Di sebuah pekuburan umum 3 tahun lalu....
Wisnu memandang batu nisan yang bertuliskan nama Dina Anjani. Hatinya masih selalu sakit setiap kali datang ke tempat ini. Pada hal kematian Dina sudah lebih dari 6 tahun. Wisnu seharusnya sudah bisa melupakan cinta pertama dalam hidupnya itu. Namun ia sama sekali tak bisa. Cintanya pada Dina sangat besar.
Di belakangnya, berdiri Gading. Sopir sekaligus tangan kanannya. Pria yang berusia 2 tahun lebih tua darinya.
"Tuan, sepertinya sudah mau hujan." Gading mengingatkan saat dilihatnya langit yang mulai gelap.
Wisnu menoleh pada Gading. "Hmm...." ujarnya pelan. Ia meletakan bunga melati kesukaan Dina di atas nisannya. Hari ini adalah peringatan kematian Dina. "Damai dalam keabadian bersama Sang Pencipta, sayang."
Wisnu pun melangkah, meninggalkan makam Dina yang hampir setiap bulan dikunjunginya. Bahkan ketika ia sudah menikah pun, ia masih belum bisa melupakan Dina.
Gading berjalan di belakang tuannya. Ia yang sudah 7 tahun mengenal Wisnu, sangat tahu bagaimana perjalanan hidup pria itu. Karakternya yang lebih banyak diam membuat semua karyawan sangat menghormatinya. Wisnu sangat Susah ditebak orangnya. Dia hanya bisa terlihat wajah aslinya saat datang ke kuburan Dina.
Ketika keduanya sudah sampai di dekat mobil, Gading berjalan mendahuluinya dan membukakan pintu mobil bagi tuannya itu. Setelah Wisnu ada di dalam mobil, ia pun menutup pintu dan membuka pintu di bagian sopir.
Tiba-tiba saja, dari arah sebelah kiri mobil, seorang gadis berlari tergesa-gesa dan sebelum Gading menjalankan mobilnya, ia segera membuka pintu bagian belakang dan sedikit melompat memasukinya. Gadis berseragam SMA, ia berlutut di lantai mobil sambil menundukkan kepalanya.
"Hei....! Kamu siapa?" tanya Wisnu dengan suara meninggi. Ia merasa tindakan gadis ini kurang sopan.
Gadis itu mendongakkan kepalanya. Menatap Wisnu dengan mata bulat dengan manik berwarna abu-abu. Bulu matanya yang lentik dan tebal, dipayungi dengan sepasang alis hitam yang juga tebal dan nampak terbentuk rapih dengan lengkungan yang indah, hidung mancung dan bibir merah penuh yang tipis di bagian atas dan sedikit tebal di bagian bawa membuat Wisnu tercengang. Ia bagaikan melihat Dina ada di hadapannya. Untuk sesaat Wisnu terpesona dengan wajah itu.
"Tolong aku, tuan!" gadis itu tiba-tiba saja menyentuh tangan Wisnu. "Mereka adalah orang-orang jahat yang ingin menangkap ku."
Wisnu menatap ke luar jendela. Ia melihat ada 4 pria berpakaian hitam. Tampang mereka seperti preman dan mereka sepertinya sedang mencari seseorang.
"Jalan Gading!" perintah Wisnu.
Gading pun menjalankan mobilnya.
"Memangnya apa yang kamu lakukan sampai mereka hendak menangkap mu?" Tanya Wisnu penasaran.
Gadis itu terlihat bernapas lega saat mobil mulai berjalan. Namun ia masih tetap berjongkok di lantai mobil.
"Aku...aku merusak fasilitas milik mereka. Melempari kaca dengan batu." Gadis itu tersenyum kecil saat mengatakan itu. Sepertinya ia puas mengatakannya perbuatan yang baru saja ia lakukan.
"Rumah atau kantor yang kamu rusak?" tanya Wisnu begitu penasaran dan membuat gadis itu tersenyum lagi.
"Rumah bordil."
"Apa?" Wisnu terkejut. "Mengapa kamu sampai merusaknya?"
"Sebenarnya aku membantu temanku. Kakaknya bekerja di sana dan dipukul sampai babak belur oleh salah satu tamu yang maniak. Si mami pemilik rumah bordil tak melakukan apapun. Makanya kami berdua mengamuk di sana. Ternyata mereka punya banyak pengawal. Jadilah kami berdua di kejar."
"Lalu, mana temanmu?"
"Temanku sudah ditangkap oleh mereka. Makanya aku lari untuk melaporkan kejadian ini pada polisi."
"Duduklah di kursi. Kita sudah meninggalkan kawasan pemakaman."
Gadis itu tersenyum malu-malu. Ia pun duduk di samping Wisnu.
"Gading, berhentilah di pos polisi terdekat." Kata Wisnu.
"Baik, tuan!"
Mobil akhirnya berhenti di pos polisi yang sangat dekat dengan lokasi pekuburan.
"Terima kasih, tuan. Suatu saat nanti, jika kita bertemu kembali, aku akan membalas kebaikan mu. Aku berdoa semoga Allah melimpahkan banyak berkat kepadamu." Tanpa diduga, gadis itu meraih tangan kanan Wisnu dan mencium punggung tangan itu dengan sangat cepat. Kemudian, Ia membuka pintu mobil dan segera turun dan berlari ke dalam pos polisi.
"Tuan, maaf jika saya salah melihatnya namun wajah gadis itu agak mirip dengan nona."
"Ya. Namun Dina lebih cantik darinya."
Gading hanya mengangguk. Apapun tentang Dina pasti tak akan ada yang menandinginya.
Mereka tiba di sebuah rumah yang besar dan mewah. Saat Wisnu akan turun, ia melihat sebuah kalung emas berliontin bunga matahari ada di kursi mobil.
"Sepertinya ini milik gadis itu yang tertinggal." Kata Wisnu. Ia mengambil kalung itu dan memasukannya ke dalam kantong celananya.
Saat ia turun, pintu utama rumah itu sudah terbuka. Seorang perempuan cantik sudah berdiri di depan pintu. Perempuan yang dinikahinya satu setengah tahun yang lalu.
"Mas....!" Ia datang mendekat, lalu mencium tangan kanan Wisnu.
"Di mana Lisa?"
"Sedang dimandikan oleh pengasuhnya."
Wisnu mengangguk lalu segera masuk ke dalam. Ia langsung menuju ke kamar yang ada di lantai satu. Ia ingin beristirahat sebentar. Setiap kali ia berziarah ke kubur Dina, ia selalu merasa energinya terkuras habis. Rasa rindu yang mendalam pada sosok cinta pertamanya itu membuat Wisnu harus selalu menahan air matanya.
Setelah mencuci tangan dan wajahnya di wastafel kamar mandi, Wisnu segera membuka bajunya dan menggantikannya dengan baju rumahan. Saat mengangkat celananya dan hendak memasukannya ke dalam keranjang baju kotor, Wisnu melihat ada benda yang jatuh. Ternyata kalung dari gadis yang tadi naik ke mobilnya.
Tangannya mengambil kalung itu dan melihat liontin bunga matahari itu. Saat Wisnu membalikan benda itu ternyata ada sebuah nama yang tertulis di sana. Amorasia.
Apakah gadis itu bernama Amorasia? Nama yang cantik.
Wisnu membuka lemari pakaiannya, mengeluarkan sebuah kotak berwarna putih. Di dalam kotak itu ada beberapa foto Dina dan sepasang cincin pernikahan. Wisnu meletakan kalung itu di dalam kotak tersebut dan menyimpannya kembali ke dalam lemari kayu tersebut. Ia pun menuju ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana.
********
Regina, menatap pintu kamar suaminya yang tertutup. Jika Wisnu sudah masuk ke kamar itu, maka ia tak boleh mengganggunya. Itu kamar khusus untuk Wisnu. Kamar yang akan ditutup olehnya saat ia pergi bekerja. Regina tahu ada sesuatu di sana yang berhubungan dengan Dina. Wisnu akan datang ke kamarnya, jika memang dia ingin dan Regina harus merayunya agar mereka bisa bercinta.
Maka dari itu Regina pun mendekati Gading yang sementara minum kopi di teras belakang.
"Gading, apakah kalian dari kuburan Dina lagi?"
"Iya nyonya. Kami satu jam berada di sana." Jawab Gading.
Wajah Regina nampak cemberut. Gadis itu sudah lama mati namun terus menjadi hantu dalam kehidupan Wisnu. Regina sendiri tak dapat masuk ke dalam hati Wisnu. Hati Wisnu selalu menjadi misteri baginya dan itu yang kadang membuat Regina kesal. Dina selalu menempati ruang terpenting dalam hati Wisnu.
Perempuan cantik itu yang berprofesi sebagai dokter meninggalkan Gading dan segera menuju ke kamar anaknya yang ada di lantai satu juga.
**********
2 tahun kemudian......
"Tuan, nyonya besar sakit. Dan dia ingin bertemu dengan tuan saat ini juga." Kata Gading.
"Ayo kita ke rumah ibu!" ajak Wisnu.
Ayah Wisnu sudah meninggal setahun yang lalu, ibunya kini sakit-sakitan. Wisnu bersyukur karena Regina mau merawat ibunya walaupun ibunya tidak terlalu menyukai Regina sebagai menantunya.
Begitu tiba di rumah ibunya, Wisnu melihat ada seorang perempuan cantik yang duduk di samping ibunya.
"Ibu....!" Panggil Wisnu.
Aisyah menatap putranya. "Wisnu, ibu tak pernah meminta apapun padamu. Sekarang ibu merasa kalau hidup ibu sudah tak lama lagi akan berakhir. Ibu mohon penuhilah keinginan terakhir ibu." Pinta Aisyah sambil memegang tangan putranya.
"Apapun keinginan ibu akan aku aku penuhi."
"Menikahlah dengan Indira. Dia memang sudah pernah menikah beberapa tahun yang lalu. Namun suami Indira sudah meninggal setahun setelah pernikahan mereka dalam suatu kecelakaan mobil. Dia ini adalah saudara jauh kita. Usianya 2 tahun lebih muda darimu."
Wisnu terkejut mendengar permohonan ibunya. "Tapi bu, aku sudah menikah. Dan kau tahu bagaimana keinginanku dengan pernikahanku yang pertama."
"Indira siap menerima syarat apapun yang kau ajukan. Dia juga punya pekerjaan. Ia mengolah butik peninggalan orang tuanya. Ayahmu dulu pernah berhutang budi padanya. Sampai ayahmu meninggal, dia belum dapat membalas hutang budi nya itu. Kau ingatkan dengan cerita ayah sewaktu usahanya hampir bangkrut saat kau masih berusia 10 tahun?" Aisyah menatap putranya. Wajahnya penuh dengan permohonan.
Wisnu menatap perempuan cantik yang ada di samping ibunya. Indira memiliki paras yang khas wanita Indonesia. Darah Sunda yang mengalir dalam dirinya membuatnya nampak masih seperti gadis walaupun sudah pernah menikah sebelumnya. Mungkin karena di pernikahannya yang pertama ia tidak memiliki anak.
"Baiklah ibu. Aku siap menikah dengan Indira." Ujar Wisnu walaupun dengan hati yang berat. Maafkan aku Dina sayang.
********
Bagaimana kisah perdana Terpaksa menjadi istri ketiga ini??
Berikan dukungan mu melalui like, komen dan vote emak ya....
Naura Kiana Bragmanto Putri adalah gadis cantik berusia 19 tahun. Di sinilah dia sekarang. Di salah satu diskotik yang sangat terkenal di Jakarta. Naura sangat suka menghabiskan waktu di sini. Bukan untuk minum atau pun berhura-hura namun ia menyalurkan hobinya yang suka menari dan menggoyangkan badannya.
Ia menggunakan tank top hitam dan celana jeans yang robek di bagian kakinya.
"Naura, pulang yuk! Gue ada kuliah jam 8 pagi." ajak temannya Jeslin.
"Loe duluan aja, deh. Belum puas gue."
"Benar nih? Loe pulang sendiri dong."
Naura menepuk jidatnya. Ia ingat bahwa sekarang ia tak punya mobil lagi. Sebulan yang lalu mobilnya sudah dijual sang kakek karena keadaan ekonomi keluarga mereka yang semakin merosot.
"Ok, deh. Kita pulang." Naura langsung mengikuti langkah sahabatnya Jeslin.
Naura dan Jeslin sudah bersahabat semenjak SMP. Apalagi rumah Jeslin yang hanya berjarak dua blok dari rumahnya. Jeslin adalah satu-satunya sahabat Naura yang tak meninggalkannya saat kehidupan Naura berubah dari anak konglomerat menjadi anak orang biasa saja.
Jeslin pun menurunkan Naura di depan pagar rumahnya. Setelah melambaikan tangan pada sahabatnya itu, Naura pun melangkah masuk. Ia mendorong pagar rumah itu dengan hati yang pedih. Biasanya, ada dua satpam yang akan membukakan pagar untuknya. Ada tukang kebun yang akan menyapanya, dan ada para pelayan yang akan melayaninya. Namun kini semua tak ada. Hanya ia dan kakeknya yang tinggal berdua di rumah ini.
Berubah dari anak orang kaya dan sekarang berubah sederhana tak membuat Naura kecewa. Ia menerima kenyataan hidupnya dengan ikhlas.
Saat Naura membuka kunci pintu secara perlahan, ia terkejut melihat kakeknya sedang duduk di ruang tamu, seakan sudah menunggunya. Biasanya sang kakek sudah tidur ketika Naura pulang.
"Kakek, kenapa jam segini belum tidur?" tanya Naura sambil mendekat dan duduk di samping kakeknya.
"Dan mengapa juga seorang anak gadis keluyuran tiap malam dan pulang menjelang subuh?" sindir Zumi, kakeknya.
"Kakek, aku hanya pergi dance. Tak melakukan sesuatu yang buruk. Aku nggak merokok, nggak minum alkohol."
Zumi menatap cucunya. "Besok malam, kita akan pindah dari rumah ini. Pemilik barunya sudah ada. Kakek sudah mengontrak rumah yang letaknya agak di luar kota. Jadi kamu harus bangun sekitar jam 6 pagi agar tak terlambat kuliah." Zumi berdiri. Naura membantunya dan mengantar kakeknya itu ke kamarnya.
Saat Naura menatap dinding kamar itu. Tak ada lagi foto-foto keluarganya. Sudah ada 2 koper besar yang diletakan di dekat lemari. Sepertinya kakek Zumi sudah selesai membereskan barang-barangnya.
Setelah memastikan sang kakek sudah tidur, Naura pun menunju ke kamarnya yang ada di lantai dua. Wajahnya menatap seisi kamarnya itu dengan hati sedih. Rumah ini adalah rumah kenangan baginya. Rumah tempat ia tumbuh dan melewati masa-masa indah bersama papa mamanya.
Orang tua Naura sudah meninggal dalam suatu kecelakaan saat ia masih SMP. Naura sangat sedih saat itu. Apalagi tak lama kemudian neneknya meninggal. Kakeknya yang selalu menghibur dan menguatkan Naura.
Gadis itu membuka lemari pakaiannya dan mulai mengeluarkan isi lemari itu. Ia merasa tak mau tidur lagi. Ia pun akan berbenah malam ini.
**********
Teriakan histeris para gadis terdengar saat kerja sama antara Yuda dan Satria membuahkan gol yang membuat universitas mereka akhirnya meraih kemenangan.
Jeslin bersorak gembira namun tidak dengan Naura. Gadis itu hanya duduk termenung menatap Satria. Pria yang sudah lama disukainya namun yang hanya menganggap ia sebagai sahabat. Karena terkadang Naura merasa bahwa Satria menyukainya. Namun ia merasa juga seakan cowok itu jauh darinya.
Satria adalah calon dokter yang sebentar lagi selesai. Ia tampan, tidak sombong dan anak salah satu orang ternama di kota ini. Orang tuanya saja sudah beberapa kali masuk TV.
Naura mengenal Satria saat ia pertama kali menginjakan kakinya di universitas ternama dan paling mahal di negara ini. Tempat kuliahnya para selebritis dan orang berduit.
Satria dan Naura sama-sama suka ke perpustakaan. Tempat itu membuat mereka semakin dekat dan sering menghabiskan waktu berdua di sana.
Naura tahu, bukan hanya dia yang menyukai Satria di kampus ini. Satria adalah salah satu cowok top yang banyak di kelilingi oleh gadis cantik.
Penampilan Naura yang tomboy, membuat ia sering merasa tak percaya diri saat melihat ada begitu banyak bidadari yang berlomba mendapatkan perhatian dari Satria.
"Na, loe kenapa? Biasanya juga teriakan loe paling keras saat melihat Satria main basket. Loe sakit?" tanya Jeslin saat keduanya tinggal berdua di podium penonton.
"Malam ini gue pindah, Jes." ujar Naura dengan wajah sedih.
"Pindah kemana?"
"Gue akan pindah ke rumah kontrakan yang letaknya agak di luar kota. Kakek sudah menjual rumah kami."
"Loe tinggal aja dengan gue."
"Mana bisa gue tinggalin kakek sendiri. Loe kan tahu kalau kakek adalah segalanya buat gue."
"Jangan sedih ya?"
Naura berdiri. "Mungkin gue berhenti kuliah saja dan cari kerja." Lalu ia mulai melangkah.
"Jangan! Kuliah loe kan sebentar lagi selesai. Tinggal skripsi doang."
"Uang kuliahnya akan didapat dari mana?"
"Gue bantu loe. Tabungan gue banyak. Gue juga bisa minta bantuan orang tua gue."
Naura menggeleng. "Loe kan tahu kalau gue paling nggak suka merepotkan orang lain."
Langkah keduanya terhenti melihat Yuda dan Satria yang berjalan ke arah mereka.
"Yang, kita pergi makan bareng yuk!" ajak Yuda yang adalah pacarnya Jeslin.
"Aku ada kuliah jam 4 ini." tolak Jeslin dengan wajah sedih.
"Kalau begitu selesai kuliah saja. Aku dan Satria masih akan menyelesaikan beberapa tugas juga."
Jeslin menatap Naura. "Gimana, Na?"
"Gue harus pulang. Tahu kan kakek." jawab Naura sambil membuang muka. Sungguh ia tak mampu menatap mata elang Satria.
"Kita pergi bertiga saja." Kata Yuda diikuti anggukan Satria.
"Na, kamu nggak sakit kan? Wajahmu terlihat pucat." Kata Satria.
"Aku hanya kurang tidur saja."
Satria tersenyum.
Yuda mencium dahi Jeslin sebelum akhirnya melangkah pergi bersama Satria.
"Kayaknya Satria mulai perhatian sama Loe."
Naura tersenyum kecut. "Gue sudah putus asa menanti cintanya kak Satria. Mungkin, dia memang nggak suka gue. Gue nggak cantik di matanya."
"Loe cantik, kok. Siapa bilang nggak cantik. Coba loe ingat, berapa banyak cowok yang sudah loe tolak di kampus ini?"
Naura tersenyum kecut. "Gue nggak tahu, Jes. Mungkin memang kami nggak berjodoh. Sekarang gue mau pulang dulu ya?"
Jeslin mengangguk. Ia tahu Satria adalah cinta pertama Naura. Jeslin juga merasa kalau Satria menyukai Naura. Namun entah kenapa cowok itu belum menyatakannya juga.
************
"Bagaimana dengan tawaran kita? Apakah sudah dijawab oleh tuan Zumi?" tanya Wisnu sambil menutup laptopnya.
"Sudah tuan. Tuan Zumi sendiri yang akan datang. Namun ada syarat yang akan ia berikan."
"Syarat apa lagi? Kamu kan tahu kalau aku nggak mau bertele-tele dalam menyelesaikan suatu kontrak."
"Tuan Zumi tak mengatakan apapun. Ia akan datang jam 4 sore ini."
Wisnu mengangguk. "Semoga percakapannya tak lama. Kamu kan tahu kalau hari ini Indira ulang tahun dan dia merengek ingin merayakannya di puncak berdua. Dia aku tak mau mendengar keluhannya kalau aku terlambat."
"Baik."
"Dan lahannya serta perkebunannya sudah kamu periksa?"
"Sudah tuan. Semuanya masih baik. Hanya saja ia dicurangi oleh anak buahnya sehingga mengalami kerugian."
"Taun Zumi adalah sahabat kakekku. Aku merasa dulu pernah dekat dengannya. Namun entahlah. Aku sudah lupa."
Gading menatap bosnya itu. Wisnu yang tampan dan kaya namun kehilangan cinta sejati dalam hidupnya. Ia memang sekarang memiliki 2 bidadari cantik yang menjadi istrinya. Namun Gading tahu kalau Wisnu tak mencintai mereka. Gading berharap, ada perempuan yang mampu hadir dan membuat tuannya itu jatuh cinta lagi.
***********
Wisnu Bragmantio Furkan
Naura Kiana
Gading
Satria
"
Zumi Bragmanto menatap Wisnu sambil tersenyum. "Terima kasih karena nak Wisnu mau menemui saya."
"Saya yang berterima kasih karena tuan Zumi akhirnya mau menerima penawaran kami."
Gading yang duduk di belakang Wisnu sudah siap dengan surat perjanjian jual beli dan berbagai dokumen lainnya yang berhubungan transaksi yang akan terjadi hari ini.
"Aku tak akan menambah harga yang ditawarkan oleh nak Wisnu. Aku bahkan akan memberikan rumah utama dan sebuah vila yang ada di sana. Memang rumah itu harus ada perbaikan karena aku sudah lama sekali tak tinggal di sana dan orang yang menjaganya pun tak mengurus rumah itu dengan baik. Dan vila nya yang ada di dekat danau juga masih bagus."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan supaya semuanya itu menjadi milikku?" tanya Wisnu tak ingin basa-basi karena ia tak mau terlambat di perayaan ulang tahun istri keduanya. Indira orangnya sangat cepat ngambek dan itu yang Wisnu tak suka.
"Menikahlah dengan cucuku."
"Apa?" Wisnu terkejut. Memiliki dua istri saja sudah membuatnya pusing, kenapa juga harus ditambah satu?
"Tuan Zumi, apakah anda tak tahu kalau aku sudah memiliki dua istri?"
"Aku tahu. Aku sudah menyelidiki siapa nak Wisnu. Sebenarnya kalau istri pertama anda masih hidup maka anda akan memiliki 3 istri. Aku memberikan cucuku untuk dinikahi nak Wisnu karena aku tak bisa mempercayai lelaki lain untuk menjadi pendampingnya. Walaupun nantinya cucuku akan menjadi istri ketiga namun aku yakin nak Wisnu bisa bersikap adil seperti yang yang selama ini nak Wisnu jalani."
Wisnu mengusap wajahnya. Mengapa aku harus menikah karena ada sesuatu didalamnya? Apakah ini sudah takdir yang dituliskan oleh Sang Pemilik Kehidupan?
"Tuan, apakah cucu anda tahu kalau anda akan menikahkannya dengan saya?"
"Tidak. Namun dia pasti tak akan menolaknya. Dia memang sementara kuliah saat ini. Cucuku sangat pintar. Memang, dia sedikit bandel karena suka sekali ke diskotik dan pulang subuh. Aku juga tak tahu apakah dia masih perawan atau tidak. Ah, aku sudah gagal mendidiknya dengan baik." Zumi menghapus air matanya yang terlanjur jatuh. "Aku tahu kalau usiaku akan berakhir namun sebelum aku meninggal, aku ingin memastikan cucuku berada di tangan yang tepat. Aku bisa mati dengan damai." Zumi menatap Wisnu. "Aku mohon nak Wisnu, menikahlah dengan cucuku."
"Tapi aku tak bisa mencintainya. Aku hanya bisa menjadi suami yang baik, yang akan bersikap sangat adil, namun hatiku adalah milik Dina. Kedua istriku tahu itu."
Zumi mengangguk. "Didiklah cucuku agar dia memiliki pribadi yang baik. Dia anaknya taat hanya saja dia sedikit bandel. Itu saja."
Wisnu menarik napas panjang. Sebenarnya ia sangat berat menerima semua ini. Tapi dia juga tak sanggup menolak permintaan orang tua yang ada di depannya.
"Ini foto cucuku." Zumi meletakan foto Naura.
Wisnu mengambil foto itu. Ia terkejut. Wajah gadis itu agak mirip dengan Dina Anjani. Hanya saja rambut gadis itu terlihat lebih panjang dan lebat, dan agak bergelombang. Berbeda dengan rambut Dina yang lurus. Wisnu merasa pernah melihat gadis ini namun ia lupa dimana.
"Berapa usia cucumu, tuan?"
"19 tahun. Namun satu bulan lagi ia akan genap berusia 20 tahun. Makanya jika nak Wisnu setuju, aku ingin pernikahannya dilaksanakan dihari ulang tahun Naura."
"Namanya Naura?" Wisnu jadi tertarik mendengar nama itu.
"Ya. Naura Kiana Bragmanto Putri. Dia anak tunggal."
Wisnu menatap Zumi. "Usia kami terpaut 10 tahun. Apakah dia tak akan menolaknya?"
"Mungkin awalnya akan menolak. Tapi dia akan menerimanya. Aku harap nak Wisnu bisa sedikit bersabar dengan sifat manjanya. Juga bisa membimbingnya menjadi dewasa.
"Baiklah. Aku akan menerima perjodohan ini. Namun biarkan aku tetap memberikan mas kawin yang benar sebagaimana yang kuberikan untuk kedua istriku."
Zumi tersenyum sambil menahan sakit di dadanya. Ia hanya berharap kalau ia masih bisa bertahan satu bulan lagi.
****†*****
'Menikah? Kakek, aku tak mau!" Naura langsung menolaknya.
"Dia lelaki yang baik, Naura. Dia akan bersikap sangat adil bagimu, sama seperti istri-istrinya yang lain."
Mata Naura terbelalak. "Jadi lelaki itu sudah punya istri? Kakek, apakah kakek tega menyerahkan aku pada lelaki hidung belang yang tidak pernah puas dengan satu wanita saja? Memangnya aku akan dijadikan istri ke berapa?"
"Ketiga!"
"What??" Naura menendang kursi yang ada di depannya. "Berapa usianya?"
"30 tahun. Dan setelah menikah, kau akan tinggal bersama dengannya di desa."
"30 tahun? Apakah itu tak terlalu tua untukku? Kakek, aku tak mau menjadi istri ketiga. Apalagi harus tinggal di desa. Kakek, aku nggak mau. Aku punya seseorang yang aku sukai." Naura mulai menangis. Sangat berharap kakeknya akan iba namun sepertinya tidak.
"Kakek tak bisa mempercayakan mu pada pria lain. Kakek....., ah...." Zumi memegang perutnya. Wajahnya langsung terlihat pucat.
"Kakek?" teriak Naura dan langsung berlari memeluk kakeknya sebelum tubuh tua itu jatuh ke lantai.
**********
"Kanker usus?" Naura hampir jatuh dari pingsan saat mendengar penjelasan dokter David yang merupakan dokter keluarga mereka.
"Memangnya kamu tidak tahu? Kakek mu sudah mengidap penyakit ini selama 3 tahun."
Air mata Naura langsung jatuh. Naura bukanlah gadis yang cengeng. Namun jika itu menyangkut kakeknya, Naura selalu lemah.
"Dokter, bagaimana keadaan kakek?"
"Sangat parah. Kali ini, beliau mungkin tak akan bertahan, Naura. Kankernya sudah menyebar ke seluruh bagian tubuhnya."
"Jadi, aku akan kehilangan kakek?"
"Mungkin saja. Aku bukankah Tuhan yang bisa menentukan segalanya." dokter David menepuk pundak Naura sebelum meninggalkan gadis itu di depan ruang perawatan Zumi.
Naura mengintip dari balik pintu. Ia tak berani masuk ke dalam. Rasa takut akan kehilangan kakeknya kini membuatnya gemetar. Naura belum siap. Ia bahkan tak akan mampu. Dulu, saat kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, Naura tetap kuat karena ada kakeknya. Namun kini, jika kakeknya benar-benar pergi, akankah ia kuat?
Air mata Naura semakin deras mengalir di pipinya. "Kakek....., jangan tinggalkan aku."
*******
2 hari tak sadarkan diri, akhirnya Zumi bisa bangun lagi. Naura merasa sangat senang.
"Naura, maukah kamu memenuhi permintaan terakhir kakek? Menikahlah dengan nak Wisnu. Kau pasti akan berbahagia." Zumi memegang tangan cucunya dengan tatapan mata yang penuh harap.
Bahagia? Bagaimana mungkin aku berbahagia jika harus menjadi istri ketiga? Apa kata teman-teman ku nanti? Bagaimana aku bisa akrab dengan istrinya yang lain?
"Naura, biarkan kakek meninggal dengan tenang."
Naura menggeleng. "Kakek, jangan tinggalkan aku. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa kakek?"
Zumi membelai wajah cucunya. "Di dunia ini tak ada yang abadi. Akan tiba masanya suatu kehidupan harus berakhir. Karena itulah kakek akan pergi dengan damai jika kau sudah menikah."
Naura menarik napas panjang beberapa kali. "Baiklah, kek. Jika itu membuat kakek senang"
Zumi tak bisa menahan rasa harunya. Ada air bening yang menetes di pipinya. Dan itu membuat hati Naura semakin sakit.
********
Lisa yang sedang bermain bersama pengasuhnya, langsung berlari dan memeluk Wisnu dengan wajah gembira. "Ayah.....!"
"Hallo cantik?"
Lisa memberikan satu ciuman di pipi Wisnu membuat pria itu tersenyum bahagia.
Dari arah dalam, muncul Regina dan Indira. Kedua istri Wisnu itu sengaja di panggilnya ke rumah utamanya untuk membicarakan mengenai pernikahannya. Regina memang memiliki rumahnya sendiri, demikian juga Indira dibelikan rumah sendiri oleh Wisnu.
"Ada apa mas memanggil kami ke sini?" tanya Regina setelah mereka bertiga duduk di ruang keluarga dan Lisa kembali bermain dengan pengasuhnya.
Wisnu menatap kedua istrinya secara bergantian. Keduanya memiliki kecantikan yang sama. "Mas akan menikah lagi."
Regina dan Indira saling bertatapan dengan wajah terkejut. Mereka tak mengira setelah sekian tahun hidup dalam kedamaian, kini akan hadir satu perempuan lagi. Apalagi Regina. Ia terlihat cemburu dengan keinginan suaminya itu. Namun harus bagaimana lagi? Ia dan juga Indira tahu bagaimana Wisnu menikahi mereka. Makanya, kedua perempuan itu selalu berlomba untuk menyenangkan Wisnu dan menjadi wanita yang akan selalu dikunjungi oleh Wisnu.
"Dengan siapa, mas?" tanya Indira.
"Dengan cucu salah rekan kerjaku. Namanya Naura Kiana Bragmanto Putri. Aku harap kalian bisa menerimanya sebagai adik kalian. Aku tak mau ada pertengkaran atau apapun juga."
"Usianya berapa, mas?" Tanya Regina.
"19 tahun, eh tapi sebentar lagi dia akan berusia ke 20." Wisnu memang agak terkejut ketika Zumi meneleponnya pagi ini dan meminta agar pernikahannya dipercepat 2 minggu. Sebenarnya Wisnu ingin melaksanakan pernikahannya di desa tempat ia mengolah usahanya sekaligus ia ingin semakin dekat dengan masyarakat di sana. Perkebunan Zumi yang Wisnu beli letaknya berdekatan dengan perkebunan yang Wisnu olah selama ini. Mereka termasuk di desa yang sama, hanya saja milik Zumi ada di pegunungan yang letaknya jauh dari pemukiman. Rumah Zumi juga belum selesai direnovasi sehingga Wisnu harus meminta Gading untuk menambah jumlah tukang. Karena itulah, Wisnu akhirnya memutuskan kalau ijab Kabul dan perayaan kecil setelah itu akan dilaksanakan di rumah ini saja. Karena Zumi sendiri mengatakan kalau cucunya itu tak ingin pernikahannya dilaksanakan secara besar-besaran.
Mendengar usia perempuan yang akan menjadi madu mereka membuat kedua istri Wisnu itu semakin tak suka. Mereka langsung bisa membayangkan kalau perempuan itu adalah perempuan matre yang menggoda suami mereka dengan tubuhnya yang muda itu.
"Kapan pernikahannya, mas?"
"3 hari lagi. Karena itu aku harap kalian membantuku dalam menyiapkan pernikahan ini. Tak banyak tamu yang ku undang. Hanya keluarga dari Bandung yang jumlahnya tak sampai 10 orang serta beberapa staf penting di perusahaan." Wisnu pun berdiri. Ia meninggalkan kedua istrinya dan menuju ke kamarnya yang ada di lantai 2. Kedua istri Wisnu memiliki kamar mereka sendiri di lantai 1.
Regina dan Indira yang selama ini terlihat akrab walaupun menyimpan bara api di hati masing-masing saling bertatapan.
"Kita harus berhati-hati, Kak." Ujar Regina.
"Ya. Kita harus membuat perempuan itu tak betah dan akhirnya memilih pergi. Dia harus merasakan perasaan tak nyaman karena harus menjadi istri ketiga." Ujar Regina dengan tatapan wajah tak suka.
*********
Tak ada air mata yang keluar dari pelupuk mata Naura ketika ia sudah selesai didandani. Jeslin yang berdiri tak jauh dari nya pun tak mampu berkata-kata karena ia merasa kalau sahabatnya itu terlihat sangat cantik dan manis. Sejak semalaman, Jeslin memilih untuk tidur bersama gadis itu. Ia berusaha menghibur Naura.
Sejak jam 6 pagi, Naura sudah diminta oleh kakeknya untuk mandi. Sejak kemarin, ada kebaya, selop yang sangat indah modelnya, dan beberapa hiasan kepala yang dikirimkan oleh pihak calon mempelai pria. Sebenarnya utusan mereka meminta agar tadi malam Naura tidur saja di sana. Namun dengan alasan kesehatan kakeknya, Naura pun tetap tidur di rumah sederhana yang disiapkan oleh kakeknya kepadanya.
"Sebagai istri, kau harus menurut pada suami mu, layanilah dia dengan baik dan jangan sekali-kali menolaknya. Minta ijin selalu jika kau harus pergi dan pulanglah ke rumah sebelum suamimu pulang lebih dahulu. Jangan permalukan kakek dan orang tuamu ya? Keluarga kita terkenal sebagai keluarga yang sopan dan tahu tata Krama."
Pesan kakeknya itu terus terngiang-ngiang di telinga Naura. Gadis itupun pasrah. Apalagi saat mobil jemputan datang dan siap mengantarnya ke rumah suaminya untuk melaksanakan ijab Kabul.
Saat mobil memasuki sebuah pekarangan rumah yang besar, Naura tiba-tiba ingat dengan Satria. Cinta pertamanya yang tidak pernah kesampaian. Bye Satria. Kata hati Naura lalu melangkah turun saat pintu mobil dibukakan.
Well, bagaimana reaksi Naura saat melihat calon suaminya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!