"Cika ...," teriak seorang wanita paruh baya yang berdecak pinggang. Matanya melotot dan menyala-nyala.
Dengan malas, gadis yang menggunakan celana levis sobek itu memutar bola matanya ke arah wanita paruh baya yang sedang marah itu.
"Ada apa, Bu?" tanya Cika yang masih tidur dengan posisi tengkurap.
"Kamu berantem lagi di sekolah?" Ibu Cika berbalik bertanya. Napas wanita paruh baya itu tidak beraturan, melihat putri semata wayangnya membuat ulah setiap hari di sekolahnya.
"Nggak, siapa yang bilang?"
"Jangan membohongi ibu, tadi wali kelas kamu menelepon Ibu. Kamu itu perempuan kenapa sering sekali membuat masalah. Ibu tidak suka kamu menjadi wanita tomboy seperti ini!" Nada suara ibu Cika naik dua oktaf.
"Cika berantem ada tujuannya–"
"Tujuan apa? Kamu hanya bisa membuat malu ibu saja. Kalau ayahmu sampai mengetahuinya pasti akan marah besar."
"Aku tidak peduli," jawab Cika acuh menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
____
"Cika nggak mau masuk pondok pesantren, Yah!" tolak Cika memohon.
"Keputusan ayah sudah bulat dan tidak akan berubah!" jawab lelaki paruh baya itu, "demi kebaikan kamu, ayah menginginkan kamu menjadi wanita baik bukan seperti ini." Ayah Cika melepaskan topi dan gelang pria dari tubuh putrinya itu.
"Yah ...." Cika berucap memohon kembali. Ayah Cika tidak peduli dengan rengekkan putrinya itu, pria paruh baya itu berjalan ke dalam kamarnya. Sementara, ibu Cika mengangkat bahu acuh, dia tidak tahu berbuat apa-apa lagi. Keputusannya suaminya itu tidak bisa diganggu lagi.
***
Mobil sedan hitam milik Cika sudah tiba di sebuah pondok pesantren. Lantunan ayat suci al-qur'an terdengar begitu indah menyambut kedatangan mereka.
"Cika, nggak mau turun, Bu!"
Cika memperhatikan penampilan yang sangat berubah drastis sekali. Apalagi memakai rok dan jilbab seumur hidupnya ia baru menggunakan pakaian itu.
Ayah dan ibu Cika sudah berjalan terlebih dahulu memasuki pondok pesantren itu. Dengan terpaksa Cika mengikuti kedua orang tuanya yang sudah berjalan duluan.
"Apa aku akan betah di sini? Baru membayangkan saja, aku udah menyerah. Huft ...." Cika mengembuskan napas panjang. Dilihat sekelilingnya banyak santriwati yang memandangnya dan melemparkan senyuman tipis ke arah dirinya. Cika membalas dengan senyuman palsu.
Brugh!
Kepala Cika tanpa sengaja tersandung dengan bahu pria yang menggunakan baju koko dan tak lupa pecinya.
"Hati-hati kalau jalan, mau gue tonjok muka, lo?" Cika mengangkat kepalan tangannya mengancam pemuda berpeci yang ada dihadapannya itu.
"Jaga sikap anti," ucapnya tanpa memandang Cika, lalu mengambil tasbih yang terjatuh ke tanah dan pergi tanpa berkata apapun.
"Dasar pria aneh!" teriak Cika menyumpah serapah.
"Nyoya, meminta Non untuk secepatnya masuk ke dalam," kata pak supir. Cika mengangguk kecil, gadis berjilbab ini masih kesal.
"Sepertinya santri putri baru, Ustaz. Dia tidak mengetahui siapa Anda," ucap pak satpam sopan, pak satpam itu berjalan beriringan juga dengan anak kyai di pesantren itu.
Pria berpeci itu hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Setelah satu jam bercengkrama dengan keluarga besar Kyai Abdullah yang merupakan pemilik pondok pesantren, ibu dan ayah Cika berpamitan untuk pulang. Mereka telah menitipkan dan menyerahkan sepenuhnya putrinya untuk dididik di pondok pesantren milik Kyai Abdullah.
Tentulah berat bagi kedua orang tua Cika berpisah dengan putri semata wayangnya, namun demi kebaikan putrinya itu sendiri. Mereka bukan tidak sayang atau pun tidak sanggup membimbing putrinya untuk menjadi wanita lebih baik. Mereka mempunyai alasan tertentu, pondok pesantren mungkin yang cocok untuk Cika sekarang. Begitulah yang ada di dalam pikiran masing-masing kedua orang tua Cika.
"Bu ...." Cika memeluk erat tubuh Linda di depan pintu gerbang pesantren, "Cika ingin pulang sama Ibu dan Ayah," rengeknya dengan bulir air jatuh di pipinya.
Linda mengusap lembut pipi putrinya. "Kamu akan betah di sini lama-kelamaan, Nak."
"Ibu dan Ayah jahat! Cika nggak akan betah di sini," sahut Cika memohon.
"InsyaAllah, kamu akan betah di sini, Nak." Nyai Hana yang merupakan istri Kyai Abdullah mengusap lembut kepala Cika yang dilapisi jilbab instan hitam.
"Kami akan sering mengunjungimu." Dedi menarik tubuh Cika ke dalam dekapannya. Memberikan kecupan di puncak kepala putrinya, "Buatlah ayah dan ibu bangga kepadamu, Nak. Ayah sangat menginginkan mempunyai anak yang shalihah bukan anak yang tomboy. Ingat itu. Berjanjilah." Ayah Cika mengangkat jari kelingkingnya.
"Cika akan usahakan." Cika mengangkat jari kelingkingnya juga untuk berjanji.
"Cika bangun! Udah subuh, kamu bisa telat sholat berjamaahnya!" Dinda menggerakkan tubuh Cika.
"Yo benar, Cika. Kena hukum kau nantinya ...," sahut Novi membantu Dinda membangun sahabat barunya itu.
Mereka bertiga baru kenalan semalam, Novi dan Dinda menyukai kepribadian Cika yang harmonis, dan sangat mudah bergaul dengan siapa pun. Walaupun anaknya agak rese' dan keras kepala. Mereka berdua yakin Cika gadis yang baik.
"Hoam!" Cika menguap satu kali lalu menggeliatkan tubuhnya. Gadis ini menarik selimutnya lagi untuk melanjutkan tidurnya. Sangat tidak biasa baginya bangun pagi-pagi.
"Woy, Cika bangun!" Dinda berteriak di telinga Cika.
"Aku masih ngantuk, Din. Kalian berdua pergi aja, aku nggak bisa. Mau tidur lagi," sahut Cika dengan suara khas bangun tidur. Menutup kupingnya karena teriak Dinda cukup keras.
"Astagfirullah Cika, ini baru hari pertama kamu masuk pondok. Jangan buat kesalahan." Novi mengelus dada melihat tingkah sahabat barunya itu.
Novi dan Dinda berbisik mencari ide agar bisa membangunkan Cika.
"Kepada seluruh santri putra dan putri segera datang ke masjid. Sholat subuh sebentar lagi dilaksanakan." Suara ustadz Hafid dari pengeras suara masjid.
"Owalah, Ustaz Hafid jadi imam subuh ini, Din?"
"Iya, makanya kita harus cepat-cepat pergi."
Novi dan Dinda mengangkat tubuh Cika paksa pergi ke kamar mandi.
Cika mengucek matanya. "Aku masih ngantuk, lagi pula aku nggak bisa shalat. Aku udah lupa sama bacaannya." Cika menyenderkan tubuhnya di dinding kamar santri putri.
"Wes nggak apa-apa, nanti kami akan ajarin."
"Sepuluh ...." Suara hitungan mundur terdengar di masjid. Menjadi peringatan kepada seluruh santri untuk sudah ada di masjid sebelum sampai hitungan satu.
"Cika kami duluan, kamu cepatan mandinya."
"Iya, Cika. Kami tunggu di masjid ya."
Dinda dan Novi yang sudah mengenakan mukena itu lari terbirit-birit segera mengambil sajadahnya.
Cika menganguk kepala kecil, bersikap bodoh amat saat melihat seluruh santri putri bergegas pergi dengan terburu-buru kecuali dirinya yang bersikap santai.
***
"Santri putri yang baru saja datang silakan maju ke depan." Ustaz Hafid yang sedang memberikan ceramah setelah selesai melaksanakan shalat subuh itu pandangannya teralihkan pada gadis yang berjalan malas-malasan masuk ke masjid.
Seluruh santri menengok ke satu objek yang menjadi pusat perhatian, siapa lagi kalau bukan Cika. Dia terlambat datang dan tidak melaksanakan sholat subuh berjamaah.
Novi dan Dinda yang duduk di shaf kedua wanita menepuk jidatnya saat melihat Cika yang dimaksud Ustaz Hafid.
"Dia akan malu pagi ini, Din," bisik Novi pelan.
"Bukan hanya malu tapi dihukum juga, Vi," sahut Dinda.
Cika melangkah kakinya santai maju ke depan tanpa peduli dia menjadi pusat perhatian seluruh mata di dalam masjid.
"Santri baru kok telat?"
"Belum biasa, Taz," sahut Cika tanpa merasa bersalah dengan omongannya.
"Berdiri sampai saya selesai berceramah!"
Para santri hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Cika. Baru pertama kali ini ada seorang santri putri yang berani menjawab pertanyaan Ustaz Hafid dengan nada tidak sopan.
"Hah? Pegalah kakiku, Ustaz. Duduk aja, ya?" tawar Cika.
"Tetap berdiri!" final Ustaz Hafid.
Pemuda itu cepat-cepat mengucapkan istighfar dalam hatinya. Baru kali ini dia bertemu dengan santri putri yang memiliki sikap seperti Cika.
"tu kan pria aneh yang menabrakku kemarin. Jadi dia ustaz," gumam Cika.
****
Cika mengelap keringat di wajahnya secara kasar, ia menerima hukuman dari Ustaz barunya yang bernama Ustaz Hafid itu. Dia disuruh untuk menyapu halaman perpustakaan di pondok pesantren itu.
Cika mencebik kesal, sapu lidi yang dipegang, dia remas meluapkan kekesalannya.
"Sapu yang benar, mau saya tambah hukuman kamu?" tanya Ustaz Hafid.
Cika membungkukkan badannya lalu mengambil batu kecil di tanah.
Tuk!
Lemparannya tepat sasaran mengenai tulang kering pria yang berdiri tidak jauh di hadapannya.
"Hahaha ... sakit nggak, Ustaz?" Cika tertawa mengejek, melepas sapu lidi ditangannya lalu berlari secepat kilat dari hadapan Ustaz Hafid.
'Rasain emang enak, jadi ustaz makanya jangan garang amat,' gumam Cika saat berlari, ia terus tertawa kemenangan. Puas baginya melihat raut wajah kemarahan di wajah ustaz barunya itu.
Cika sampai di depan asrama putri dengan napas ngos-ngosan.
"Abis dikejar setan, Cika?" tanya heran Novi di ambang pintu.
"Bukan setan, Vi. Tapi dikejar sama Ustadz Hafid."
Cika mengambil sebotol air mineral kemasan di tangan Dinda lalu diminum dengan rakusnya.
"Hah?" Novi dan Dinda kaget bersamaan.
"Jangan cari masalah mulu kamu, Cika." Novi memijat pangkal hidungnya melihat tingkah sahabat barunya.
"Aku nggak cari masalah Vi, Ustadz Hafid ngeselin sih. Tadi buat aku malu terus dihukum. Pengin aku cekik tuh leher ustadz, sekate-katenya main nyuruh."
"Awas kamu jatuh cinta, Cika," timpal Novi.
"Nggak bakalanlah, bukan tipe aku mah tuh, ustadz!"
"Aku aja kagum sama ustadz Hafid. Pengen jadi imamku nantinya," tutur Dinda.
"Ustadz Hafid baru aja pulang dari Mesir, kamu tahu dia menjadi dambaan setiap santri putri. Udah ganteng, ilmu agamanya sangat tinggi."
"Jangan bilang kalian juga suka sama tuh ustadz?" tanya Cika penasaran.
"Kami nggak suka, cuman kagum aja dengan kepribadian Ustadz Hafid," sahut Dinda.
"Oh ... perasaan nggak ada cakep-cakepnya. Biasa aja sih," cibir Cika.
"Cika, di belakang kamu tuh ...." Dinda memberikan kode melalui kedipan matanya agar Cika peka.
"Apaan?" Netra Cika menatap ke arah belakang. Ustadz Hafid sudah berdiri tegak di sana.
Cika langsung berlari ke kamar mandi untuk bersembunyi. Ia menghindari kemarahan Ustadz Hafid pada dirinya.
"Aku sakit perut, Ustadz!" teriak Cika berbohong dari kejauhan.
"Ustadz Hafid, kami permisi dulu," ucap Novi dengan sopan. Novi menarik tangan Dinda untuk pergi menjauh. Mereka tidak ingin kena imbasnya juga.
Ustadz Hafid mengelus dadanya menghadapi Cika, sedetik kemudian bibirnya terangkat menyungging senyum tipis.
'Dasar santri nakal,' gumam ustadz Hafid berjalan menuju ruangannya.
Setelah memastikan Ustadz Hafid sudah pergi Cika keluar dari persembunyiannya. Ia mengambil benda pergi di dalam saku gamisnya.
"Kita foto bareng, yuk!" ajak Cika antusias kepada seluruh teman-temannya yang ada di dalam asmara putri. Dia membuka aplikasi 'camera' di handphonenya itu.
Novi merampas handphone milik Cika. "Kenapa belum nyerahin handphone kamu, Cika?Ustadzah Laili sudah bilang tadi, kan?"
"Sudah sih, tapi aku nggak mau, handphone ini segalanya bagiku!" Cika merebut kembali handphone di tangan Novi.
Cekrek!
Cekrek!
Cika sudah mengambil foto dengan pose yang berbeda-beda dengan teman-teman barunya.
"Sekarang kita foto cuman bertiga." Cika menarik tangan Novi dan Dinda untuk berdiri di sampingnya.
"Tolong fotoin kami, yah," pinta Cika pada seorang santri putri.
Novi dan Dinda dengan berat hati menuruti keinginan Cika. Mereka berdua sungguh pusing dan frustrasi menghadapi tingkah sahabatnya itu.
"Di sini nggak boleh main handphone Cika, nanti kamu akan dihukum. Kamu nggak capek dan bosan dihukum terus?" Dinda bertanya sengit.
"Kalau kalian nggak ember mulut, Ustadzah Laili nggak akan tahu kok," jawabnya santai sembari duduk di ranjangnya.
"Terserah kamu deh," jawab mereka berdua kompak dan pasrah.
****
"Perutku sakit!" Cika merintih kesakitan saat berjalan menuju kelas. Dia menunduk memegang perutnya. Novi dan Dinda yang berjalan beriringan dengan Cika otomatis menghentikan langkahnya.
"Cika, kamu belum sarapan pagi ini." Dinda tampak khawatir, saat Cika semakin menjerit kesakitan.
"Kamu keras kepala sih Cika, nggak mau sarapan."
"Bukan saatnya menyalahkan Cika, minta bantuan cepat, Vi!" suruh Dinda, dia segera memangku kepala Cika yang sudah nyaris tidak sadarkan diri itu.
Novi berlarian kecil, kebetulan dia berpapasan dengan Ustadz Hafid saat menuju ke UKS.
"Assalamu'alaikum, Ustadz," salam Novi sopan.
"Wa'alaikumussalam. Kenapa kamu seperti sangat ketakutan?" Ustadz Hafid bertanya heran.
Novi gugup, dia mengambil napas dalam-dalam. "Maaf, Ustadz. Tolong bantu teman saya. Dia pingsan di sana!" Novi menunjuk ke arah Cika dan Dinda yang tidak jauh darinya.
"Innalilahi ...."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!