Kelopak mata itu bergerak samar, disusul oleh bulu mata yang mulai terangkat. Wanita itu terbangun, membuka matanya dengan perlahan. Sinar matahari mulai menerobos masuk melalui celah jendela kamarnya.
"Uhh, nyenyak sekali tidur ku." Gumamnya sambil menggeliatkan tubuh indahnya dibalik selimut tebal. Matanya kembali ia pejamkan dan semakin bergulung dengan selimut tebal itu.
"Jam berapa ini?" Jessy menggapai ponsel yang selalu ia simpan diatas nakas.
Mata Jessy terbuka penuh, tanggannya tak berhasil menggapai apapun. "Kemana ponsel ku." Gerutu nya, Jessy duduk dari tidurnya, memperhatikan pakaiannya yang berserakan dimana-mana. Ia masih belum berfikir jernih. Setelah beberapa detik berlalu, Jessy tersadar.
"Astaga!" Pekiknya sambil menarik selimut, menutup tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam. Ia panik seketika. Mencari ponsel dengan mata dan kembali mengintip tubuhnya dibalik selimut. Jantungnya berdebar.
"Apa-apaan ini!" Ingin rasanya ia berteriak. Apa yang sudah dilakukan pria itu. Rasanya ia hancur dan tak ada harga dirinya. Sesuatu yang sudah ia jaga selama ini dirampas begitu saja oleh Justin. Demi tuhan! Ia baru mengenal pria itu Sabtu kemarin.
"Tenang Jessy. Kau harus tenang." Jessy membaringkan tubuhnya, ia menggenggam erat selimut itu diatas dada. Matanya fokus pada langit-langit kamar. Pikiran berkecamuk. Apa ini termasuk kasus pemerkosaan? Oleh pasiennya sendiri?.
-
Jessy Edellyn, seorang psikiater muda yang baru 4 tahun ini sukses dengan karirnya, ia membuka praktek nya dirumahnya sendiri. Ia anak kedua sekaligus anak terakhir dan memilih mengasingkan diri dikota orang lain. Setelah berhasil menjadi mahasiswa kedokteran, banyak yang menyayangkan Jessy karena memilih bidang psikiatri sebagai bidang spesialisnya, seorang dokter spesialis yang mendalami ilmu kesehatan jiwa dan perilaku. Psikiatri sendiri adalah cabang keilmuan medis yang fokus pada diagnosis, pengobatan, dan pencegahan terhadap gangguan emosional, kejiwaan, maupun perilaku.
Orangtua bahkan teman-temannya secara terang-terangan menyuruh Jessy untuk mengambil bidang lain seperti dokter bedah, penyakit dalam atau bidang yang nantinya menjamin masa depan Jessy.
Namun Jessy lebih senang mendengarkan curhatan orang lain, membantu mereka menemukan jalan keluarnya atau menenangkan orang-orang yang tertekan. Keputusan Jessy semakin besar saat ia terpilih menjadi anggota Academy of Psychosomatic Medicine (APM). Academy ini adalah penambahan American Psychiatric Association yang khusus untuk memberikan pelatihan dan pendidikan untuk calon psikiater CLP atau saat ini dikenal dengan sebutan Spesialis Pengobatan Psikosomatik.
Ayah dan ibunya seorang ahli hukum, atau lebih tepatnya pengacara yang sudah terkenal di Kanada. Namun, Jessy tak nyaman dengan berbagai hukum dan tindakan kriminal lainnya, terlalu menakutkan, ia lebih nyaman menjadi teman bagi semua orang.
-
Cukup untuk perkenalannya, kembali pada masa sulitnya sekarang. Jessy menutup wajahnya dengan bantal. Ia sepertinya akan depresi dan membutuhkan psikolog, ia tak bisa menjadi dokter untuk dirinya sendiri!
Jessy mulai beranjak dari tempat tidur nya, mencoba untuk berdiri namun ragu, ia teringat dengan ucapan teman-temannya yang pernah menceritakan pengalaman pertama mereka, rasanya sakit saat berjalan nanti. Jessy mulai memberanikan diri untuk berdiri, ia sedikit bingung saat tak merasakan sakit apa-apa.
"Astaga ini benar-benar membuat ku gila!" Jessy mengambil cepat semua pakaian yang berhamburan itu. Ia memakai asal pakaiannya kembali dan berlari menuju ruang praktek nya.
Ruangannya rapi seperti biasa, ponselnya pun tergeletak diatas meja.
"Aku kira ia mencuri semua barang ku juga!" Gerutu Jessy kesal. Ia mengambil ponselnya, namun pandangannya terhenti pada sebuah coklat. 'Terimakasih atas kerja samanya.' Jessy menggenggam coklat itu dengan kencang, apanya yang kerjasama!.
Jessy menyalakan komputernya. Ia memeriksa CCTV untuk mengetahui kejadian semalam, ia pasti sudah diberikan obat tidur oleh pria itu, tapi yang membuat Jessy bingung adalah ia tak makan atau minum apapun saat Justin berkunjung.
"Dia benar-benar gila." Gumam Jessy saat melihat Justin tersenyum setelah dirinya tak sadarkan diri. Matanya kembali menajam saat pria itu membuka lacinya, mengambil kertas-kertas catatan pasiennya.
"Apa yang ia cari?" Lagi-lagi Jessy bergumam, ia semakin bingung saat Justin memotret kertas-kertas itu.
Jessy menggapai ponselnya, mencari kontak Justin.
"Sial!" Panggilan Jessy tak diangkat oleh pria itu. Justin sudah benar-benar keterlaluan. Ia sudah mencuri catatannya dan menidurinya!.
Kini Jessy mencari kontak lain dan mulai menyimpan ponsel ditelinganya.
"Hallo."
"Aku ingin memasang CCTV lagi, kali ini disetiap ruangan."
"Ya, dari mulai pintu masuk, ruang tamu, kamar tamu, dapur bahkan dikamar ku juga aku ingin memasangnya."
"Baik aku tunggu siang ini." Jessy mematikan panggilan itu, Ia kembali menelfon Justin terus menerus.
Tepat pukul 4 sore, semua CCTV yang ia minta sudah terpasang semua. Inilah bahayanya seorang wanita tinggal sendiri didalam rumah. Jessy sudah lelah menghubungi pria itu, panggilannya tak diangkat satu pun. Kini hanya ada lampiran biodata Justin yang baru ia cetak dari file di ponselnya.
"Justin Alfranz." Jessy sudah mencari nama itu diberbagai sosial media, tak ada satupun yang memakai foto pria itu.
"Apa mungkin ini biodata palsu?" Gumam Jessy. Ia pun sudah memeriksa diinternet. Pria itu mengatakan bahwa dirinya seorang penulis, namun tak ada satupun novel yang dibuat olehnya.
Satu-satunya cara terbaik adalah mendatangi rumah pria itu! Jessy bergegas meraih tas kecilnya dan berjalan cepat menuju mobilnya.
Selama diperjalanan ia berfikir keras bagaimana kata-kata yang pas untuk meminta pertanggung jawaban pria itu. Jessy memejamkan matanya gemas, ia bodoh atau idiot? Untuk apa ia bersusah-susah memikirkan kata-kata yang pas, Jessy seharusnya langsung menampar wajah itu dan memaksa pria itu bertanggung jawab. Jessy tak bisa membayangkan bagaimana nanti jika ia hamil? Tanpa seorang suami?.
Pikiran-pikiran anehnya terhenti saat ia akan memasuki kawasan elite. Membaca kembali alamat Justin dan memang benar sesuai dengan maps. Sedikit ragu Jessy memberanikan diri untuk masuk kedalam kawasan itu, mobilnya dihentikan oleh seorang security.
"Maaf nona, boleh memperlihatkan identitas?" Jessy yang terlihat bingung hanya mengangguk seperti orang bodoh, ia mengeluarkan identitasnya.
Pria itu membaca sekilas kartu identitas Jessy dan mengembalikannya.
"Ada kepentingan apa dan ingin menemui siapa nona?" Tanya security itu sopan. Ternyata susah sekali memasuki kawasan ini, apa mungkin karena mobilnya tidak mewah seperti yang baru masuk tanpa dicegah itu?.
"Aku Jessy, seorang psikiater, pasien ku meminta ku untuk datang kerumahnya. Ini biodatanya." Jessy memberikan biodata Justin. Security itu sedikit mengerutkan keningnya membuat Jessy sedikit was-was.
"Mungkin yang anda maksud Mr. Franz?" Jessy mengangguk pelan, ia tak tau. Namun ajaib nya ia langsung dibolehkan masuk kedalam.
Jessy memperhatikan beberapa rumah besar yang berjajar rapi dengan halaman yang sangat luas, bahkan beberapa rumah ada yang menunjukan kolam renang miliknya dihalaman rumah. Lebih mengagumkan nya lagi saat Jessy tau setiap rumah memiliki security pribadi masing-masing, Jessy menutup mulutnya saat melihat seorang aktor yang tengah naik daun berdiri diatas balkon. Ini benar-benar kawasan orang-orang kelas atas. Para aktor dan pengusaha sukses.
Jessy menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah yang begitu megah, rumah yang terlihat angkuh saat Jessy mendapati beberapa mobil dengan harga selangit berjajar sombong dihalaman itu.
Seseorang mengetuk jendela mobilnya, membuat Jessy tersadar dari lamunannya.
"Ada yang bisa aku bantu nona?"
"Ah.. aku Jessy, psikiater Mr.Franz, apakah ada?" Tanya Jessy. Ia tak menyebutkan nama Justin saat mengingat security didepan tadi saja terlihat bingung.
"Psikiater? Mr.Franz akan kembali ke California minggu depan nona. Apakah sudah membuat janji?"
"Kapan dia pergi? Apakah tadi pagi?" Tanya Jessy cepat. Benar-benar pria sialan, ia kabur begitu saja.
"Mr.Franz sudah seminggu pergi nona. Beliau banyak urusan bisnis keluar kota."
"Apa? Bukannya ia seorang penulis? Semalam aku bertemu dengannya." Pria itu mengerutkan keningnya.
"Mungkin anda salah orang nona. Namun hanya ada satu nama Mr.Franz dikawasan ini. Dan sudah puluhan tahun Mr.Franz adalah seorang pengusaha, tidak pernah menjadi penulis."
"Puluhan tahun?" Tanya Jessy bingung.
"Ya, hingga usianya ke 58 tahun ini ia tak pernah menjadi penulis." Hampir saja Jessy terbatuk, mengapa tua sekali. Jessy mengepalkan tangannya, ia sepertinya sudah benar-benar ditipu oleh Justin. Pria itu tidak mungkin tinggal dikawasan seperti ini, bahkan diinternet pun ia tak menemukan nama pria itu.
"Maaf. Sepertinya aku salah orang. Terimakasih." Jessy tersenyum tipis dan melajukan mobilnya kembali, ia menggenggam stirnya dengan kencang. Sekarang bagaimana nasibnya?.
Pikirannya melayang pada saat masa kuliahnya. Perbincangan bersama teman-temannya kini berputar kembali.
'Serius? Kau belum pernah melakukan itu?' Jessy dengan santainya mengangkat bahu.
'Aku akan melakukan itu bersama suamiku nanti. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan melakukan itu hanya dengan satu pria.' kedua temannya bertepuk tangan dengan wajah kagum.
'Kau luar biasa, aku menjadi iri.' sudah tak aneh pergaulan sebebas itu disana. Dan Jessy berhasil memegang ucapannya hingga ia lulus kuliah dan berkarir.
Rasa benci Jessy kepada Justin bertambah besar. Bagaimana jadinya jika ia benar-benar memegang janjinya, ia tidak akan menikah seumur hidupnya? Menunggu Justin menghampirinya dan menikahinya?. Oh ayolah Jessy! Kau hidup dizaman apa? Bangkitlah dan ingkari janji mu sendiri, tidak akan ada yang perduli!.
Jessy bersumpah. Jika Justin tak mengangkat telefon nya, ia akan membuang kartunya dan tidak akan memaafkan pria itu!.
Dengan harap-harap cemas, Jessy melirik ponselnya, panggilan itu terhubung, Jessy langsung menggapainya dan menyimpan ketelinga.
"The number you are headed is busy or is outside the range. Please try again later" suara operator yang Jessy dengar, dengan emosi yang sudah meluap ia menekan deretan angka yang sudah ia hafal. Sedikit tidak sopan memang menelfon suami orang ditengah malam seperti ini.
"Hallo. Siapa?" Suara disebrang sana terdengar seperti terganggu.
"Aku adik mu." Jawab Jessy pelan. Ia sudah putus asa dan depresi disini.
"Oh Jessy. Maaf aku sedang dirumah sakit." Jessy mengerutkan keningnya.
"Siapa yang sakit?" Tanya Jessy panik.
"Kelly sedang kontraksi. Sepertinya akan lahiran malam ini."
"Apa! Kau tidak pernah mengatakan istri mu itu hamil. Bukannya kalian baru menikah 5 bulan yang lalu?" Terdengar suara helaan nafas disebrang sana.
"Tidak bisakah kau langsung berfikir kearah sana?"
"Kearah mana?"
"Astaga Jess! Apa aku harus memberitahu mu alasan kakakmu ini menikah? Kau sudah dewasa dan mengerti. Sudah lah aku akan kembali menemani Kelly dulu, aku berharap anak ku nanti tidak sekeras kepala seperti dirimu." Panggilan itu langsung terputus, Jessy mendengus keras, keluarganya masih saja mengejek keputusannya untuk menjadi psikiater di LA.
Sepertinya ia tidak akan kerumah orangtuanya di Kanada. Ia akan berlibur di Meksiko, rumah Robert dan Kelly, pantai dan bangunan-bangunan tua disana juga sepertinya menyenangkan untuk menjernihkan pikiran. Jessy menyalakan komputernya, ia mengetik kata-kata akan libur sementara untuk para pasiennya, Jessy tidak bisa bekerja dengan keadaannya yang seperti ini.
Setelah mengirimkannya pada semua pasien, ia bergegas kedalam kamar, memasukan beberapa baju kedalam koper dan memesan tiker pesawat paling pagi di ponselnya.
°°°
Jessy menarik nafasnya panjang saat menaiki pesawat, mencari tempat duduknya dan mengeluarkan ponsel saat sudah duduk disebelah jendela. Ia harus melepaskan kartunya, tidak boleh ada pekerjaan diwaktu liburannya. Ia pun men-log out email khusus pekerjaannya agar tak menerima notifikasi apapun.
"Hai." Sapa seorang wanita yang duduk disebelah kursinya, setidaknya ia akan mendapatkan teman diperjalanan kali ini.
"Hai " jawab Jessy ramah.
"Ke Meksiko?" Tanya wanita itu yang langsung diangguki oleh Jessy.
"Soy Larissa. Cuál es su nombre?*¹" Jessy tersenyum tipis, ia mengepalkan tangannya, mungkin akan seperti ini juga nanti disana.
"Aku Jessy. Aku tidak terlalu mahir bahasa spanyol, tapi aku mengerti apa yang kau ucapkan." Jawab Jessy pelan.
"Oh maaf, aku kira kau asli sana." Gumamnya dengan sedikit tawa renyah.
"Tidak. Kakak ku menikah dengan orang Meksiko, aku asli Kanada."
"Dan di LA?"
"Aku bekerja disini." Jawab Jessy cepat. Larissa mengangguk mengerti.
"Kakak mu tinggal dimana?"
"Bacalar, Quintana Roo."
"Ah aku tau kota itu. sekitar empat jam dari Cancun dan dekat dengan perbatasan dengan Belize?" Jessy mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau kau dimana?"
"Cabo San Lucas." Larissa sedikit tertawa dan berbisik.
"Banyak klub-klub meriah disana."
"Kau sering ketempat seperti itu?." Tanya Jessy pelan, ia takut Larissa tersinggung dengan pertanyaan nya.
"Ya. Itu menyenangkan, banyak pria tampan disana. Kau juga sering?" Jessy menggelengkan kepalanya.
"Aku belum pernah ketempat seperti itu." Jawabnya jujur. Ia memang tak pernah main ketempat bising seperti itu, Jessy lebih menyukai suasana damai, seperti cafe, pantai atau alam yang menawarkan sejuta keindahan untuk matanya.
"Usted es serio?*²" Tanya Larissa sedikit terkejut.
"Aku tidak menyukai alkohol dan asap rokok. Temanku mengatakan banyak yang seperti itu disana, jadi aku tidak tertarik." Masih dengan tatapan takjub, Larissa sedikit berfikir dan mengeluarkan ponselnya.
"Aku rasa kau menyenangkan. Boleh meminta nomor mu?" Dengan senang hati Jessy mengetikan deretan angka nomornya.
"Terimakasih."
"Sama-sama. Tapi aku menonaktifkan dulu nomor itu untuk sementara. Aku berniat menenangkan diri dirumah kakak ku." Larissa mengangguk pelan dan menyimpan kembali ponselnya.
"Apa ada masalah berat?." Jessy tersenyum sambil mengangkat bahu pelan. Ia pun tak tau apakan ini masalah besar atau bukan.
"Lain kali kau harus mencoba beer, tidak terlalu berat mu. Carilah yang kadar alkoholnya rendah untuk pemula, aku yakin itu bisa meringankan masalah mu." Jessy mendengar itu hanya tersenyum pelan. Sepertinya ia akan mencoba yang belum pernah ia lakukan, apakah selama ini Jessy terlalu ketinggalan zaman dan terlalu mencontoh ibunya yang menomorsatukan nama baik?.
____
* Aku Larissa. Siapa namamu?
* Kamu serius?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!