"Hmm... chapter terbaru manga favorit ku sudah rilis," Ucap Darren sambil melihat komputernya.
"Apa!? Tidak bisa di baca online? Apa aku harus membeli manga bersi bukunya?" Teriak Darren. "Ah sial. Padahal aku tidak suka pergi keluar. Tapi apa boleh buat."
Darren mengenakan seragam trainingnya dan pergi keluar.
Cuaca panas nan gersang selalu menemaninya, mengingat sekarang masihlah musim kemarau.
Darren pergi menggunakan motornya menuju toko buku. Toko buku paling dekat terletak cukup jauh dari rumah Darren.
Toko buku langganan Darren terletak di kawasan perdagangan kota. Tidak heran jika perjalanannya memakan waktu cukup lama. Jika berjalan kaki, ia mungkin bisa sampai setelah dua jam. Tapi ia harus buru-buru sebelum kehabisan stok.
Daerah pedesaan dan kota dibatasi oleh sebuah rel kereta. Biasanya banyak orang menaiki kereta itu untuk menuju kota timur, kota yang lebih maju dari kota dekat rumah Darren.
"Aku akan berjuang! Demi membaca ending manga favoritku!"
Suara motor tua milik orang tua Darren yang terdengar seperti suara mesin traktor, memecah suasana sunyi pedesaan. Berkendara di tepi sawah yang luas memang lah menyenangkan.
"Mungkin aku memang harus sering-sering keluar rumah. Aku bahkan tidak tahu kalau berkendara bisa senikmat ini," Kata Darren pada dirinya.
Banyak warga desa yang berlalu lalang membawa hasil panen sawah mereka. Ada yang menggunakan motor dan juga ada yang menggunakan gerobak sapi. Beberapa juga terlihat menggunakan sepeda.
Matahari yang sangat terik, menggambarkan betapa parahnya musim kemarau tahun ini. Tapi walaupun begitu, hal tersebut tidak banyak mempengaruhi hasil panen. Para petani juga tidak terlihat kesusahan.
Sementara itu, Darren sudah sangat berkeringat. Ia jarang keluar rumah, jadi ia juga jarang berhadapan dengan cuaca panas seperti ini. Ia biasanya hanya diam dikamarnya yang dilengkapi pendinginan ruangan.
Sekitar tiga puluh menit perjalanan, Darren tiba di toko buku tersebut. Begitu sampai disana, toko tersebut masih sepi. Belum banyak pelanggan yang datang.
"Untung saja aku tiba lebih cepat," Ucap Darren dengan bangga.
Tanpa basa-basi, ia segera mencari manga incarannya dan membayarnya ditempat.
"Akhirnya! Chapter terakhir telah aku beli!" Teriaknya kegirangan didepan pintu toko.
Tak sabar membacanya, Darren segera mengambil motornya di parkiran dan melaju pulang dengan kecepatan tinggi.
Det... edet... edet... motornya tiba-tiba mogok. Terpaksa ia harus mendorongnya menuju bengkel terdekat.
Ia memiliki kenalan pemilik bengkel di dekat rel kereta. Ia mungkin bisa mampir kesana dan mendapatkan potongan harga.
Setelah ngos-ngosan mendorong motornya, Darren tiba di bengkel milik temannya itu.
"Derwin," Panggil Darren pada Derwin, temannya. "Motor ini aku titipin dulu ya. Besok aku ambil."
"Siap! Dimengerti," Jawab Derwin sambil mengacungkan jempolnya.
Kerena tidak sabar untuk pulang dan membaca manganya, Darren berencana pulang dengan kendaraan umum. Ia tidak mau membacanya di bengkel karena cuacanya terlalu panas.
Sambil menunggu kendaraan umum lewat, Darren duduk di kursi dekat dengan rel kereta. Dari jauh, ia bisa melihat sebuah kereta melaju dengan cepat.
Ding... ding... ding... pagar pembatas rel kereta mulai tertutup, memisahkan pengendara-pengendara motor menjauh dari rel. Darren memperhatikan pemandangan itu dengan santai, ditemani dengan semilir angin persawahan.
Tiba-tiba...
Bruak!!! Sebuah motor yang diduga rem-nya blong, menabrak pembatas. Terlihat seorang nenek-nenek tua terlempar dari motor dan terjatuh tepat di atas rel.
Semua orang langsung berteriak. Mereka meneriaki nenek itu untuk segera lari, tapi nenek itu sudah terlalu lemah untuk berdiri. Orang-orang itu juga terlalu takut untuk menolong.
Darren melihat kejadian tersebut. Secara spontan, ia langsung menghitung kemungkinan.
"Dilihat dari jaraknya, kereta itu masih berjarak beberapa ratus meter dari nenek itu."
"Kecepatan kereta itu juga mulai melambat. Lebih lambat dari kecepatan awal."
"Kecepatan lari ku juga tidak terlalu buruk. Setidaknya aku pernah menjuarai lomba lari jarak pendek."
"Jadi, jika aku segera berlari dan menyelamatkan nenek itu tanpa berhenti selangkah pun, maka ada kemungkinan kami bisa selamat."
Tanpa berpikir panjang lagi, Darren beranjak dari kursinya. Ia berlari dengan cepat dan menyelamatkan nenek itu. Sementara kereta sudah semakin mendekat.
Kerumunan orang-orang yang menonton kejadian itu mulai berteriak. Mereka berteriak memperingati Darren.
Darren berhasil mencapai nenek itu. Yang ia perlu lakukan sekarang ialah menggendong nenek itu dan membawanya menjauh dari rel.
Hap... Darren berhasil menggendong nenek itu. Tapi... ia kemudian tersadar. Kakinya tersangkut pada salah satu kayu.
"Sial, aku dalam bahaya."
Darren bisa melihat kereta tersebut semakin mendekat dan mungkin ia akan mati. Ini pertama kalinya ia begitu dekat dengan kematian.
"Jadi begitu, ya. Aku akan mati."
"Setidaknya..." Kata Darren dalam hati, "Aku tidak akan mati dengan sia-sia!"
Dengan spontan, Darren melempar nenek dalam gendongannya hingga melewati pembatas itu.
Para kerumunan makin ribut. Mereka berteriak pada Darren untuk segera lari. Tapi Darren sudah pasrah. Ia sudah melihat kematian di depan matanya. Ini sudah tidak terhindarkan.
"Aku bersyukur bisa hidup di dunia ini," Demikian Darren mengucapkan kata-kata terakhirnya.
.
.
.
"Derwin, tolong kirimkan motor itu kepada kedua orang tuaku."
"Dan sampaikan pada mereka bahwa, aku menyayangi mereka."
"Aku menyesal sudah menjadi anak yang tidak berguna. Selalu mengurung diri, dan membebani kalian."
"Farewell, everyone. It was never meant to be."
"Ugh..." Darren merasakan tubuhnya pegal-pegal. "Dimana aku?" Gumamnya.
Ia membuka matanya dan mendapati dirinya sedang rebahan diatas rumput. Ia menengok sekeliling, dan yang dilihatnya hanya padang rumput yang luas dengan sedikit pohon.
"Tempat apa ini? Apa aku sedang di sawah?" Darren mengusap-ngusap matanya. Ia mengira dirinya terlempar cukup jauh karena tabrakan kereta itu. "Apa nenek itu baik-baik saja, ya?"
Ia kemudian mengangkat tubuhnya berdiri. Sembari membersihkan celananya dari tanah, ia bisa merasakan betapa sejuknya tempat itu.
Tak jauh dari sana, terlihat ada hutan lebat. Ia tidak tahu jika ada hutan di dekat tempat tinggalnya. Tapi ia tidak berencana untuk ke sana.
"Tapi apa mungkin jika aku terlempar sejauh ini?" Darren mulai merasakan hal tidak masuk akal. "Jika aku memang terlempar sangat jauh. Aku seharusnya sudah mati."
Lalu ia menengadah ke langit. Ia merasa kalau dirinya sudah tersesat. Jika ia memang benar-benar mati, maka dimana sebenarnya ia sekarang.
"Apa ini..." Kata Darren pada dirinya, "Isekai!?"
"Oy, bocah," Tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.
Begitu Darren menoleh, ia sangat terkejut. Yang dilihatnya bukanlah manusia, melainkan sebuah makhluk yang disebut dengan "Ogre".
Ogre tersebut memiliki dua tanduk dan berbadan besar. Matanya berwarna merah menyala. Kulitnya yang tebal memiliki warna agak kecoklatan. Tidak heran jika Darren menjadi ketakutan.
"Woa! Woa! Pergi!" Teriak Darren ketakutan. Ia berharap seseorang datang membantunya, tapi daerah situ sangat sepi. "Menjauhlah dariku!"
Ogre itu sepertinya mengerti jika Darren ketakutan. "Hey, anak manusia. Tenanglah sedikit," Ucapnya dengan suara berat. "Aku tidak bermaksud menakuti mu."
Memang ogre itu tidak terlihat membawa senjata. Dia hanya terlihat membawa sebuah benda seperti tas yang terbuat dari kulit. Isinya masih belum diketahui.
Tiba-tiba ogre itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah apel merah di ambilnya dan memberikannya pada Darren.
"Makanlah ini," Ucapan Ogre itu cukup meyakinkan.
Darren mulai tenang. Dengan berani ia mengambil apel tersebut dengan tangannya dan memakannya sedikit demi sedikit.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Ogre itu sambil duduk disamping Darren.
"Huh?" Darren masih memakan apelnya.
"Daerah sini sangat berbahaya bagi manusia seperti mu. Kau tidak seharusnya berada disini." Ucap Ogre itu.
"Kenapa?" Tanya Darren.
"Apa kau tidak tahu? Daerah sini sudah terkenal akan monsternya, dan kau malah kesini sendirian," Jawab Ogre seakan-akan khawatir.
"Apa kau termasuk monster?" Tanya Darren keceplosan.
"Ya. Tapi kau tidak usah takut. Karena aku sudah berhenti memakan manusia," Ucap Ogre itu sambil menunjukkan wajah menyesal.
Sepertinya sesuatu yang besar telah terjadi dan mengubah kehidupan ogre tersebut. Ogre biasanya dikenal sebagai monster terkuat karena kekuatannya.
Mereka sering memburu manusia, khususnya yang masih anak-anak. Menyiksa mereka, dan memasaknya hidup-hidup. Lalu memakannya.
Gulp... Darren menelan ludahnya. Ia baru sadar, bisa saja apel yang ia makan itu beracun. Tapi ia sudah menelan semuanya. Yang perlu ia lakukan sekarang adalah bersikap tenang dan mendengarkan penjelasan ogre tersebut.
Dengan begitu, ia dapat memastikan apakah Ogre itu benar-benar baik atau hanya udang dibalik batu.
"Anggap saja aku sedang bermain game," Kata Darren pada dirinya.
"Ngomong-ngomong, darimana asal mu?" Tanya Ogre itu.
"Aku dari Indonesia," Jawab Darren.
"Hah? Indonesia? Kerajaan apa itu? Aku belum pernah mendengarnya," Ogre iru kebingungan. "Apa itu sebuah kerajaan disebelah timur?"
Darren tidak tahu harus menjawab apa. "Ya, bisa dibilang begitu."
Ogre itu pun berdiri. Ia kemudian memegang pundak Darren.
"Berjalanlah ke arah selatan. Dibalik hutan itu, kau akan menemukan kota terdekat. Kesanalah dan cari bantuan untuk kembali ke tempat asalmu," Ucapnya sambil menunjuk ke arah hutan.
"Ya... tempat asalku bukan dari sini sih. Tapi sepertinya itu ide yang bagus untuk pergi ke kota. Mungkin aku bisa mencari pertolongan di sana."
Tiba-tiba, Ogre itu mengeluarkan sebilah pisau dari tasnya. Ia menyerahkan pisau itu kepada Darren.
"Ambillah ini. Gunakan pisau ini untuk membela dirimu jika dalam bahaya," Ternyata Ogre itu memang benar-benar baik.
Darren menerimanya dan berterimakasih. Setelah itu, Ogre tersebut meninggalkan Darren.
"Eh.. anu!" Teriak Darren sebelum Ogre itu terlalu jauh. "Apa kau punya nama?"
"Hioni," Balas Ogre itu sambil pergi.
"Kalau begitu, namaku Darren. Senang berkenalan denganmu!"
Mereka pun berpisah disitu.
Sambil memandangi pisau yang ia pegang, Darren berpikir untuk pergi ke kota secepat mungkin. Melewati hutan mungkin akan sedikit berbahaya, khususnya dimalam hari.
Dalam game, malam hari adalah waktu dimana banyak monster akan muncul. Mereka bisa menyerang pemain dari segala arah.
Dunia ini memiliki sistem kerja yang berbeda dengan sistem kerja yang dimiliki dalam game. Dalam game, hewan dan monster bisa muncul begitu saja. Itu disebut dengan Spawn.
Sementara dunia ini memiliki cara kerja yang tidak jauh berbeda dengan dunia asal Darren. Setiap makhluk memiliki nyawa. Mereka tidak bisa muncul begitu saja. Ini membuat Darren berkali-kali mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini adalah dunia nyata, bukan dunia game.
Sambil berlari-lari, Darren melewati pohon-pohon di hutan dengan hati-hati. Dalam pengetahuannya, hutan biasanya adalah sarang dari banyak jenis monster.
Bisa saja dibalik pohon dan semak-semak akan ada suatu jebakan yang menunggu. Makanya Darren mencoba meningkatkan kewaspadaannya.
Darren yang mengira hutan itu hanya hutan biasa, sekarang terjerat dalam masalah. Ia tak menyangka hutan ini begitu lebat. Membuatnya kesulitan untuk bernavigasi.
Pohon-pohon yang memiliki banyak daun lebat, menghalangi sinar matahari yang hendak masuk. Membuat suasana dalam hutan terasa cukup lebat.
Sepertinya Orge tadi memang sudah mengetahui hal itu. Untungnya Darren masih memiliki pisau pemberian itu di tangannya, jadi ia merasa lebih aman.
Darren memiliki sedikit pengalaman bertarung. Sewaktu SMP, ia pernah bertarung dengan orang yang memiliki badan dua kali lipat darinya. Dengan tangan kosong ia berhasil melawan orang itu.
Tapi karena hal itu, ia jadi pernah diskors hingga beberapa hari. Mungkin ini saatnya ia menggunakan pengalaman yang ia sudah hampir lupakan itu.
Twang!!! Sebuah anak panah melesat. Dengan reflek yang dimiliki Darren, ia dengan cepat menghindarinya.
"Aku nyaris mati lagi," Ucap Darren sambil terengah-engah. Darren segera bersembunyi dibalik pohon.
Sekumpulan goblin muncul dari balik semak-semak. Mereka sepertinya sedang berburu.
Salah satu dari mereka berkata kepada yang lain. "Hey, dia itu bukan babi hutan. Kenapa kau menembaknya?"
"Karena dia manusia. Para Ogre bilang daging manusia itu sedap," Jawab yang lain.
"Dasar bodoh! Bagaimana jika orang itu seorang petualang!" Teriak yang lain.
Kelompok goblin itu beranggotakan empat goblin. Jika dilihat dari penampilan mereka, mereka sepertinya tidak begitu ahli dalam pertempuran.
Tiga dari mereka membawa busur panah, dan satunya membawa pisau kecil. Mereka lebih terlihat seperti sekelompok pemburu daripada sekelompok petarung.
"Apa aku harus membunuh mereka semua?" Kata Darren pada dirinya. "Tidak. Jika ada cara lain selain membunuh, aku hanya harus melumpuhkan mereka."
Darren menggenggam erat pisaunya. Sambil memikirkan sebuah strategi, ia terus memantau mereka. Sepertinya pada goblin itu belum tahu jika Darren sedang bersembunyi dibalik pohon.
"Jika aku bisa melumpuhkan para pemanah, maka aku bisa bertarung dengan si pemegang pisau dengan aman."
"Untuk melumpuhkan para pemanah, aku hanya perlu memotong benang busur mereka. Dengan begitu mereka tidak akan bisa apa-apa."
Dengan gerakan cepat, layaknya atlet lari profesional, Darren berlari dari pohon ke pohon. Para goblin pemanah yang melihatnya mulai menembakinya dengan anak panah.
Twang! Twung! Setiap anak panah yang melesat hanya mengenai pohon. Sementara Darren sudah sangat dekat dengan mereka.
Swoosh... Satu ayunan pisau berhasil memotong salah satu benang pemanah. Tersisa dua lagi.
"Mereka sepertinya tidak terlalu pintar. Aku bisa terus mengulangi teknik ini!" Ucap Darren.
Tak lama berselang. Dengan kecepatan Darren, ia berhasil memotong setiap benang dari ketiga pemanah tersebut. Para goblin mulai panik.
"Waa!... B-busurku rusak. Jika begini, kita bisa mati!" Keluh salah satu goblin.
Goblin pemegang pisau tak tinggal diam. Dia segera berlari ke arah Darren dengan posisi hendak menikamnya.
"Dia menghampiri ku secara lurus kedepan. Sepertinya ia memang tidak bisa bertarung."
Dengan mudahnya, Darren mematahkan serangan goblin itu. Ia membuat goblin itu menjatuhkan pisaunya dan mengunci pergerakan goblin itu. Sementara goblin yang lain diam terpaku.
"Sudahlah. Kau sudah kalah!" Ucap Darren.
Goblin itu sudah pasrah, sepertinya ia menerima nasibnya untuk terbunuh. Tapi Darren melepaskannya.
Goblin itu sudah terbukti tidak bisa bertarung, ditambah lagi ia sudah tidak memiliki pisau lagi di tangannya.
"Ampuni kami! Ampuni kami!" Ucap para goblin itu serentak sambil bersujud dihadapan Darren. "Kami akan memberi mu apapun, asal jangan bunuh kami!"
Darren melihat mereka sudah kehilangan semangat bertarung. Membunuh mereka juga tidak akan menguntungkannya. Melepas mereka mungkin pilihan terbaik, mengingat mereka tidaklah terlalu berbahaya.
"Tas mu, berikanlah padaku," Ucap Darren ketika melihat salah satu goblin membawa sebuah tas kecil dari anyaman kulit pohon.
Goblin itupun memberikannya sambil ketakutan.
Dengan itu, Darren bisa menyimpan pisaunya tanpa harus memegangnya setiap saat. Kemudian, Darren pun berterimakasih. Ia kemudian melepas para goblin itu tanpa masalah.
Goblin-goblin itu hanya tercengang. Mereka tak mengira kalau mereka akan dilepas begitu saja.
"Maaf, apa kau benar-benar tidak akan membunuh kami?" Tanya salah satu goblin pada Darren.
Darren menggeleng. "Kenapa aku harus membunuh kalian?" Jawabnya.
Para goblin itu menatap satu sama lain, seakan-akan mereka tidak percaya. Kemudian mereka menjawab Darren. "Biasanya para petualang akan membunuh monster untuk mendapatkan level. Tapi kau melepas kami begitu saja. Apa kau punya maksud lain?"
"Tidak," Jawab Darren sambil tersenyum, "Kalian juga punya keluarga, kan? Kasihan jika mereka menunggu kalian pulang dan mengetahui bahwa kalian telah tewas."
Goblin-goblin itu semakin tercengang dengan jawaban Darren.
Sepertinya mengampuni monster merupakan hal yang tidak biasa di dunia ini.
Untuk menaikkan level, para petualang harus membunuh monster. Level yang didapat sesuai dengan seberapa kuatnya monster yang dilawan.. Menaikkan level dapat mempengaruhi level sihir dan kekuatan mereka. Hal inilah yang tidak diketahui Darren.
"Maaf Tuan, apakah anda memiliki nama?" Tanya goblin pisau.
"Darren Aswan. Kau bisa memanggilku Darren," Jawab Darren.
Kemudian para goblin itu mulai memujanya. "Darren-sama, tolong jadikan kami bawahan mu!"
Tentu saja Darren terkejut. Ini hari pertamanya di dunia baru dan tiba-tiba ia diminta untuk menjadi tuan atas empat goblin ini.
"Maaf, tapi aku tidak suka memiliki bawahan," Jawab Darren sambil menggaruk kepalanya. "Aku selalu bermain solo."
"Kalau begitu, sebagai rasa terimakasih karena sudah mengampuni kami. Kami memohon agar anda bersedia mampir ke desa kami!" Ucap para goblin serentak.
Hari memang sudah sore. Berjalan dihutan sendirian juga bukanlah ide yang bagus. Jadi, apa salahnya jika ia mampir dan bermalam di desa goblin. Ia bisa melanjutkan perjalanannya besok.
"Baiklah, tolong antarkan aku, ya," Ucap Darren.
"Baik!" Teriak para goblin bersamaan.
Setibanya di desa goblin. Darren mendapatkan sambutan yang dingin dari warga desa. Mereka bukannya tidak mau menyambut, tapi mereka hanya ketakutan.
Keempat goblin tadi mulai mencoba untuk meyakinkan warga bahwa Darren bukanlah orang yang berbahaya.
Goblin-goblin di desa itu sangatlah lemah. Mereka memiliki badan kecil, kulit yang hijau, dan tubuh mereka yang kurus. Darren malah jadi merasa prihatin.
Seorang goblin yang dikenal sebagai kepala desa datang menghampiri Darren. Berbeda dari yang lainnya, kepala desa itu memiliki badan yang agak besar. Tubuhnya setara dengan ukuran manusia dewasa.
"Apa mau mu kesini?" Tanya Goblin itu sambil terlihat arogan.
"Tidak banyak. Aku hanya datang untuk mampir dan bermalam disini," Jawab Darren.
"Bohong! Kau pasti datang untuk mengepung desa ini!" Teriak kepala desa. "Kau pasti sudah menyiapkan pasukan untuk menyerang dari segala arah."
Darren berusaha menyangkal. "Sungguh, aku tidak bermaksud demikian." Jawabnya, "Kau bisa bertanya pada empat goblin itu." Ucapnya sambil menunjuk ke empat goblin tadi.
"Dasar pembohong! Kau pasti sudah mengancam mereka. Kau sudah menjanjikan keselamatan bagi mereka yang membantu mu, benar kan!?" Kepala desa masih bersikeras untuk tidak mempercayai Darren.
Tanpa banyak bicara, kepala desa langsung mengeluarkan sebuah kapak dan menyerang Darren di depan penduduk goblin.
Dengan cepat Darren menghindar.
"Sudah ku duga. Kau itu pasti seorang petualang!" Teriak kepala desa sambil mengamuk.
Darren tidak bisa tinggal diam. Ia bisa merasakan hasrat membunuh pada goblin berkapak itu. Kali ini ia harus bertarung dengan sungguh-sungguh, atau nyawanya akan terancam.
Darren segera mengeluarkan pisau kecilnya.
"Aku tidak akan bisa bertarung melawan nya menggunakan pisau kecil ini."
"Jangkauan serang kapak-nya lebih luas daripada pisauku. Ini akan sangat menyulitkan."
"Setidaknya, aku harus mencari benda yang lebih panjang."
Darren melihat sekeliling. Ia berusaha mencari sesuatu yang bisa ia manfaatkan.
Ia hanya menemukan sebuah tong kayu. Kemungkinan, gentong itu cukup berat. Ia bisa saja melemparkannya kearah Goblin itu dan melumpuhkannya.
Set... Set... Slash... Darren mengayunkan pisaunya kearah goblin itu. Tapi kulit goblin itu terlalu keras dan berhasil mematahkan mata pisau milik Darren. Sekarang Darren hanya bisa bertarung dengan tangan kosong.
"Ha... ha... ha... kau sudah mati!" Teriak Goblin itu arogan. "Menyerahlah dan tunduk kepadaku!"
Darren dengan cepat berlari menghampiri tong kayu itu. Tidak banyak yang bisa ia lakukan dengan benda itu selain melemparkannya.
Swuung... Prakk... Tong itu berhasil mengenai kepala Goblin tersebut. Membuatnya ter-stun untuk beberapa detik. Dengan cepat Darren berlari dan menghantam wajah Goblin itu dengan kakinya.
Gubrakk... Goblin itu terjatuh.
Walau belum sepenuhnya tumbang, goblin itu sudah cukup lemah untuk dikalahkan. Darren merasa kecewa karena goblin itu ternyata tak sekuat yang ia kira. Ditambah lagi goblin itu terlalu arogan.
Dengan kecepatannya, Darren segera berlari menghampiri goblin itu untuk menendangnya sekali lagi. Mungkin itu bisa melumpuhkannya.
Swoosh!!! Sebuah kapak terlempar kearah wajah Darren. Darren yang sudah terlanjur mengambil ancang-ancang untuk menyerang, tidak sempat memperhatikan bahwa goblin itu masih punya kapak di tangannya.
"Sial! Apa yang harus aku lakukan!?" Pikir Darren.
Tanpa berpikir panjang, Darren mencoba menangkap kapak itu dengan tangannya. Ia tahu bahwa tangannya bisa saja terpotong, tapi itu lebih baik daripada harus kehilangan kepala.
Dengan cepat Darren mengayunkan tangannya dan menangkap bilah besi pada kapak itu. Srett... Darren berhasil menangkap kapak itu dengan genggaman tangannya walau harus mengorbankan jari manis dan jari tengahnya.
"Agh!" Darren merintih kesakitan.
Sementara goblin itu tersenyum dengan kejamnya. Darren kemudian tersungkur di tanah.
Goblin itu kembali berdiri dan menghampiri Darren, bermaksud untuk menghabisinya. Ia mengangkat kapaknya tinggi-tinggi.
Darren yang sudah lemas, mulai pasrah.
"Apa aku akan mati lagi? Padahal aku barusan hidup lagi."
"Andaikan saja jika aku kuat. Aku bisa menyelamatkan orang lain dan melukiskan senyum pada wajah mereka."
"Tapi nyatanya, aku bahkan tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri."
"Jika saja aku punya kekuatan seperti di anime dan manga. Dimana tokoh utamanya overpower."
"Contohnya saja seperti..."
"Kekuatan petir."
Duar!!! Sebuah petir menyambar Goblin berkapak itu hingga membuatnya terpental jauh dan mengahantam sebuah gubuk.
Darren yang melihat kejadian itu terkejut. Ia tak tahu darimana asal petir itu datang, dan siapa yang melakukannya.
"Apa yang terjadi? Dan kenapa tiba-tiba tenaga ku pulih?" Gumam Darren.
Sementara goblin itu sudah sekarat, Darren menghampirinya.
"Ku mohon, bunuh saja aku!" Ucap Goblin itu putus asa. "Jika kau membunuh ku, kau bisa mendapat level yang tinggi. Jadi kau tidak perlu membunuh warga desa."
Darren akhirnya sadar. Goblin itu bertarung bukan karena tanpa alasan. Ia bertarung demi mempertahankan desanya dari para petualang.
Disamping Darren, tergeletak kapak milik goblin tersebut. Ia mengambilnya dan menyimpan kapak itu didalam tas nya.
"Aku tidak akan membunuhmu, ataupun warga desa," Ucap Darren sembari menyimpan kapaknya. "Aku akan pergi dari sini. Aku tidak mau membuat masalah lagi."
Setelah itu Darren berteriak meminta tolong kepada para goblin lain untuk mengobati Goblin yang terluka itu.
"Sebenarnya, siapa anda?" Tanya Goblin itu sambil merintih kesakitan.
Darren pun tersenyum. "Darren," Jawabannya. "Dan... terimakasih atas kapaknya."
Setelah itu, Darren pun pergi meninggalkan desa tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!