Sukabumi Juni 2008 ....
Pandangan Nisa mengabur tehalang oleh air mata yang tertahan. Ia bersumpah apa yang ia lihat adalah Viko. Kekasihnya.
Perasaan sesak luar biasa membuat ia kesulitan bernapas. Apa yang ia lihat seperti meruntuhkan menara yang sudah ia bangun selama tiga tahun. Nisa bersumpah ia tidak akan pernah melupakan hari itu. Disaat semua orang tengah merayakan kelulusan SMA, Nisa malah melihat kejadian yang sangat menyakitkan.
Sepertinya Viko mulai merasakan kehadiran Nisa di sana. Viko menoleh dan mendapati Nisa sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Viko langsung berdiri kaget, disusul oleh Gita.
"Nisa ...!" seru Viko dan Gita bersamaan. Demi Tuhan! saat itu Nisa merasa ingin mati. Viko kekasihnya dan Gita sahabatnya sedang berciuman di kelas yang sepi, disaat semua orang sedang mencorat-coret baju putih abu-abu di lapangan.
Saat itu Nisa tidak ada tenaga untuk menampar mereka atau sekadar marah-marah, rasa sakit ini seperti telah menyedot seluruh tenaganya.
Perlahan air mata Nisa mengalir ke pipi, lalu kakinya perlahan bergerak mundur meninggalkan kelas. Gadis berrambut panjang itu berusaha mengembalikan tenaganya sedikit demi sedikit agar setidaknya ia bisa berlari. Nisa melihat Viko mulai bergerak ke arahnya dengan wajah penuh sesal. Nisa merasakan tenaganya sedikit demi sedikit muncul hingga akhirnya ia bisa berlari.
Nisa berlari secepat yang ia bisa, agar Viko tidak bisa mendapatkannya. Nisa berlari tanpa arah, yang penting ia bisa menghindari Viko.
Kaki Nisa membawanya keluar gerbang sekolah, ke jalan raya, ia berlari sambil menangis membuat ia tidak bisa melihat sekitar dengan jelas. Sampai akhirnya dari arah yang berlawanan ada sebuah angkot yang melaju kencang menghantam tubuh Nisa hingga terpental beberapa meter.
Saat itu Nisa tidak tahu apa yang terjadi. Sebelum ia tidak sadarkan diri, ia sempat melihat Viko menangis meraung-raung sambil minta pertolongan.
Nisa berharap saat itu juga ia mati agar ia tidak terlalu lama merasakan rasa sakit yang sudah ditorehkan oleh kekasihnya dan sahabatnya.
Tapi sepertinya Tuhan mempunyai rencanaNya sendiri.
🌸🌸🌸
Jakarta 2019
Satu masalah besar yang sulit sekali dibenahi di Jakarta adalah kemacetan. Masalah ini membuat semua orang frustasi, ketika kita sedang dikejar waktu tapi waktu kita harus terbuang sia-sia di jalanan.
Nisa memandang keluar jendela mobil, melihat berbagai aktivitas yang terjadi di jalan. Ada polisi yang sibuk mengatur lalu lintas yang semrawut, ada pengamen, pedagang asongan dan pengemis yang mencoba mengais sedikit rejeki dari pengguna jalan. Ada pula orang-orang dengan wajah lelah yang tersembunyi di balik kaca mobil. Jakarta belum menunjukan perubahan yang berarti walaupun sudah beberapa kali berganti gubernur.
Sore ini sebelum pulang Nisa akan pergi ke salah satu pusat perbelanjaan untuk mengecek stok sepatu yang tersisa. Sebagai ketua tim marketing dari sebuah merk sepatu ternama, tentulah sangat merepotkan dan harus dituntut selalu kreatif agar penjualan terus meningkat setiap bulannya. Nisa adalah salah satu dari ribuan wanita karir di Jakarta yang sukses.
Setiap hari Nisa hanya tahu bekerja dan bekerja, sampai akhirnya ia dipercaya oleh perusahaan sepatu tersebut untuk menjadi ketua tim marketing Indonesia. Tidak main-main pendapatan Nisa dari pekerjaannya itu. Jika mencapai target penjualan ia akan mendapat gaji plus bonus-bonusnya yang akan membuatnya happy sepanjang tahun.
Setelah lulus kuliah Nisa memang langsung melamar kerja di perusahaan itu, sekarang ia sudah bekerja hampir delapan tahun dan dari hasil kerjanya itu ia telah memiliki apartemen dan kendaraan sendiri.
Sekarang gadis berkulit putih itu berusia dua puluh delapan jalan dua puluh sembilan, dan ia masih sendiri alias masih jomblo. Tidak terpikir sedikit pun untuk mempunyai pasangan apalagi menikah. Untung Nisa tinggal di kota besar seperti Jakarta ini, jadi status seseorang tidak terlalu diperhatikan. Yang mengejarnya sih banyak, tapi entah mengapa Nisa selalu dingin terhadap mereka. Di kantornya pun ia mempunyai julukannya sendiri yaitu The Queen ice.
Semua itu bukan tanpa sebab. Nisa berubah menjadi wanita sedingin es dikarenakan trauma masa SMA-nya yang dihianati oleh pacar sekaligus sahabatnya sendiri. Kejadian itu membuat dampak besar dalam hidupnya. Kalau boleh meminjam istilah dari novelnya Paulo Coelho kejadian itu adalah zahir dalam hidup Nisa. Zahir adalah kehilangan yang menimbulkan lubang besar dalam jiwa seseorang. Lalu mendorongnya untuk menjadi lebih baik. Ya, setelah kejadian itu Nisa mendorong dirinya sendiri untuk lebih baik untuk bisa ia tunjukan pada orang-orang yang sudah menyakitinya.
Setelah Nisa tertabrak mobil, Nisa sempat mengalami amnesia disosiatif beberapa bulan karena cedera di kepala, tapi setelah ia mengingat kembali semuanya, Nisa hidup seperti orang gila. Setiap hari ia selalu menangis dan berteriak-teriak. Akhirnya orang tuanya memutuskan mengirim Nisa ke Singapura untuk kuliah di sana. Dan keputusan itu ternyata adalah keputusan yang benar. Nisa tidak terlalu terpuruk lagi oleh kejadian itu.
Setelah bertahun-tahun berlalu, Nisa berhasil menata hatinya kembali walaupun itu sangat tidak mudah. Beruntung ia mempunyai sahabat bernama Seno yang selalu mendukung dan menghiburnya.
Seno sendiri adalah teman saat Nisa kuliah di Singapura, Seno saksi satu-satunya yang mengetahui bagaimana Nisa berjuang dari keterpurukannya.
🌸🌸🌸
Nisa memarkirkan Honda Brio merahnya di pelataran parkir mall besar di daerah Senayan. Dengan langkah besar-besar Nisa masuk ke bagian sepatu dan fashion lalu langsung bertemu dengan manager fashion dan sepatu mall itu.
"Halo Mas Riki," sapa Nisa dengan ramah.
"Eh, Nisa, mau ngecek, nih?" sahut Riki dengan akrab. Nisa memang sering berkunjung ke mall itu jadi ia sudah akrab dengan Riki dan beberapa SPG. Dan saat tahu Nisa masih single, Riki ternyata berusaha mendekati Nisa tapi ditanggapi dingin oleh gadis berparas cantik itu.
Sangat wajar banyak laki-laki yang menginginkan Nisa atau sekadar penasaran. Nisa mempunyai wajah manis khas perempuan sunda ditambah ia mandiri dan mapan.
"Mas, sekarang saya ingin ngecek yang di gudang," ujar Nisa sambil tersenyum manis dan mengeluarkan kertas laporan yang ia bawa dari kantor. Riki langsung membalas senyuman Nisa sambil mengangguk.
"Boleh-boleh, ayo ikut saya."
Setelah di gudang Nisa sibuk mencatat dan menceklis pada kertas yang ia bawa dari kantor. Nisa memberengut, mengangguk-ngangguk, memainkan pulpen, menggigit-gigit pulpen, jongkok, jinjit sampai ia harus memakai tangga untuk mencatat stok yang tidak terjangkau olehnya. Nisa sibuk sendiri tidak peduli dengan Riki yang tengah memerhatikannya dengan kagum di kejauhan. Nisa benar-benar type-nya.
Setelah setengah jam, Nisa selesai mengecek semua stok, lantas ia terkejut mendapati Riki masih berdiri di dekat pintu gudang.
"Mas Riki? Dari tadi masih di situ aja? Kirain udah pergi." Riki terhenyak gugup dan meluncurkan senyum kaku pada Nisa.
"Hehehe ... Nis, minggu ini ada acara?" tanya Riki sedikit kikuk. Nisa menghela napas panjang. Rasanya ia bosan ditanya seperti itu oleh Riki setiap Nisa berkunjung.
"Ada. Aku harus ke Medan. Ada urusan kerjaan," jawab Nisa enteng, tapi yang ia ucapkan itu bohong.
"Oh ... kamu sibuk banget ya, ternyata." Riki memberengut sedikit kecewa.
"Iya, aku selalu sibuk, Mas," kata Nisa lalu berusaha meluncurkan senyum.
"Ya udah aku pergi dulu ya." Nisa berjalan meninggalkan Riki yang berdiri di situ masih dengan wajah memberengut, tapi tak lama Nisa kembali menoleh.
"Oh, Mas, besok akan dikirim model baru yang diluncurkan bulan lalu dengan ukuran 38, sepertinya di sini model itu yang laku terjual. Dan sepertinya wanita Jakarta kebanyakan mempunyai ukuran kaki 38, ya?" sahut Nisa sambil tersenyum lalu kembali melanjutkan langkahnya, tidak peduli dengan datarnya ekspresi manager fashion dan sepatu itu.
Pria itu lantas menatap sendu punggung Nisa yang semakin menjauh. 'Susah banget dapetin cewek satu itu,' batin Riki.
🌸🌸🌸
Nisa berjalan keluar dari lift apartemennya dengan kelelahan. Hari ini ia luar biasa sibuk. Walaupun setiap hari ia selalu sibuk tapi hari ini berbeda. Ia harus merekap laporan penjualan dari tiga kota sekaligus. Ia tidak mengerti kenapa staff marketing dari tiga kota itu cuti melahirkan secara bersamaan. Ini membuatnya benar-benar frustasi.
Mereka semua akan punya anak. Sedangkan Nisa sedikit pun tidak ada keinginan untuk menikah. Entahlah. Mungkin Tuhan belum membuka hatinya untuk melangkah ke arah sana. Tapi jika kelak ada seseorang yang bisa menyembuhkan luka yang sudah mengakar di hatinya, mungkin ia akan mempertimbangkan.
"Heh, kebiasaan, berjalan sambil nunduk," seru seseorang di depan Nisa.
Nisa mengangkat wajahnya dan melihat Seno berdiri sambil bersandar di depan pintu apartemennya. Seno adalah sahabat sekaligus tetangganya.
"Pizza?" Seno menawari Nisa sambil menunjuk pintu apartemen dengan ibu jarinya menyuruh Nisa masuk ke apartemennya.
"Thanks deh, gue capek banget nih, pengen langsung tidur."
"Ya ... gak asik dong kalau gue makannya sendirian aja. Gue udah beli dua karton tauk! Lo gak mau makan malam? kalo maag lo kambuh nanti siapa yang repot, gue kan?"
Nisa tergelak. Dan satu lagi, Seno adalah ibunya versi laki-laki. Seno cerewet abis, tapi cerewet juga demi kebaikan Nisa, sih. Seno berjalan mendekati Nisa lalu menggamit tangan Nisa ke apartemennya.
"Oke, gue makan!" kata Nisa dengan wajah memberengut.
"lu emang mother fierce gue. Gila lu!" seloroh Nisa yang dibalas dengan tawa renyah Seno sambil mengacak rambut panjang sahabatnya itu.
"Hei, nyokap lo kan jauh di Sukabumi. Di Jakarta sebagai gantinya kan gue. Hehehe." Seno membuka pintu apartemennya.
Hanya dengan Seno Nisa bisa menjadi dirinya sendiri. Bisa mengeluarkan unek-unek dengan nyaman plus melampiaskan kekesalannya pada seseorang ke Seno, dengan pasrah Seno cuma bisa diam ketika Nisa memarahinya gak jelas. Seno sudah tahu tabiat sahabatnya itu. Sedangkan Seno nyaman dengan Nisa karena gadis itu tempat curhat yang pas soal cewek-cewek. Nisa sendiri menganggap Seno selain mother fierce adalah playboy cap paus yang terdampar. Tubuhnya yang sedikit tambun tapi punya wajah yang cute berhasil membuat cewek-cewek jatuh hati padanya. Dan kebanyakan dari klan daun muda alias ABG-ABG. Nisa tahu Seno hanya dimanfaatkan saja oleh mereka.
Seno berasal dari keluarga berada, setelah lulus kuliah, dengan bantuan financial dari orang tuanya, Seno mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang advertising. Isi kepala pria itu memang penuh dengan ide-ide kreatif. Jadi, perusahaan yang didirikannya sejauh ini sudah berkembang dan sudah banyak yang memakai jasanya untuk dibuatkan iklan. Sampai saat ini Seno sudah mempunyai kurang lebih enam puluh orang karyawan.
"Jadi apa yang bikin lo kayak zombie sekarang?" tanya Seno sambil mengunyah pizza. Nisa menghela napas panjang sambil meletakan pizza yang tinggal setengah ke karton.
"Kacau hidup gue sekarang, Sen. Masa bulan ini ada bawahan gue yang cuti melahirkan tiga orang sekaligus. Kebayang dong gimana kerjaan gue sekarang? Hadoh ... mana manager gue juga baru ganti. Yang ini maunya serba kilat aja. Apa gue resign aja kali ya?"
"Terus elo mau jadi gembel?" Nisa mendelik.
"Gila lo!"
"Lagian udah bagus bisa kerja malah mau keluar. Posisi lo itu adalah posisi yang direbutin oleh semua orang. Zaman sekarang susah cari kerja tau!"
"Kan gue punya sahabat seorang CEO. Boleh gak gue kerja di tempat lo?" Seno tersedak mendengar ucapan Nisa. "Kagak! Elo orangnya gak kreatif dan emosian. Yang ada nanti tambah ancur. Lagian kantor gue cuma nerima orang yang umurnya tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Elo kan lebihnya banyak banget, Nis." Nisa langsung manyun.
"Ya Tuhan apes banget gue, punya sahabat satu-satunya tapi kejam banget omongannya."
"Hei gue ngomong gitu, itu dari hasil riset gue selama hampir sebelas tahun jadi temen lo," kata Seno lalu senyum-senyum.
"Gue tahu elo gak mau nerima karyawan yang umurnya lebih dari dua puluh lima tahun karena elo maniak ABG. Nanti kalau ada cewek cakep yang ngelamar di kantor lo pasti langsung lo pacarin, ya kan? Ngaku lo!"
"Ya gak mungkin lah. Gue kan bosnya, masa gue macarin anak buah sendiri. Gue harus berwibawa dong. Bener, gak?"
"Huh ... lagak lo udah kayak bos beneran aja. Udah ah, gue cabut dulu."
"Gue emang bos beneran monyong!" Nisa tertawa, paling enak kalau udah bikin Seno kesal. Nisa bangkit sambil membawa satu karton pizza yang masih utuh.
"Iya-iya deh lo bosnya."
"Hei mau dibawa kemana pizza gue?"
"Perut lo udah off side tuh. Yang ini buat gue sarapan besok. Diet dong lo. Katanya pengen sispek."
"Cerewet lo," ucap Seno sebal.
"Dah ... thanks, Sen," kata Nisa sambil mengangkat karton pizza lalu pergi dan menutup pintu apartemen Seno.
Setelah Nisa pergi, Seno tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Karena mahluk satu itu hidupnya tidak sepi.
🌸🌸🌸
Suasana di kantor pagi ini tetap sama seperti biasa. Semua orang yang berpapasan dengan Nisa sedikit membungkukan badannya dengan sopan. Nisa itu masih muda dan cantik, tapi dia sudah berhasil menjadi orang kepercayaan bosnya dalam bidang marketing. Selain Nisa, ada Nadya yang jadi anak emas. Nadya adalah ketua tim dari divisi kreatif design, yang tugasnya membuat design-design baru. Sudah menjadi rahasia umum kalau Nisa dan Nadya itu mempunyai hubungan yang buruk, alias tidak akur. Saat penjualan merosot Nisa acap kali menyalahkan tim design, dengan alasan model sepatu yang mereka ciptakan kurang diminati masyarakat. Sedangkan Nadya menyalahkan Nisa tidak becus kerja yang mengakibatkan penjualan merosot.
Hari ini di divisi Nisa akan ada karyawan baru. Sebelum karyawan itu datang, Nisa terlebih dulu melihat Curriculum Vitae orang tersebut. Dia lulusan Ekonomi Management UI yang sedang menunggu wisuda. Namanya Yuda Arie Pratama, berusia dua puluh dua tahun.
Tak lama kemudian karyawan itu datang diantar oleh Lena asisten Nisa ke ruangan. Lena mengetuk pintu ruangan Nisa yang terbuka.
"Mbak, karyawan baru sudah datang, nih," kata Lena. Nisa yang sedang serius menatap laptopnya langsung mendongak lalu berdiri mempersilakan masuk.
"Silahkan duduk," sahut Nisa dengan satu gerakan tangan ringan. Lena yang terkenal genit di kantor terlihat salah tingkah melihat karyawan baru itu ternyata ganteng banget. Nisa yang tahu tabiat asistennya itu, akhirnya berkata, "Lena kamu boleh kembali ke mejamu." Lena mengangguk, tapi dengan wajah memberengut. Nisa tertawa dalam hati melihat reaksi asistennya itu.
"Selamat datang di Vreeset Shoes. Nama kamu, Yuda, kan?" Yuda mengangguk sambil tersenyum.
"Iya," katanya singkat.
"Kamu sudah tahu kan, perusahaan ini bergerak di bidang sepatu wanita. Produk kami sebagian besar digunakan oleh seluruh wanita di negara ini termasuk para selebrity dan pejabat-pejabat. Mereka suka produk ini karena kualitasnya yang bagus, kalau bicara soal harga, Vreeset memang agak di atas dari yang lain, tapi itu sepadan dengan kualitas dan model-modelnya yang bagus. Perusahaan ini adalah perusahaan asing dari Paris tapi sudah membuka cabang di Indo dan negara-negara lain juga. Karena kamu akan bekerja di divisi saya, jadi saya akan menjelaskan garis besar bagaimana pekerjaannya."
Senyuman Yuda dari tadi tidak pudar dari bibirnya, dan mata tajamnya tidak berkedip melihat Nisa yang sedang menjelaskan. Yuda sungguh tidak menyangka ketua tim marketing perusahaan sebesar ini adalah seorang wanita muda nan cantik. Tadinya Yuda mengira ia akan berhadapan dengan lelaki gendut, berkepala pelontos dan berkacamata tebal, tapi dugaannya salah besar. Rasanya ia akan semangat bekerja di sini kalau melihat bos yang seperti itu. Ini benar-benar langka.
"Kamu paham sekarang?" tanya Nisa setelah menjelaskan bagaimana makanisme pekerjaannya.
Yuda mengangguk. "Iya," jawabnya singkat.
"Baiklah, kamu boleh pergi, nanti Lena akan membantumu," kata Nisa. Yuda agak gugup di kursinya, sebenarnya ia masih ingin duduk di sana dan memandang wajah imut bosnya. Dahi Nisa berkerut, ia sedikit heran melihat Yuda yang seolah enggan pergi dari sana.
"Silahkan ...," kata Nisa dengan satu gerakan tangan ringan mempersilakan Yuda untuk segera pergi. Yuda mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Setelah keluar dari ruangan, Yuda memegang dadanya dan membuang napas panjang dari mulut. Selama di ruangan, Yuda benar-benar gugup dan jantungnya berdegup kencang.
'Astaga, tuh cewek benaran cantik abis.'
Ternyata ada karyawan yang tak sengaja melihat tingkah Yuda itu. Dia tersenyum dan geleng-geleng kepala, pasti karyawan baru itu sudah terkena pesona bos. Hal itu terjadi juga padanya saat pertama kali bekerja, tapi tunggu saja setelah tahu bagaimana saat bosnya ngamuk, pasti dia akan melupakan wajah cantik dan manis itu.
🌸🌸🌸
Lena menerangkan bagaimana pekerjaan Yuda dan apa saja yang harus Yuda kerjakan. Mereka sibuk di depan komputer, tapi bayangan Nisa belum pergi juga dari mata Yuda. Akhirnya, di saat Lena sedang bicara panjang lebar Yuda berceletuk, "Mbak Nisa masih single?"
"Heh? Maksud kamu?" Lena menghela napas panjang dan menatap Yuda dengan wajah kesal. Ia baru sadar ternyata dari tadi ngomong tidak benar-benar diperhatikan oleh anak ini, karena di otaknya cuma ada bosnya.
"Iya, dia masih single, muda dan cantik. Terus elo mau ngapain?" Karena kesal, Lena mulai menggunakan kata 'elo'. Yuda mengerjap, ia sadar sekarang tutornya mulai ngambek.
"E ... enggak cuma tanya aja," jawab Yuda kikuk.
"Hei, gue bilangin ya sama lo. Jangan sekali-kali lo berurusan sama Bos. Dia itu queen ice-nya kantor ini. Kalau dia lagi marah, lo jangan coba-coba tunjukin muke lo depan dia, bisa-bisa entar lo dimakan sama dia."
"Wah, serius Mbak?" Mata Yuda mendelik kaget plus tidak percaya.
Lena mengangguk tegas.
"Makanya lo jangan terpesona dulu sama dia. Kenali dulu, baru deh lo boleh terpesona sama dia." Yuda mengangguk setuju.
"Ya udah deh, sampe mana tadi? Gue tau dari tadi lo enggak merhatiin gue, kan? Awas aja kalo gue tes elo gak bisa." Yuda menelan ludah sambil melirik sekilas wajah Lena yang masih kesal, lalu kembali menatap komputer. 'Ini sih gampang, makanan gue sehari-hari, cuma merekap-rekap doang,' batin Yuda.
🌸🌸🌸
Di hari pertama kerja, Yuda sudah mendapat keberuntungan bisa tugas luar dengan Nisa. Setidaknya itulah yang dipikirkan Yuda. Padahal menurut karyawan yang lain bertugas luar dengan Nisa sesuatu yang mengerikan.
Lena mendadak sakit jadi dia tidak bisa menemani Nisa tugas luar, jadi Nisa memilih Yuda, alasannya biar Yuda bisa tahu bagaimana situasi di lapangan.
"Bagaimana pekerjaanmu, lancar? Kamu sudah mengerti semuanya?" tanya Nisa sambil menjalankan mobilnya. Yuda mengangguk sopan.
"Iya mengerti, Mbak. Aku akan berusaha. Mmm ... apakah tugas luar setiap hari?" tanya Yuda.
"Ya, bisa dibilang begitu. Karena kita yang mengatur penjualan di toko- toko atau di mall-mall. Tugas kita adalah tombak maju mundurnya perusahaan, jadi selain harus berusaha dan semangat, kita juga dituntut untuk kreatif. Kamu harus berpikir bagaimana caranya agar penjualan sepatu kita meningkat setiap bulannya." Yuda manggut-manggut, sekarang ia beneran tambah kagum sama bos cantiknya itu. Yuda tahu tugas marketing itu tidak mudah, tapi Nisa berhasil berada di posisinya sekarang di usia dua puluh delapan tahun. Ini pencapaian yang luar biasa.
Siapa tahu sisa hari ini Yuda habiskan dengan mencatat, merekap, mengecek, dan menghitung ratusan pasang sepatu yang ada di beberapa toko. Luar biasa di hari pertamanya bekerja ia sudah sangat sibuk, tapi satu pujian dari Nisa membuatnya melupakan lelahnya.
"Untuk pegawai baru sepertimu, itu sangat baik. Kamu bahkan lebih baik dibanding karyawan yang sudah bekerja satu atau dua tahun," kata Nisa. Yuda tersenyum geer.
Akhirnya setelah capek keliling-keliling, Nisa mengajak Yuda makan dan minum di sebuah café.
"Terima kasih untuk hari ini. Kamu sudah bekerja keras. Jadi aku akan membayar semua makanan yang kita makan sekarang," kata Nisa. Senyum manis Yuda kembali terbit.
Wow, ia tidak menyangka hari ini bekerja lalu makan bareng bosnya yang cantik. Dan sepertinya ia tidak setuju dengan omongan-omongan dari karyawan lain yang mengatakan Nisa bos yang galak plus julukannya sebagai queen ice. Karena sepanjang hari ini Yuda tidak melihat sedikit pun hal itu dari Nisa. Memang, Nisa adalah cewek yang workaholic, tapi itu adalah sebagai bukti bahwa ia sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Bukankah harus seperti itu sebagai ketua tim? Sekarang Yuda mengerti kenapa karyawan lain tidak mau kalau harus kerja luar dengan Nisa, karena tidak akan menemukan waktu sekadar istirahat sebentar, atau pun untuk basa-basi. Karena kata Nisa, bermain-main dalam bekerja itu hanya akan menyusahkan dirimu sendiri. Bermain-main ada waktunya. Kamu akan puas dengan pekerjaanmu lalu kamu bisa istirahat dan makan dengan tenang. Yuda setuju dengan pandangan bosnya itu.
Tiba-tiba Yuda teringat ucapan Lena tadi pagi, kenali dulu baru deh lo boleh terpesona sama dia. Sepertinya Yuda mulai terpesona beneran karena sekarang ia mulai mengenali bosnya.
🌸🌸🌸
Setelah kerja luar Nisa dan Yuda kembali ke kantor setelah hari mulai gelap. Tadi sebelum pulang Nisa mampir dulu ke toko buku, sepertinya Nisa butuh refreshing dengan membaca bacaan ringan seperti novel. Pilihannya jatuh pada novel dengan sampul warna putih, gambar sampulnya menarik dan Nisa sempat membaca blurb belakang novel tersebut, ceritanya juga terlihat menarik.
Saat Nisa keluar dari mobil, rasanya ia melihat sesosok makhluk yang sangat dikenalnya sedang mengobrol dengan satpam di depan pintu utama kantor.
Nisa dan Yuda berjalan di parkiran. Saat Nisa semakin dekat barulah ia bisa melihat dengan jelas siapa orang itu.
"Seno? Ngapain lo di sini?" seru Nisa. Yuda yang ada di samping Nisa nampak heran sekaligus terkejut, ternyata bosnya bisa juga berucap kata-kata yang tidak formal.
"Ngapain lagi, ya jemput elo lah," jawab Seno santai.
"Jemput gue?" tanya Nisa heran. Yuda nampak berpikir dan menerka-nerka apakah pria ini cowoknya bos? tapi kalau cowoknya, mana mungkin bahasanya elu-gue.
"Ya ampun, elo masih dua puluh delapan tahun tapi lupaannya ngalahin nenek gue tahu gak!" celetuk Seno asal yang disambut dengan tawa tertahan dari Yuda dan satpam.
"Sialan lo. Apaan sih?" Nisa memonyongkan bibirnya.
"Sekarang resepsi kawinannya Lala. Ingat sekarang?" Seno berkata sambil mencondongkan mukanya pada muka Nisa.
"Oh my God, sumpah gue lupa. Gimana dong? Gue belum prepare nih! Masa gue ke acara kawinan pake baju ginian?"
Seno berdiri tegak sambil melipatkan tangan di dada, matanya menyipit menatap Nisa dari atas sampai bawah.
"Oke. Baju kantor itu cocok banget buat lo Nis, tinggal lo dandan dikit, biar muka jelak lo sedikit tersamarkan," kata Seno sambil memutar-mutar telunjuknya di depan muka Nisa. Kembali Yuda dan satpam tersenyum.
Yuda berpikir lagi, apakah sifat asli Nisa sebenarnya seperti ini? Sangat jauh dari kategori queen ice. Nisa sama aja kayak cewek kebanyakan. Apakah orang kantor belum ada yang mengetahuinya?
"Sialan lu. Asal lo tahu Sen, gue itu udah keren dari lahir tauk!" Nisa berkata sambil memonyongkan bibirnya. Seno tertawa, ya sebenarnya perkataan tadi tidak benar-benar keluar dari hatinya.
"Cepetan dong! Keburu malam nih," ujar Seno sambil melirik arlojinya. Nisa mengerjap. "Oh, oke-oke tunggu bentar." Nisa berjalan masuk ke kantor diikuti Yuda. Setelah Nisa berada di ruangannya, ia menyerahkan sisa pekerjaannya pada Yuda dan Lena. Lalu ia ke toilet untuk cuci muka dan berdandan sebisanya. Setelah selesai Nisa kembali ke depan.
"Sudah, ayo pergi," sahut Nisa pada Seno.
"Yuk ...," kata Seno sambil mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya.
"Pak, aku titip mobilku ya," sahut Nisa pada satpam.
"Siap Mbak," kata satpam sambil mengangkat ibu jarinya.
🌸🌸🌸
Di mobil Honda City-nya Seno, Nisa sibuk sendiri dengan bacaannya yang tadi ia beli. Sekarang masih jam tujuh malam dan lalu lintas masih sedikit macet. Jadi untuk mengisi waktu di kemacetan, membaca adalah hal yang terbaik.
Seno melirik Nisa di sampingnya yang tengah tenggelam dengan dunianya sendiri.
"Sekarang bacaan lo kayak gituan? Enggak baca bukunya Peter F Drucker lagi yang tebelnya minta ampun itu?"
"Enggak, gue butuh refreshing jadi gue butuh bacaan ringan," jawab Nisa santai.
Seno tertawa. "Elo itu entah aneh atau ajaib gue gak ngerti, tapi semua orang kalau butuh refreshing ya liburan, elo malah baca novel."
Dari dulu Nisa memang seperti itu, Seno sebenarnya sudah tahu tapi tetep aja ia pengen komentar. Sering mereka bertengkar cuma gara-gara si Peter F Drucker itu, Nisa yang memang sangat hobi membaca, nyuekin Seno yang datang untuk curhat. Akhirnya Seno sebal dan pergi, tapi setelah itu Nisa yang datang menemui Seno untuk minta maaf dan mereka kembali seperti semula. Lalu mendengarkan curhatan-curhatan Seno yang selalu soal yang sama: cewek-cewek.
"Gak ada yang ngajakin dan ngebayarin gue liburan soalnya. Kecuali kalo elo mau ngelakuin keduanya baru gue mau liburan," celetuk Nisa sambil mesem-mesem.
"Monyong lu emang. Gimana elo enggak cepet kaya, semuanya pengen gratisan aja." Nisa tertawa keras.
"Nah itu lo tau."
"Kayaknya gue mulai ngerasa ketiban sial jadi temen lo." Nisa kembali tertawa.
"Itu sih udah jadi nasib elo, Sen."
Entah kenapa walaupun seperti itu, Seno tetap merasa nyaman jadi sahabat Nisa. Bahkan terlalu nyaman. Ia tahu semua kejelekan Nisa, dan ia tahu semua kelebihan dan kebaikan Nisa. Ia juga sudah terlalu sering dimanfaatkan Nisa dalam hal apapun, tapi Seno masih tetap menganggap Nisa adalah teman terbaiknya.
Saat mereka masih sama-sama di Singapura, Seno tidak akan pernah sedikit pun melupakan kebaikan Nisa yang satu itu.
Ketika pertama kali Seno mendarat di Singapura, Seno kehilangan satu tasnya, yang ternyata isi tas itu barang-barang berharganya, termasuk dompet dan hape, ia masih beruntung karena passport-nya ia sakuin di saku celana jadi tidak ikut hilang bersama dompet dan hapenya. Saat itu Seno tidak tahu harus ngapain, tanpa uang sepeser pun dan tanpa alat komunikasi. Ia benar-benar seperti gembel di negara orang. Mau menghubungi orang tuanya di Indonesia tidak bisa, mau nelepon dari telepon umum butuh uang, sedangkan dirinya enggak ada uang seperak pun.
Namun, saat genting seperti itu ada Nisa yang mengulurkan bantuan padanya. Nisa meminjami Seno uang dan memberi makan. Padahal Seno tahu gadis itu juga sedang kesulitan karena ia hanya diberi uang yang sangat pas-pasan oleh orang tuanya.
Karena uang Nisa dipinjami ke Seno alhasil selama beberapa hari gadis itu hanya memakan roti dan minum air keran saja. Dari sana Seno tahu Nisa orang yang sangat baik, dan Seno berjanji pada dirinya sendiri, ia akan selalu menjaga malaikat penolongnya itu sampai kapan pun. Sekarang ia membeli apartemen di samping apartemen Nisa pun karena janjinya itu. Padahal orang tuanya sudah memberi rumah untuknya, tapi Seno memilih tinggal di apartemen.
Karena kejadian itu, Seno jadi dekat dengan Nisa bahkan terlalu dekat. Sampai tidak ada rahasia di antara mereka. Termasuk soal Viko. Pria di masa lalu Nisa.
Seno tidak canggung membahas soal apapun dengan Nisa kecuali soal Viko. Nisa akan berubah jadi sensitif kalau disinggung soal mantannya itu, karena menurut Nisa hal itu tidak lucu sama sekali. Seno tahu, Nisa mempunyai trauma soal pasangan gara-gara si Viko itu. Dan karena pria itu juga Nisa hampir saja kehilangan nyawanya dan hidup dalam keterpurukan selama bertahun-tahun.
Awalnya Seno beranggapan Nisa terlalu lebay menanggapi soal asmaranya itu, tapi setelah tahu ceritanya, akhirnya Seno bisa memaklumi Nisa sampai trauma seperti itu. Ia dihianati oleh pacarnya dan sahabatnya sekaligus. Seno semakin geram ketika mendengar kisah persahabatan Nisa dengan Gita yang terjalin dari mereka masih sama-sama duduk di sekolah TK. Tidak habis pikir kenapa Gita sampai tega melakukan itu pada Nisa.
Selain trauma soal laki-laki Nisa juga enggan menjalin hubungan pertemanan yang terlalu dekat dengan perempuan, karena menurutnya perempuan itu penuh dengan kepalsuan. Alias lain di mulut lain di hati, dan suka membicarakan di belakang, sedangkan di depan dia bersikap manis.
Dari itu itu Nisa cuma dekat dengan Seno. Nisa hanya nyaman dengan Seno.
🌸🌸🌸
Seno memarkirkan Honda City nya di pelataran parkir gedung tempat resepsi pernikahan Lala. Dan sepertinya mereka datang di waktu yang tidak tepat, sekarang tamu sedang membludak-membludaknya. Tadi juga Seno sedikit susah mencari parkiran. Maklum yang kawinan adalah anak pejabat. Suami Lala yang anaknya pejabat.
"Sen, gimana nih? Panjang banget antriannya. Kayaknya kita bakalan kebagian salaman sama penganten jam sepuluh malam," kata Nisa.
Seno menggigit bibir, ia nampak sedang berpikir.
"Mending kita makan dulu aja yuk. Gue laper banget nih," ucap Seno dengan muka memelas. Nisa mendengus, kirain dia memikirkan ide untuk bisa salaman dengan penganten lebih cepat tahunya soal makan.
"Makanan aja yang lo pikirin, Ndut," kata Nisa sebal. Seno menyeringai menunjukan deretan gigi putihnya.
🌸🌸🌸
Setelah selesai makan, Nisa dan Seno langsung bergabung ke dalam barisan. Sampai sekarang tamunya benar-benar masih banyak. Tidak sedikit juga selebrity yang datang. Karena pengantin wanitanya adalah seorang produser beberapa program di sebuah stasiun televisi swasta. Jadi produser memang mimpinya si Syahla alias Lala, waktu ia kuliah di Singapura bareng Seno dan Nisa, Syahla mengambil jurusan media pertelevisian. Lala dan Nisa sekarang bekerja sesuai dengan jurusan yang mereka ambil saat kuliah, tapi Seno kuliah jurusan hukum, tapi sekarang jadi tukang iklan. Begitulah Nisa dan Lala menyebutnya. "Tukang Iklan."
Benar saja apa kata Nisa, kayaknya mereka bakal kebagian salaman sama pengantin jam sepuluh malam. Sekarang jam sepuluh kurang sepuluh mereka baru bisa nyampe ke karpet pelaminan. Lala terlihat semringah ketika melihat dua mahluq yang sangat dikenalnya itu, ia tidak sabar untuk segera bersalaman dengan Nisa dan Seno.
Saat mereka sudah berada di depan pengantin, Lala langsung memeluk Seno dan Nisa sambil teriak kegirangan tidak peduli dengan tamu lain dan mertuanya yang melihatnya aneh. Perempuan itu memang dijuluki miss riweuh sama Nisa dan Seno.
"Heh, gue kira kalian enggak datang. Tadinya gue akan kecewa banget kalo lo berdua enggak datang. Gua akan marah banget dan lo berdua akan gue delkon dari hape gue. Kita kan udah hampir setahun enggak ketemu, rasanya keterlaluan banget kalau kalian enggak datang sekarang."
"Sekarang kita di depan lo, kan? Hihihi," kata Nisa.
"Gila nih kawinan lo, antriannya panjang bener, gue ampe pegel tauk!" seloroh Seno.
"Hei, itu karena gue dan laki gue populer abis. Oh iya ini suami gue, namanya Brian. Sorry gue baru bisa ngenalin Brian secara langsung sama lo berdua sekarang." Nisa dan Seno menyalami pengantin pria dengan sopan.
"Bi, ini Nisa dan ini Seno, mereka ini sahabatku waktu kuliah di Singapura dulu," kata Lala, Brian melempar senyum hangat.
"Kalian suami istri?" celetuk Brian. Nisa dan Seno mendelikan mata kompak. Sedangkan Lala langsung menyemburkan tawanya.
"Bukan Bi, mereka cuma temen. Ya ... walau bisa dibilang temen kayak pacar sih, hahaha ...."
"Apaan sih lo," kata Nisa sambil manyun, tapi setelah itu ia tertawa juga. Sedangkan Seno ia diam saja. Entah kenapa ucapan Brian tadi sedikit menyentil sebuah ruang hatinya.
"Suami istri? Apakah kita terlihat seperti suami istri?" batin Seno. Entah kenapa ia merasa senang ketika ada orang yang beranggapan seperti itu.
"Nis, Sen, selfie dulu yuk, buat kenang-kenangan nih," kata Lala sambil menyomot ponselnya di kursi pelaminan.
"Ok."
Pertemuan mereka pun ditutup dengan acara selfie heboh, yang membuat antrian di belakang mereka menunggu dengan kesal.
Sebelum pulang, Nisa dan Seno nonton dulu perform-nya Judika. Kapan lagi bisa nonton penyanyi papan atas Indonesia nyanyi secara live dengan gratis.
Saat Nisa dan Seno serius menonton Judika, ada seseorang yang tidak jauh dari mereka memerhatikan. Orang itu berpikir ia kenal dengan si perempuan. Iya, ia tidak salah.
Bagaimana ia tidak mengenalnya, perempuan itu adalah orang yang sangat dirindukannya selama bertahun-tahun dan yang membuatnya merasa ingin mati karena merasa bersalah. Ia ingin menghampirinya saat itu juga, tapi ketika perempuan itu tersenyum cerah dan bahkan bicara lalu tertawa dengan seorang laki-laki di dekatnya, ia mundur lagi.
🌸🌸🌸
Pria itu memandang laptopnya dengan pandangan kosong, padahal ia harus segera menyelesaikan tulisannya yang harus dikirim ke editor besok pagi. Sekarang waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari, tapi dari tadi sore ia baru menyelesaikan setengah halaman saja. Kalau saja tadi waktu di resepsi pernikahan Brian tidak melihat wanita itu, mungkin sekarang dengan mudah ia sudah menyelesaikan tulisannya.
"Nisa, aku senang bisa melihatmu lagi. Ternyata kamu sekarang hidup dengan sangat baik. Aku lega sekali," ucapnya lirih. Setelah itu ia kembali berusaha menekuni pekerjaannya yang tanpa kenal waktu itu.
🌸🌸🌸
Pagi-pagi sekali Yuda mengendap-endap masuk ke ruangan Nisa sambil membawa secangkir kopi panas, ia berharap aksinya itu tidak ada yang melihat. Setelah berada di ruangan Nisa, Yuda meletakan cangkir kopi itu beserta secarik kertas dengan tulisan:
"Semangat dan tersenyumlah, karena kau sangat cantik kalau tersenyum."
Setelah meletakan itu, Yuda buru-buru keluar ruangan dan duduk di kursinya dengan tegang.
Selang beberapa menit Nisa pun datang, Yuda menarik napas dan membuangnya dari mulut dengan gugup. Ia berharap bosnya akan suka. Dari tempatnya duduk, ruangan Nisa jelas terlihat karena ruangan Nisa hanya sebuah ruangan dari kaca transparan.
Yuda melirik Nisa dengan tegang. Wanita cantik itu terlihat bingung tiba-tiba ada kopi dan tulisan di mejanya. Nisa mengangkat kertas itu lalu membacanya, lantas ia tersenyum. Pandangannya berkeliling ke luar ruangan.
"Siapa yang menaruh ini di sini?" Nisa bertanya-tanya sendiri.
"Siapa pun itu, thanks." Nisa duduk di kursinya lalu menyeruput sedikit demi sedikit kopi panas itu.
Yuda tersenyum senang melihat reaksi Nisa seperti itu. Pemuda itu memang sudah naksir Nisa dari pertama bertemu, ketika mereka kerja luar bersama kemarin, Yuda semakin mengagumi Nisa, dan rasanya Yuda mulai menyukai Nisa sebagai seorang perempuan bukan seorang bos. Ya walaupun umur mereka terpaut jauh, tapi di zaman sekarang hal itu sudah biasa bukan?
Satu saat nanti, ia akan memberanikan diri mengungkapkan perasaannya itu pada Nisa. Tidak peduli bagaimanapun hasilnya nanti yang penting ia bisa mengungkapkan perasaannya.
🌸🌸🌸
Sore hari waktunya kerja luar, Yuda menawarkan diri menemani Nisa kerja luar. Karyawan lain terlihat senang dan menghela napas lega ketika Yuda dengan cepat tunjuk tangan untuk menemani Nisa. Karyawan baru itu bisa diandalkan juga, pikir para karyawan lain. Padahal bagi Yuda kerja luar adalah saatnya untuk bisa lebih mengenali Nisa.
"Bolehkah aku yang nyetir mobil sekarang?" tanya Yuda saat di parkiran di samping mobil Nisa. Kening Nisa berkerut.
"Hm, maksudku, tidak pantas saja kalau Bos yang menyetir," ujar Yuda cepat sebelum Nisa berpikir yang tidak-tidak. Nisa mengangguk sambil tersenyum.
"Oke," ucap Nisa sambil melempar kunci mobil ke Yuda. Sekarang mereka sudah duduk di posisi masing-masing.
"Mau kemana sekarang?" tanya Yuda.
"Ke toko yang di mall Kelapa Gading," jawab Nisa. Yuda mengangguk semangat lalu tancap gas.
🌸🌸🌸
Seperti biasa sesudah bekerja keras mengecek seluruh barang di toko, Nisa dan Yuda makan di sebuah kafe. Melihat bagaimana Yuda bekerja, rasanya Nisa lebih nyaman bekerja dengan pemuda itu dibanding dengan yang lain. Yuda tidak pernah mengeluh, ia bekerja dengan tekun sehingga bisa menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dan tepat.
"Yuda, aku suka cara kamu kerja. Itu bagus. Aku yakin kalau kamu tetap seperti ini hingga masa percobaanmu selesai, perusahaan tidak akan mempertimbangkan lagi untuk menerimamu sebagai karyawan tetap," kata Nisa sambil menggulung-gulung spageti oleh garpu.
"Benarkah? Wah, aku senang kalau gitu, Bos," seru Yuda semringah.
"Iya asal kamu tetap mempertahankan kinerjamu seperti ini. Dan aku juga sebagai bosmu tidak akan tinggal diam, aku akan mempromosikanmu."
"Wah ... serius, Bos?" Yuda semakin lebar memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya. Nisa mengangguk sambil tersenyum. Otot-otot muka Yuda tidak bisa menyembunyikan lagi rasa senangnya sekarang.
"Serius," kata Nisa meyakinkan Yuda.
"Terima kasih, Bos. Aku bersyukur, disaat aku sedang menunggu wisuda aku sudah mempunyai titik terang buat masa depanku. Aku tahu di zaman sekarang susah banget dapet kerjaan bagus. Senior-seniorku malah sampe sekarang masih banyak yang nganggur, akhirnya mereka membuka usaha sendiri, atau ujung-ujungnya ngelamar jadi driver ojek online," tutur Yuda. Nisa ngangguk-ngangguk.
"Eh, ngomong-ngomong tidak masalah nih kalau kita keseringan makan berdua seperti ini? Tidak ada yang cemburu? Kamu punya pacar enggak?" tanya Nisa. Yuda yang baru saja memasukan makanannya ke mulut langsung tersedak mendengar pertanyaan Nisa barusan. Dengan cepat Yuda meraih minumannya dan meminumnya hingga hampir habis. Pertanyaan bosnya membuatnya sangat kaget.
"Maaf-maaf pertanyaanku bikin kamu kaget ya? Ya ampun ... kamu sampe tersedak begitu," sahut Nisa cemas sekaligus bersalah. Yuda mengelap mulutnya dengan tissue lalu tertawa kecil.
"Tidak apa-apa, Bos. Hm, aku jomblo kok, tenang aja, jadi enggak akan ada yang cemburu," kata Yuda.
"Yang disuka sih ada, tapi entahlah, rasanya malu aja buat ngakuinnya," sambungnya polos.
"Kenapa harus malu. Kamu kan cowok, jadi cowok harus berani dong. Atau sebenarnya kamu takut ditolak, ya?" kata Nisa sambil melahap spagetinya. Yuda tertawa sambil menunduk.
'Gak tahu apa gue suka sama lo,' batin Yuda.
"Nanti ada saatnya aku mengungkapkan perasaanku, jadi tunggu saja," ujar Yuda. Nisa berhenti mengunyah makanannya mendegar ucapan Yuda. Maksudnya apa tunggu saja? Apakah anak ini mau laporan kalau sudah nembak cewek yang dia suka? pikir Nisa.
Nisa cuma ngangguk-ngangguk tidak mengerti, lalu ia segera membuang pikiran-pikiran janggalnya itu. Dengan santai Nisa kembali melahap makanannya. Sedangkan Yuda malah membeku di kursinya. Tadinya ia ingin menanyakan hal yang sama pada Nisa, tapi ia pikir itu terkesan lancang kalau bawahan menanyakan masalah pribadi bosnya. Lagian Yuda baru kenal Nisa dua hari.
🌸🌸🌸
Tidak terasa Yuda sudah bekerja satu bulan di Vreeset Shoos, dan itu membuatnya semakin dekat dengan Nisa. Awalnya karyawan di kantornya tidak ada yang curiga dengan kedekatan Nisa dan Yuda, tapi lama-lama mereka mencium ada yang aneh antara bawahan dan atasan itu. Melihat bagaimana perhatiannya Yuda pada Nisa, melihat bagaimana Yuda selalu ingin menemani Nisa kerja luar, dan melihat bagaimana kesigapan Yuda kalau berurusan dengan bosnya itu. Padahal Nisa menganggap semua itu biasa saja. Tidak ada yang spesial. Perhatian Yuda yang lebih pada dirinya ia anggap sebagai apresiasi bawahan pada atasan yang berusaha mengambil hati seorang bos agar karirnya kedepan mulus.
Namun, kejadian sore itu sedikit membuat Nisa merasa apa yang orang-orang di kantor bilang benar. Perhatian Yuda padanya memang sudah sangat berlebihan.
Sore itu hujan masih saja mengguyur seluruh kota, Nisa dan Yuda baru saja selesai kerja luar ke salah satu toko. Karena Nisa lupa membawa payung akhirnya langkah mereka tertahan di lobi.
"Kayaknya bakal lama redanya Bos. Gimana nih? Kita harus cepat-cepat kembali ke kantor," sahut Yuda. Nisa melirik jam tangannya. Benar, mereka harus segera kembali, kalau tidak pekerjaannya akan tersendat. Lagi pula sudah hampir satu jam mereka menunggu hujan reda tapi tidak ada tanda-tanda untuk berhenti.
"Oke, kita lari ke mobil," kata Nisa. Saat Nisa mengambil ancang-ancang hendak berlari, Yuda menahannya, lalu ia membuka jaketnya dan memakaikannya pada Nisa. Ia menatap Yuda yang sedang memakaikan jaketnya. Selama mengenal Yuda, baru kali ini ia memandang wajah anak itu dari jarak yang sangat dekat. Benar apa yang Lena bilang, Yuda anak yang tampan. Nisa jadi gugup dan merasa aneh. Perlakuan Yuda padanya seperti memperlakukan seorang kekasih. Apalagi saat Nisa melihat beberapa orang di lobi mall itu menatapnya dengan iri. Pasti mereka mengira Ia dan Yuda pasangan kekasih. Astaga, ini sudah tidak benar!
"Sudah, ayo kita lari," sahut Yuda sambil menggenggam telapak tangan Nisa. Dan anehnya Nisa tidak punya kekuatan untuk menolak saat tangannya digenggam erat oleh pemuda itu. Yuda tidak membiarkan Nisa basah kuyup dengan memberikan jaketnya dan merelakan dirinya sendiri yang basah kuyup. Bukankah ini sudah sangat berlebihan?
Sepanjang perjalanan ke kantor di dalam mobil, Nisa diam seribu bahasa. Nisa mengingat-ingat lagi apa saja yang sudah Yuda lakukan untuknya sebulan ini.
Yuda membelikan minyak urut untuk Nisa saat Nisa mengeluh kakinya yang pegal karena harus selalu memakai sepatu hak tinggi sepanjang hari, setelah itu Yuda memberinya sandal jepit untuk dipakainya pulang.
Kemudian hampir setiap hari Yuda mengantarnya kerja luar dan membereskan pekerjaan hingga beban pekerjaan Nisa banyak berkurang. Memberi Nisa kopi atau makanan setiap pagi, dan selalu sigap memenuhi apa yang diperintahkan Nisa kepadanya.
Semua yang Yuda lakukan untuknya membuat orang-orang di kantor curiga pada mereka.
"Sekarang mainan lo sama berondong ternyata, gila ya, emangnya elo udah expired buat cowok-cowok yang seumuran apa? Kasihan."
Nisa tiba-tiba teringat bagaimana pedasnya omongan Nadya, musuh bebuyutannya di kantor. Nisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak. Ini harus segera dihentikan. Ia harus bisa menjaga jarak dengan Yuda. Tapi kalau ia menjaga jarak, anak ini kerjanya bagus dan sangat bisa diandalkan dibanding dengan karyawan yang lain. Nanti Nisa bisa repot lagi.
"Kenapa, Bos?" tanya Yuda yang sedang menyetir. Nisa tersenyum hambar.
"Tidak. Tidak apa-apa. Yuda, sepertinya saya mau langsung pulang aja, kamu selesaikan pekerjaannya, ya?"
"Kenapa, Bos? apa Bos gak enak badan gara-gara hujan-hujanan tadi?" tanya Yuda cemas. Nisa mengerjap, lalu dengan kaku ia mengangguk. Padahal ia bukan tidak enak badan tapi ia sedang tidak enak dengan perasaannya sendiri karena perlakuan Yuda itu.
"Baiklah bos, aku akan menyelesaikan pekerjaan ini, nanti Mbak Lena akan membantu. Sekarang ayo aku antar pulang, biar aku ke kantor naik taksi aja," sahut Yuda, ia langsung memutar balik kemudi ke apartemen Nisa. Yuda memang sudah beberapa kali mengantar Nisa pulang. Mata Nisa mendelik, anak ini memang selalu sigap dalam hal apapun. Nisa belum mengatakan apa-apa tapi Yuda sudah mengambil inisiatif sendiri.
Apakah benar dengan kecurigaannya ini?
Selang beberapa menit mereka sampai di depan apartemen Nisa. Yuda menatap bosnya lalu tersenyum. "Udah sampai bos," katanya. Nisa menatap Yuda dengan sedikit gugup. setelah menyadari semua ini, Nisa jadi agak kikuk sama Yuda. Tapi anehnya dalam hati kecil Nisa, ia senang ada yang memperlakukannya seperti itu. Yuda benar-benar anak yang manis.
"Oh iya. Kamu mau turun di sini?"
"Iya Bos, Bos bisa nyetir sendiri kan ke parkiran?" Nisa mengangguk.
"Baiklah, aku pergi dulu ya, jangan lupa mandi air hangat lalu makan malam biar enggak sakit," ucap Yuda lalu keluar dari mobil. Sebelum ia melangkah pergi, Yuda melemparkan senyumannya dan itu membuat hati Nisa menghangat.
Setelah Yuda benar-benar pergi, Nisa menjatuhkan kepalanya ke dasbor mobil.
"Astaga kenapa harus anak itu yang memperlakukan aku semanis ini? Kenapa harus oleh Yuda hatiku bergetar seperti ini? Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh menyukai anak itu, dia terlalu muda untukku. Bahkan umurnya seumuran sama Angga, adik bungsuku."
Nisa melihat dari kaca spion, Yuda mencegat taksi lalu pergi ke kantor.
🌸🌸🌸
"Heh jangan berpikir berlebihan hanya karena sebuah jaket! Kelamaan jomblo sih, begini jadinya," oceh Seno setelah Nisa curhat panjang lebar tentang Yuda. Nisa manyun sambil memikirkan ucapan Seno itu.
"Tapi, kenapa jantung gue jadi berdebar setelah menyadari ini, ya?"
"Ya ampun, lo jangan dulu berpikir lo sedang fall in love. Di saat detak jantung lo tidak beraturan, siapa tahu lo sedang terkena arrhythmia atau diabetes," tutur Seno asal. Mata Nisa langsung mendelik. "Seno, gue masih muda tidak mungkin gue terkena serangan jantung atau diabetes," semprot Nisa sewot. Dasar Seno, bukannya kasih masukan baik, malah menuduh Nisa arrhythmia dan diabetes
"Jadi lo berpikir lo jatuh cinta sama bocah itu?"
Nisa tidak bisa menjawab, ia menjatuhkan kepalanya ke sandaran sofa lalu mengurut keningnya pelan. Ia sendiri masih tidak yakin, karena ia sudah lupa rasanya jatuh cinta itu seperti apa, karena itu sudah sangat lama. Parasaannya pada Yuda apakah bisa dikategorikan perasaan cinta? Atau cuma kagum?
Seno memegang kening Nisa. "Otak lo panas dan otak lo error kalau lo beneran cinta sama anak itu." Nisa langsung menghempaskan tangan seno dari keningnya. "Apaan sih lo!"
"Nis, lo tahu kan umur si Angga aja dua puluh tiga tahun, terus si Yuda dua puluh dua tahun. Sama adik bungsu lo aja masih tuaan adik lo. Elo mau adik-adik lo ngeledekin lo abis-abisan? Gak mau, kan? Masa kakak gue jalan sama berondong. Gua aja yang jadi sahabat lo malu tau. Dan apa lo juga enggak malu sama orang-orang di kantor? Lo yang notabennya sebagai bos marketing jalan sama anak yang baru lulus kuliah, gue yakin nanti lo jadi sasaran empuk si Nadya, musuh lo itu."
Nisa menutupi mukanya dengan bantal, bener juga apa kata Seno. Baru deket aja, orang-orang kantor udah heboh abis, apalagi kalau Nisa dan Yuda pacaran.
"Tau ah gue pusing, nih. Lo pulang sono!" Nisa mengusir Seno sambil memukulnya dengan bantal.
"Astaga, lihatlah kelakuan lo itu! lo nyegat gue, narik-narik gue ke sini, terus lo ngusir gue sekarang. Ya Ampun! Hei asal lo tau cuma gue yang sabar ngadepin cewek kayak lo ini."
"Emang gue cewek kayak apa?" tanya Nisa dengan muka polos.
"Ngaca sono!" sahut Seno lalu pergi sambil senyum-senyum cuek.
"Seno ... kasih tau gue, gue cewek kayak apa?" teriak Nisa.
"Daaahhh ...," seru Seno sebelum menghilang di balik pintu.
"Dasar cowok gila!" seloroh Nisa, tapi bibirnya menyunggingkan senyum.
"Thank Sen, udah ngebantu gue memecahkan persoalan ini."
🌸🌸🌸
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!