Prang.....
Entah untuk yang ke berapa kalinya, makanan yang Melati bawa tak lagi memiliki makna berharga di mata Faisal Heri Winata,suaminya sendiri. namun, Melati tetap bertahan menghadapi sifat dingin suaminya dalam kurun waktu hampir setahun lamanya.
Sebelas bulan yang lalu, sebuah kejadian menyedihkan menimpa Faisal. Melati yang memang mencintai Faisal, dirinya datang pada keluarga Faisal yang memiliki trah ningrat.
Bukan tanpa alasan, Melati sudah tak bisa berpikir jernih, cintanya pada Faisal rupa-rupanya membuatnya mengada-ada di hadapan keluarga Faisal yang merupakan keluarga bermartabat tinggi.
"Sudah berapa kali ku katakan, aku nggak mau kamu menyiapkan apapun untuk keperluanku?
Apa matamu buta?
Apa telingamu tuli?
Apa otakmu nggak lagi memiliki fungsi?"
Faisal berucap dengan nada dingin.
Bagi Melati yang sudah terbiasa dengan perlakuan Faisal, ia hanya diam dengan wajah datar, meski pendar kepedihan jelas terpancar dari netra matanya yang senantiasa sembab setiap pagi
"Mas, kamu boleh membenciku, tapi tolong...
Jangan siksa dirimu dengan tidak mau makan begini. Makanlah barang sedikit saja.
Setelahnya, kamu boleh berangkat kerja".
Melati mencicit lirih. Suaranya menyerupai bisikan angin.
Bohong bila dirinya tak merasa tertekan tiap kali dia berhadapan dengan Faisal. Ia seakan seperti binatang yang dikuliti habis-habisan oleh Faisal hanya dengan sorot mata tajam Faisal yang menatapnya penyluh kebencian.
"Kamu mengaturku?".
"Eng--enggak..... tap.... Tapi...."
"Minggir, jangan halangi saya. sudah berapa kali saya katakan, jangan pernah mencampuri urusan ku".
Faisal berlalu pergi. Langkahnya lebar dan mantap. Setibanya di ruang tengah, dirinya mendapati mbok Ijah sedang membersihkan meja televisi.
Dengan berdaham sebentar, Faisal memanggil mbok Ijah yang tak menyadari keberadaannya.
"Mbok, sini mbok".
Faisal memanggil pembantu rumah tangga yang ia bawa dari kediaman orang tuanya. Mbok Ijah sudah mengabdi pada keluarga Winata selama bertahun-tahun lamanya semenjak Faisal masih balita.
"Injeh, ndoro".
Dengan senyum ramah di wajah yang sudah mulai keriput itu, bi ijah menghampiri Faisal dan duduk di lantai yang beralaskan karpet.
"Duduk di kursi saja, mbok".
Pinta Faisal pada mbok Ijah yang selalu duduk di bawah. Meski kedudukan mbok Ijah sebagai pembantu, namun Faisal tetap menghargai mbok Ijah sebagai orang yang lebih tua dan patut di hormati.
Di sinilah kelebihan Faisal, tidak pernah membeda-bedakan strata sosial dengan siapapun. Toh baginya semua sama.
"Ada yang bisa simbok bantu, ndoro?".
Faisal tersenyum hangat pada mbok Ijah. Jemari kanannya mengambil sebuah kertas kecil yang ia selipkan pada kantong celananya di sebelah kanan, kemudian menyerahkannya pada wanita paruh baya di hadapannya itu.
"Ini daftar tugas yang harus wanita itu lakukan dalam seharian ini, mbok. Ingat....
Saya nggak mau kalau wanita itu berdiam diri di rumah menikmati harta saya dengan nyaman.
Dia harus mengerjakan tugas yang saya catat itu. Jangan sampai simbok membohongi saya, karna tiap sudut rumah ini, saya sudah memasangnya dengan cctv".
Di balik bufet, Melati berusaha menggigit bibirnya agar isakan tak lolos dari bibirnya yang gemetaran.
**
Hari sudah merambah malam. Senja mulai tenggelam di ufuk barat. Mentari yang seharian ini bergantung pada langit dengan angkuhnya, kini mulai tenggelam menuju peraduannya. Suara desah angin serta gesekan ranting angin dan dedaunan di halaman belakang, mulai membawa hawa sejuk.
Di halaman belakang, Melati Aruna sari tengah menyelesaikan pekerjaannya menanam dan menyiram beberapa sayuran serta beberapa jenis bunga. Meski letih karna seharian Faisal, sang suami memberinya begitu banyak pekerjaan, namun tak sedikitpun dirinya mengeluh.
Semua di jalaninya dengan suka cita. Tak sedikitpun ia biarkan fisiknya lemah di hadapan Faisal. Ia hanya ingin dirinya segera menyelesaikan pekerjaan dan beristirahat.
Usai pekerjaannya beres, Melati segera bangkit dan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Tak kan Melati biarkan dirinya dalam keadaan lusuh ketika menyambut suaminya pulang kerja nanti.
Dengan wajah yang lelah namun penuh semangat, Melati bergegas menyelesaikan mandinya dan memoles wajahnya dengan sedikit sentuhan make up.
Tepat ketika jemarinya meletakkan lipstik, rungunya tetiba menangkap suara deru mobil memasuki halaman rumahnya.
Bukan....
Melainkan rumah kediaman suaminya.
Faisal......
Bahkan pria itu tak Sudi bila siapapun yang menyebut ini adalah rumahnya bersama Melati. Bagi Faisal, rumah ini adalah kediaman miliknya sendiri. Melati hanyalah sebuah benalu yang selalu merepotkan dirinya.
Mengingat hal ini, membuat Melati tersenyum pahit.
Tak ingin berlama-lama membiarkan dirinya di dalam kamar, Melati segera bangkit dan menuju pintu utama untuk menyambut kedatangan suaminya.
Meskipun nanti penolakan dan sikap dingin Faisal padanya yang akan ia dapatkan, Melati akan menerimanya dengan senang hati. Melihat wajah Faisal yang tampan saja, membuat nya bahagia luar biasa.
"Mas sudah pulang?"
Langkah Faisal terhenti dan menatap tajam Melati. Hal ini tentu bukanlah hal yang tabu bagi Melati. Bahkan ucapan-ucapan hingga makian-makian kasar acap kali melati terima.
Dengan menunduk, Melati siap andai setelah ini Faisal akan memaki dan melemparinya dengan apapun. Seperti yang seringkali Faisal lakukan padanya. Tak jarang, dirinya di lempar oleh sepatu bekas di pakai Faisal.
"Apa matamu buta?"
Hanya itu yang Faisal katakan sebelum ia berlalu pergi. Meninggalkan melati yang sesegukan di tempatnya tanpa berniat beranjak dari sana.
Dengan langkah tertatih, melati memantapkan langkahnya menyusul Faisal ke dalam kamarnya. Dirinya sudah bertekad akan berbicara dengan Faisal, meluruskan kesalahannya di masa lalu sebelum pernikahan mereka di langsungkan.
Dengan gemetar, melati mengetuk pintu Faisal pelan. Berharap suaminya itu bersedia memberikan waktunya sepuluh menit saja untuk melati.
Melati sudah memantapkan niatnya kali ini.
Baru ketukan ke dua, pintu terbuka dari dalam. Faisal yang niat awalnya akan menemui mbok Ijah, kini urung karna melihat wanita yang paling di bencinya telah berdiri di hadapannya dengan mata sembab.
Kasihan? Atau iba?
Jangan harap, sejatinya Faisal tak ingin ini terjadi. Sayangnya, Melati lah yang mematik api kebencian dalam diri Faisal hingga berkobar. Membakar seluruh hati dan nurani yang selama ini Faisal miliki untuk wanita itu.
"Jangan menghalangi langkahku, pergi sana!!"
Usir Faisal pada Melati.
"Mas, aku mohon. Beri aku kesempatan satu kali lagi. Biarkan aku bicara padamu. Tolong mas, tolong. Setelah ini kamu berhak ngelakuin apa aja."
Sejujurnya, Faisal tak ingin mendengar apapun lagi penjelasan dari Melati. Toh semua sudah terjadi dan penjelasannya tak akan merubah apapun. Apalagi kini Faisal telah menikahi melati. Dan menikahi melati, Faisal lakukan karna keterpaksaan.
"Aku nggak Sudi ketemu kamu.".
Dengan perasaan dongkol, Faisal mendorong pintu hingga nyaris tertutup andai melati tak segera mendorong keras dan memberanikan diri masuk ke kamar Faisal.
"Biarkan aku masuk biar aku segera keluar dari sini secepatnya.".
Ungkap melati dengan air mata yang kembali luruh.
Dengan kilat amarah yang berkobar pada netra matanya, Faisal menjauhi melati, menduduki meja kerjanya dan melipat ke dua tangan di depan dadanya. Menunggu tanpa kata, tentang apa yang akan wanita itu kataka padanya.
"Sampai kapan mas akan bersikap seperti ini? Kita suami istri, mas. Tapi kenapa mas nggak pernah memperlakukan aku sebagai istri kamu? Setidaknya, buka hatimu sedikit saja buatku."
Ucap melati di sela-sela suaranya yang tersendat-sendat karna tangis.
"Apa mau kamu? Katakan secara gamblang, aku tak suka orang yang hobi bertele-tele seperti kamu".
"Kamu selalu kasar sama aku meski aku udah mengabdikan hidupku di samping kamu.
Aku mencintaimu, mas. Tapi sedikitpun kamu nggak menyentuh aku, istrimu".
"Kau mau aku menyentuhmu?
Baiklah, jangan menyesal karna setelah ini, ku pastikan kamu akan menyesali ucapanmu sendiri."
Dalam tangis yang tergugu, melati memasrahkan semuanya pada Tuhannya. Menguatkan hati agar tetap sabar menghadapi sikap suaminya.
Maka, dengan kasar Faisal menyeret melati dan melemparnya ke atas ranjang, dan di detik berikutnya.........
...
...
...
Melati hanyut dalam duka.
Menangisi dirinya yang di perlakukan sangat hina oleh suaminya sendiri.
Malam pertama romantis dan perlakuan lembut, nyatanya kini seolah hanya menjadi angan saja.
Waktu menunjukkan pukul 02.20 dini hari, namun matanya enggan terpejam.
Usai percintaan.... Oh bukan, bukan percintaan tepatnya, melainkan pemerkosaan oleh suaminya sendiri.
Beberapa jam lalu, Melati di usir dari kamar suaminya hanya berbalut dengan kalin sarung milik Faisal. Dan yang lebih membuat melati merasa terhina, dirinya di dorong paksa hingga tersungkur di depan kamar faisal.
Sebenarnya sungguh sangat ironis ketika melati menyebut bahwa apa yang ia alami adalah murni pemerkosaan, bagaimana tidak?
Toh pelakunya adalah suaminya sendiri.
Lucu. Ini sangat lucu.
Dengan memejamkan mata, Melati membiarkan air matanya luruh ke pangkuannya. Meresapi kesakitannya seorang diri. Bukan hanya tubuhnya saja yang terasa lantak oleh hentakan keras pinggul Faisal semalam, melainkan hatinya pun jua ikut remuk redam.
Ingatannya kembali pada kejadian hampir setahun yang lalu.
Kejadian yang mampu mengantarkannya pada pernikahan bersama Faisal.
Pernikahan yang sering kali Faisal sebut petaka di hadapannya.
~
"Mas...mas Faisal telah.... memperkosa saya, ndoro".
Kalimat itu muncul dengan lancar dan di ucapkan dengan intonasi lirih oleh melati.
Pramono Heri Winata.
Pria paruh baya itu tersentak hebat saat mendengar pengakuan anak dari salah satu abdi nya yang sudah meninggal beberapa waktu lalu.
Pram adalah pria yang tegas dan penuh wibawa. Kharismanya Demian kuat di mata masyarakat sekitar. Sebagai garis keturunan salah satu kerabat dekat keluarga keraton, Pram mendapat kedudukan yang cukup tinggi di mata masyarakat.
Pram tidak habis pikir, bagaimana bisa Faisal bis melakukan hal memalukan seperti ini?
"Bagaimana bisa terjadi hal yang seperti ini, cah ayu? Kenapa harus terjadi sama kamu?"
Tanya Pram lirih, dengan menatap melati penuh kasih layaknya sebagai seorang ayah.
Kemudian pandangan mata Pram beralih pada Fian, putra bungsunya yang menatap Melati dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Panggilkan kang mas mu kemari, Fian".
Titah Pram pada putra bungsunya yang menatap Melati penuh arti.
"Injeh, pak".
Fian masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan Faisal di kamar.
Hingga sosok tegap muncul dan menatap melati dengan alis bertaut.
Merasa heran karena Melati menangis tersedu sambil duduk di lantai di hadapan ayahnya, Pram.
"Ada apa, pak?".
"Duduk!"
Pandangan mata Pram tidak pernah beralih sedikitpun dari putra sulungnya itu.
Kemudian menunjuk putranya dengan perasaan yang terluka.
"Melati adalah gadis yang baik dan Ndak mungkin membohongi bapak.
Kamu..... Kamu harus bertanggung jawab karna telah menodai Melati, Faisal.
Kalian harus menikah".
~
Lama Melati bergelut dengan berbagai pikiran bersalahnya terhadap Faisal, Hingga lamat-lamat.... suara adzan subuh berkumandang. Dengan langkah tertatih akibat nyeri pada pangkal paha nya, Melati berlalu menuju kamar mandi nya. Ia perlu mengguyur tubuhnya yang terasa lengket.
Usai menunaikan kewajibannya sebagai muslim, Melati lantas bangkit dan menuju dapur. Di sana, mbok Ijah tengah bersiap menuju pasar. Semenjak menikah, Melati bahkan sama sekali tak mendapatkan ijin keluar rumah dari Faisal selama setahun ini.
"Mau masak apa nanti, mbok?"
Melati bertanya lirih.
Berbeda dengan mbok Ijah yang menatapnya dengan penuh iba. Tatapan mata simbok beralih pada beberapa ruam merah yang ada di atas permukaan kulit leher Melati.
"Oh, non melati.......
Simbok mau masak urap-urap, sayur asem sama tumis udang. Semalam, ndoro Faisal yang minta".
Melati mengangguk.
"Apa... non Melati baik-baik saja, non?".
Mbok Ijah nampak cemas mendapati keadaan Melati tidak sedang baik-baik saja. Wajahnya yang sedikit pucat serta matanya sembab, di bingkai dengan lingkaran hitam di sekitar mata.
Tentu Melati menghabiskan malamnya dengan menangis tanpa tidur.
Mbok Ijah paham itu.
"Saya nggak apa-apa mbok".
Inginnya menyangkal, tapi sayangnya tubuhnya tak sejalan dengan kalimat yang melati ucapkan. Air matanya luruh dengan derasnya.
Melihat hal ini, tentu mbok Ijah ikut serta meneteskan air matanya. Selama sebelas bulan ini, mbok ijah lah saksi dari tekanan batin yang dilakukan Faisal terhadap Melati.
Sebagai pembantu, tentu mbok Ijah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah Faisal.
Tanpa mereka sadari, Faisal sudah berdiri di balik bufet menuju area dapur.
"Saya... saya berusaha kuat bertahan di sini, mbok.... Karna makam ibu ada di dekat sini.
Ndoro Pram dan ndoro putri Ratri terlalu baik untuk saya. Kalau saya pergi, tentu saya mengecewakan dan mencemarkan nama baik beliau sebagai mertua.
Kalau andai suatu hari nanti, mas Faisal benar-benar di ambang batas kebenciannya dan memilih mengusir saya, Saya ikhlas dan senang hati akan pergi dari sini.
Saya tau diri, mbok. Saya yang bersalah sudah memfitnah mas Faisal.
Kesalahan Melati.... nggak akan mudah di maafkan, mbok.... Melati ngerti kok."
"Jadi, non Melati akan pergi bila mas Faisal sendiri yang mengusir?"
"Ya."
Melati menjawab dengan pasrah. Air matanya sudah deras mengalir menganak Pinak.
Faisal melangkah kan kakinya pelan menuju kamarnya.
Sesungguhnya, hati Faisal tidak sekejam itu terhadap Melati. Akan tetapi, dendam dan egonya terlalu tinggi hingga menutup nuraninya yang paling murni.
Usia melati kini menginjak angka Sembilan belas tahun. Ia juga hidup sebatang Kara tanpa sanak saudara. Bila ia pergi, pada siapa Melati harus mengadu?
Berbeda dengan Faisal yang hidupnya terasa lengkap, orang tuanya masih hidup serta hidupnya cukup mapan. Dengan usia mencapai angka dua puluh tujuh tahun, Karier Faisal cukup cemerlang sebagai kepala cabang di salah satu Bank swasta.
Faisal menatap pemandangan pagi hari dari jendela kamarnya di lantai atas, Melati tengah menyapu halaman Depan sambil sesekali ia mengusap air matanya penuh lelah.
Hati Faisal tercubit seketika. Andai Melati tidak menjerumuskan Faisal dalam kubangan dendam, mungkin saat ini kehidupan pasti akan baik-baik saja.
Ponsel Faisal tiba-tiba berdering. Dengan Malas, Faisal meraih ponselnya dan membaca sebuah pesan dari Rianti.
Rianti adalah seorang staf HRD yang memilki postur tubuh sempurna. Bukan nya Faisal tidak mengerti akan gelagat Rianti terhadapnya. Bukan pula menjadi rahasia bila Rianti menyukai Faisal.
Kemudian, sebersit ide gila muncul dalam kepala Faisal.
Mungkin, Melalui Rianti dirinya bisa menyingkirkan wanita yang telah memfitnah dirinya di hadapan keluarga besarnya.
Di bukanya ponsel Faisal. Sebuah perhatian ia dapatkan dari Rianti.
Tanpa pikir panjang, Faisal segera membalas pesan Rianti dan mengajaknya untuk makan malam akhir pekan nanti.
Faisal berpikir, ia ingin sedikit bermain-main dengan Melati, wanita yang sudah menggoreskan kotoran pada wajahnya dan mencoreng nama baik pada nama Winata.
'Akhir pekan, saya mau ngajak kamu makan malam di rumah saya, kalau kamu bersedia'
....
....
....
"Terima kasih atas jamuannya, mas Faisal."
Suara Rianti lirih menyerupai bisikan angin. Nada suaranya berdayu-dayu dan mengalun merdu mengisi gendang telinga Faisal.
"Ya, sama-sama. Sampai jumpa hari Senin".
Faisal melepas kepergian Rianti dengan senyum manisnya.
Tanpa memikirkan di sudut sana, ada seonggok hati yang terluka melihat senyum menawan milik Faisal, di tujukan pada wanita lain selain dirinya.Bahkan selama pernikahan nya dengan Faisal, Faisal tidak pernah menyunggingkan senyum.
Hati Melati seperti di hujam ribuan belati yang tak kasat mata. Tapi tidak, melati tidak boleh menyerah, bukan?
Derap langkah Faisal kembali memasuki ruang makan. Pandangan matanya menangkap bayangan Melati yang tengah membereskan meja makan.
Hati Faisal seperti berbunga-bunga kala itu. Melihat mata sembab Melati, juga wajahnya yang mendung meski coba Melati tutupi dengan senyuman, membuat Faisal merasakan selangkah lebih menang.
"Ada apa, mas Faisal? Apa butuh sesuatu?"
Tanya Melati lirih.
Tanpa menjawab, Faisal duduk dan memainkan gawainya. Mengabaikan pertanyaan Melati dengan perasaan bangga.
"Mbok....Sini, mbok?"
"Injeh, ndoro". Mbok Ijah segera menghentikan aktifitasnya mencuci piring. Langkahnya tertuju pada keberadaan majikan yang memanggilnya.
"Ada apa, ndoro?".
"Bagaimana menurut pendapat mbok Ijah tentang Rianti? Wanita yang tadi makan di sini?
Apa dia cantik? Apa dia pantas menjadi pengantinku, mbok?"
Faisal sengaja bertanya dengan suara keras, Meski ia sadar, melati pasti tetap akan mendengarnya meski ia berkata dengan suara lirih. Entahlah, menyaksikan kehancuran melati membuatnya merasa moodnya membaik seketika.
"Cantik, ndoro" Mata mbok Ijah menjawab lirih dan melirik Melati dengan penuh kecemasan. Ia tau, wanita yang mematung itu menahan air mata sekuat tenaganya.
"Apakah Rianti wanita baik-baik menurut simbok?".
"Iya, ndoro".
"Bagus. Saya harap Memang begitu".
Faisal mengangguk-angguk dengan senyum sumringah. Sudut matanya tak lepas mengamati melati yang menunduk dengan bahu bergetar.
"Ya sudah, mbok. Saya mau istirahat ke kamar. Besok pagi jangan bangunkan saya karna saya ingin bersantai mumpung hari libur".
"Injeh, ndoro".
Faisal berlalu pergi, meninggalkan mbok Ijah dan Melati yang terisak lirih.
Hati Melati terluka.
"Non Melati?".
"Maaf, mbok. Saya.... Saya mau sendiri di kamar saja".
"Iya, non. Yang sabar ya, non".
"Iya," Melati mengangguk dan berlalu pergi.
Ia perlu menenangkan pikiran dari perkiraan buruk yang akan terjadi kedepannya tentang rumah tangganya.
Sesampainya di kamar, Melati meraung menangis seorang diri di dalam kamar kecilnya.
Kasur sekeras batu tanpa ranjang itu menjadi saksi tangis melati setiap malam.
Dulu.......
Saat mendiang ibunya masih ada, Melati tidak pernah merasakan kepedihan seperti ini. Tapi kini, ia seorang diri. Tidak ada yang bisa mengerti dirinya selain mbok Ijah.
"Apa yang njenengan rencanakan terhadap saya, mas? Seburuk itu kah saya hingga njenengan berniat menghadirkan wanita lain dalam rumah tangga kita?"
"Haruskah saya mundur dan menyerah saja?"
"Tolong jangan sakiti saya lagi!"
Isakan pilu itu, lolos dari bibir Melati.
Ia sempat berpikir untuk pergi, namun cintanya yang begitu kuat, memaksanya untuk tetap bertahan di dalam rumah tangga yang seperti neraka baginya.
Di luar kamar, mbok Ijah mendengar tangisan Melati dengan mendekap mulutnya dengan satu tangan. Rasa ibanya tetap tidak bisa membawa Melati bangkit dari rasa sakitnya.
Dengan menggeser tubuhnya, Melati meraih gagang laci yang ada di bawah lemari nya.
Di raihnya sebuah buku usang yang menyimpan banyak kenangan tentang dirinya.
Hanya pada buku itulah, Melati menumpahkan kisahnya, menuliskan perjalanan hidupnya hingga saat ini.
Dengan air mata yang mengalir deras, Melati menulis kan keluh kesahnya pada buku itu. Tentang cintanya, tentang hatinya yang hancur berkeping, tentang kisah hidupnya yang penuh luka, tentang.... tentang segalanya yang ia alami.
Terkadang, Melati ingin mengikuti ibunya saja yang sudah tenang di sisi Tuhan, Tapi sudut hati Melati masih berprotes meneriakkan perjuangan cintanya yang bertepuk sebelah tangan dengan Faisal.
Hari ini mas Faisal membawa wanita yang bernama Rianti ke rumah ini.
Semangat Melati!!
Kamu nggak boleh sakit hati.
Perjuangkan terus hati Faisal agar luluh padamu.
Dengan gemetar, Melati menempelkan tulisan singkat itu pada dinding sebelah lemari, untuk menguatkan hatinya. Ia tersenyum. Senyum yang terkesan di paksakan.
Hingga kemudian Melati bangkit dan hendak mencari kesibukan lain untuk mengalihkan pikirannya. Melati melangkah kan kakinya menuju ke halaman belakang. Berbekal pisau dan cangkul mini, Melati memisahkan tanaman seledri yang menumpuk untuk di tanam menjadi beberapa bagian.
Setidaknya, kesibukannya ini sedikit membantunya mengenyahkan luka hatinya.
Dari lantai atas, Faisal menyipitkan matanya saat ia melihat sosok melati berkebun seorang diri dari balik jendela di waktu yang telah larut ini. Ia lantas tersenyum sinis ke arah Melati.
Dalam hati Faisal, ia mengejek kegiatan melati di malam hari ini. Faisal yakin, Melati terluka dengan kedatangan Rianti.
"Baiklah, saya akan membuatmu lebih terluka dalam pernikahan kita, melati. Mari kita lihat, apa kau masih kuat bila aku menjadikan Rianti sebagai istriku"
Ucapnya di sertai senyum ejekan.
~~
~~
"Apa yang non lakukan, disini?"
Suara mbok Ijah sontak mengejutkan Melati.
Melati lantas menoleh dan tersenyum.
"Saya perlu mengalihkan rasa sakit saya dengan sedikit kegiatan, mbok".
Melati menjawab lirih.
"Tapi nggak harus berkebun, non. Ayo masuk. Hari sudah malam, nanti non Melati masuk angin".
"Enggak mbok. Ini saya sudah mulai berkeringat meski malam-malam. Simbok masuk saja dulu. Saya akan tetap di sini".
Melati bersikeras untuk tetap di tempatnya. Ia tidak mau kembali ke kamar hanya untuk menangisi nasib yang tak berpihak padanya.
"Maafkan simbok, non. Simbok akan tetap di sini menemani non Melati".
Melati merasa tidak enak hati. Kemudian ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar segera bisa berbicara pada simbok.
Hanya mbok Ijah yang bisa mengerti perasaan Melati selama ini.
"Bagaimana bila mas Faisal menikahi Rianti, mbok? Apa orang tua mas Faisal akan menyetujui?".
Tanya Melati lirih ketika ia telah duduk di samping mbok Ijah. Pekerjaannya sudah usai baru saja.
"Ndoro Pram dan ndoro Ratri adalah orang yang bermartabat tinggi, non. Nggak mungkin mereka akan merestui mas Faisal yang akan menikahi non Rianti, sedang Non Melati masih berstatus istri sah ndoro Faisal".
Ujar mbok Ijah lirih. Wajah rentanya begitu teduh dan menenangkan.
"Apa saya mundur saja ya, mbok? Dan mengakui kalau saya sudah memfitnah mas Faisal di depan keluarganya? Rasanya saya juga Ndak tega kalau harus melihat mas Faisal menderita atas pernikahan ini."
Mbok Ijah menatap sendu ke arah Melati yang kini sudah kembali menangis.
Gadis yang berusia sembilan belas tahun ini, seperti belum pantas menerima badai rumah tangga seperti ini.
"Kalau non Melati siap dengan segala konsekuensinya, saya dukung yang terbaik untuk non asal lepas dari penderitaan ini".
Melati mengangguk mantap.
"Saya pikir lagi saja, mbok. Tapi saya harus kuat nantinya, apapun yang menjadi resikonya.
Saya mencintai mas Faisal, mbok. Dan saya akan melepas mas Faisal bila itu membuatnya bahagia. Insya Allah, saya kuat".
....
....
....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!