NovelToon NovelToon

How Will You Say Goodbye?

Prolog

Sebuah rumah yang nyaman dan sangat elok dipandang mata, dengan desain klasik terdapat pilar yang cukup besar didepannya.

Rumah putih di pedalaman kota. Tidak terlalu jauh dari pusat kota tapi juga tidak terletak dipinggiran jalan. Terdapat air yang mengalir dari kanal membentang di sepanjang belakang rumah.

Rumah yang sangat asri dengan ditumbuhi rumput-rumput hijau dihalamannya dengan berbagai macam jenis tanaman dan bunga yang juga ditanam disana.

"Sebentar ya, mbak. Aku ambilkan air minum dan obat mbak dulu." Ucap seorang gadis yang tinggal dirumah itu. Ia mengambil segelas air dan beberapa butir obat diatas nakas.

Gadis itu memberikan air dan obat kepada seorang wanita yang terbaring lemah dihadapannya.

"Ini mbak, diminum dulu. Abis itu mbak istirahat ya!" ucapnya.

"Terima kasih ya, Kinan." Ucap wanita yang terbaring itu.

"Iya mbak" jawab Kinan.

Setelah meminum obatnya, wanita bernama Wina itupun memutuskan untuk tidur dan beristirahat. Sementara Kinan, beranjak dari posisinya untuk melanjutkan tugasnya yang juga seorang mahasiswi.

Kinanty Andari. Seorang gadis desa berumur 21 tahun yang memutuskan untuk bekerja dikota sambil melanjutkan kuliahnya. Kinan adalah seorang yatim piatu. Ia bekerja paruh waktu menjaga saudara jauhnya, Wina Delina yang sedang sakit. Tentu saja itu ia lakukan untuk membiayai kuliah dan biaya hidupnya.

Wina divonis menderita Leukimia oleh dokter. Ia membutuhkan banyak bantuan dirumahnya karena Wina mempunyai dua orang anak yang juga harus dijaga.

Wina menikah diusia yang masih sangat muda dengan seorang lelaki yang mencintai dan dicintainya, yaitu Ammar Sadin.

Mereka sudah menikah cukup lama sekitar 10 tahun.

Anak pertama mereka berusia 9 tahun dan anak keduanya berumur 6 tahun. Alesya dan Arshaka.

Kinan yang sejatinya masih berkuliah harus pandai-pandai menyesuaikan waktu untuk bisa mengurus Wina dan sekedar menjaga anak-anak Wina.

Ya, tugas utama Kinan dirumah ini hanyalah menjaga Wina. Wina dan Ammar sudah mempunyai dua asisten rumah tangga lain yang juga berperan dengan masing-masing tugasnya. Yang satu mengurus semua keperluan dapur dan rumah. Yang satunya lagi menjaga dan mengurus anak-anak.

Alesya dan Arshaka juga sudah punya guru privat masing-masing yang akan mengajarkan mereka tentang sekolahnya.

Kinan hanya bekerja memberi makan Wina dan memberinya obat. Serta memastikan Wina istirahat dengan cukup tanpa terbebani dengan pikiran-pikiran lain.

Ammar sangat mencintai Wina, dan ia punya cukup kemapanan materi diusianya yang baru 32 tahun. Sedangkan Wina berusia 30 tahun.

Ammar selalu mencoba memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya semampu dan sebisanya. Ia pekerja keras alias workaholic.

Terbukti kerja kerasnya sedari muda membuahkan hasil hingga ia dan keluarganya bisa hidup dengan berkecukupan sekarang ini.

"Wina udah tidur Ki?" Tanya Ammar yang melihat Kinan sedang berjalan melalui nya, sembari ia masih sibuk duduk menatap layar laptop nya di ruang keluarga.

"Sudah, Mas." jawab Kinan.

"Anak-anak tadi udah pada makan malam kan?"

"Sudah, mas."

"Oke"

"Saya permisi, mas"

"Oh ya, Kinan?"

"Ada apa mas?"

"Terimakasih ya."

Kinan mengangguk dan pergi menuju kamarnya untuk beristirahat.

*****

Matahari yang terbit diufuk timur memancarkan suasana cerah dihari ini. Membangunkan orang-orang yang masih terlelap dikasur masing-masing.

Tampak seorang wanita tua yang adalah mertua dari Wina. Latifa. Sedang duduk diujung meja makan berbentuk oval.

Disamping kanannya ada Ammar, dan disamping kirinya ada sepasang anak kecil yang ikut sarapan pagi.

Wina tidak nampak ikut duduk diruang makan itu. Sepertinya Wina absen dan tetap berada dikamar.

"Mau berangkat kuliah, Ki?" Ucap Ammar berbasa-basi.

"Iya, mas" sahut Kinan.

"Sini ikut sarapan bareng!"

"Nggak usah mas, saya udah sarapan."

Ammar mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Wina udah makan? trus obat Wina udah kamu siapkan kan?

"Sudah mas, dan obatnya sudah saya letakkan di atas nakas, mas. Saya berangkat dulu ya mas, Nyonya" ucap Kinan sembari membungkukkan sedikit badannya.

"Iya" sahut Ammar dan Latifa Kompak.

Seperginya Kinan, Latifa yang layaknya seorang nenek protektif mulai menasihati kedua cucunya yang akan berangkat sekolah pagi itu.

"Oh iya, Mar. Kenapa sih buang-buang uang terus dengan mempekerjakan gadis itu? Kerjanya juga cuma itu-itu saja!" Ketus Latifa.

"Ya gimana pun juga kan Kinan itu masih keluarganya Wina, ma."

"Tapi tetap aja buang-buang uang. Itu si Irah juga bisa kok ngasih obat ke Wina, ngasi makan Wina!" Ucap Latifa.

"Ya hitung-hitung bantu Kinan lah, ma. Kasian dia dikampung juga nggak ada orangtua dan siapa-siapa lagi. Mau kerja disana tapi kan dia kuliah disini." Jawab Ammar.

"Lagian kok sok-sok-an kuliah sih. Yang ada ngerepotin orang lain saja!"

Ammar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar omelan mamanya yang seperti tiada ujungnya.

****

Kinan yang sudah sampai dikampusnya, memutuskan makan dikantin kampus karena sebenarnya ia belum sarapan.

"Masih ada setengah jam lagi, aku sarapan dulu lah." Batin Kinan sambil mendudukkan diri dikursi kantin dan memakan Roti isi yang sudah lebih dulu dibelinya di etalase kantin.

"Kinan!!!"

"Hey bikin kaget aja kamu!" Jawab Kinan pada teman akrabnya dikampus. Desi.

"Hehehe, oh ya gimana? Kapan kamu sidang?" Tanya Desi.

"Kalau nggak ada halangan sih minggu kedua di bulan depan"

"Wah enak banget ya. Aku masih harus revisi lagi" jawab Desi cemberut.

"Nggak apa lah. Kamu semangat ya. Semoga nanti kita wisudanya bisa bareng." kata Kinan menyemangati Desi sambil mengedipkan sebelah matanya.

*****

Sore ini Ammar yang baru saja pulang bekerja menatapi istrinya yang sedang tidur diranjang kamar. Dalam lubuk hatinya Ammar merasa sedih melihat kondisi Wina sekarang ini. Bagaimanapun Ammar sangat mengasihi Wina. Wina adalah wanita pertama untuk Ammar, dan Wina adalah wanita yang melahirkan anak-anak Ammar.

Ammar sudah mengusahakan semuanya agar kondisi Wina membaik. Wina juga sudah pernah menjalani perobatan di luar Negeri. Dan tentunya Wina sudah menjalani Kemotrapi tapi itu hanya berdampak baik untuk sementara, karena tubuh Wina seolah menolak kemotrapi tersebut..

Akan tetapi, Wina akan terus begitu selama ia belum mendapatkan donor cangkok sumsum tulang belakang.

Tangan Ammar terulur membelai pipi Wina. Wina yang merasa ada yang menyentuh pipinya pun terbangun dari tidurnya.

"Kamu udah pulang sayang?" Tanyanya pada Ammar.

Ammar menghembuskan nafasnya. Ia hampir saja meneteskan air mata ketika melihat dan mengamati wajah tidur istrinya tadi.

"Hmm, aku sudah setengah jam yang lalu pulang dari kantor" jawab Ammar.

"Kamu jangan sering menatapi ku ketika tidur sayang!"

"Kenapa?"

"Karena aku takut, ketika kamu menatapku tertidur, lalu aku sudah tidak bisa membuka mata lagi untuk sekedar menanyakan keadaanmu!"

"Kamu jangan ngomong gitu! Kamu tetap akan menanyakan keadaanku setiap hari, sayang. Tidak ada yang akan berubah kecuali kondisimu yang akan sehat seperti dulu!" Jawab Ammar memungkiri jawaban hatinya.

Wina hanya tersenyum kecut mendengar pernyataan Ammar karena ia sendiri tahu betul bagaimana penyakit itu sudah menggerogoti tubuhnya. Dan kemungkinan terbesar ia memang akan pergi untuk selamanya meninggalkan apa yang ia miliki sekarang.

"Yaudah, aku mandi dulu ya. Nanti kita makan malam bersama-sama!" Ucap Ammar seraya ingin pergi mengambil handuk.

Tapi suara Wina menghentikan langkahnya yang ingin menuju ke kamar mandi.

"Mas..."

"Iya sayang?"

"Bisakah aku meminta satu keinginan mas!"

Ammar berbalik dan mendatangi lagi istrinya. Ia duduk disamping ranjang.

"Keinginan apa? Aku pasti akan mengabulkannya untuk istriku!" Jawab Ammar tulus.

"Jika nanti aku sudah tiada, aku mau kamu menikah lagi mas!" Ucap Wina menahan isaknya.

Ammar terkejut dengan pernyataan Wina. Ia tidak habis pikir istrinya akan mengucapkan itu. Ia pikir selama ini, kalaupun memang kemungkinan terburuk adalah Wina harus meninggalkannya, mungkin Wina akan meminta Ammar untuk tetap sendiri dan fokus dengan pekerjaan dan anak-anak mereka.

"Maksud kamu apa sayang? Kamu jangan bicara begitu. Aku tidak pernah berfikir unt--"

"Iya mas, tapi ini keinginanku dan sudah ku putuskan!"

"Apa yang kamu putuskan?" Tanya Ammar tidak mengerti arah pembicaraan Wina.

Wina membuang wajahnya kearah langit-langit, seolah menahan air matanya agar tidak jatuh. Kemudian ia menghembuskan nafas pelan. Kedua tangannya mencakup wajah suaminya.

"Keputusanku, aku ingin kamu menikahi Kinan, mas!" Ucap Wina mantap.

Ammar sontak berdiri dari posisinya. Wajahnya syok dan merah seperti menahan emosi. Dia tak habis pikir dengan keputusan istrinya itu.

"Mas, ku mohon mas! Kinan adalah wanita yang baik. Dia satu-satunya saudaraku saat ini. Kami sama-sama tidak punya orangtua. Aku ingin menitipkannya kepadamu, mas. Karena aku tau rasanya menjadi seperti dia. Hidupku dan hidup Kinan tidak jauh berbeda!"

Wina dan Kinan adalah saudara jauh yang dibesarkan di desa yang sama. Mereka tumbuh bersama, sampai suatu tragedi bencana longsor di desa menghabiskan rumah, sanak saudara dan terutama orangtua mereka masing-masing. Sejak itulah mereka menjadi yatim piatu.

Tadinya, Wina punya seorang adik lelaki yang usianya tak jauh berbeda dengan Kinan, tapi adiknya meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kecelakaan.

Ammar menggeram dalam diam, ia tidak mungkin marah mengingat kondisi Wina. Tapi ia juga tak mungkin mengiyakan begitu saja.

"Sayang, kamu tau kan Kinan itu sudah ku anggap seperti adik kandungku sendiri!" Kata Ammar pelan setelah mengatur gemuruh emosi didadanya.

Wina mengangguk, dan air matanya tampak menetes.

"Aku tau mas, aku hanya tak bisa melepasmu dengan wanita lain yang tak ku kenali!"

"Kalau begitu, jangan melepasku!"

"Kamu jangan mengingkari takdir mas! Kondisiku sudah tidak memungkinkan, apalagi aku sudah lama tidak memberimu hak sebagai suami."

"Kamu jangan memikirkan itu sayang, fokuslah dengan kesembuhanmu!"

Wina menatap suaminya yang masih berdiri didepannya. Ia menatap dengan matanya yang sudah banjir air mata.

"Aku harap kamu mau memikirkannya, mas. Dan aku akan mengatakan niat ini juga kepada Kinan"

Ucapan Wina ibarat titah yang tidak bisa dibantah oleh Ammar. Ammar mengacak rambutnya.

"Baiklah, aku akan memikirkannya. Kamu jangan terlalu memikirkan ini lagi" jawab Ammar menenangkan Wina.

Ammar pun beranjak untuk mandi. Selesai mandi, Ammar membawa Wina menggunakan kursi roda untuk bisa ikut makan malam bersama di meja makan.

Seperti malam-malam biasanya, semuanya yang ada dimeja makan akan khidmat memakan makanannya. Meja itu terlihat lengkap malam ini karena Wina ikut makan bersama mereka.

"Lesya, kamu harus nurut sama oma, papa dan tante Kinan ya sayang! Shaka juga ya, nak!" Pinta Wina kepada kedua anaknya disela-sela makan malam mereka.

Anak-anak itu pun mengangguk nurut.

"Mama kapan sembuh, ma? Lesya mau mama cepat sembuh biar kita bisa jalan-jalan bersama lagi." Tanya Lesya.

"Doakan mama cepat sembuh ya sayang!" Jawab Ammar ikut masuk dalam pembicaraan istri dan anaknya.

"Iya, Pa. Pasti Lesya doakan mama terus. Lesya sedih liat mama sakit"

"Shaka juga sedih, ma" jawab anak laki-laki berumur 6 tahun itu.

Latifa hanya diam memperhatikan anak, menantu dan cucu-cucunya bersuara. Ia dan Wina tidak begitu dekat, Tapi Latifa menghargai Wina sebagai istri yang dicintai Ammar. Dan lagi, karena Wina telah mengizinkannya untuk tetap tinggal disini bersama mereka.

"Selamat malam" ucap Kinan sembari masuk melewati meja makan untuk menuju kamarnya yang terletak di belakang.

"Loh baru pulang Ki?" Tanya Wina pada Kinan.

"Iya mbak, urusan kuliah mendekati sidang, jadi agak repot. Maaf ya mbak."

"Ya udah, kamu mandi abis itu makan ya."

"Iya mbak."

Kinan pun melangkah menuju kamarnya.

Seperginya Kinan, Latifa mulai membuka suara untuk berbicara.

"Anak itu digaji cuma untuk kelayapan saja!." katanya.

"Ma..." Ammar mencoba menghentikan ucapan mamanya.

"Loh kan bener Mar, biasanya digaji itu ya supaya bekerja. Giat. Ini cuma kesana kemari sama urusannya sendiri. Lah kerjaannya? Gak jelas kan? Buktinya Wina dia tinggal-tinggal terus!"

"Mungkin Kinan memang sibuk ma, tak lama lagi dia akan sidang meja hijau dikampusnya. dan setelah itu dia wisuda loh ma, aku ikut senang. Nggak sia-sia dia kuliah! Jawab Wina sumringah mengabaikan ketidaksukaan mertuanya itu pada Kinan.

"Dia nggak sia-sia. Tapi kalian yang sia-sia mempekerjakan dia!" Celetuk Latifa pelan tapi tetap bisa didengar orang-orang didepannya.

Wina tak mau menjawab lagi ucapan mertuanya karena itu hanya akan memperkeruh keadaan. Ammar tampak mengelus punggung tangan istrinya, menenangkan Wina.

Mereka pun melanjutkan acara makan malam yang sempat tertunda karena obrolan yang sebenarnya kurang enak dibahas dimeja makan.

*****

Sesampainya dikamar, Wina ingin segera mendapatkan jawaban dari Ammar atas keputusannya. Sementara Ammar tampak belum mau memikirkannya.

"Kamu tau kan mas, aku nggak punya banyak waktu untuk menunggu jawaban kamu. Jikalau waktuku tidak sempat mendengar jawaban kamu. Ku harap kamu tetap mau mengabulkan keinginanku. dan kamu sendiri yang akan mengatakannya pada Kinan!" ucap Wina pada Ammar.

Mendengar pernyataan istrinya, Ammar ingin menolak dan kalau bisa Ammar mau marah dengan ucapan istrinya itu.

Ucapan Wina seolah-olah dia akan segera pergi meninggalkan Ammar dan anak-ankanya. Ammar menjadi bimbang dan mendadak pikirannya menjadi kacau. Rasanya, ia tidak bisa tidur nyenyak malam ini.

.

.

.

.

Bersambung...

Permintaan

Hari hari berlalu, tanpa terasa Kinan melaksanakan sidang meja hijaunya hari ini. Tentu saja Kinan merasa bahagia karena sebentar lagi ia akan menyelesaikan kuliahnya.

"Selamat ya Ki, akhirnya perjuangan kamu nggak sia-sia. Aku ikut bahagia Ki, meskipun aku belum bisa sama-sama ikut sidang hari ini" ujar Desi.

"Makasih ya Des, kamu jangan patah semangat ya"

"Abis ini kamu mau lanjut kerja dimana, Ki? Apa kamu mau terusin buat tinggal dirumah saudara kamu itu?"

"Aku udah seleksi perusahaan buat aku kirimin lamaran kerja sih, Des. Dan rasanya aku mau pindah, aku nggak enak tinggal disana terus. Ngerepotin mbak Wina dan Mas Ammar terus, tapi aku juga nggak mungkin pergi gitu aja. Rasanya kok kayak nggak tau terimakasih."

"Ya tapi kan kamu kuliah buat ngejar cita-cita kamu, Ki! Bukan buat terus-terusan kerja disitu!"

"Iya sih, nanti lah aku cari-cari waktu biar bisa ngomong sama mbak Wina. Lagian aku juga mau mandiri."

Kinan memutuskan untuk pulang, ia ingin secepatnya memberitahukan pada Wina soal sidang meja hijau nya yang sukses dan ia akan segera diwisuda.

Ditambah lagi, Kinan ingin menyampaikan rasa terima kasihnya pada Wina serta ia ingin mandiri untuk keluar dari rumah Wina.

Sebenarnya Kinan betah tinggal disana, tapi Kinan mengerti posisinya, dia dipekerjakan Wina karena Wina ingin membantunya.

Kinan ingin merawat Wina lebih lama lagi bahkan sampai Wina sembuh kalau perlu. Tapi Kinan urung karena ia tahu, ia akan selamanya dianggap orang lain dirumah itu. Terutama oleh Nyonya Latifa.

Sesampainya dirumah, Kinan melakukan tugasnya seperti biasa. Mengantarkan makanan Wina dan memberi Wina obat untuk dikonsumsi.

"Makasih ya Ki" ucap Wina setelah selesai menenggak air di gelasnya.

Kinan mengangguk. Wajahnya berubah ragu. Ia ingin membicarakan keputusannya pada Wina.

"Kenapa Ki?"

"Aku mau bicara, mbak."

"Oh iya mbak juga ada yang mau dibicarakan sama kamu."

"Apa itu mbak?"

"Mbak punya keinginan, Ki. Bisa kamu tolong mbak?"

"Keinginan apa, mbak? Aku akan menolong mbak jika aku bisa."

Wina menarik nafas dalam-dalam sembari menghembuskannya.

"Kamu tau, waktu mbak udah nggak lama lagi, Ki."

"Loh kok mbak bicara begitu? Mbak jangan buat aku sedih, mbak!" Jawab Kinan sembari air matanya menetes. Bagaimana pun, bagi Kinan Wina adalah keluarga satu-satunya yang dimilikinya.

Wina mengangguk, ia pun menangis kini.

"Maka dari itu, Ki. Mbak punya keinginan membahagiakan keluarga mbak. Kamu mau membantu mewujudkannya?"

"Maksud mbak apa?"

"Aku mau kalau waktuku sudah habis, kamu menggantikan posisiku Ki, menjadi istri dari Mas Ammar dan Bunda buat Lesya dan Shaka!"

Kinan terperangah mendengar permintaan Wina.

"Mbak, itu bukan suatu permintaan yang dengan gampangnya bisa aku kabulkan buat mbak!" Jawab Kinan hati-hati takut menyinggung Wina.

"Mbak tau, Ki. Mbak sadar! Tapi mbak nggak bisa ninggalin keluarga mbak dengan tenang kalau mereka tidak bersama kamu. Kamu satu-satunya wanita yang mbak percaya."

"Mas Ammar juga sedang mempertimbangkan keinginan mbak ini, Ki." tambah Wina.

Kinan menunduk. Air matanya tak kunjung berhenti. Rasanya amat sesak mengingat permintaan Wina yang bertolak belakang dengan impiannya.

Belum sempat ia mau mengucapkan niatnya untuk bekerja dan keluar dari rumah Wina, tapi Wina sudah lebih dulu mengutarakan keinginannya.

"Jadi mas Ammar sudah dengar perihal ini, mbak?"

Wina mengangguk.

"Iya, tapi dia belum memutuskan. Tapi apapun keputusan dia, tidak akan mengubah keinginanku dan apa yang sudah ku pinta padanya!" Wina membuang pandangannya kearah jendela kamar.

"Kalau begitu, apa aku juga tidak bisa memutuskan keinginanku, mbak?"

"Kalau kamu mau menolaknya, itu hak mu Ki! Mbak juga tidak mau memaksakan kamu. Mbak sadar kamu punya impian dan cita-cita."

"Iya mbak, aku punya keinginan sendiri."

"Tapi tolonglah mbak mu ini Ki, mbak harap kamu tidak mengecewakan mbak atas keputusan kamu!"

Wina memang tidak memaksa Kinan, tapi dari jawaban dan pernyataannya Kinan bisa menangkap bahwa Wina berharap yang sangat besar kepada Kinan.

Kinan sadar, Wina telah banyak menolongnya. Dan apakah dengan cara mengabulkan keinginan Wina, lantas bisa membalas semua yang telah diberikan Wina pada Kinan.

Empat tahun Wina menampung Kinan dirumahnya. Ia memberi Kinan cukup uang untuk kebutuhan dan keperluan kuliah Kinan. Meskipun Kinan dianggapnya bekerja dan semua uang yang diberinya dianggap Gaji untuk Kinan. Tapi sejatinya, Kinan sadar ia bukan bekerja dirumah ini.

Menjaga Wina sama halnya kewajiban Kinan sendiri karena Kinan pun satu-satunya saudara yang Wina punya. Dan Kinan sama sekali tidak terbebani oleh Wina.

Apakah dengan cara ini Kinan bisa membalas budi kepada Wina. Haruskah ia mengorbankan impiannya untuk permintaan Wina ini?

Wina beberapa kali menanyakan Kinan ingin membicarakan apa padanya, tapi rasanya semangat Kinan untuk bercerita soal impiannya tadi lenyap entah kemana. Kinan pun memutuskan undur diri dari hadapan Wina. Ia beralasan ingin memikirkan soal ini lagi dikamarnya saja.

******

Senja telah berganti malam. Menampakkan langit hitam legam yang menutup terang.

Kediaman Ammar dan Wina tampak tenang.

Seperti biasa, Ammar sedang membaca Artikel di Tabletnya. Disampingnya ada Wina yang menonton tv dengan menggunakan kursi roda.

Tampak diruang depan, anak-anak sedang mengerjakan PR didampingi guru les privatnya.

Nyonya latifa sedang berada didapur dengan Irah dan Minah, Asisten rumah tangga yang lain. Mereka sedang menulis daftar belanjaan yang akan di beli esok hari.

Sedangkan Kinan urung untuk keluar kamar, ia memutuskan untuk tetap dikamar memikirkan keinginan Wina.

Kinan begitu galau, bahkan ia belum pernah berpacaran. Kenapa sekarang ia harus dihadapkan dengan permintaan yang mengharuskannya untuk menikah?

Rasanya Kinan ingin melarikan diri saja, tapi mengingat Wina yang berjasa dan banyak membantunya selama ini, Kinan jadi serba salah.

Belum lagi perasaannya terhadap Ammar hanya seperti Adik terhadap Abangnya.

Bagaimana bisa ia harus menikah dengan Ammar? Rasanya Kinan hampir sesak memikirkannya.

*****

Matahari terbit diufuk timur, semua orang bersemangat mengawali pagi yang cerah ini.

Tidak seperti biasanya, hari ini Ammar lebih dulu bangun daripada Wina, ia mau membangunkan Wina tapi ia memutuskan untuk mandi dulu dan membiarkan istrinya itu lebih lama untuk tidur.

Ammar sudah rapi dengan setelan kemeja yang ia pilih sendiri. Kemeja hitam dan celana kain senada dengan bajunya.

Biasanya saat ia sudah siap mandi, Wina sudah menyiapkan pakaian untuk dipakai Ammar. Tapi kini nampaknya berbeda, Wina begitu nyenyak dalam tidurnya.

Seulas senyum dari bibirnya membuat Ammar yang sudah siap ikut menyunggingkan senyumnya melihat istrinya itu.

"Sayang, kamu nggak bangun? Aku mau berangkat kerja ini!" Kata Ammar lembut membangunkan Wina.

Ammar sedikit mengguncang lengan istrinya untuk membangunkannya.

"Sayang, kamu nggak mau bangun? Ini udah siang. Anak-anak pasti udah nungguin kita dimeja makan!" Desaknya.

Melihat tubuh istrinya tidak ada respon, mendadak Ammar terdiam. Ia menatap lagi dengan seksama tubuh istrinya itu. Terlihat Wina amat tenang dalam posisi berbaring, tidak nampak dadanya naik turun untuk menandakan wanita itu sedang bernafas.

Ammar kembali terdiam, mengusir ketakutan dalam dirinya. Mencoba mengabaikan apa yang ada dipikirannya.

Ia menyentuh pipi istrinya. Dingin. Bahkan sangat dingin seperti membeku.

Seketika air mata Ammar pecah. Ia meraung sambil mendekap tubuh istrinya yang tetap kaku terbujur. Ammar sadar kini bahwa Wina telah tiada. Wina pergi dalam tidurnya.

Seperti yang pernah Wina katakan bahwa Wina tidak akan bisa lagi menanyakan keadaan Ammar.

"Maaaa...mama, Lesya, Shaka!" Jerit Ammar dari dalam kamar memanggil keluarganya.

Seketika itu juga semua yang sudah berada dimeja makan terkejut mendengar jeritan Ammar. Mereka berlari tergesa untuk sampai dan masuk ke dalam kamar Ammar.

"Ada apa Mar?" Tanya Latifa.

"Ma, Wina udah nggak ada ma" ucap Ammar yang terduduk dilantai sambil menangis meraung-raung.

Latifa syok menutup mulutnya yang ternganga beberapa detik.

Lesya dan Shaka berlari menuju jasad ibunya. Memeluk dan sedikit mengguncang-guncangkan tubuh Wina. Syok. Dan tidak percaya.

"Mama!!!" Jerit si kecil Shaka.

"Mama nggak mungkin meninggal, ma!" Raung Lesya.

Pagi menjelang siang semuanya berkumpul dirumah Ammar yang sedang berduka. Mulai dari sanak saudara Ammar, tetangga, rekan kerja dan orang-orang yang pernah mengenal mereka.

Kinan merasa tak percaya dengan apa yang terjadi. Keluarga nya satu-satunya kini telah berpulang meninggalkannya. Serta meninggalkan permintaan yang belum lagi bisa terjawab oleh Kinan.

Rasanya baru semalam Wina berbicara empat mata dengan Wina. Mencerna semua permintaan Wina. Wina begitu serius dengan keinginannya. Tapi kenapa sekarang Wina pergi dengan cepatnya? Seolah memaksa agar Kinan segera menjawab permintaannya dengan tindakan.

Ammar dan keluarganya mengantar jenazah Wina ketempat peristirahatan terakhirnya dengan berurai air mata. Kepergian Wina amat sangat menguras air mata Ammar dan anak-anaknya. Tak terkecuali Kinan, yang merasa Wina adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Mereka semua pulang meninggalkan area pemakaman, tapi tidak dengan Ammar. Ammar masih berada dimakam istrinya itu.

"Kenapa kamu begitu cepat meninggalkanku?

Aku rela menukar apa saja untuk bisa mengembalikanmu ke sisiku, sayang!" ucap Ammar terisak-isak.

Ammar terus saja meraung dan mengeluarkan kata-kata yang mengungkapkan rasa tidak ikhlasnya terhadap kepergian Wina.

Kinan yang mau menuju pulang pun begitu terenyuh melihat Ammar dari kejauhan. Ia memutuskan untuk kembali dan mengajak Ammar untuk pulang.

"Kamu harus ikhlas mas, agar mbak Wina bahagia dan tenang disana!"

Ammar mengangguk mengiyakan. Perlahan ia bangkit dan berdiri. Ia menyadari bahwa ada Kinan dibelakangnya.

"Pulanglah mas! nanti kamu bisa kesini lagi. Paling tidak pikirkan anak-anak yang juga merasa kehilangan!" Pinta Kinan.

Ammar mengangguk lagi. Lesu. Tapi akhirnya ia mengikuti langkah Kinan untuk pulang kerumahnya. Ia mengikhlaskan Wina pergi dari sisinya untuk selamanya walau sulit.

Diperjalanan menuju pulang yang dilalui Ammar dan Kinan dengan berjalan kaki, Ammar mengingat permintaan terakhir istrinya. Ia memutuskan untuk sedikit menyinggung hal itu dengan Kinan sekarang.

"Ki?"

"Iya mas?"

"Apa Wina sudah ada mengungkapkan keinginan terakhirnya padamu?"

Kinan yang awalnya fokus memperhatikan jalan didepannya, mendadak menoleh melihat wajah Ammar.

"A-aku baru mendengarnya kemarin dari mbak Wina, mas."

"Lalu apa keputusanmu?" Kata Ammar tersenyum sarkas. Senyum yang amat dipaksakan.

"Aku belum memutuskan, mas!"

"Aku tau permintaan Wina mungkin aneh bagimu. Tapi aku sadar, Wina meminta itu karena dia tau kau adalah orang yang baik dan dia melakukan itu karena dia memikirkan aku dan anak-anakku!"

Kinan mengangguk. Mengerti dan paham dengan maksud Ammar.

"Kalau mas sendiri, apa mas sudah buat keputusan?"

"Aku sudah buat keputusan sekarang!"

"Apa itu mas?"

"Aku akan menikahimu, sesuai permintaan Wina!"

Kinan mendadak memberhentikan langkahnya. Ia mematung. Ia pikir Ammar akan menolak permintaan Wina dan membebaskannya dari rasa balas budi. Tapi kini Kinan tahu bahwa Ammar tidak mungkin mengecewakan Wina dengan menolak keinginan terakhirnya. Kinan merasa inilah titik balik dari semua impiannya yang harus dikuburnya dalam-dalam.

Bersambung...

Menikah

Seminggu telah berlalu sejak kepergian Wina untuk selamanya. Ammar masih murung dan belum melakukan aktifitasnya untuk bekerja. Anak-anaknya sudah mulai masuk sekolah setelah tidak mengikuti pelajaran hampir satu pekan. Sedangkan Latifa sekarang sedang menyibukkan diri sebagai pengambil alih kekuasaan dirumah.

Ammar tidak mempedulikan ulah mamanya yang sekarang makin menjadi-jadi. Latifa sudah tidak ada rasa segan lagi terhadap para asisten rumah tangga. Dulu dia hanya sebatas orangtua Ammar. Tapi sepeninggalnya Wina, dia berlagak seorang Nyonya besar dirumah Ammar.

"Irah!!!!!!" Jerit suara Latifa dengan lantang memanggil asisten rumah tangga itu.

"Iya, Nyonya?" Jawab Irah sedikit berlari lalu membungkuk.

"Saya kan sudah bilang, kalian pandai-pandailah merawat rumah ini. Lihat meja kaca ini? Kapan terakhir kamu mengelap nya?" Ucap Latifa seraya tangannya mencolek meja kaca.

"Ma-maaf Nyonya. Saya akan bersihkan sekarang juga!"

"Oh iya, itu bunga-bunga dihalaman juga jangan lupa kamu siram!" Perintah Latifa lagi.

"Baik Nyonya"

"Hmm bagus! Mana Kinan?"

"Kinan sudah berangkat Nyonya"

Latifa pergi meninggalkan Irah yang masih berada ditempatnya. Ia masuk kedalam kamar Kinan, membuka lemarinya dan mengeluarkan semua baju-baju Kinan dari dalamnya.

Ammar yang hendak menuju ruang depan sehabis berolahraga dibelakang rumah, tidak sengaja melihat ulah mamanya itu.

"Mama sedang apa ma?" Tegur Ammar.

"Eh, kamu Mar. Abis ngapain?" Ia bertanya pada Ammar mencoba mengalihkan perhatian Ammar.

"Aku habis olahraga dibelakang, ma. Aku mau menyibukkan diri biar nggak nangisi Wina terus."

"Oh, baguslah Mar. Memang harusnya begitu."

"Eh iya, mama ngapain disini? Kinan bukannya udah berangkat ya?" Tanya Ammar seraya melihat keadaan rumahnya yang sudah tiada Kinan.

"Mama mau anak ini tidak usah lagi tinggal disini, Mar!"

Ammar tidak begitu terkejut dengan jawaban mamanya. Karena ia tahu, bahwa mamanya tidak begitu menyukai Kinan. Tapi ia tak menyangka mamanya tega untuk mengusir Kinan, bahkan mengeluarkan baju-bajunya dari lemari seperti ini.

"Ma, tidak usahlah sampai seperti ini. Lagi pula Kinan tidak akan keluar dari rumah ini, ma!" Ucap Ammar dengan nada lembut untuk menenangkan mamanya.

"Loh kenapa? Kinan itu disini dulu untuk menjaga Wina. Sekarang untuk apa dia disini? Nggak berguna! Jangan bilang juga kamu tetap mau kasih dia uang sebagai gaji. Ingat Ammar, Dia bukan pekerja seperti Irah dan Minah dirumah ini!" Suara Latifa agak meninggi memperingatkan Ammar.

Ammar menghembuskan nafasnya pelan.

"Justru karena dia bukan pekerja dirumah ini ma, kita nggak bisa buat dia seperti ini. Dia masih ada hubungan saudara dengan Wina"

"Ya tapi kan Wina sudah nggak ada, Mar!" Ceplos Latifa.

"Cukup ma!" Tegas Ammar.

Lalu Ammar diam menahan rasa berkecamuk di dadanya karena ucapan Latifa yang dengan gampangnya mengatakan Wina sudah tiada. Kata-katanya begitu menusuk Ammar yang masih sulit melepas kepergian Wina.

"Kinan akan tetap disini, ma! Kinan sudah diamanahkan Wina kepada Ammar. Dan Ammar harus bertanggung jawab atas hidup Kinan!" Sambung Ammar.

"Mama tidak setuju, Ammar! Dia oranglain bukan siapa-siapa kita. Pokoknya dia harus keluar dari rumah ini. Kalau perlu hari ini juga!" Jawab Latifa tidak terima.

"Dia tidak akan kemana-mana, ma. Lagipula--" ucap Ammar ragu-ragu.

"Lagi pula apa?" Tanya Latifa lagi.

"Lagipula Ammar sedang mengurus keinginan terakhir Wina. Wina menitipkan Kinan kepada Ammar ag--" ucapan Ammar terputus.

"Tidak bisa Ammar! Sudah cukup dia jadi benalu dan jadi beban buat kamu!"

"Tapi ma, Wina meminta Ammar untuk menikahi Kinan!" Suara Ammar tidak kalah tegas dari Latifa.

"Apa?" Latifa syok.

"Itu permintaan terakhir Wina, ma!"

"Tidak Ammar! Lebih baik kamu usir dia daripada kamu turuti kemauan istrimu yang sudah tiada!"

"Cukup ma! Tolong mama hargai permintaan Wina. Paling tidak mama hargai aku ma! Aku mencintai Wina. Meskipun Wina sudah tiada, aku berusaha tidak mengecewakan dia!" Tegas Ammar.

Latifa diam mengepalkan tangannya, percuma dia mengajak Ammar untuk berdebat sekarang. Ammar akan tetap marah dan malah akan melawannya. Latifa menghentakkan kaki dan melangkah meninggalkan Ammar didepan pintu kamar Kinan.

*****

Rumah asri itu tampak ramai, banyak mobil terparkir dipekarangannya yang cukup luas.

Didepan pintu masuk terhampar bunga-bunga sebagai hiasan. Lampu-lampu bertengger rapi, serta didalam ruangan yang cukup luas itu sudah disertai dekorasi yang apik. Hiasan sederhana namun tetap indah dipandang mata.

Baru saja dua orang insan manusia telah resmi menjadi sepasang suami istri.

Ya, akhirnya Kinan dan Ammar menikah. Setelah 5 bulan lebih kepergian Wina. Meskipun dengan berbagai spekulasi yang hadir dari berbagai pihak. Dan tentu saja dengan Latifa yang tetap menentang keras pernikahan mereka.

Seusai acara yang hanya dihadiri oleh kerabat dekat itu, Latifa meminta Kinan untuk segera berbenah. Meskipun Ammar enggan mengizinkan karena masih ada beberapa kerabat, tapi Latifa tidak peduli.

"Kau pikir, setelah kau menikah dengan Ammar kau akan menjadi Nyonya? Itu tidak akan pernah terjadi! Kehidupanmu yang sesungguhnya baru dimulai sekarang!" Batin Latifa.

Latifa memperhatikan gerak-gerik Kinan yang sekarang sedang mengangkati gelas-gelas bekas tamu diruang depan.

Hari menjelang sore, namun tiada tanda-tanda pekerjaan Kinan akan berakhir. Latifa sengaja menyuruh Irah dan Minah untuk fokus dengan kerjaan mereka masing-masing. Agar Kinan sendiri yang mengurusi rumah.

Irah sedang berbelanja untuk kebutuhan makan malam. Karena makanan yang ada di acara pernikahan tadi hanya dipesan secukupnya melalui jasa catering.

Sedangkan Minah, sedari tadi sibuk dengan Anak-anak. Membujuk Lesya yang kesal karena pernikahan Papa nya. Dia belum menerima keputusan papanya. Dan juga menjaga Shaka yang sibuk berlari kesana kemari karena banyak anak-anak kerabat yang seusia dengannya.

Jadilah Kinan dengan segudang pekerjaan yang tiada henti seusai acara. Ia harus membersihkan rumah yang berantakan dan mencuci piring yang tiada habisnya.

"Istirahatlah, Ki! Kau sudah mengerjakan itu dari siang tadi" ucap Ammar yang memperhatikan Kinan sedari tadi.

"Iya, mas. Sedikit lagi rampung."

Ammar pun mengangguk sembari pergi meninggalkan Kinan entah mau kemana.

Kinan menyiapkan pekerjaannya, peluh sudah menetes dan badannya terasa sangat lengket. Setelah memastikan semuanya siap dan bersih, ia memutuskan untuk mandi.

Kinan masih menempati kamarnya yang lama dibelakang. Bahkan baju-baju dan barang-barangnya enggan untuk dia pindahkan ke kamar utama.

Meski kini ia sudah berstatus sebagai istri Ammar namun Kinan merasa sangat gundah. Ia merasa tertekan karena sama sekali belum ada perasaan untuk suaminya itu.

Selama ini ia pun menganggap Ammar sudah selayaknya kakak lelakinya. Tapi kenyataan dan hutang budi yang sudah terlanjur membawanya ikut arus menjadi istri dari Ammar.

"Semoga suatu saat nanti aku bisa mencintainya, begitupun mas Ammar kepadaku. Aku hanya perlu menjadi istri yang baik dan patuh" batin Kinan.

💠💠💠💠💠

Menjelang malam hari, semua sudah berkumpul dimeja makan seperti biasanya.

Tapi tentunya dengan status yang berbeda untuk Kinan dan Ammar. Keduanya terasa canggung.

Kinan mencoba mencairkan suasana dengan mengambilkan Ammar nasi serta lauk-pauk.

"Tidak usah Ki, biar aku saja!" Ucap Ammar sembari mengambil piring dari tangan Kinan dan mengambil lauknya sendiri.

Kinan beralih ke anak-anak, ia hendak mengambilkan Shaka dan Lesya lauk.

"Lesya Nggak mau sama tante Kinan! Lesya benci sama tante Kinan!" ucap gadis kecil berumur 9 tahun itu.

Kinan diam dan menunduk. Ia tidak berani menatap siapa pun. Suasana hening seketika.

"Kamu tidak boleh seperti itu, Lesya. Tante Kinan bermaksud baik!" Suara Ammar memecah keheningan.

"Biarin aja, Mar. Lagian ngapain sok mau ambilin Lesya. Sok mau jadi ibu yang baik, gitu?" Suara Latifa menyindir.

Akhirnya Kinan beralih ke anak bungsu suaminya.

"Shaka mau pakai apa?" Tanya kinan lembut pada anak lelaki itu.

"Shaka pakai ayam goreng aja, Tante!" Jawab Shaka dengan polosnya.

Kinan pun mengambilkan Shaka nasi berserta ayam goreng.

"Pakai sayur juga ya!" Pinta Kinan pada Shaka.

Hampir saja sayur itu disendokkan Kinan untuk masuk kedalam piring kepunyaan Shaka, namun Ammar menghentikan tangan Kinan.

"Shaka tidak bisa makan itu. Dia alergi Seafood. Itu sayurnya ada udangnya!" Kata Ammar menjelaskan.

Kinan mengangguk, akhirnya ia diam dan memulai untuk makan. Semua mulai memakan makanannya. Tapi tiba-tiba suara Latifa muncul menyindir Kinan.

"Gimana mau jadi ibu yang baik? Lah anak alergi makanan saja tidak tahu! Sindir Latifa.

"Aku akan pelan-pelan belajar mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dimakan anak-anak, Nyonya!" Jawab Kinan Lembut.

"Ya baguslah, bukan cuma apa yang boleh dan tidak. Kamu juga harus tau apa yang mereka suka dan tidak suka. Lebih lagi kamu harus tau apa kebiasaan mereka!" Ketus Latifa.

"Iya, Nyonya" jawab Kinan patuh.

"Kinan, kamu jangan memanggil mama dengan sebutan Nyonya lagi. Itu sebutan lama, panggil mama. seperti aku juga memanggil mama begitu!" Pinta Ammar pada Kinan.

"Aku, e--aku" suara kinan terdengar ragu-ragu bercampur takut.

"Tidak perlu! Aku tidak pernah menganggapmu menantuku! Bersikaplah sewajarnya, sama seperti dulu!" Jawab Latifa ketus.

"Tapi, Ma? Kinan sekarang adalah istriku." Ammar mencoba membujuk.

"Sekali tidak ya tidak! Lagi pula aku tidak pernah mengiyakan untuk pernikahan kalian!" Ucap Latifa seraya pergi meninggalkan meja makan.

"Lesya juga udah nggak selera mau makan!" Ucap Lesya dan langsung pergi berlalu.

Tanpa terasa airmata Kinan jatuh menetes.

"Maaf ya Ki, kamu sabar dulu. Aku belum bisa bujuk mama dan juga Lesya!" Jawab Ammar seraya ia juga pergi menuju kamarnya.

Kinan kini hanya berdua dengan Shaka dimeja makan. Kinan menghapus airmatanya, dan fokus menyuapi Shaka makan. Sementara dirinya sendiri, sama seperti yang lain, sudah tidak berselera untuk makan.

"Tante, kenapa semua orang marah-marah?" Tanya Shaka yang polos.

"Tidak apa, Shaka jangan memikirkan itu ya. Itu urusan orang dewasa!" Jawab Kinan lembut seraya mengelus rambut Shaka. Shaka memang selama ini cukup dekat dengannya.

Seusai menyuapi Shaka makan, Kinan memutuskan masuk ke kamarnya di belakang. Ia terlalu malu untuk pindah ke kamar utama karena bahkan Ammar yang sudah menjadi suaminya saja saat ini tidak pernah mengutarakan dan meminta Kinan untuk pindah ke kamarnya.

******

Hari-hari berlalu, semuanya masih tampak sama. Kinan dengan kesehariannya mengurus rumah saja. Karena sebelum menikah ia sudah lulus kuliah dan di wisuda, Ia sudah menyandang status sarjana sebelum hari pernikahannya bersama Ammar kemarin.

Setiap hari, pekerjaan Kinan sudah layaknya asisten rumah tangga. Bahkan lebih parah dan seperti tidak ada habisnya.

Jika ART yang lain memang punya bagian masing-masing, itu tidak berlaku untuk Kinan. Kinan benar-benar diperbudak dan dimanfaatkan oleh Latifa.

Ammar terkadang memang membela Kinan. Hanya saja, Ammar terlalu sibuk mengurus pekerjaannya dan menata hatinya kembali setelah kepergian Wina.

Lesya masih saja tidak bisa dibujuk dan makin keras kepala. Ia menganggap Kinan adalah orang yang telah merebut papa nya darinya dan dari Almarhum mamanya.

hanya Shaka yang kadang menjadi penyejuk untuk Kinan, karena tingkahnya yang polos dan terkadang lucu.

Kinan berusaha untuk kuat dalam kondisi ini. Tapi ia sering merasa tak sanggup karena hanya statusnya saja yang sebagai istri. Tapi kenyataannya ia seperti orang asing yang menumpang dirumah ini.

"Oh jadi ini istri barunya Ammar, tante?" tiba-tiba suara wanita mengagetkan Kinan yang sedang fokus menyuapi Shaka makan siang diteras belakang rumah.

Kinan tidak mengenal siapa wanita itu. tapi dari gelagatnya sepertinya ia tak menyukai Kinan.

"iya, inilah istri yang dipilihkan Wina untuk Ammar. Padahal Wina sudah meninggal tapi bisa-bisanya Wina memberi Ammar beban dirumah ini!" cecar Latifa.

Kinan mencoba untuk sabar, tapi batinnya tidak terima.

"Maaf Nyonya, jika Nyonya menganggap saya beban tidak apa-apa. Tapi jangan bawa-bawa Mbak Wina kedalam rasa tidak suka Nyonya terhadap saya!" jawab Kinan.

Kinan tidak suka Wina yang telah tiada harus dibawa kedalam permasalahan mereka.

"hahaha.. jadi kau sudah berani menjawabku? kau pikir kau siapa? Nyonya dirumah ini?"

"Kau harus ingat, Kinan! bahkan Ammar pun tidak pernah menyentuhmu. jangankan menyentuh, melirikmu pun tidak pernah!" sambung Nyonya Latifa dengan begitu ketus.

"Jadi Ammar tidak menganggapnya istri, tante?" tanya wanita itu seraya wajahnya dibuat mimik terkejut dan dia menutup mulutnya dengan tangan.

"Tentu saja, dia cuma benalu dirumah ini. Ayo Shirly kita kedepan saja" Jawab Latifa pada wanita yang baru diketahui Kinan bernama Shirly itu.

"Oh iya, buatkan tamuku minuman ya!" ucap Latifa sebelum pergi.

Kinan hanya mengangguk dan menatap nanar Latifa dan Shirly yang berjalan kearah ruang tamu.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!