NovelToon NovelToon

Si Kembar Mengejar Cinta

Di Keluarkan dari Sekolah

Langit sedang sibuk meeting saat ponselnya bergetar. Tino yang menghubunginya.

"Maaf, saya angkat telpon dulu." Langit lalu keluar dan menerima panggilan dari Tino.

"Assalamualaikum, Tin. Ada apa?"

"Langit. Kamu harus ke sekolah si kembar. Bara kembali membuat ulah. Kali ini kepala sekolah ingin bertemu denganmu. Beliau sangat kecewa karena mengira kamu tidak peduli dengan pendidikan anak-anakmu. Karena tiap ada masalah, selalu aku yang datang mewakilimu." Tino menjelaskan.

"Baiklah. Kali ini aku akan datang."

Setelah mengucap salam, Langit lalu memutus panggilan. Ia kembali ke ruang meeting dan menyudahi meeting hari itu.

Di sekolah, Bara sedang berdiri di depan kepala sekolah. Banyu dan Tino duduk di kursi tamu.

"Bagaimana, Tuan Tino? Apa orang tua Bara bisa hadir?" tanya kepalsa sekolah.

"Iya,Pak. Beliau sedang dalam perjalanan." Tino menjelaskan.

"Nah, begitukan bagus. Jangan selalu diwakilkan. Punya anak itu harus dipedulikan. Jangn dibiarkan tumbuh liar." kata kepala sekolah.

Bara mengepalkan tangannya mendengar papanya dihina.

"Papa sangat memperhatikan kami!" hardik Bara yang sudah tidak bisa menahan kesabarannya.

"Bara!" bentak Tino mengingatkan agar Bara menjaga sikapnya.

Banyu diam saja. Dalam hati ia juga benci mendengar ucapan kepala sekolah. Namun ia lebih tenang dibanding Bara.

"Kalau papa kalian memperhatikan dan peduli pada kalian, kamu tidak akan tumbuh menjadi anak pembuat onar seperti ini." kata kepala sekolah sinis.

Tangan Bara gemetar. Ia bermaksud menggebrak meja kepala sekolah, namun Banyu bertindak cepat. Ia meraih tangan kakaknya itu.

"Jaga emosimu." bisik Banyu.

"Dia menghina papa kita, Nyu." kata Bara dengan pandangan tajam ke arah kepala sekolah.

"Ia akan lebih menghina papa lagi jika kau tidak bisa menahan emosi."  Banyu menekan bahu Bara,"Duduklah!" Ia menggandeng tangan Bara ke arah kursi.

"Siapa yang mengijinkanmu duduk. Seenaknya saja mau duduk."  Suara kepala sekolah lantang.

Bara tidak jadi duduk. Ia kembali berdiri di tempatnya. Banyu ikut berdiri di sebelahnya berjaga agar Bara tidak lepas kendali.

"Sebenarnya sesibuk apa orang tuamu sehingga tidak ada waktu buat mengurusmu. Kalau bisa membuat anak, mestinya juga bisa mengurusnya. Jangan hanya bisanya membuat saja tapi tidak peduli dengan masa depannya."

Kali ini bukan cuma Bara yang tersulut emosinya, kesabaran Banyupun habis. Ia menggebrak meja kepala sekolah membuat Bara dan Tino kaget .

"Jika anda tidak tahu apa-apa. Lebih baik anda diam, Maaf jika saya lancang dan tidak menghormati anda selaku kepala sekolah. Tapi sikap dan tutur kata anda, membuat anda tidak pantas untuk dihormati." kata Banyu dengan penuh penekanan.

Tino diam menyaksikan kemarahan dua pemuda putra sahabanya itu. Jujur, hatinya juga panas. Jika tidak ingat usia, ia juga akan melampiaskan emosinya mendengar Langit dihina.

Banyu masih berdiri di depan kepala sekolah. Tangannya menekan mejanya. Bara ikutan. Mereka berdua menatap tajam seolah ingin memakan bapak kepalaa sekolah. Pria bertubuh tambun dan berkepala botak itu keder  juga ditatap tajam oleh dua pemuda yang sedang berdirii di hadapannya. Keringat mulai mengucur membasahi dahinya. Buru-buru ia mengambil sapu tangan dan menyekanya.

"Bara, Banyu, Duduk!" perintah Tino.

Masih dengan pandangan mengarah kepada bapak kepala sekolah, kedua pemuda itu mundur menuju kursi. Kali ini bapak kepala sekolah membiarkan Bara duduk.

"Assalamualaikum!" Langit tiba. Ia membuka pintu dan masuk.

"Bagus, anda sudah datang." kata kepala sekolah tanpa melihat siapa yang mengunjungi kantornya. Saat ia mendongak dan melihat Langit, matanya terbelalak."Anda Tuan Langit pemilik Surya Group dan juga Perkasa Interios Design.. Jandi Anda papa dari kedua anak ini. Oh maaf saya tidak mengetahuinya." gemetarlah tubuh bapak kepala sekolah, Ia ingat perkataannya tadi, bagaimana jika kedua anak itu mengadu pada Langit. Habislah karirnya sebagai kepala sekolah.

Langit tersenyum,"Anda menginginkan bertemu dengan saya, apa anak saya membuat masalah lagi?Jika benar demikian, silahkan anda menjatuhkan hukuman kepada mereka sesuai peraturan sekolah ini." Langit berkata dengan kalem.

"Oh..ti..tidak tuan. Mereka baik-baik saja. Tida perlu diributkan. Hanya masalah kecil." kata bapak kelapala sekolah.

Banyu dan Bara sangat geram mendengarnya. Tadi saja sok berkuasa, sekarang mengkeret.

"Bapak kepala sekolah yang terhormat. Inilah yang tidak saya inginkan. Saat pihak sekolah mengetahui siapa si kembar, maka mereka akan memperlakukan keduanya dengan berbeda. Itulah kenapa saya selalu mewakilkan pada sekretaris saya ini setiap ada panggilan ke sekolah. Mohon maaf, bukannya saya mengabaikan atau tidak peduli dengan panggilan dari sekolah. Tapi lihatlah sekarang, anda menarik ucapan anda sendiri hanya karena tahu siapa saya. Jadi silahkan beri hukuman kepada anak saya. Saya tidak akan mempermasalahkan sikap anda jika memang anak saya salah."

Kepala sekolah itu menunduk malu karena sudah mengira yang buruk terhadap sikap Langit. Padahal Langit melakukan itu justru untuk mendidik anak-anaknya agar tidak memakai nama besar orang tuanya.

"Maafkan saya tuan. Saya sudah salah sangka."

"Tidak apa- apa. Jadi apa hukuman untuk anak saya?" kembali Langit bertanya.

"Itu...Bara sudah seringkali membuat masalah. Berdasarkan peraturan sekolah mestinya ia harus dikeluarkan." kata bapak kepala sekolah dengan rasa takut yang sangat. Keringat kembali mememenuhi dahinya.

"Baiklah, saya terima hukuman itu. Mulai sekarang saya akan membawa kedua anak saya keluar dari sekolahan ini."

"Kenapa keduanya?" tanya kepala sekolah bingung.

"Karena mereka satu paket yang tak terpisahkan. Bukan begitu?" Langit melirik Bara dan Banyu.

Kedua anaknya itu mengangguk.

"Tapi bisakah bapak menolong saya?" tanya Langit.

"Tentu tuan, katakan saja."

"Tolong buatkan surat pindah untuk kedua anak saya. Dan kalau bisa, jangan ada bunyi kalau anak saya dikeluarkan dari sekolah ini." Kata Langit memandang tajam.

"Ba..ba..ik."

"Terima kasih. Karena sudah tidak ada urusan lagi. Saya mohon pamit." Langit berdiri. Dia mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak kepala sekolah.

"Tuan, sebenarnya hukuman itu bisa saya hapus. Dan anak-anak tuan masih bisa sekolah di sini." kata kepala sekolah. Ada nada penyesalan dalam suaranya. Tentu saja ia menyesal, dengan keluarnya Bara dan Banyu maka hilangnya penyokong dana terbesar untuk sekolahannya.

"Tidak perlu. Biar anak saya mendapat pelajaran dari perbuatannya." jawab Langit lalu keluar. Tino, Bara dan Banyu mengikutinya.

"Cerita ke papa, kali ini apa yang kamu lakukan?" tanya Langit saat mereak berada di mobil,

"Memukul teman, Pa." jawab Bara jujur.

"Kenapa dia kau pukul?" kembali Langit bertanya.

"Dia menganggu temanku Pa. Temanku itu anaknya lemah, sering dia ganggu. Aku hanya ingin memberinya pelajaran agar tidak sok jadi penguasa di sekolah, Pa."

"Dah apakah perbuatanmu juga tidak menunjukkan kau sok kuasa juga?"

Bara diam, "Maaf, Pa."

"Sudahlah. Sekarang pikirkan saja bagaimana menjelaskannya kepada mama agar dia tidak sedih." kata Langit.

Bara semakin dalam menunduk. Ia membayangkan mamanya akan bersedih jika tahu dirinya dikeluarkan dari sekolah.

"Mama pasti sedih saat tahu aku dikeluarkan pa." kata Bara.

"Sekarang kau baru menyesal. Lain kali pikir dulu kalau mau bertindak karena psesal kemudian itu tidak berguna"

"Banyu, kenapa kamu diam saja. Papa lihat sepertinya kamu sedang marah? Apa kamu tidak terima dengan keputusan papa untu memindahkan sekolahmu juga?"

"Tidak Pa. Bukan itu. Aku masih marah karena tadi kepala sekolah menghina papa."

Langit tersenyum,"Jika kalian tidak membuat ulah, maka papa tidak akan dihina orang. Jadikan ini sebagai pelajaran. Saat kalian berbuat baik, kalian mendapat pujiapujiaan. Begitupun saat kalian berbuat salah, kalian akan mendapat hinaan dan cacian. Dan yang paling penting adalah, bukan cuma kalian yang dihina, orang tua kalian juga. Jadi kalau tidak ingin papa atau mama dihina orang, jaga perilaku kalian."

"Iya, Pa."

...💕💕💕...

Hai reader. Jumpa lagi dengan Langit dan anak anaknya.

jangan lupa tinggalin jejaknya..

Pindah ke Pesantren

Bara terduduk dengan wajah menunduk. Ia tidak mampu memandang wajah sedih mamanya.

"Maafkan Bara, Ma." dengan penuh penyesalan Bara memohon maaf pada Anggi.

Anggi menghela nafas berat memandang putranya.

"Sudah sering kali kamu meminta maaf pada mama Bara. Dan mama selalu memaafkanmu. Kamu juga seringkali berjanji tidak akan melakukan perbuatan nakal lagi. Sekarang apa? Kamu malah dikeluarkan dari sekolah." desah Anggi kecewa.

"Bara tidak sepenuhnya salah, Ma." Banyu berusaha membela Bara.

"Salah atau benar, kali ini kamu benar-benar membuat mama kecewa. Mama bisa membayangkan bagaimana malunya papa kalian saat kalian dikeluarkan tadi." Anggi memandang Langit yang sejak tadi hanya diam menyaksikan dirinya menginterogasi Bara.

"Maafkan Bara, Ma. Ini yang terakhir. Bara janji sama mama dan papa. Bara akan berusaha lebih sabar dan menahan emosi." ucap Bara dengan bersungguh-sungguh.

"Mama akan memaafkanmu dengan satu syarat." kata Anggi tegas.

"Katakan, Ma. Aku akan memenuhi syarat Mama."

"Kali ini Mama yang akan memilihkan tempat buat kalian belajar, bagaimana?" Bara mengangguk. Tidak masalah baginya sekolah di mana saja asalkan mendapat maaf dari mamanya. Bara memang nakal, tapi ia paling tidak bisa jika harus menyakiti mamanya.

"Baiklah, karena kamu sudah setuju, Mama harap kamu tidak akan menarik ucapanmu setelah tahu sekolahan yang mama pilihkan." kata Anggi menegaskan.

"Bara janji, Ma. Dimanapun Mama menyekolahkan Bara, Bara akan berusaha dengan sebaik-baiknya."

"Kamu?" tanya Anggi pada Banyu.

"Aku ikut kemanapun Bara pergi." jawab Banyu.

"Baiklah. Malam ini kalian packing. Bawa pakaian yang sopan. Besok, Mama akan mengantar kalian ke tempat Aurora belajar!" Suara lembut Anggi terdengar bagai petir di telinga Bara dan Banyu.

"Pesantren?!!" seru mereka berdua.

"Iya, kenapa? Mau menarik ucapan kalian?"

"Enggak, Ma. Enggak. Bara mau." ucap Bara gugup.

Langit tersenyum. Ia kagum bagaimana Anggi bisa memanfaatkan situasi untuk meraih keinginannya. Sejak dulu Anggi memang berkeinginan memasukan si kembar ke pesantren. Tapi Langit kurang setuju. Ia berpikir akan lebih baik bagi si kembar sekolah di sekolahan umum karena ia ingin mendidik mereka sebagai penerusnya. Tapi kini ia sadar kalau keputusannya salah. Jadi dia diam saja saat Anggi bermaksud memasukkan si kembar ke pesantren.

"Kalian masuk ke kamar. Lakukan apa yang Mama kalian perintahkan!" titah Langit.

Bara dan Banyu bergegas masuk ke kamar mereka.

"Sayang, kau yakin dengan keputusanmu?" tanya Langit begitu anak-anak mereka telah pergi.

"Sangat yakin." Anggi lalu berdiri,"Hubby mau kembali ke kantor atau sekalian pulang nih?" tanya Anggi.

Langit bangkit. "Kenapa?" Ia berjalan mendekat ke Anggi.

"Nggak pa-pa sih, cuma nanya." jawab Anggi sambil mundur karena Langit terus mendekat.

"Begitu ya..sayangnya aku ingin di rumah saja. Nggak mau kembali ke kantor." Langit menarik tangan Anggi hingga ia jatuh ke dalam dekapannya.

"Hubby ih. Nanti anak-anak melihat."

"Kalau begitu kita pindah saja ke tempat yang tidak bisa mereka lihat!" bisik Langit. Dia lalu mengangkat tubuh Anggi dan membawanya ke kamar.

Bara menghempaskan tubuhnya ke ranjang  dan mengambil bantal untuk menutupi wajahnya. Banyu menyeret kursi lalu duduk di atasnya sambil memperhatikan kembarannya.

"Bara, kau yakin akan pergi ke pesantren?"

Bara membuka bantal yang menutupi wajahnya, "Mama menjebakku. Sial! Aku tidak bisa mengelak kali ini." kata Bara frustasi.

"Kalau kau tidak mau, lebih baik sampaikan pada Mama. Kali ini aku tidak mau kau membuat ulah di sana. Mama pasti akan sangat malu nanti."

Bara melempar bantal ke arah Banyu."Kau mengataiku sebagai pembuat ulah juga hah?!"

"Ya, siapa tahu." jawab Banyu sambil menangkap bantal yang melayang ke arahnya."Di sekolah favourite yang sarananya serba bagus dan lengkap saja kau sering berulah, apalagi kalau ke pesantren."

"Kau sendiri? Apa kau siap?"

Banyu angkat bahu, "Kalau aku gampang. Aurora saja kerasan. Aku pasti juga akan kerasan. Aku nggak suka menuntut macam kamu."

"Cih." Bara berdecih kesal mendengar jawaban Banyu.

"Bayangkan, di sana nggak bisa melihat cewek cantik lho." goda Banyu.

"Siapa yang butuh." balas Bara cuek.

"Cih, sok nggak butuh. Bukannya kamu suka jika dielu-elukan para cewek."

"Kamu kali, aku muak dengan sikap mereka yang keganjenan dan sok cantik."

"Tapi kamu menikmatinya kan? Buktinya kamu sering membuat masalah, untuk menarik perhatian mereka kan?" Banyu terus menggoda Bara.

Bara bangkit dari tidurnya. Ia menarik Banyu dan memitingnya. Banyu nggak mau kalah. Ia memegang pingang Bara dan mengangkatnya. Mereka akhirnya bergulat saling berusaha mengalahkan.

"Sudah..sudah." kata Banyu terengah-engah."Kita belum packing."

Bara melepaskan pegangannya. Ia lalu melangkah ke arah almari dan membukanya. Menatap pakaiannya satu persatu.

"Pakaian sopan." gumam Bara sambil memilih pakaian yang menurutnya sopan.

"Hanya ini?" Banyu heran karena Bara hanya mengeluarkan sedikit pakaiannya.

"Hanya ini yang sopan, lihatlah, kebanyak kaos berwarna hitam. Celana pendek dan celana jean.Kemeja yang bagus-bagus paling juga nggak kepakai di sana. Ini saja yang kira-kira cocok buat dipakai di pesantren."

Banyu diam. Ia mengingat pakaiannya juga."Kau benar. Aku juga hanya punya sedikit pakaian yang cocok dipakai di pesantren. Bagaimana kalau kita belanja sekarang?"

"Ide bagus." Bara lalu melepas seragamnya dan menggantinya dengan kaos. Banyu keluar dari kamar Bara. beberapa saat kemudian mereka sudah turun dan berpapasan dengan Langit yang keluar dari kamar.

"Kalian mau kemana?" tanya Langit.

"Papa nggak ke kantor?" Bara dan Banyu kaget dan heran melihat Langit masih ada di rumah.

"Ini papa mau berangkat kembali ke kantor. Kalian mau kemana?"

"Ini Pa, kami mau belanja beberapa baju yang nanti akan cocok buat dipakai di pesantren. Soalnya kami nggak punya banyak." jawab Bara.

Langit mengangguk paham, "Ayo, Papa antar."

"Bukannya Papa mau ke kantor?"

"Nggak jadi. Papa temani kalian belanja saja. Banyak yang harus kalian beli dan persiapkan. Tunggu, papa ganti baju dulu." Langit kembali masuk ke kamarnya.

Langit membawa ke dua anaknya ke butik khusus yang menyediakan pakaian muslim. Ia menunjukan apa saya yang harus Bara dan Banyu beli. Sarung, peci, baju koko dan sirwal. Setelah dirasa belanjaannya cukup, mereka lalu pulang.

"Bara belum terlambat jika kau mau membatalkan keberangkatan ke pesantren." kata Langit,"Papa tidak mau kamu terpaksa yang nantinya malah membuatmu tertekan."

"Tidak Pa. Kali ini Bara bersungguh-sungguh. Bara ingin membahagiakan mama. Selama ini Bara sudah terlalu sering mengecewakannya."

"Baguslah kalau niatmu seperti itu."

Keesokan harinya, mereka berangkat pagi-pagi sekali menuju Bandung. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam lebih, mereka sampai ke pesantren tempat Aurora menuntut ilmu.

Begitu turun dari mobil, pandangan Bara mengitari area pesantren. Ia memperhatikan setiap sudut bangunan pesantren yang akan menjadi tempatnya menuntut ilmu. Selama ini ia jarang ikut menjemput Aurora, beda dengan Banyu yang sering menemani Langit menjemput Aurora saat liburan.

"Bara, ayo masuk!" ajak Anggi.

"Iya, Ma." Bara beranjak hendak mengikuti langkah  Anggi namun ia berhenti saat matanya menangkap sosok gadis berniqab yang berjalan ke arahnya.

Mungkin karena merasa ada yang memperhatikan, gadis itu mendongak dan memandang Bara sekilas.

Deg

Jantung Bara berdebar saat mata mereka saling menatap walau sekilas karena si gadis buru-buru menundukkan pandangannya. Ia meneruskan langkahnya masuk ke ruangan yang sama yang mamanya masuki.

Dengan langkah cepat, Bara menyusul mamanya.

...💕💕💕...

Segini dulu ya upnya.... semoga bisa menjadi bacaan sambil berisitirahat habis beribadah di bulam Ramadhan ini.

Jangan lupa tinggalin jejak.

Oh ya ini lho mata cantik yang tadi sempat Bara tatap.

Pintu

Bara masuk tanpa mengucap salam. Ketika ia hanya melihat kedua orang tuanya bersama Banyu dan seorang pria berjenggot, matanya mulai mencari ke sekeliling ruangan itu.

"Hem. Anta mencari siapa?" kata Pak Kyai.

"Oh, saya Bara bukan Anta." jawab Bara.

Anggi langsung menunduk karena malu dengan sikap Bara. Langit mengulum senyum sedang kan Banyu menepuk keningnya melihat kebodohan Bara.

Lalu Pak Kyai.... beliau tertawa.

Banyu menarik Bara hingga duduk di sampingnya.

"Anta itu artinya kamu." bisik Banyu dengan menggerakan bibirnya sedikit.

"Lha mana aku tahu. Kan aku nggak. pernah belajar bahasa pesantren." jawab Bara nggak mau disalahkan. Pak Kyai kembali tertawa.

"Maafkan putra kami Kyai." kata Anggi.

Pak Kyai berusaha menghentikan tawanya.

"Tidak. Dia benar. Ana yang salah. Mestinya ana tahu bagaimana harus menyapanya." jawaban Pak Kyai melegakan hati Anggi.

"Kamu mencari siapa?" kembali Pak Kyai bertanya pada Bara.

Bara diam. Ingin rasanya ia bilang kalau dirinya mencari gadis bercadar yang matanya sangat indah.

"Tadi saya seperti melihat adik saya masuk ke mati Pak." jawab Bara.

"Kau melihat Aurora?" tanya Banyu. Bara ragu lalu menganggukan kepalanya.

"Adik anta tidak ada di sini. Wanita yang anta lihat masuk ke ruangan ini tadi adalah putri ana." jawab Pak Kyai sambil. memandang Bara dengan lekat.

Bara menatap mata teduh namun tegas itu. Hatinya bergetar.

Bagaimana Pak Kyai bisa membaca pikiranku. Ilmu Pak Kyai pasti sangat tinggi. batin Bara.

"Ooo saya kira adik saya." gumam Bara. Sesekali matanya masih mengitari ruangan itu mencari petunjuk tentang si gadis bermata indah yang tanpa ia sadari sudah masuk ke dalam hatinya.

Setelah menjelaskan tujuan kedatangannya dan mendapat respon yang baik dari Pak Kyai, Langit dan Anggi pun undur diri. Mereka berpamitan.

"Ingan janjimu pada mama." pesan Anggi setelah memeluk Bara.

"Jaga kakakmu."pesannya pada Banyu.

Dengan menahan sedih, Anggi dan Langit akhirnya meninggalkan pesantren itu.

...***...

"Akhirnya disinilah kita sekarang." Banyu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Sementara Bara mendekat ke jendela. kamar dan membuka tirainya. Ia memandang ke luar. Kamar mereka berada di lantai dua dari bangunan pesantren

Bara mengamati lingkungan pesantren dari tempatnya berdiri. Saat ia melihat sisi sebelah kiri yang merupakan wilayah untuk santriwati, ia melihat sosok gadis bercadar itu berjalan menyeberangi taman pesantren. Bara bergegas keluar.

"Kau mau kemana? Jangan membuat ulah!" Banyu berteriak memperingatkan.

Bara tidak menggubrisnya. Ia terus berlari menuju ke arah di mana gadis tadi ia lihat.

"Sial!" umpat Bara saat dihadapannya berdiri dinding tinggi pemisah wilayah santriwan dan santriwati. Matanya mencari sesuatu, bibirnya tersenyum saat ia melihat sebuah pohon yang cukup tinggi. Bara segera memanjatnya. Kebiasaan memanjat tembok sekolah membuatnya gampang menaiki pohon itu. Tidak butuh waktu lama, kini Bara sudah bertengger di atas pohon. Ia mencari keberadaan si gadis.

"Itu dia!" gumamnya bahagia. Bara terus mengamati gerak gerik si gadis yang sedang mengajarkan keterampilan kepada sekelompok santriwati muda.

"Eh, bukankah yang berbaju biru itu Aurora?Aurora pasti mengenal gadis bercadar itu." Bara terus memperhatikan gadis yang entah mengapa sangat menarik perhatiannya itu.

"Hem. Apa dari atas bisa melihat dengan jelas?" seseorang datang dan bertanya pada Bara.

"Iya. Sangat jelas." jawab Bara tanpa menengok ke bawah.

"Begitu ya. Apa yang kau lihat?"

"Aku melihatnya, dia... " Bara tersentak saat ia menyadari ada orang di bawahnya. Ia menunduk dan melihat Pak Kyai sudah berdiri sambil menatapnya.

Melihat Bara menengok ke bawah, Pak Kyai memberi isyarat dengan tangan agar Bara turun.

Bara meluncur turun dengan cekatan.

"Eh.. Pak Kyai. Lagi jalan-jalan ya Pak?" Bara salah tingkah.

"Hem... apa yang anta lihat?" Kali ini Pak Kyai kembali menggunakan kata anta.

"Itu.. adik saya Pak. Saya sangat rindu padanya." Bara berasalan.

"Benar?" Pak Kyai sedikit sangsi dengan alasan Bara.

Bara mengangguk.

"Yah.. padahal aku ingin mengajakmu menemui putriku. Ternyata ingin kamu lihat hanyalah adikmu saja." kata Pak Kyai dengan wajah kecewa.

"Kalau Pak Kyai akan mengajak saya, saya pasti ikut." buru-buru Bara menjawab ucapan Pak Kyai.

"Ya sudah. Kita temui adikmu saja. Agar kau tidak perlu memanjat pohon untuk diam-diam mengintipnya."

Mampus Kalau Pak Kyai bilang ke Aurora aku mengintip nya dari atas pohon, anak bawel itu pasti akan melapor ke mama dan papa. Bagaimana ini.

"Tidak perlu Pak Kyai. Saya sudah cukup. puas dengan melihatnya tadi." elak Bara.

"Bener?"

Bara mengangguk.

"Padahal saat ini Aurora sedang bersama putriku. Jika anta ikut ana menemui Aurora makan anta bisa sekalian bertemu putri ana. Tapi sayang." Pak Kyai menggelengkan kepala seolah benar-benar menyesal. Matanya melirik sekilas ke arah Bara yang tampak kebingungan.

"Itu... saya... " Bara tergagap.

"Hahaha." Pak Kyai tergelak. "Anak muda. Jangan jadikan kebohongan itu suatu kebiasaan. Meski hanya bohong kecil. Sejatinya nggak ada kebohongan kecil ataupun besar. Keduanya sama. Saat anta melakukan kebohongan kecil, anta akan terus melakukan kebohongan lagi untuk menutupi kebohongan anta yang lain. Lama-lama juga akan menjadi besar. Berkatalah jujur meski itu pahit." Pak Kyai menepuk pundak Bara sebelum berlalu meninggalkan Bara yang berdiri mematung setelah mendapat pencerahan dari Pak Kyai.

Ma, kali ini aku tidak membuat malu kan? batin Bara khawatir.

Dengan langkah gontai, Bara kembali ke kamarnya.

"Darimana saja kau?" tanya Banyu yang sedang menyusun pakaiannya di almari.

Bara tidak menjawab. Ia malah merebahkan tubuhnya dan menatap menerawang ke langit-langit kamar mereka.

"Kesambet ya. Tumben nggak pecicilan."

"Nyu, apa kau pernah berbohong." tanya Bara tanpa menggubris olok-olok Banyu.

"Nggak! Aku berbohong itu jika kamu yang nyuruh." jawab Banyu masih dengan aktivitasnya.

Bara menghela nafas. Mendengar tidak ada suara lagi dari Bara , Banyu menoleh.

"Kau kenapa? Jangan bilang kau benar-benar kesambet jin yang ikut nyantri di sini." tutur Banyu sambil menutup pintu almari setelah selesai memindahkan isi kopernya ke dalam almari itu.

"Nyu, apa selama ini aku benar-benar pembuat ulah."

Banyu mendekat dan duduk di sisi Bara.

"Kamu kenapa?" Ia menatap heran ke arah Bara.

Bara menghela nafas. "Aku nggak pa-pa." Bara memasukkan ke dua tangannya ke bawah kepala.

"Aneh." Banyu beranjak menuju ranjang nya.

tok tok tok

"Assalamu'alaikum." seseorang membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam." Banyu langsung bangkit dan duduk. Sementara Bara tetap rebahan.

Pintu terbuka." Ana Fahri. Ana diminta Pak Kyai untuk membawa antum berdua berjalan-jalan mengenali lingkungan pesantren agar ke depannya antum berdua lebih mudah melakukan aktivitas di sini. Mari ikut Ana." seorang pemuda masuk dengan senyum ramahnya. Banyu membalas senyuman itu.

Bara melirik sekilas. Ia lalu bangkit dan berjalan ke arah Fahri. Di luar dugaan Banyu, Bara yang biasanya enggan mengenal orang baru, kini mengulurkan tangan.

"Bara, dia adikku namanya Banyu." kata Bara. Banyupun mendekat dan ikut mengulurkan tangan menjabat tangan Fahri.

"Ayo!" Fahri keluar diikuti oleh Bara dan Banyu.

Fahri mengenalkan semua ruangan dan fungsinya kepada Bara dan Banyu. Ia juga menjelaskan aturan di dalam pesantren tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

"Kalau yang di sebelah tembok ini?" tanya Banyu saat mereka sampai dapat tembok pembatas wilayah santriwan dan santriwati.

"Oh, di sebelah sana khusus untuk. para santriwati. Santriwan tidak boleh masuk ke sana."

"Apa semua santriwati di sini menggunakan cadar?" tanya Bara memancing Fahri. Padahal ia sudah tahu tidak semua santriwati bercadar.

"Tidak." jawab Fahri pendek tanpa menjelaskan apapun.

"Tapi tadi aku melihat ada santriwati yang bercadar."

"Dia bukan santriwati di sini. Dia putri pemilik pesantren ini." jawab Fahri.

Kenapa dia tidak menyebut namanya. batin Bara.

"Ayo, kita lanjutkan!" ajak Fahri. Bara dan Banyu mengangguk. Sambil mengikuti langkah Fahri mata Bara terus menatap tembok pemisah. Alisnya mengeryit saat melihat ada pintu penghubung.

Pintu apa itu?

"Fahri! Itu pintu apa?" tanya Bara sambil. menunjuk pintu penghubung yang ia lihat.

"Oh.. itu pintu yang biasa digunakan oleh ustadz dan ustadzah untuk keluar masuk wilayah santri saat mereka harus mengajar."

Bara manggut-manggut. Ada senyuman tipis di bibirnya. Banyu yang melihat hal itu cemas.

Nih anak otaknya pasti merencanakan sesuatu. Aku harus mengawasinya.

...💕💕💕...

Alhamdulillah, meski telat, akhirnya bisa up juga.

tetap beri dukungan ya***....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!