"Abah! Abah datang!" Aku berteriak lantang saat melihat seorang laki-laki hampir tua turun dari ojek dan berjalan mendekati rumah.
Aku dan adikku segera berlari mengejarnya. Kami berebut tangan yang mulai keriput itu untuk menciumnya.
Kuraih tas di gendongannya dan berlari ke rumah dengan dikejar adik laki-lakiku. Kami tertawa terbahak, bahagia. Setiap kali abah datang dari bekerja kami selalu bahagia.
Kubongkar tas selempang abah dan mengeluarkan seluruh isinya. Bau baju kotor segera menyeruak menyapa hidung kami.
Sambil tertawa kami terus mengeluarkan semua isi tas abah. Nampaklah apa yang kami cari.
Berbagai macam jajanan menjejali tas abah. Mulai dari wafer, biskuit, coklat, permen, dan aneka keripik kami keluarkan dengan semangat.
Abah masuk rumah dan mak menyambutnya dengan bahagia. Diciumnya tangan abah dan dituntunnya untuk duduk di atas tikar yang digelar.
Kulirik keduanya menggeleng melihatku dan adik yang masih berebut makanan dari dalam tas abah.
Aku mengumpulkan semua makanan dalam pangkuan, begitu pun adikku. Kami tertawa lagi melihat banyaknya hasil tangkapan kali ini.
Mak pergi ke dapur dan kembali lagi dengan segelas wedang hangat untuk abah. Kugoyangkan tas abah dan terdengar bunyi nyaring yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga saat mendengarnya.
Kurogoh saku tas abah dan mengeluarkan uang recehan dari dalam sana. Kami kembali berebut uang pecahan lima puluh perak, seratus perak, dan lima ratus rupiah pada zamannya.
Kukumpulkan sebanyak-banyaknya dalam pangkuan bersamaan dengan makanan ringan.
Kuserahkan tas abah yang telah kami kuras isinya pada mak saat mak mengambil baju-baju kotor abah.
"Bah, ini banyak banget. Hehe," ucapku senang. Adikku sibuk menghitung hasil tangkapannya sembari memakan coklat batang di tangan.
Abah tersenyum senang melihat kedua anaknya bahagia. "Iya, Alhamdulillah. Dibagi sama teman-teman, ya?" titah abah. Kami mengangguk kompak.
Setiap abah pulang membawa oleh-oleh, beliau selalu meminta kami untuk berbagi dengan teman-teman sepermainan.
Aku akan mengambil apa yang paling aku inginkan, dan sisanya kubungkus menggunakan plastik disatukan dengan milik adikku.
Kami akan bermain membawa banyak makanan dan membagikannya pada teman-teman.
"Ayo, makan dulu. Abah pasti lapar baru datang," ajak mak membawa makanan ke tempat kami duduk.
Sayur asam kesukaanku, aku memang suka sekali dengan yang asam-asam dan tidak begitu menyukai yang manis.
Ada tempe goreng juga yang dihidangkan mak. Sambal dan lalapan melengkapi menu siang ini.
"Allaahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa 'adzaaban-naar, aamiin!" ucapku dan adik bersamaan.
Nasi sudah tersedia di piring kami masing-masing, kusendok sayur dan kusiramkan pada nasi. Tak lupa mengambil tempe dan sedikit sambal.
Menu sederhana, tapi begitu nikmat terasa. Abah makan dengan lahap. Sepertinya, abah memang lapar setelah tiga jam lamanya di perjalanan.
Abah melarang kami berbicara saat makan. Kecuali ada yang harus dibicarakan dan sangat penting.
"Makan itu sebaiknya pake tangan, jangan pake sendok. Kaya Abah, nih," ucap abah menunjuk tangannya yang dipenuhi nasi dan menyuapnya.
Kami berdua menurut karena selanjutnya kata abah, makan menggunakan tangan ada dalam hadits Rasuulullah Saw. Dan itu merupakan sunnah yang sebaiknya dilakukan oleh setiap muslim.
Jangan lupa mencuci tangan yang bersih terlebih dahulu sebelum makan. Itu nasihat mak.
Kami makan dengan tenang. Sungguh hati ini senang dan perut pun kenyang.
Kuhampiri mak yang entah sedang melakukan apa di belakang rumah.
"Mak, ngapain?" tanyaku seraya terus berjalan menghampiri mak. Ternyata mak sedang memotong-motong seekor ikan besar.
"Mak, abah bawa ikan juga?" Aku bertanya lagi. Sudah lama sekali aku tidak makan ikan, akhirnya abah pulang membawa ikan. Besar pula.
"Iya, dikasih bosnya," tukas mak tersenyum sembari terus memotong-motong ikan besar itu. Terlihat seperti ikan tongkol, tapi besar sekali.
"Ini ikan apa, Mak?" kubertanya lagi dengan antusias. Aku baru melihatnya secara langsung ikan sebesar ini.
"Ini, tuna. Sama seperti ikan tongkol, tapi dalam bentuk yang besar," jawab mak sembari menatapku yang tak berhenti tersenyum.
"Ikan ini yang selalu dibagi-bagi itu, ya, Mak?" tanyaku lagi karena selama ini aku selalu membagi-bagikan ikan tanpa tahu ikan apa yang aku bagikan.
"Iya," jawab mak singkat.
Mak membagi-bagikan ikan dalam beberapa kelompok. Aku menunggunya dengan sabar karena setelah selesai mak pasti akan memanggilku dan adik untuk memberikannya pada mereka.
"Nanti, kamu bawa ke pondok ikan ini sama ke rumah guru ngaji, ya?" ucap mak, aku mengangguk senang.
Dua bungkusan sudah di tanganku, pertama aku akan mendatangi rumah guru ngajiku. Setelah itu berulah ke pondok karena letak pondok berada di kampung sebelah.
"Ceng, dipanggil Mak!" teriakku memanggil adik yang masih sibuk dengan makanan tadi.
"Ya!" jawabnya seraya berlari ke belakang rumah. Dia datang lagi dengan membawa tiga kantong plastik ikan. Kutebak itu akan dibagikan pada bibi-bibiku.
Kami berpencar, aku berlari ke arah selatan karena tujuanku adalah rumah guru ngajiku. Setelah itu ke kampung sebelah ke rumah pemilik pondok besar di daerahku.
Panas terik matahari tak aku hiraukan, dengan hati yang riang gembira terus melangkahkan kaki ke tempat tujuan. Dua kantong ikan kuayun-ayunkan seirama dengan langkah kakiku.
"Assalamu'alaikum!" salamku di depan sebuah rumah panggung tempat biasa aku mengaji.
"Wa'alaikumussalaam!" jawab suara seorang wanita dewasa dari dalam rumah. Itu istri dari guru ngajiku.
Aku menyalaminya saat dia datang dan memberikan kantong ikan tadi padanya.
"Itu ikan dari mak," kataku tanpa dijawab. Ia mengangguk dan tersenyum ramah.
"Salam sama mak, terimakasih," katanya yang aku angguki dengan cepat. Aku segera pamit karena harus mengantar bungkusan lain ke kampung sebelah.
Sama seperti tadi, aku mengetuk pintu rumah sederhana meski sudah permanen. Tidak seperti rumah guru ngajiku yang masih terbuat dari anyaman bambu.
Ia pun menitipkan salam terimakasih untuk mak dan abah. Aku kembali pulang. Entah kenapa hatiku selalu senang sepulangnya membagikan ikan.
"Assalamu'alaikum!" salamku di depan rumah.
"Wa'alaikumussalaam!" jawab mak dari arah dapur. Pasti mak sedang memasak ikan tuna tadi.
Aku menghampirinya dan berdiri di samping, ia sedang menumis bambu untuk ikan.
"Aceng udah pulang, Mak?" tanyaku karena tak melihat batang hidungnya di ruang tengah tadi.
"Udah, mungkin sama abah di kamar," tukas mak aku hanya mengangguk dan menunggu mak memasak ikan.
Rasanya tak sabar ingin segera mencicipinya. Perutku memberontak minta diisi padahal baru saja makan dengan sayur. Maklum karena ikan yang sedang dimasak mak begitu menggugah perutku membuatnya berbunyi nyaring.
"Lapar lagi?" tanya mak, aku mengangguk sembari tersenyum lebar.
Malam ini, kami makan enak. Ikan tuna yang dimasak semur selalu enak di lidah. Aku dan adik makan hingga perut kami benar-benar penuh. Padahal abah selalu menasihati tidak boleh makan terlalu banyak.
Namaku Nur. Saat ini usiaku menginjak delapan tahun dan duduk di kelas dua SD. Aku memiliki seorang adik laki-laki bernama Aceng.
Hidup bersama mak dan abah yang seminggu sekali bertemu karena harus bekerja di luar daerah. Tepatnya di kota metropolitan.
Aku memiliki kakak sambung dari abah dan mak. Hanya saja, aku tidak terlalu dekat dengan kakak dari abah. Padahal katanya saudara satu ayah itu adalah saudara kandung. Aku lebih dekat dengan kakak dari mak.
"Mak, Nur berangkat sekolah dulu," pamitku seraya mencium punggung tangannya dan tak lupa mencium pipi mak.
"Ya, hati-hati!" sahut mak lembut seperti biasanya.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Aku berlari keluar, mengenakan sepatu yang entah sudah seperti apa bentuknya. Aku ingat saat abah membelikanku sepatu ini.
Aku sangat bahagia saat mendapatkan sepatu yang berkelipan. Setiap kali aku melangkah, lampu yang mengitari pinggir sepatuku akan menyala berwarna-warni seperti pelangi. Merah, kuning, hijau dan biru.
Abah membelinya dua pasang kembar dengan Aceng. Hanya saja, dia belum masuk sekolah.
Kuayunkan langkah dengan ringan berjalan menuju sekolah beramai-ramai bersama teman. Meski sepatuku tak lagi menyala, aku tetap semangat pergi sekolah.
Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke dalam kelas. Sementara teman-teman pergi ke kantin untuk menukar uang jajan mereka dengan makanan.
Aku tidak merasa iri sama sekali. Meski sekolah tak pernah membawa uang jajan, aku tetap bersemangat. Yah ... aku akan membawa uang jajan saat abah pulang dari Jakarta.
Jika abah belum pulang seperti ini, maka aku tidak akan membawa uang jajan ke sekolah. Cukup makan yang kenyang di rumah dan membawa minum.
Abahku hanyalah seorang pedagang asongan di Jakarta. Beliau berjualan di sekitar pelelangan di Muara Baru. Dulu saat aku kecil, kami tinggal di Jakarta tepatnya di Kebon Tebu sangat sering terjadi kebakaran.
Menjelang sekolah, kami pindah ke kampung halaman. Jadilah, abah pulang seminggu sekali.
"Assalamu'alaikum!" salamku saat tiba di rumah, tapi tak ada sahutan. Aku tahu ke mana mak, beliau sedang berada di sawah membantu para tetangga.
Aku mengganti bajuku, dan duduk di atas bale-bale menunggu kedatangan mak. Biasanya mak akan pulang membawa bekal nasi merah, ikan asin goreng tepung dan sambal terasi. Bagiku, itu sangat nikmat.
Tak lupa aku mencari belalang yang selalu diselipkan mak di tudungnya yang kami sebut dudukuy.
Menjelang duhur, mak pulang bersama Aceng. Di tangannya ada bungkusan plastik. Itulah yang aku tunggu.
"Assalamu'alaikum!" salam mak.
"Wa'alaikumussalaam!" jawabku seraya kucium tangannya dan kuraih bungkusan itu.
Aku membukanya tidak sabar, mataku berbinar saat melihat apa yang aku bayangkan nyata di depanku.
Mak memberikan dudukuynya padaku, aku membaliknya dan mencari belalang yang terselip di sana. Ah ... ada satu. Kuambil dan kumainkan bersama capung setelah menyantap bekal yang mak bawa dari sawah.
"Mak, besok Nur mau ikut ke sawah. Mau cari belalang buat digoreng," kataku pada mak. Besok hari Minggu, sekolah libur. Aku akan ikut mak ke sawah.
"Iya, sekolahnya ada PR gak?" tanya mak sembari melepas atribut sawah dan meletakannya di belakang rumah.
"Udah beres, Mak. Tadi dikerjain bareng temen-temen," tukasku sibuk memainkan belakang dan capung di lantai ubin.
"Tuh, Teh! Gede!" kata Aceng seraya meletakkan seekor belalang besar di lantai.
"Wah, gede banget ini!" pekikku sembari menoel-noel belalang besar itu.
"Siapa yang tangkap?" tanyaku karena tidak mungkin Aceng yang menangkapnya. Dia baru lima tahun.
"Mang Udin yang nangkepin," jawabnya sembari mengambil kembali belalang besar itu dan meletakannya di baju.
"Ayo mandi! Udah sore ini," ucap mak yang membuyarkan permainan kami. Aku beranjak ke belakang rumah, di sana sudah tersedia air di dalam ember-ember untuk kami mandi.
Mak tidak mengizinkanku menimba air sendiri, karena selain dalam ember yang terisi air itu akan memberat. Kami masih menggunakan air sumur yang harus kami timba jika ingin menggunakan air.
Usai mandi sore dan shalat ashar, aku membaca doa-doa wudu untuk aku setorkan pada abah sepulangnya dari Jakarta nanti. Aku harus menghafal doa setiap gerakan anggota wudu.
Masalah pendidikan dan agama, abahku orang yang keras dan disiplin. Mungkin karena beliau adalah seorang veteran yang tidak diakui oleh negara. Beliau pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Masih jelas kulihat bekas peluru yang bersarang di kakinya. Setiap kutanya kaki abah kenapa kaya bolong gini? Beliau menjawab, ini bekas hantaman peluru saat berjuang melawan Belanda dulu. Maa syaa Allah.
Aku bangga padanya, meski negara tak mengakuinya, aku mengakui abahku sebagai pahlawan. Hormat untuk pahlawan yang tak terkenang jasanya! Dalam hatiku abah adalah seorang pahlawan baik dalam negara maupun keluarga.
"Ceng, ayo berangkat ngaji!" ajakku pada Aceng usai melaksanakan shalat Maghrib.
Ia datang tergopoh dengan sarung yang masih berantakan. "Bentar, Teh! Pake sarung dulu!" katanya seraya membenarkan sarungnya dan berjalan di belakangku.
Dengan membawa obor di tangan, kami berbondong-bondong pergi ke tempat mengaji.
Sebelum mengaji kami membaca beberapa sholawat lalu alfatihah, barulah kami akan berpencar ke guru ngaji masing-masing yang setiap hari mengajari.
Tempat ngaji kami di sebuah pondok pesantren salafi, banyak akang santri yang mengajari kami mengaji. Bagi yang sudah di tingkat atas akan ngaji pada pak kyai.
Sepulang mengaji, kami akan pulang bersama-sama karena kondisi kampungku yang masih belum terlalu banyak rumah dan tidak ada lampu jalan bahkan ada sebagian yang belum menggunakan listrik. Jika tidak membawa obor khawatir akan tersandung.
"Assalamu'alaikum!" salamku bersamaan dengan Aceng.
"Wa'alaikumussalaam!" jawab mak dari ruang tengah. Sepertinya, mak sedang menonton sinteron tersanjung yang diperankan oleh Ari Wibowo, Lulu Tobing dan kawan-kawan.
Kami menyalami mak bergantian lalu duduk bersama di depan televisi kotak kecil. Yang tidak berwarna alias hitam putih saja dan menyala menggunakan aki. Jika aki habis, televisi tersebut akan ciut. Semakin lama semakin mengecil dan terus mengecil sampai berbunyi,
Prat!
Lalu mati!
"Gimana ngajinya?" tanya mak pada kami berdua.
"Kata Kakak, sebentar lagi Nur khatam juz 'amma, Mak. Bacakan," jawabku senang. Mak terlihat berbinar. Kami menyebut kyai dengan sebutan Kakak.
"Beneran? Pinter banget anak Mak," jawab mak tak kalah senang, "kalo gitu abah pulang nanti Mak masak buat bacakan," sambungnya antusias. Aku mengangguk semangat.
"Kalo Aceng gimana?" Mak beralih pada anak laki-lakinya yang sedang serius menonton televisi.
"Aceng masih ngejah, Mak. Belum ke juz 'amma," jawabnya memberikan senyum pada Mak.
Mak mengusap rambutnya lembut, "Gak apa-apa yang penting harus benar-benar ngajinya, ya! Biar bisa kaya Teteh," tukas mak. Aceng mengangguk.
Adzan isya berkumandang, kami mengakhiri menonton televisi.
"Ceng, bisa ga jadi imam shalat buat kami?" tanya mak menguji shalat Aceng. Dengan bangga dia menepuk dada.
"Bisa! Ayo, Mak shalat! Biar Aceng imamnya," tukasnya tanpa ragu. Aku dan Mak saling memandang satu sama lain. Tak sadarkah dia baru berusia lima tahun? Tapi kami biarkan, lagi pula aku ingin melihat sudah seberapa benar shalatnya.
Dia menjadi imam, kami berdua menjadi makmum. Kami membaca niat shalat sendiri-sendiri tidak bermakmum pada Aceng karena usianya belum baligh. Belum memenuhi syarat untuk menjadi imam.
Aku bangga pada adikku itu, bacaan shalatnya sempurna. Gerakannya tepat, meski usianya barulah lima tahun. Kelak jadilah imam yang baik.
"Nur, gimana hafalan doanya? Udah hafal? Nanti siang, 'kan abah pulang," tanya mak disela-sela memetik padi di sawah tetangga.
Aku yang sedang mencari belalang di pinggiran bersama adik dan teman-teman menoleh ke arah mak.
"Sudah, Mak. Alhamdulillah. Hehe, tinggal doa basuh kaki sama abis wudu aja," jawabku kembali melanjutkan mencari belalang di tanaman pinggir sawah.
Jika setelah hujan seperti ini, maka belalang akan banyak berhinggapan di daun-daun. Dengan mudah aku mengambilnya dan memasukkannya ke dalam botol bekas air mineral.
"Wah, Teh! Udah banyak banget tuh belalangnya!" seru Aceng yang tiba-tiba sudah berdiri dekatku.
"Iya, dong! Nanti datang ke rumah digoreng sama Mak," sahutku tersenyum membanggakan hasil tangkapanku.
"Wa, Ceng! Dapat yang gede lagi?" tanyaku saat melihat belalang besar yang hinggap di bajunya.
"Iya, mang Udin lagi yang ngambilin," tukasnya sembari melirik belalang yang bertengger dengan tenang di bajunya.
Ah ... paling datang ke rumah akan dia ikat perut belalang itu dan dimainkan sampai tak berkutik seperti kemarin. Lalu meminta Mak untuk menggorengnya.
Ih ... aku bergidik ngeri membayangkan belalang sebesar itu digoreng lalu dimakan. Dan jawaban mak sesuai yang aku harapkan.
"Belalang sebesar ini ga enak digoreng, makannya juga jijik. Kalo yang kecil enak, gurih dan garing." Ini jawaban mak.
Aku tos sama mak. Ternyata ga semua belalang enak untuk dimakan. Jika di suatu daerah mungkin biasa menggoreng belalang sebesar itu, tapi aku tidak biasa. Membayangkannya saja, ugh ... aku tidak bisa.
"Jangan minta Mak buat goreng lagi belalang itu!" titahku yang disambut cengiran darinya. Idih ... bukannya menjawab malah tersenyum mencurigakan.
Dia menatap botol belalangku. Jangan-jangan ... segera kudekap erat botol belalang dan mengusirnya.
"Jangan mimpi, ya. Kalo kamu berniat masukin belalang itu ke sini!" ancamku tidak main-main. Pasti akan ikut tergoreng. Aceng mendengus dan melengos pergi.
Menjelang Dzuhur kami kembali ke rumah. Dengan membawa bekal seperti kemarin dari pemilik sawah. Kami akan memakannya di rumah.
________*
Waktu berlalu begitu cepat, kami menunggu abah di depan mushola sambil bermain. Tak lama terdengar suara deru motor yang berhenti di depan mushola. Itu abah.
"Abah!" pekikku bersamaan dengan adik. Kami berhambur dari mushola dan mendekati abah.
Kami meraih tangannya setelah membayar ongkos ojek. Abah tersenyum melihat kami tak sabar untuk membawa tas slempang bergambar burung Garuda itu.
Kali ini, Aceng yang dengan sigap mengambil tas itu dan berlari ke rumah. Aku cemberut karena kalah cepat dengan Aceng. Abah memberikan isyarat padaku untuk menyusul adikku itu.
Di dekatnya pula, terdapat sebuah kotak yang tadi diturunkan tukang ojek. Aku berlari mengejar Aceng yang sudah masuk ke dalam rumah.
Mataku membelalak saat melihat Aceng yang sudah membongkar isi tas abah. Segera kudekati dan ikut membongkar.
Kembali berebut makanan yang dibawa abah juga uang receh berwarna kuning keemasan. Kali ini tidak sebanyak kemarin, tapi meski begitu kata abah kita harus selalu bersyukur.
Setelah mengumpulkan semua makanan, aku mendatangi mak yang sedang membungkus ikan yang dibawa abah.
"Wah, cumi!" kataku senang. Kulihat cumi-cumi itu sangat besar. Tidak hanya cumi, ada udang juga di sana. Mak membagi-bagi cumi menjadi beberapa bungkus. Seperti biasa kami akan memberikannya sesuai perintah mak.
"Mak, lapar! Udah mateng cuminya?" tanyaku sekembalinya dari mengantar cumi ke rumah guru ngajiku.
"Sebentar lagi!" jawab mak.
"Abah di mana, Mak?" tanyaku mencari keberadaan abah. Aku belum melihatnya lagi semenjak pergi mengantar ikan.
"Ke rumah kakek sama Aceng," sahut Mak lagi. Kakek yang didatangi abah bukanlah kakek kandung kami, dia orang yang berjasa mempertemukan mak dan abah hingga menikah.
Ugh ... melihat sayur cumi yang mengepulkan asap, tanpa menunggu diangkat aku mengambil piring dan nasi. Mak mengambilkan cumi untukku. Aku makan tanpa menunggu yang lain datang.
______*
Di malam hari, selepas mengaji di rumah guru ngaji. Aku menghadap abah untuk menyetorkan hafalan doa wuduku.
Satu per satu aku hafalkan, mulai dari niat, membasuh tangan, muka hingga kaki dan doa selepas wudu.
Abah menganggukkan kepala puas mendengar hafalan doaku yang lancar.
"Dipake saat wudu, jangan sampe ga dibaca doanya," ingat abah setelah aku menyelesaikan hafalan doaku.
"Iya," jawabku sembari tersenyum. Di ruang tengah itu, ada mak juga Aceng. Sebelum aku menyelesaikan setoran hafalanku, abah melarang kami untuk menyalakan televisi.
"Nur, bulan puasa nanti kamu setor hafalan surat tabaarok, ya," ucap abah di sela-sela kami menonton televisi.
"Tabaarok, Bah? Surat apa itu?" tanyaku tidak mengerti.
"Itu ada di Al-Qur'an, bukan di juz 'amma. Kamu hafalkan dan setor ke Abah setiap selesai shalat ashar," jawab abah. Aku sedikit ragu pasalnya aku belum mengaji di Al-Qur'an masih di juz 'amma.
"Tapi Nur masih ngaji juz 'amma, Bah," kataku sedikit ragu.
"Kamu, 'kan udah setor hafalan juz 'amma. Sekarang hafalan surat pendek dalam Al-Qur'an," jawab abah. Aku mengangguk pasrah meski pun ragu.
"Coba ambil Al-Qur'an, biar Abah tunjukkan surat tabaarok!" titah abah. Aku beranjak mengambil Al-Qur'an yang disimpan mak di atas lemari.
Kuberikan pada abah, dan laki-laki gagah itu mulai membuka lembaran Al-Qur'an tersebut. Ya ... abah adalah laki-laki gagah, meski tubuhnya sudah hampir dimakan usia. Abah masih kuat bekerja keras tanpa mengeluh.
Abah kembali menyodorkan Al-Qur'an padaku, dan menunjukkan surat tabaarok yang dimaksud. Kubaca nama surat yang tertera di atas.
"Al-Mulk, Bah!" kataku menyebutkan nama surat yang dimaksud. Abah mengangguk menjawab.
"Iya, nama suratnya Al-Mulk, tapi biasa disebut tabaarok untuk memudahkan yang tidak bisa mencari karena di awal surat itu kata tabaarok," jawab abah.
Aku mengerti, kenapa abah menyebutnya tabaarok. Surat itu diawali dengan kata tabaarokalladzii ....
Aku membacanya dalam hati. Meski pun aku masih mengaji di juz 'amma, tapi aku sudah bisa membaca ayat per ayat dalam Al-Qur'an. Itu hasil dari mengajiku semenjak aku kecil. Abah adalah guru ngaji pertamaku.
"Coba baca ayat pertama!" titah abah menunjuk pada ayat pertama dari surat Al-Mulk tersebut.
Aku mengangguk dan mulai membaca basmallah.
"Bismillaahirrahmaanirrahiim ... tabaarokalladzii biyadihil-mulku wa Hua 'alaa kulli syai'in qadiir."
Aku mendongak setelah menyelesaikan bacaannku. Abah menggeleng.
"Di sini, kamu salah membacanya. Membaca Al-Qur'an harus menggunakan tajwid yang benar. Hukum nun sukun dan tanwin harus kamu fahami dengan benar. Membaca Al-Qur'an tidak bisa asal membaca saja, apa lagi kalo sampai salah membaca. Waduh, bisa berubah maknanya," jelas abah.
Aku memang sudah belajar tajwid, hanya saja aku tidak terlalu mengerti itu. Dan sekarang sebelum menghafal surat Al-Mulk itu abah mengajariku tajwid terlebih dahulu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!