(Bima)
Hari ini hari Jum’at. Cuaca di luar terlalu cerah dan panas sekali. Aku mengetik kata “Tamat” di layar laptopku dengan cepat. Kemudian aku menyandarkan tubuhku di kursi yang setengah empuk dan mengangkat kedua tanganku sambil menarik jemariku yang kaku karena mengetik berjam-jam.
“AAAAAAHHHH.” teriakku.
“Selesai?” tanya Riko membuka syal tebal yang menutupi wajahnya. Dia sedang tidur dengan sleeping bag camping di bawah kakiku.
“Yaaa… selesai.” ucapku. “Gue kirim ke e-mail langsung ya.” Aku sibuk membuka email dan mengirimkan file kepada Riko.
Riko terlihat bangun dan terduduk sambil membuka sleeping bag-nya. Orang-orang di kantor mulai berdatangan. Pemandangan Riko yang tidur di lantai, atau siapa pun itu sudah tidak asing bagi kantor ini. Aku seorang penulis novel, jadi adalah hal yang wajar jika terkadang aku finalisasi bab terakhirku di kantor dengan ditemani editorku yang merangkap sahabatku sendiri.
Sebetulnya aku bukan seorang penulis novel terkenal. Katakanlah aku penulis pembantu, penulis dibelakang layar, dimana namaku tidak tercantum dalam penulis novel yang aku ketik sendiri, karena aku adalah ghost writer. Ada penulis utama yang mengarahkan cerita-ceritanya padaku dan aku mengembangkan sendiri dengan imajinasi dan referensiku. Jadi, jika novel ini meledak di pasaran bukan aku yang terkenal melainkan si penulis utama. Aku sudah menggeluti bidang ini semenjak aku duduk di bangku kuliah. Riko menarikku.
Dia menyuruhku untuk menjadi ghost writer pada awalnya. Menulis biografi beberapa orang terkenal dan terakhir aku menulis novel spesialisasi romansa fiksi. Kalau ada yang bertanya, apakah aku pernah menerbitkan novelku sendiri? Tidak ada. Aku tidak tahu arah penulisan novelku, apakah aku harus ber-genre romantis? Misteri? Sci-Fi? Jadi, hingga sekarang aku menggeluti pekerjaan ini di belakang layar. Sementara aku menulis novelku sendiri secara online dengan nama samaran tentunya, C.B. Lalie Tha. Aku menggunakan nama tersebut karena nama panjangku Chandani Bimala Lalitha.
Dengan cepat aku membereskan barang-barangku di atas meja, menutup laptop, dan mengecek jadwal MRT pagi ini untuk pulang ke kontrakan.
“Elo nggak mau pulang pakai mobil gue?” tawar Riko.
“Elo pikir gue waras menyetir di jam macet kayak gini? Sementara gue udah dua malam nggak tidur?” Aku melotot ke arah Riko yang sibuk melipat sleeping bag-nya.
Riko hanya mengangguk-angguk.
Aku dan Riko awalnya tinggal berdua di Jakarta. Mengontrak sebuah rumah. Karena rumah kontrakan tersebut akan dijual oleh pemiliknya, akhirnya aku dan Riko menyewa kontrakan sendiri-sendiri. Aku tetap mengontrak sebuah rumah dengan beberapa kamar di dalamnya. Di mana orang yang mengontrak di dalamnya selalu berganti-ganti. Hanya aku yang tetap bertahan selama dua tahun ini. Sedangkan, Riko menyewa apartemen yang sebetulnya tidak jauh dari kontrakanku.
Gaji Riko lebih besar daripada aku. Dia sekelas editor novel senior. Dia bisa membaca cepat alur cerita novel-novel dan menjumlah berapa kata yang memiliki kesalahan ketik. Aku lebih suka tinggal di rumah. Memiliki ruang kerja, ruangan yang selalu mengeluarkan ide-ide, ruang TV, dan dapur sendiri. Sayangnya, gajiku tidak cukup untuk membeli rumah di Jakarta.
Aku meninggalkan Riko yang sudah menghilang ke ruangannya dan memulai untuk mengecek novel yang aku selesaikan tadi. Sekarang aku sudah duduk di kursi besi panjang menunggu MRT tujuanku lewat. Menghela napas. Kehidupanku sungguh berat. Seperti tidak ada harapan. Walaupun aku bisa tidur setelahnya selama beberapa hari ke depan sambil menunggu Riko mengabari novel yang aku buat dan membuat revisi.
“Mau tahu jodoh ya?” tanya seorang Bapak yang memiliki kumis dan brewok lebat. Nampaknya sedang ada pertunjukan di stasiun MRT ini. Beberapa orang berkerumun penasaran dengan atraksi yang akan diberikan. Bapak itu meramal tiga orang di depannya dengan membicarakan tampilan jodoh mereka di masa depan. Aku agak skeptis melihat kekonyolan yang terjadi di depanku. Aku tidak percaya ramalan bahkan ramalan tentang jodoh?? Hal yang gila.
MRT yang ditunggu pun datang. Beberapa orang langsung bersiap untuk berbaris dilajur kanan menunggu orang yang dari dalam MRT keluar, barulah yang di lajur kanan masuk. Mungkin karena arah MRT ini adalah arah di mana mengarah ke daerah yang bukan kawasan bisnis jadi banyak tempat duduk yang kosong. Sedangkan si Bapak brewokan tersebut duduk tepat di sebelahku.
Aku sempat menyandarkan tubuhku dan menatap orang di depanku dengan tatapan yang tidak begitu serius.
“Kamu nggak percaya ya?” tanya Bapak itu tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya, memastikan apakah dirinya sedang berbicara padaku atau tidak. Ternyata dia menatap mataku.
“Maaf, Pak?”
“Kamu nggak percaya ya sama yang saya bilang tadi?”
“Bukan Pak, cuma agak…” Aku kurang enak hati. Darimana dia tahu aku tidak percaya dengan perkataannya? Apakah wajahku menunjukkan hal itu? Sepertinya tidak seperti itu deh.
“Konyol?” tambahnya. Dia memotong perkataanku.
“Eh, bukan Pak. Sebetulnya saya nggak terlalu percaya dengan ramalan.” Aku menjelaskannya dengan sopan.
Bapak itu menatap dengan senyuman. Dia menatapku lama sekali. Aku jadi salah tingkah dan mengalihkan pandanganku ke arah lainnya.
“Nanti kamu akan ketemu jodohmu. Mudah kok. Kamu akan dijodohkan nanti.”
Aku melihat ke arahnya. Omong kosong apa ini?
“Saya akan dijodohkan? Orang yang dijodohkan dengan saya ini adalah jodoh saya? Begitu?”
Bapak itu mengangguk senang, karena aku menanggapi perkataannya.
Aku tertawa getir.
“Pak, saya bahkan nggak pernah pacaran. Orang tua saya juga bukan tipikal yang kolot begitu.”
Jadi, intinya aku tetap tidak percaya.
Sebuah suara wanita yang bergema di seluruh MRT muncul. Menandakan pemberhentian di stasiun berikutnya. Bapak peramal itu menghilang tanpa berpamitan denganku. Nggak jelas deh. Aku menggeleng-geleng kepalaku sendiri. Aku menyandarkan tubuhku lagi. Oke, jodohku adalah seseorang yang dijodohkan untukku. Menggelikan.
(Ben)
Tidak biasanya aku mendapatkan jet lag selama perjalananku dua jam dari Bangkok ke Jakarta. Ditambah pagi ini suasanya di MRT sangat ramai. Sepertinya juga aku salah jalur. Jadi, aku agak terlambat menuju tempat tujuanku. Aku sempat membeli segelas Americano di jalan dan menenggaknya dalam hitungan menit. Mungkin wajahku sangat kacau sekarang. Akhirnya aku berdiri menunggu MRT selanjutnya di jalur sebaliknya, karena aku sempat terlewat dua stasiun. Sepertinya Americano yang aku minum tidak berdampak pada tubuh dan kepalaku. Aku masih saja pusing dan agak mengantuk. Aku sempat berjalan sekitar tiga meter dari tempatku menunggu dan menuju kerumunan orang banyak agar aku tetap terjaga.
Aku berhenti di sebuah kerumunan yang cukup ramai karena adanya atraksi peramal di tengahnya. Aku sempat mencuri dengar untuk memenuhi hasratku yang penasaran. Tapi pandanganku tertuju pada seorang wanita yang awalnya melihat-lihat kerumunan tersebut dan mencuri dengar. Setelah mendengar topik peramal tersebut, wanita itu langsung menunjukkan wajah yang tidak suka dan agak pergi menjauh. Aku dan dia bersiap-siap berdiri mengantri di jalur kanan, karena MRT selanjutnya akan datang. Wanita itu masuk duluan dan berhasil mendapatkan tempat duduk di MRT yang agak sepi bersama si Bapak peramal.
Aku tetap berdiri. Menjaga kewarasanku. Mendengarkan pandangan skeptis wanita ini mengenai jodohnya. Setelah itu, aku menatapnya saat dia sempat memejamkan matanya. Kemudian terbuka ketika suara wanita di dalam speaker MRT memberitahukan pemberhentian selanjutnya. Saat itu juga, ponselnya berbunyi. Dia mengangkatnya dengan malas.
“Kenapa?” Suaranya terdengar lemas. “Hah? Sudah dibaca semua? Ratusan halaman itu???” Dia mendadak menegakkan tubuhnya. “Trus elo suruh gue ke kantor lagi sekarang?” Wanita itu melihat jam yang dilingkarkan di pergelangan tangan kirinya. Ternyata dia hendak pulang. Arah kantornya malah sebaliknya.
“Okay, gue balik lagi ke kantor. Apa ada kabar baik?” Dia sempat berhenti berbicara. “Wah, serius?? Langsung dicetak???” Wajah wanita itu berubah sumringah. Entah mengapa aku menyukai semangatnya. Tidak ada keluhan sama sekali.
MRT perlahan-lahan berhenti. Dia bersiap-siap menuju pintu keluar sembari pintu terbuka. Sedangkan aku, nampaknya memang harus turun di stasiun ini.
“Iya, gue puter arah sekarang ya.” ujarnya penuh semangat.
(Bima)
Aku duduk di ruang rapat kecil. Riko berada di depanku berhadapan dengan si penulis utama dari novel yang baru aku selesaikan beberapa jam yang lalu. Biasanya hal seperti ini, aku memutuskan untuk memakai earphone untuk mendengarkan lagu. Pasalnya, aku paling tidak suka dengan keputusan yang mengecewakan.
Riko dan si penulis utama yang seorang wanita paruh baya menatapku. Senang. Oh pertanda bagus berarti. Aku melepaskan earphone-ku.
“Bim, ini kan kerja sama kita yang ketiga kalinya. Aku terima kasih banget sudah dibuatkan novel yang aku inginkan.” ujar si penulis. “Aku juga sempat membaca langsung novelmu.”
“Good news?” tanyaku pada mereka berdua.
“Iya dong.” jawab Riko diiringi anggukan penulis utama.
Wajahku langsung cerah.
“Selain novelnya tanpa proses editing yang panjang, aku mau nawarin posisi bagus buat kamu.”
Aku melihat ke arah Riko.
“Apa itu, Mbak?” Aku penasaran.
“Aku dan Riko sepakat mempromosikan namamu, Bim sebagai penulis novel.” Si Penulis Utama yang bernama Maria terlihat senang sekali.
“Maksudnya?” Aku masih belum paham.
“Kamu boleh menerbitkan bukumu sendiri.” Riko menjelaskan.
Aku berdiri. Kegirangan.
“Ini serius???” Air mataku nyaris keluar. Mataku berkaca-kaca. Bertahun-tahun aku menjadi ghost writer akhirnya aku ditawari menjadi penulis novel sendiri.
“Ada tapinya…” Mbak Maria memusnahkan kesenanganku. “Kamu harus menulis novel romantis.”
“Haaaa????” Aku menganga.
“Dia itu sebetulnya spesialisasi cerita fantasi.” celetuk Riko pada Mbak Maria.
“Tapi kan cerita fantasi kurang laku di pasaran Indonesia.” Mbak Maria menghela napas.
“Udah gitu, semenjak sama Mbak kan Bima ini susah sekali mengerti alur cerita-cerita romantis yang ada di novel Mbak.”
“Nah iya, daripada kita ngecek setiap naskah yang masuk kenapa nggak kita suruh aja penulis tetap di perusahaan ini untuk nerbitin buku?”
Terlihat sekali Mbak Maria dan Riko sedang berdebat.
“Gimana?” tanya Mbak Maria padaku.
Aku agak berat. Soalnya aku tidak paham percintaan. Bahkan aku pun tidak begitu suka menonton film yang romantis, selain itu kehidupanku hambar sekali tidak ada percintaan yang berarti di dua puluh enam tahunku.
“Bima ini belum pernah jatuh cinta, Mbak.” celetuk Riko.
“I know.” Mbak Maria mencelos. “Makanya aku tantang dia untuk buat novel romantis. Perusahaan kita lagi butuh banyak novel-novel romantis.” Mbak Maria melihatku yang daritadi diam. “Gimana kalau tiga bulan?”
“Konsepnya?” tanyaku akhirnya.
“Bebas. Sepertinya aku mau ceritamu yang sudah selesai bab per bab diterbitkan secara online di aplikasi novel online dan di situ kita lihat apakah kamu berhasil atau tidak. Kalau kamu sukses, langsung kami terbitkan.”
Syukurlah, berarti aku tidak menulis novel ini langsung tamat.
“Oke deh. Aku bisa kayaknya.”
“Deal ya!” Mbak Maria mengulurkan tangannya padaku. Aku menjabatnya lemas.
“Berarti gue akan jarang liat elo di kantor. Elo sekarang penulis utama. Hmm… waktu yang elo butuhkan adalah tiga bulan ya?”
“Sampai tamat?”
Mbak Maria dan Riko mengangguk.
Setelahnya, aku pulang kembali. Menaiki MRT yang semakin sepi walaupun sudah agak siang. Aku turun di stasiunku. Kemudian aku sempat turun dan menaiki sebuah bus menuju sebuah kampus di Depok. Aku tiba-tiba baru tersadar kenapa aku harus menaiki bus ke kampusnya Tasya? Sebetulnya, kampusku juga sih. Aku hanya lulusan sarjana Ilmu Komunikasi, sedangkan Tasya mengambil lagi pasca sarjana Ilmu Komunikasi dan sekarang sudah semester dua.
Tasya adalah sahabatku dari SMP dan bersama Riko mereka berpacaran. Aku yang tidak lain dan tidak bukan adalah selalu menjadi nyamuk di antara mereka.
“Tas, dimana?” Aku menelepon Tasya.
“Hmmm, di lorong hijau. Mau jalan lewat taman tengah.”
“Yaudah gue ke taman. Ketemu di situ.”
Aku menutup telepon dan berjalan dengan cepat menuju taman yang sebetulnya tidak jauh. Aku mencari tempat duduk yang kosong dan menunggu Tasya di sana.
“BIMA!!!!” teriak Tasya dari belakang. Wajahnya senang sekali. Aku yakin Riko pasti sudah mengabarinya perihal yang akhirnya aku menjadi penulis utama. “BIMA!! Selamat ya!!! Akhirnya elo jadi penulis utama!!!” girangnya. Tasya menarik kedua tanganku hingga aku berdiri dan mengikuti irama kegirangannya Tasya.
“AKHIRNYA!!!” Kami berpelukan. Sebahagia itukah aku? “Tapi… novel apa coba?”
“Eh nggak tahu.” Tasya berhenti loncat. “Novel fantasi kan?”
“Bukaaaan! Romantis!”
“Haaaaaaa????” Tasya kaget. Dia tahu kapasitasku yang amat sangat minim sekali pengalaman cinta.
Tidak jauh dari Bima dan Tasya berteriak kegirangan dan berdiri di tengah taman, seorang pria memperhatikan mereka. Fokusnya ke Bima. Wanita yang tadi ditemuinya di MRT. Pria ini sempat tertegun sebentar kemudian berjalan lalu.
***
(Bima)
Sudah dua hari ini pekerjaanku hanya tidur saja. Masuk kamar, makan, ke kamar mandi, dan tidur. Bagiku menyelesaikan satu buku novel adalah hari liburku. Otakku tidak diajak berpikir keras. Hanya ada satu yang menggangguku, beberapa barang yang berantakan diletakkan sembarangan di ruang tamu. Mungkin ini adalah barang si penghuni kamar satunya dan aku belum melihat orang ini hingga hari kedua liburku. Aku kembali ke kamarku dan memeluk guling kesayangan. Waktu aku mengkhayalkan kira-kira konsep seperti apa novelku nanti, ponselku berbunyi.
“Ya, Tas?” Ternyata Tasya meneleponku.
“Karena umur elo belum tiga puluh tahun, lebih baik elo ikut ini deh. Coba cek chat.” perintah Tasya antusias. Aku langsung memeriksa chat dari Tasya dan membacanya. Pertukaran Pemuda Jurusan Ilmu Komunikasi goes to Bangkok.
“Hubungannya sama gue apa?”
“Kayaknya elo harus gantiin gue magang deh.”
“Meliburkan diri dengan magang. Bagus banget ya…” sindirku atas ide Tasya. Liburan menurutku tidak dengan cara magang sih.
“Hehehe, sekalian dong cari insipirasi.” usul Tasya.
Inspirasi. Sepertinya memang aku butuh seluruh ide dan inspirasi untuk menulis.
“Apa syaratnya susah?” Akhirnya aku tertarik.
“Nggak juga kok. Karena salah satu syaratnya juga bisa alumni dan elo punya IPK cumlaude kan? Jadi gue hanya menukar nama gue jadi nama elo aja.”
Aku mengangguk pada diriku sendiri.
“Gimana kalau elo aja yang daftarkan gue? Gue kirimkan aja dokumen-dokumennya.” ujarku yang masih malas. Bahkan berdiri untuk meraih laptop saja aku malas.
Aku mendengar Tasya melengos panjang.
“Iya deh…” pasrahnya.
“Trus kenapa gue yang gantiin elo?”
“Soalnya gue sayang banget kasih ke orang lain. Elo kan ada nilai plusnya, yaitu alumni dengan IPK cumlaude. Hehehe.” Tasya terkekeh. “Dan gue harus menghadiri pernikahan nyokap gue.” Tasya berbicara antusias tapi seperti terpaksa.
Aku melongo. Mama Tasya sudah menikah yang ke berapa kali beberapa tahun ini? Ya Ampun.
(Ben)
Aku membolak-balikkan map yang menumpuk di depan mejaku. Ada dua orang yang duduk bersamaku mengecek beberapa map yang berisi banyak kandidat untuk program magang yang aku adakan khusus bagi mahasiswa dan alumni di jurusan Komunikasi.
“Tasya nggak apply ya?” tanya salah seorang mahasiswa tingkat akhir. Dia laki-laki modis dan paling wangi.
“Nggak jadi. Ada urusan keluarganya. Tapi kemarin dia bilang sama gue, dia digantiin sama temennya.” jawab seorang mahasiswa perempuan berambut pendek dan berwarna abu-abu.
“Siapa?”
Mahasiswa perempuan itu berdiri dan sibuk mencari sesuatu di seluruh tumpukan map. Setelah mendapatkannya, dia membacanya sebentar dan memberikannya pada temannya si laki-laki yang wangi ini.
“Wah, Prof pasti suka.” celetuk si mahasiswa laki-laki itu setelah membaca isi map. Ada beberapa lembar dokumen di dalamnya, kemudian mahasiswa laki-laki ini menyodorkannya padaku untuk membacanya.
Aku membuka mapnya dan mataku tertuju pertama kali pada fotonya, kemudian namanya.
“Prof, kan ada satu alumni yang mau dipilih kan ya?” tanya si rambut abu-abu.
“Hmm… hanya ini kandidat alumni?” Akhirnya aku berbicara setelah sekian lama aku berdiam diri dan hanya mendengarkan mereka mengobrol. Mengomentari semua kandidat yang masuk.
“Iya, Prof. Cuma satu.” jawab si rambut abu-abu lagi.
Aku membaca keseluruhan dokumen dari map yang aku pegang. Memahami isinya.
“Sudah berapa orang yang terpilih?” tanyaku.
“Hampir sepuluh orang, Prof.” jawab si wangi.
“Tambahkan ini.” Aku melempar padanya map yang tadi dia berikan padaku.
“Baik Prof.”
(Bima)
Pukul 8 malam lewat sedikit.
Aku sedang melihat-lihat pemandangan di halaman yang kecil. Banyak sekali jemuran yang menggantung dan semuanya adalah kaos-kaos yang hanya berwarna hitam dan putih. Nampaknya teman satu rumahku adalah orang yang datar dan tidak memiliki keunikan. Coba saja, semua yang ada di jemuran adalah kaos yang hanya berwarna hitam dan putih. Tidak ada pakaian sedikit pun yang berjenis kemeja atau…
Aku mendengar pintu digedor dengan cepat. Siapa sih yang datang dengan menggedor pintu rumah orang dengan membabi buta?
Aku akhirnya beranjak dari sofa dan membuka pintunya.
Tasya muncul di depan wajahku dengan perasaan yang bahagia.
“Biiimmmm, elo keterima!!!” Dia mencengkram kedua bahuku dengan kencang.
“Apaan yang keterima?”
“Magang dooong.”
Tasya menghambur masuk. Dia sudah terbiasa datang ke rumah ini. Bahkan sering sekali menginap. Dia melihat sekeliling rumah yang masih berantakan. Sisa pindahan.
“Oh bagus deh. Jadi kapan gue berangkat?”
“Dua hari lagi.” jawab Tasya.
“Loh? Gue pikir minggu depan.” kagetku.
“Yang minggu depan itu belajar bahasa Thai dan kalau magang itu dua hari lagi.”
Aku membanting tubuhku di sofa. Dua minggu adalah waktu magangku. Sebetulnya buat apa aku magang yang kabarnya di sebuah stasiun televisi? Kan aku sudah bekerja sesuai passion-ku.
“Ada disediakan dorm di sana.” Tasya memberitahu.
“Berarti gue gak bisa tenang dong untuk menulis kalau dorm-nya isinya banyak orang…” komplainku.
“Apa elo mau tinggal di luar dorm?”
Aku menyambar ponselku. Membuka sesuatu.
“Mungkin gue akan cari share apartement yang murah selama dua minggu?”
“Lebih baik begitu.” Tasya mengangguk setuju.
“Siapa sih yang adakan ini?”
“Oh itu, ada Prof dari Thailand yang jadi dosen di kampus kita. Udah dua tahun ini sih. Gue sempet kena kelasnya dia dua kali. Semester ini juga ada. Dan dia itu katanya Direktur di sebuah perusahaan TV di Thailand.”
Aku tidak berpikir apa-apa ketika Tasya menjelaskan padaku. Kalau Prof ini datang dua tahun ini, berarti aku memang tidak mendapatkan kelasnya. Lagipula aku pun sudah lulus S1 sekitar 6 tahun yang lalu. Bahkan aku tidak bertanya kenapa Prof dari Thailand dan seorang Direktur di perusahaan TV Thailand mau mengajar di kampusku.
***
(Bima)
Aku berkumpul di Bandara Internasional Suvarnabhumi setelah kedatanganku dari Jakarta. Ada satu panitia dari stasiun TV yang mengarahkan kami untuk memakai kartu yang sudah dibelikan oleh panitia. Katanya sih, komunikasi itu penting. Setajir apa sih Profesor itu sampai memberikan program magang dan membiayai seluruh akomodasi peserta?
“Elo udah sampe?” Tasya melakukan panggilan video call.
“Ya dongg…” Aku memainkan ponselku dan menunjukkan situasi terkini. Kami berada di sebuah mini bus.
“Habis ini mau ke mana?”
“Hmmm… ke dorm.”
“Flat lo gimana? Mau dibatalin?” tawar Tasya.
“Gue udah kabari panitia yang di Jakarta, kalau gue sewa flat di sekitar stasiun TV itu.”
“Terus tanggapannya?”
“Mereka akan teruskan ke panitia yang di Bangkok.”
“Lalu…?”
“Gue liat dulu dorm-nya kayak apa.”
Tasya terlihat mengangguk-angguk. Tanda setuju.
Setelah sampai di dorm, aku bersama kandidat lain terlihat sibuk melihat-lihat dorm yang sudah disediakan. Nampaknya tidak kondusif untuk mencari inspirasi. Akhirnya aku izin dengan panitia, seorang wanita cantik, berkulit sawo matang bernama Fern. Mengatakan bahwa aku mungkin akan tinggal di flat yang sudah kusewa di dekat stasiun TV. Awalnya Fern tidak begitu menyukai ideku. Karena di saat magang seperti ini, kekompakan yang harus dijaga. Bukan memisahkan diri.
Sebetulnya bertahun-tahun ini aku sudah banyak memisahkan diri dengan orang-orang demi pekerjaanku. Akhirnya aku mengalah. Daripada di diskualifikasi dan disuruh pulang tanpa tanggungan. Aku tidur dengan seorang mahasiswa tingkat akhir yang tidak begitu ramah. Tapi lama kelamaan, dia mengajakku untuk mengobrol berbagai hal.
“Jadi udah kerja ya, Mbak?” tanyanya. Namanya Claudia. Rambutnya panjang dan lebih berkilau daripada rambut panjangku.
“Iya. Kamu semester berapa?”
“Semester akhir, lagi nyusun skripsi.”
Sebetulnya tidak apa-apa aku tinggal di dorm. Claudia tidak terlalu berisik. Hal yang tak terduga, walaupun wajahnya jutek ternyata dia cepat ramah denganku.
(Ben)
“Semua kandidat sudah di dorm?” tanyaku pada Levi, asistenku.
“Clear, Ben. Ada satu kandidat yang nggak mau tinggal di dorm.” beritahunya.
Aku mengerutkan dahiku.
“Siapa?”
Levi merogoh kantongnya dan membuka ponselnya.
“Namanya…hmmm…Chandani Bimala Lalitha.” ujarnya mengeja.
Aku hanya mengangguk sambil menggulung bajuku.
“Kenapa dia mau sewa flat ya? Padahal kita sudah bayar akomodasinya semua.”
“Mungkin anak ini bisa kita kecualikan?” usulku.
“Dikasih pelajaran?” Levi tersenyum licik. “Kamu mau aku yang melakukan hal itu?”
“Silahkan.”
Malam ini aku bersiap-siap untuk menyambut semua kandidat yang terpilih pada acara makan malam. Levi sudah menyiapkan makan malam di sebuah restoran yang tidak jauh dari dorm. Waktu aku sampai di restoran, aku menghitung semua kandidat dan ada dua orang yang tidak hadir.
“Kamu yakin hadir semua?” tanyaku berbisik pada Levi.
“Kayaknya ada dua kandidat ini pergi pakai MRT, Ben.” jawabnya. “Dan agak telat.”
Betul, tidak berapa lama ada dua orang wanita masuk ke dalam restoran dan duduk berdua. Aku tidak tahu persis namanya. Tapi salah satu wanita yang aku ingat wajahnya duduk bersama kandidat lain dan mulai melahap makan malamnya.
“Hi, Prof. Thank you so much for appreciate my CV that I can join this program. I’m Bima.”
Wanita yang aku ingat wajahnya ini tampak familiar. Aku bertemu dengannya pertama kali di stasiun MRT di Jakarta lalu aku sempat melihatnya di taman kampus di hari yang sama. Dia mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan. Tapi aku tidak membalas jabatan tangannya.
“Did you called me Prof? Did I know you?” balasku. Wanita ini terdiam. Tangannya sudah disingkarkan dari pandanganku. Semua kandidat terdiam dan menatap kami. Hening. “Panggil saya Ben. Kamu yang mau pindah untuk tinggal di flat sendiri?” celetukku.
Semua kandidat tercekat. Ada pandangan yang tidak suka ke wanita ini.
“Saya akan lihat besok seberapa besar kemampuanmu untuk menulis.”
Kemudian aku berdiri.
“Terima kasih untuk makan malam yang menyenangkan ini. Sampai ketemu besok pagi di kantor.”
Aku tersenyum sedikit dan meninggalkan wanita itu masih terpaku. Kesal.
(Bima)
“Mbak Bima, kamu ngapain nyapa Prof?” sapa Ari salah satu kandidat yang bertubuh gemuk.
“Iya Mbak. Dia itu Prof killer. Dosen-dosen yang tua aja kalah killer-nya dari dia.” tambah Claudia.
“Ganteng sih ganteng. Tapi gitu amat.” celetuk Nara, mahasiswa cantik yang sepertinya mahasiswa yang memiliki IPK tertinggi kalau dilihat dari wajahnya. Dia terlihat mengunyah sesuatu.
“Banyak itu fans-nya kalau di kampus. Nggak dari fakultas kita aja. Prodi-prodi lain juga demen banget kalau si Prof bersliweran di lorong.” ujar Ari.
“Satu kelemahannya, dia tidak pernah apresiasi kerja kita dan mengingat nama-nama kita.” kata Claudia mengingatkan.
“Berarti dia akan lupa namaku?” tanyaku.
“Pastinya.” jawab Nara mantab. “Dia nggak bakal tahu nama-nama kita yang satu meja makan di sini. Semua kandidat kan dipilih sama asisten dosen atas persetujuan Prof.”
“Kenapa dia bisa bahasa Indonesia?” tanyaku lagi. Penasaran. Tasya bahkan tidak memberitahu perihal ini.
“Oh itu, dia lama di Indo dan orang tuanya juga kabarnya di Indo.”
Aku masih saja berdiri di tempat yang sama, mencerna informasi yang baru saja kudapat. Tiba-tiba aku mengepalkan tanganku dan berteriak dalam hati, sialan! Sombong banget sih! Untung banget aku nggak diajar sama dia. Dosen macam apa dia. Bahkan membalas jabatan tangan orang pun nggak mau.
Aku kembali ke tempat dudukku dan menghabiskan sisa makananku. Karena restoran hendak tutup, aku tergesa-gesa ke toilet. Mungkin toiletnya penuh dan aku harus masuk ke toilet yang lampunya mati, dengan berbekal cahaya dari ponsel aku meletakkan ponselku di atas tempat flush WC. Kabar buruknya adalah ketika aku selesai menuntaskan buang air kecilku, aku membuka pintu kamar mandi dan damn! Tidak bisa dibuka.
“Hellooo… help!! Is anybody here??!!” Aku berteriak sekuat tenaga. Memukul pintu toilet. Bahkan aku sudah berteriak berkali-kali. Aku melihat sekitar bahkan mataku hanya bisa melihat cahaya redup dari ponselku yang… sudah mati. Aku tercekat. Kemudian menggedor pintu berkali-kali dan berteriak.
Serangan panik terjadi padaku. Aku bahkan tidak bisa melihat cahaya sedikit pun. Napasku tiba-tiba sesak. Aku tidak tahu bahwa malam itu adalah malapetakaku yang pertama di Bangkok karena aku memberanikan diri untuk mendatangi tempat yang gelap.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!