyang lalu melahapnya secara berutal.
*uhuukk uhukk*
Membayangkan itu membuatku tersedak sampai hampir mati. Aku mengambil segelas air putih yang ada di meja, dan meneguknya dengan cepat. Pandanganku tiba- tiba tertuju pada lelaki itu, lelaki yang tiba-tiba senyum menyerigai.
Dia tersenyum licik. Seperti telah berhasil menjalankan rencananya. Tunggu.!!!!
Dia mencicipi makananya tapi tidak dengan minumannya.
*prrfff*
“Responmu lambat!” cetus lelaki itu.
“Kau ....! Kau mau melakukan apa?”
“Gak ada. Aku cuma menawarkan makan dan minum. Namun seseorang malah berfikir jika pria sepolos ini akan memberinya racun.”
“Hei! Kau membawaku secara paksa! Membuatku mengobati lukamu di tempat... tempat yang aneh.”
“Aneh?” Pria itu menatapku dengan nyalang, membuat bulu halus di tanganku tiba-tiba aktif.
Dia menyandarkan punggung dengan santai, dengan tatapan yang masih tajam mengarah padaku.
“Tu-tuan, aku salah, tolong maafkan aku. Aku akan melupakan semua kejadian ini,” kataku sembari membungkukkan badan beberapa kali.
“Aku ini orangnya sangat pelupa kok, jadi Anda tidak perlu khawatir,” bujukku lagi dengan sangat sopan.
“Pelupa? Benarkah?”
“Ya, yaa tentu saja. Aku sangat pelupa.”
“Lulus sekolah menengah tingkat akhir hanya 2 tahun. Kuliah Cumlaude dengan nilai tertinggi. Menjadi dokter kandungan diusia 23 tahun.” Pria itu melipat dua tangannya.
“Apa kau fikir Lupa adalah alasan yang tepat?”
Mataku terbelalak, perkataannya membuatku kembali sadar dengan kekuatan yang dia miliki. Seperti cerita tentang CEO hebat di sebuah drama atau novel, yang dapat mengorek informasi dari seseorang hanya dalam waktu singkat.
Aku berdiri, perlahan mendekat dengan tubuh yang gemetar. Kakiku tiba- tiba lemas tepat di hadapannya.
“Tu-tuan. Aku ... aku salah. Tolong ... tolong lepaskan aku. Aku akan melupakan semuanya. Tentang apa yang terjadi malam ini.”
“Apa kau pernah mendengar pepatah? Hanya orang mati yang bisa menjaga rahasia.”
Orang mati. Apa itu isyarat untukku?
Dia akan membunuhku?
Ngak!! Aku harus kabur dan lapor polisi. Orang ini jauh berbahaya dari perampok.
“A-aku akan melakukan apa saja! Jadi ku mohon, lepaskan aku.”
“Kalau begitu, aku mau tubuhmu!”
Apa lelaki ini gila? Ini bahkan belum lewat setengah hari dari pertemuan kita. Tanpa rasa malu berbicara seperti itu. Bahakan, ekspresinya datar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Hanya dapat tertunduk lesu. Mataku hilang arah karna terhalang air mata.
Apa aku harus kehilangan martabat hanya untuk hidup?
“Bisakah ... anda melakukan satu tembakan dengan cepat?” tanyaku dengan spontan.
Dia hanya terdiam tak memberiku jawaban. Aku mencoba melihat sekitar dan mendapati sebuah pistol ada di atas meja, tepat di samping sofa yang dia duduki.
Mungkin memang mati dengan bermartabat lebih baik dari pada hidup dengan menanggung aib. Aku berdiri dengan cepat dan mengambil pistol lalu meletakkan ujung pistol tepat di pelipis.
.
Dibaca aja dulu.
Kalau penasaran tinggal tekan love merah dibawah 👇🏻👇🏻👇🏻
Allhamdulillah kalau di Like juga ☺️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!