---
**Tring...**
Nomor tak dikenal.
*"Kita bertemu di Café Boy dekat Kampus A, jam sepuluh pagi. Kuharap kau datang tepat waktu."*
Rossa menatap ponselnya yang baru saja berbunyi.
“Siapa orang ini? Kenapa mengajakku bertemu? Kenal saja tidak. Bagaimana kalau dia pedagang manusia atau penculik?” pikirnya sambil mengangkat bahu, bingung.
**Tring...**
Nomor tak dikenal lagi.
*"Ini tentang Alvan. Kau harus tahu kebenarannya."*
Mata Rossa langsung membelalak saat nama kekasihnya disebut.
Sudah lama Rossa dan Alvan tidak bertemu. Bahkan di kampus pun, ia tak pernah lagi melihat Alvan.
*"Siapa Anda? Dan kenapa menyebut nama Alvan?"* balas Rossa, penasaran dan gugup.
**Tring.**
Nomor tak dikenal.
*"Kau akan tahu besok."*
“Apa maksudnya? Hanya bikin penasaran. Ah, ini pasti ulah siswi-siswi lain,” pikir Rossa. Ia sudah terbiasa mendapat pesan aneh dari nomor tak dikenal.
Ia pun mengabaikan pesan itu dan kembali belajar malam itu.
Saat rasa kantuk datang, Rossa membereskan buku-bukunya, lalu membaringkan tubuh di kasur kecilnya.
Namun pikirannya kembali melayang ke pesan tadi.
“Siapa orang itu? Apakah dia tahu sesuatu tentang Alvan?” batinnya, mencoba menenangkan diri, mengingat hubungan mereka yang akhir-akhir ini terasa hambar.
Sudah lama Alvan tidak menghubunginya. Tapi setiap kali Rossa mengirim pesan, Alvan selalu membacanya.
“Apa dia sudah bosan denganku?” pikirnya lagi.
Meski begitu, Rossa tak ingin berprasangka buruk. Ia percaya Alvan masih mencintainya.
---
Keesokan paginya, seperti biasa Rossa bersiap untuk pergi ke kampus. Ia menunggu bus di halte dekat rumahnya. Tapi tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depannya.
Rossa merasa tak nyaman. Orang-orang di sekitar melihatnya dengan pandangan aneh. Ia pun bergeser dari tempatnya.
Seorang pria berjas hitam, berkacamata gelap, keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Maaf, Nona. Saya diutus untuk menjemput Anda. Anda sudah ditunggu di Café Boy,” ucap pria itu tegas.
Rossa langsung teringat pesan tadi malam.
"Ah... baiklah. Tapi siapa yang mengutusmu?" tanyanya curiga.
“Anda akan tahu setelah sampai, Nona,” jawab pria itu, lagi-lagi membuatnya penasaran.
Pria itu membukakan pintu belakang mobil. Tanpa pikir panjang, Rossa masuk ke dalam.
Sepanjang perjalanan, ia terus bertanya-tanya. “Siapa yang mencari aku? Aku rasa tak pernah bermasalah dengan siapa pun.”
Tak lama kemudian, mobil tiba di Café Boy. Pria itu membukakan pintu dan mengantar Rossa masuk. Mereka berhenti di hadapan seorang wanita paruh baya yang sangat cantik, elegan, dan berwajah dingin.
“Siapa dia? Apakah aku mengenalnya?” batin Rossa, kagum melihat penampilan wanita itu.
“Rossa Ferdias?” tanya wanita itu.
“Ya, saya sendiri,” jawab Rossa gugup. Ia melirik perhiasan mewah yang dikenakan wanita itu.
“Pasti dia dari keluarga terkaya di kota ini,” pikirnya lagi.
“Duduklah. Aku ingin membicarakan tentang Alvan,” ucap wanita itu dengan nada dingin.
---
Malam harinya, Rossa ingin menghadiri acara kampus. Ia berniat mengajak sahabatnya, Silla, ke pusat perbelanjaan untuk mencari baju yang cocok. Tapi saldo di rekeningnya berkata lain. Ia meletakkan ponsel ke lantai, di samping tempat tidur, dan menarik napas panjang.
Kemudian ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan.
*"Kamu lagi apa, Sill? Jadi nggak ke acara kampus malam ini?"*
Ponselnya berbunyi, panggilan masuk. Ia segera mengangkat.
“Sekarang kamu di mana?” tanya suara di seberang.
“Aku di rumah. Kamu pergi nggak ke acara kampus nanti malam?”
“Pergi dong. Kamu sendiri gimana?”
“Aku sebenarnya pengen pergi, tapi kayaknya nggak punya baju yang cocok,” jawab Rossa lesu.
“Gimana kalau kamu ke rumah aku aja? Siapa tahu baju aku ada yang cocok buat kamu, Ross,” ucap Silla.
“Ooh iya, aku sampai lupa punya teman berhati malaikat seperti kamu, Sill. Hehehe.” Rossa tertawa kecil.
“Kamu tuh kebiasaan. Punya masalah malah dipendam sendiri, bukan cerita ke temen!” omel Silla lembut.
“Iya, iya. Maaf. Aku ke rumah kamu sekarang, ya.”
“Iya, cepetan. Nanti kita terlambat.”
“Oke, Bos!” jawab Rossa sambil menutup telepon.
“Syukur deh masih ada Silla. Kalau nggak ada dia, entah jadi apa aku sekarang,” batinnya.
Rossa mengurai rambut panjangnya, memoles sedikit bedak dan lipstik pink di bibir mungilnya, lalu mengambil tas dan sepatunya untuk pergi ke rumah Silla.
Di jalan, ia tak sengaja menabrak seseorang yang sedang menelepon. Rossa juga sedang asyik melihat grup universitas di ponselnya.
**Bruk!**
“Aaw... sakit banget bokongku...” ucap Rossa terjatuh ke aspal. Ponselnya terlempar cukup jauh.
Dengan cepat, ia bangkit dan mengambil ponselnya. Layarnya retak.
“Syukurlah cuma kacanya yang rusak,” gumamnya setelah mencoba menyalakan ponsel.
“Maaf, Anda tidak apa-apa, Nona?” tanya seorang pria berkulit putih, berwajah rupawan, memakai setelan kantor yang masih rapi.
Rossa tertegun. Wajah pria itu membuatnya terpana.
“Nona, Anda baik-baik saja?” ulang pria itu.
“Iya, saya baik-baik saja. Tapi tidak dengan ponsel saya,” jawab Rossa sambil menunjukkan layar ponselnya yang retak.
Pria itu menatap layar ponsel itu sejenak.
"Gadis ini... sangat blak-blakan. Menarik juga," batinnya.
“Kalau begitu, izinkan saya mengganti biaya perbaikan ponsel Anda,” ucapnya sopan.
“Tidak! Tapi... kalau Anda memaksa, saya juga tidak keberatan, Tuan,” jawab Rossa sambil tersenyum manis.
"Dia cantik... dan unik." Pria itu tersenyum dalam hati.
“Baiklah. Boleh saya minta nomor ponsel Anda agar bisa saya hubungi nanti?”
“Sepertinya Anda salah bicara, Tuan. Harusnya yang Anda minta nomor rekening, bukan nomor ponsel,” kata Rossa, menggoda.
“Ah, Anda benar. Ini kartu nama saya. Kalau sudah diperbaiki, silakan hubungi saya.”
Pria itu pun berlalu.
---
**See you all… Jangan lupa tekan favorit, ya! 😘**
---
Saya sedang merevisi novel ini dari episode 1 sampai selesai karena mungkin banyak ejaan yang salah🙏♥️
---
Rossa menerima kartu nama yang diberikan oleh pria itu dan langsung memasukkannya ke dalam tas selempangnya—tanpa sempat melihat nama yang tertera di sana.
Rossa adalah gadis biasa: cantik, manis, murah senyum, dan pandai bergaul. Kepintarannya membuatnya menonjol di antara yang lain.
Saat sekolah menengah pertama, Rossa hanya membutuhkan dua tahun untuk menyelesaikannya. Begitu juga ketika di sekolah menengah atas. Nilai-nilainya selalu mengagumkan, membuatnya selalu diterima di sekolah-sekolah ternama.
Ia pun berhasil masuk ke universitas bergengsi—Universitas A—yang hanya bisa dijangkau oleh anak-anak dari kalangan kaya. Tapi Rossa bisa masuk karena prestasinya. Ia selalu mendapat beasiswa berkat hasil akademiknya yang membanggakan.
Meski sangat menyukai dunia fashion, Rossa memilih jurusan Manajemen Bisnis. Ia ingin segera mendapatkan pekerjaan untuk membantu ibunya dan membiayai adik laki-lakinya.
☘☘☘
Rossa terus berjalan menuju halte bus sambil menatap layar ponselnya yang retak.
“Rossa…”
“Ros…”
“Rossa…!”
Seseorang memanggilnya. Setelah beberapa kali mendengar namanya disebut, Rossa akhirnya menoleh ke arah suara itu—dan betapa terkejutnya ia melihat sosok yang sangat dirindukannya.
Sebuah mobil Mercedes-Benz sport berwarna biru berhenti di seberangnya.
"Alvan…" lirih Rossa.
Pemuda itu turun dari mobil, menampilkan senyum yang penuh kerinduan. Ia langsung berlari dan memeluk Rossa erat.
“Alvan, apa kabar?” tanya Rossa, masih tak percaya.
“Buruk, Ros…” jawab Alvan, pelukannya semakin erat.
Dada Rossa terasa sesak mendengar ucapan itu. Bagi Rossa, Alvan kini hanyalah masa lalu. Tapi pelukan itu… membuat pertahanannya runtuh.
“Aku sangat merindukanmu, Ros. Biarkan aku seperti ini… sebentar saja,” ucap Alvan lirih.
Air mata Rossa akhirnya jatuh juga. Ia pun mengangkat tangannya, berniat membalas pelukan itu.
Namun tiba-tiba, seorang wanita cantik paruh baya keluar dari mobil. Rossa membelalakkan mata, tubuhnya refleks mendorong Alvan menjauh.
“Alvan! Kenapa kau membawanya ke sini? Ke-kenapa kau memelukku di depannya?” ucap Rossa terbata-bata. Matanya tak lepas dari sosok wanita yang selama ini menentang hubungan mereka—mama Alvan.
“Ros… besok aku harus berangkat ke luar negeri. Aku tidak diizinkan pergi tanpa pengawal. Tapi aku memohon pada Mama agar bisa menemuimu… untuk terakhir kalinya. Syaratnya, dia harus ikut,” jelas Alvan sambil menyeka air matanya.
Rossa hanya menunduk. Ia menghapus bulir-bulir bening yang mengalir di pipinya. Ia tak sanggup menatap mata Alvan yang sembab karena menahan tangis.
“Alvan! Waktumu sudah habis. Kita harus segera kembali untuk mempersiapkan pertunanganmu malam ini,” ujar wanita itu dengan nada dingin. Matanya menatap Rossa tajam, lalu tersenyum puas.
Bagaikan disambar petir di siang bolong, hati Rossa remuk mendengar kata-kata itu. Ia memegang dadanya, mengepalkan tangannya, lalu menampar dadanya sendiri berulang kali.
Kepedihan itu terlalu nyata.
Rossa mengingat kembali pertemuannya dengan mama Alvan beberapa hari yang lalu.
---
**Flashback ON**
"Rossa Ferdias?" tanya wanita itu dingin.
"Ya, saya sendiri," jawab Rossa gugup. Perhiasan mewah yang dipakai wanita itu menyilaukan mata.
*“Pasti dia dari keluarga paling kaya di kota ini…”* batin Rossa.
"Duduklah. Aku ingin membicarakan sesuatu tentang Alvan," ujarnya.
Rossa duduk tanpa berani menatap wajah wanita itu. Aura dingin dan berwibawanya membuat nyalinya menciut.
"Katanya kau kekasih Alvan Alexander. Benar?"
Rossa hanya mengangguk. Lidahnya kelu.
“Kau harus sadar diri. Status sosialmu jauh dari layak untuk berdampingan dengan Alvan. Bahkan sebagai kekasih pun, kau tidak pantas,” ucapnya tajam.
Rossa mulai menatap wajah wanita itu.
*“Beraninya dia merendahkan keluargaku. Kami memang orang biasa, tapi kami punya harga diri.”* batinnya geram.
“Kenapa kau menatapku seperti itu? Hmm? Apa kau ingin kompensasi karena kusebut tak pantas untuk Alvan?”
Wanita itu membuka tasnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar foto. “Berapa yang kau inginkan agar kau mau putus darinya? Aku tahu tipe gadis sepertimu. Mengejar lelaki kaya demi menjadi nyonya muda. Menyedihkan.”
“Jaga ucapan Anda, Nyonya!” ucap Rossa mulai naik pitam. “Aku dan Alvan saling mencintai. Aku tidak pernah memandangnya dari segi kekayaan. Cinta kami tulus!”
“Cinta?” Wanita itu tertawa kecil, lalu meletakkan foto-foto di meja. “Lihat ini.”
Rossa terdiam. Matanya membelalak saat melihat foto-foto mesra Alvan dengan seorang perempuan lain. Foto-foto itu terlihat baru, diambil hanya beberapa bulan lalu.
*"Jadi… selama ini Alvan tidak menghubungiku karena sudah bersama wanita lain?"* pikir Rossa, tubuhnya mulai gemetar.
“Wanita itu adalah tunangan Alvan. Mereka akan bertunangan beberapa hari lagi. Kumohon, jangan jadi penghalang. Atau... mungkin kau ingin uang? Berapa? Akan kubayar. Tapi ingat, aku mama Alvan, dan aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian.”
Pengawal wanita itu lalu mengambil kembali foto-foto dari tangan Rossa, lalu mereka pergi meninggalkannya yang terpaku dan terluka.
**Flashback OFF**
Alvan melihat kondisi Rossa dan tahu… betapa menyakitkannya perpisahan ini.
Semua hanya karena status sosial.
Alvan mengepalkan kedua tangannya. Dalam hati, ia bersumpah akan menjaga cintanya pada Rossa. Ia harus menjadi sukses, agar tak lagi bergantung pada orang tuanya.
“Alvan… kau harus menepati janjimu pada Mama. Ini pertemuan terakhir kalian. Cepatlah sudahi. Jangan mempermalukanku dan Papamu di pesta pertunanganmu nanti malam,” kata mama Alvan, menekan setiap kata dengan nada kemenangan.
**Bersambung…**
---
"Rossa! aku akan bertungan malam ini. Dan besok aku akan berangkat keluar negeri bersama tunangan ku, aku harap kau baik-baik saja sampai kita bertemu kembali. Dan semoga kau sukses melanjutkan Cita-citamu." Ucap Alvan dengan senyum yang dipaksakan, air matanya lolos dipipinya. Membuktikan kepedihan yang tak dapat ia pendam sebagai seorang pria biasa.
Rossa pun tersenyum. "Ya, ku harap kau juga baik-baik saja, semoga kau juga sukses Alvan." Balas Rossa.
Alvan pun memeluk Rossa kembali, dan membisikan sesuatu di telinga Rossa. "Tunggulah aku." Ucap nya lirih.
Alvan menghentikan pelukan nya, memberikan sebuah kertas berlipat ditelapak tangan Rossa. Dan berlalu pergi menuju mobilnya di seberang jalan, Alvan membuka pintu mobil sambil memasang kacamata hitamnya. Dan melajukan mobilnya pergi meninggalkan Rossa yang berdiri mematung di tepi jalan.
"Jaga dirimu baik-baik, dan sampai bertemu lagi Rossa." Gumam Alvan dalam hati nya.
...☘☘☘...
Rossa pun berjalan menyusuri jalan raya yang sangat ramai, tapi keramaian itu tak dapat mengalihkan kesedihan hatinya saat ini.
Kenangan-kenangan indah bersama Alvan terus berputar di ingatan nya.
"Salahkah kalau orang miskin sepertiku mencintai Alvan? salah kah rasa ini yang tumbuh mekar dan bersemi di tempat Orang yang Berstatus kaya?" Gumamnya dalam hati, Rossa kembali menghapus air mata nya.
Dari awal ia memang sudah mendindingi hatinya untuk tidak mencintai seseorang.
Tapi, kebaikan dan ketulusan Alvan membuat dinding itu runtuh, dan menimbulkan rasa yang luar biasa dihati Rossa.
Dan kini, Rossa harus melenyapkan rasa yang pernah ada itu untuk Alvan.
"Ooh tuhan, bantu aku untuk melupakan nya. Tak sanggup rasa nya hati ini, melupakan sosok lelaki yang pertama kali mengisi relung hati ini." Batin Rossa.
Begitu banyak kenangan Rossa bersama Alvan, yang sangat Indah untuk dilupakan tapi terlalu sakit untuk dikenang.
"Ooh tuhan, bagaimana bisa hati ini begitu sakit?." Teriak Rossa yang menutup wajah nya, dengan kedua tangannya.
Rossa menyentuh dada nya yang bergemuruh, "Beginikah rasanya putus cinta? ternyata sangat sakit. Tapi lebih menyakitkan lagi kata- kata dari orang tua Alvan, yang sangat menentang hubungan kami." Gumam Rossa.
Rossa teringat kertas yang Alvan berikan padanya, ia pun membuka kertas itu dan melihat isi nya.
Mata Rossa membelalak melihat cincin dan beberapa kata di dalam kertas itu.
"Rossa, aku sangat mencintai mu. Dan aku tau kau juga Mencintai ku, Jadi, tunggu lah aku kembali.
Semuanya akan baik- baik saja, aku akan berkerja keras agar bisa lepas dari pertunangan ini.
Tunggu lah beberapa tahun setelah aku menyelesaikan pendidikan terahir ku di luar negeri, aku akan menjemput mu.
Pada hari itu, tidak akan ada yang bisa menghalangi kita untuk bersatu. Meskipun itu orang tua ku, sekalipun.
Pakailah cincin ini sebagai tanda, bahwa kau adalah milikku!.
Aku mencintai mu, Alvan Alexander."
Rossa terjatuh dari tempat nya berdiri, kakinya tak sanggup lagi menompang tubuh nya yang terasa sangat lemah.
Kata- kata cinta Alvan menghanyutkan pikiran nya,
kata- kata itu bagai kan obat penenang baginya yang sangat rapuh saat ini.
Apakah mungkin cinta Alvan masih bertahan untuknya sampai masa itu tiba? sedangkan Ia sudah mempunyai seseorang di samping nya dari kalangan orang yang sama sepertinya juga.
Atau malah sebaliknya, Rossa yang harus melupakan Alvan dan jangan berharap untuk bisa bersama dengan Alvan lagi.?
Karena bagaimana pun, kasta mereka sangat jauh berbeda ditambah lagi orang tua Alvan yang Terang- terangan sudah berkata tidak menyukai Rossa. Harus kah Rossa tetap menunggu Alvan dalam kehampaan ini?
"Apa lah arti sebuah cinta kami, kalau orang tua Alvan sudah tidak menyetujui nya?" Ucap Rossa.
Rossa pun melihat kearah cincin yang ia pegang saat ini, begitu cantik dan polos nya cincin itu.
Rossa memutar cincin itu, tak sengaja matanya melihat sesuatu di dalam cincin itu yang terdapat sebuah huruf berinisial nama mereka berdua.
"A♡R ."
Lagi- lagi mata Rossa memanas, tak mampu menahan rasa sesak dihati nya. Semakin ia berusaha melupakan Alvan maka semakin sakit pula hatinya.
...☘☘☘...
Rossa pun sampai ditempat teman nya Silla, tak ada lagi senyum diwajahnya. Rossa Memencet bel rumah itu, dan tak menunggu lama pintu pun terbuka.
"Kenapa kamu sampai nya lama banget sih Ros?" Ujar Silla yang langsung dipeluk erat oleh Rossa.
"Aku kalah Sil, Aku kalah.. hiks.. hiks.. Suara isak tangis Rossa pecah di pelukan sahabat nya itu.
"Kamu kenapa sih Ros, baru saja datang langsung nangis gini, Cengeng banget kaya anak TK. Ucap Silla sengaja meledek teman nya itu.
"Alvan Sil, Alvan mau tunangan malam ini. Hiks.. hiks.. dan besok ia akan berangkat keluar negeri sama tunangan nya. Hiks.. hiks.."
"Sudah-sudah jangan menangisinya lagi, kamu ini kalau nagis tambah jelek tau!." Silla mencoba menghibur teman nya itu.
"Sudah Ros, kamu duduk dulu. Aku ambilin minuman buat kita." Ucap Silla yang berjalan kearah kulkas, mengambil dua kaleng minuman soda untuk mereka berdua.
"Nih minum dulu,.."
"makasih Sil, kamu memang yang terbaik" Ucap Rossa yan mulai tenang
"Aku tidak mau bertanya apapun yang membuat kamu menangis saat ini,tapi aku cuman Mau bilang. Jangan pernah membuang air mata kamu yang berharga, hanya Karena sesuatu yang tidak penting sama sekali."
"Sudah berapa kali kamu menangisi lelaki itu, biar bagaimana pun kamu menangisi dia. Papa Mama nya juga ga bakalan restuin kamu sama Alvan" Ucap Silla sambil meminum minuman kaleng di tangan nya.
"Kamu benar Sil, bagaina pun aku menangisi dia juga nggak bakalan kembali lagi. Apalagi sekarang ada wanita lain disisi nya." Sahut Rossa.
"Nah! itu Kamu pinter, trus kenapa lo nangisin dia..?"
"Entahlah.. rasanya dadaku sakit banget. Sangat sakit sampai nyeri nya aku nggak sadar udah mukulin dada aku sendiri, berulang kali." Ucap Rossa tersenyum gentir.
"Kamu harus move-on ros, didunia ini masih banyak cowok yang suka sama kamu. Saking banyak nya aku sampe benci sama coklat." Ucap Silla, karena Rossa selalu mendapatkan banyak coklat dari beberapa Penggemar Pria nya di kampusnya.
"Fffs... hahaha .. Kamu tuh lucu banget ya Sil. Makasih sudah mau jadi Teman Aku..ucap rossa tertawa sambil mengusap bekas air matanya.
"Iya sama-sama Ros, yuk siap-siap sudah hampir jam 7 malam nih" Entar kita kemalaman lagi dateng nya.
...☘☘☘...
Gedung Universitas A
"Sill.. aku nggak nyaman banget pake baju beginian.. Ucap Rossa.
"Itu bukan baju Ros, itu nama nya gaun malam aku aja nggak pernah pakai gaun itu. Soal nya panjang banget sama Aku, kalau sama Kamu pas banget tau. Kamu itu mirip sama artis-artis korea deh, iih aku jadi gemees banget sama Kamu. Kok malam ini cantik banget siih.." Ucap Silla, sahabat Rossa.
...Revisi ulang...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!