Langit biru kota sangat memanjakan mata. Tanpa terhalang awan putih maupun awan mendung. Suatu pemandangan yang langka di musim penghujan seperti sekarang.
Seorang gadis menggeliat kecil dalam tidurnya. Dia masih tidur padahal matahari telah menampakkan diri, cahayanya menyelinap masuk melalui celah-celah dari tirai.
Kaina Rehandana, gadis cantik yang selalu dapat membuat kaum adam terpesona akan parasnya. Putri ke dua Rehandana yang lahir pada 10 Mei.
"Nana!"
"Bangun Na, udah siang lho!" Teriak seseorang dari luar kamar berusaha membangunkan Kaina.
Pintu terus di ketuk berusaha untuk dibuka.
"Na! Kebiasaan deh pintu dikunci!" omel Anum, tak lain adalah Mama Kaina.
Kaina terpaksa bangun, wajahnya dipasang cemberut.
"Mama, Kaina masih ngantuk lho :(" katanya setelah berhasil membuka pintu.
"Tapi ini udah siang Nana."
"Mandi, sarapan abis itu istirahat lagi boleh." kata Anum kemudian meninggalkan kamar putri semata wayangnya.
Wanita paruh baya itu turun ke lantai bawah, menuju dapur untuk menyiapkan sarapan dan menatanya ke atas meja makan.
Sedangkan Kaina dengan langkah malas masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan shower namun tak kunjung menggunakannya untuk membasahi tubuh. Gadis itu membiarkan air shower mengalir begitu saja tanpa dimanfaatkan.
Sebagai satu-satunya anak perempuan di rumah Rehandana, Kaina sangat dimanja, baik oleh Mamanya, Ayahnya, maupun ke dua saudara laki-lakinya.
"Cari kerja sana lho, Na."
"Udah sebulan nganggur gitu."
"Produktiv dikit lah." protes Lazuardi, kakak Kaina.
Lazuardi Rehandana, kakak laki-laki Kaina yang bekerja sebagai seorang fotografer. Matanya sedikit sayu dan alisnya tebal. Dia terlihat sangat keren ketika mengenakan kaos pressbody yang memperlihatkan otot lengannya.
Kaina duduk di kursi sebelah Lazuardi, menunggu Anum selesai menyiapkan sarapannya.
"Baru juga sebulan."
"Lihat tuh yang laen, setahun nganggur."
"Ck. Nana kalo dibilangin sama orang yang lebih tua itu denger denger, ngebantah bae!" tegur laki laki yang baru saja ikut bergabung ke meja makan.
"Lo juga nyamber aja jadi orang."
"Sttt!" Anum memberi kode isyarat pada ketiga anaknya untuk tidak membuat kegaduhan di meja makan.
"Kalo lagi di meja makan, jangan berdebat!." Anum memperingatkan untuk kesekian kalinya.
"Mama nga suka ya, inget."
"Anak laki Mama, tuh."
"Ngajak ribut pagi-pagi." Kaina membuat pembelaan.
"Udah, berhenti."
"Kalian berdebat suaranya kedengaran sampai depan lho." laki-laki paruh baya muncul.
"Lazuardi yang mulai, Yah." jawab Kaina.
Yang di salahkan hanya menghela nafas. Paham bagaimana sikap adiknya itu.
"Adek, tadi manggil Bang Ardi apa?" tanya Rehandana. Bukan sebuah bentakan atau kalimat yang dilontarkan dengan nada naik, melainkan hanya sekedar pertanyaan dengan nada datar. Nada yang selalu mampu membuat Kaina bungkam.
Menurutnya, kalimat datar yang keluar dari mulut Ayahnya lebih menakutkan dibanding dengan bentakan, sekeras apapun bentakan itu. Tetap Kaina lebih takut pada suara datar Ayahnya.
"Udah, sarapan dulu."
"Debatnya udah."
"Makasih Ma," ucap Kaina begitu mendapatkan sarapannya.
Mereka sarapan dengan tenang, tidak ada suara sedikit pun kecuali suara mengunyah dan suara benturan antara sendok makan dengan piring keramik.
Cara Rehandana dalam mendidik anak-anaknya sangat berhasil. Yah, meski sedikit terdapat kegagalan pada Kaina.
"Tetap duduk di kursi masing-masing!" Perintah Rehandana ketika Aqil mulai beranjak dari kursi.
Aqil kembali duduk, mendengar perintah dari Ayahnya. Kaina yang ingin menyusul pun harus mengurungkan niatnya beranjak dari meja makan.
"Ada yang ingin ayah bicarakan sama Nana, tapi sebagai keluarga Aqil dan Ardi pun juga harus tahu."
"Aku, Yah?" tanya Kaina sembari menunjuk dirinya sendiri.
"Soal apa Yah? Kalo soal kerja, nanti deh aku cari lagi."
"Nga boong." kata Kaina melanjutkan.
"Bukan."
"Bukan itu yang ingin Ayah bicarakan."
"Terus apa?"tanya Kaina sembari mengerutkan dahi penasaran.
Rasa penasaran dan deg-degan menjadi satu kesatuan. Pagi-pagi udah senam jantung.
"Ayah berencana menjodohkan kamu dengan cucu teman Eyang." sederet kalimat yang tak terlalu panjang itu mengejutkan semua orang, terutama Kaina. Karena itu melibatkan dirinya.
"Nga!" tolak Kaina dengan cepat.
"Ini udah bukan jamannya, lagian aku masih laku juga:("
"Yah? Nga boleh gitu dong!" protes Aqil.
"Biarkan Kak Nana mencari pasangan hidupnya sendiri. Kan semua yang menjalani Kak Nana."
"Kalo Ayah jodohkan, sama aja Ayah menghancurkan impian Kak Nana tentang keluarga kecilnya di masa depan." lanjut Aqil.
"Iya Yah, bener kata Aqil."
"Sebaiknya dalam hal ini, Ayah membiarkan Nana mencari pilihannya sendiri."
"Lagi pula Ardi pikir ini bukan waktunya Nana."
"Harusnya Ardi dulu kan Yah?" tanya Lazuardi. Matanya yang sayu itu menatap Ayahnya dengan lembut.
Rehandana menghela nafas panjang. " Nana sudah terlalu sering melakukan kesalahan dalam hal memilih pasangan."
"Lihat saja kemarin dia membawa laki-laki model apa?"
"Pemabuk, pendugem."
"Dua bulan yang lalu bawa laki-laki yang hampir seluruh tangan nya penuh tato."
"Besok dia bawa yang model gimana lagi?"
"Bener juga sih Yah."
"Yaudah jodohin aja kalo gitu." kata Aqil plin plan.
Kaina membulatkan mata tak percaya. Baru beberapa menit yang lalu adiknya itu membelanya, tapi sekarang dia malah mendukung Ayahnya.
"Aqil, pernah belum di sabet?" tanya Kaina dengan tatapan tajam.
"Daripada salah pilih, Na." dengan entengnya Aqil menjawab.
"Ma~" rengek Kaina berharap ada pembelaan dari Anum.
"Maaf, Na.. Mama setuju sama ucapan Ayah mu."
" Benar kata Ayah, selama ini kamu itu sudah terlalu sering membawa laki-laki aneh ke rumah." Anum mendukung suaminya.
Pikirannya terlalu rumit, jika dibiarkan tetap berdiam diri di rumah ia bisa gila. Karena itu Kaina memutuskan untuk keluar rumah mencari suasana tenang sejak pagi hari tadi.
Pamit? Tentu tidak, ia hanya mengatakan pada kakaknya bahwa hari ini ingin pergi keluar. Tidak memberitahukan kemana ia akan pergi, bersama siapa dan kapan ia akan kembali ke rumah.
Terlalu random. Ia mengendarai mobilnya tanpa tujuan yang jelas. Turun saat ada sesuatu yang menarik untuk di kunjungi, dan kembali melakukan perjalanan setelah bosan.
Sampai akhirnya ia berhenti kembali di sebuah cafe kekinian. Tujuannya hanya untuk membeli segelas minuman dan duduk sebentar, tapi—
"Kai?" Seseorang memanggil namanya sembari menepuk pelan pundaknya.
Kaina menoleh, dan mendapati sosok tampan berdiri di belakangnya. Sebuah kejutan.
"Joshua?"
Joshua Christiansen, salah satu orang yang enggan memanggil Kaina dengan panggilan Nana. Alasanya karena itu terlalu imut, untuk kepribadian Kaina yang sedikit bar-bar.
Joshua adalah teman sekelas Kaina SMA. Dia tergolong dalam jajaran orang dengan penggemar terbanyak di sekolah mereka dan sekolah lain pada masa itu karena bergabung di tim futsal sekolah.
Saat ini Joshua sedang menyelesaikan pendidikan pelayarannya di salah satu sekolah tinggi yang ada di kota Surabaya.
"Hai" laki-laki itu menyapa. Senyumnya sangat manis, membuat Kaina hampir saja terkena diabetes.
"Hai—"balas Kaina.
Laki-laki itu duduk di bangku depan Kaina. "Long time to see 😊"
"Ah, ya."
"Ngomong-ngomong, kabar baik kan?" tanya Joshua.
"Baik kok."
"Kamu sendiri?"
"Ya beginilah." jawab Joshua, ia tak berhenti memberi senyum manis pada Kaina.
"Syukur deh."
"Kamu sendiri aja di sini?" tanya laki-laki itu sedikit penasaran.
Kaina menjawab dengan anggukan.
"Pacar kamu mana?" tanya Joshua yang mengundang tawa Kaina.
"Hahaha" Kaina tertawa kecil.
"Pacar apaan Jo?"
"Bawa pulang banyak laki cuma di pantengin sama orang rumah doang 😂" curhatan spontan Kaina berhasil mengundang gelak tawa Joshua.
Suaranya sangat khas. Sangat sopan ketika masuk ke indra pendengaran Kaina.
"Coba deh kamu bawa aku ke rumah, pasti nga di pantengin." Nadanya terdengar tidak sedang bercanda, seolah ia ingin Kaina benar-benar membawanya pulang ke rumah. Semacam kode keras.
"Lain kali deh."
"Bener ya."
"Awas bohong. Nanti aku main ke rumah mu sendiri lho :v" dia masih sama seperti remaja laki-laki yang Kaina kenal ketika duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah atas dulu. Hanya saja sekarang Joshua lebih manis dan tumbuh tinggi dibanding saat itu.
"Main aja deh~"
"Nanti kalo aku beneran main ke rumah mu, pintu nya di tutup lagi nga?", tanya Joshua mencoba menggoda Kaina.
"Duh, jadi malu kalo ke inget." tutur Kaina.
Insiden tutup pintu terjadi saat mereka sama-sama duduk di bangku kelas 12 sekolah menengah atas. Waktu itu, Joshua bersama teman sekelas mereka dengan random datang ke rumah Kaina tanpa memberitahu terlebih dahulu.
Yang ternyata bertepatan dengan kedatangan teman laki-laki Kaina dari sekolah lain. Dan secara kebetulan Joshua dan orang itu saling bermusuhan.
"Hahaha~" Joshua tartawa.
"Tau nga waktu itu aku sama Miko gimana speechlessnya? 😂😂"
"Ya dari pada nanti malah beratem, kan aku yang repot 😭" kata Kaina dengan jujur.
Obrolan terus berlanjut, sampai akhirnya Joshua pamit untuk pergi karena ada urusan mendadak. Tinggalah Kaina sendirian, namun tak lama ia pun memutuskan untuk pergi jua.
Kaina melajukan mobilnya dengan sangat pelan. Bahkan laju sepeda ontel lebih cepat dibanding dengan laju mobilnya. Semata-mata itu dilakukan untuk memperlambat perjalanannya pulang.
Kaina duduk di meja kerjanya. Suasana baru ini membuatnya sedikit tidak nyaman.
Pekerjaan yang ia dapat sebenarnya adalah pekerjaan yang ia inginkan, tapi rekan kerja yang ia miliki sama sekali bukan yang ia harapkan. Bukan karena sikap mereka, namun mayoritas, ah tidak hampir semua kecuali Kaina adalah wanita-wanita berhijab.
Lingkungan yang positif memang, tapi tetap saja menjadi berbeda bukanlah hal yang menyenangkan.
"Baiklah, disini aku terlihat yang paling dan sangat kotor." gumamnya dengan nada bercanda. Entah sudah berapa kali Kaina mengumamkan kalimat yang sama.
Kemudian pandangannya perlahan terfokus pada satu titik yang akhirnya menjadi tatapan kosong.
"Kai? Kamu kok ngelamun?" salah satu rekan kerja Kaina menepuk pundaknya pelan begitu mengetahui gadis itu melamun.
"Eh?"
"Maaf Kak Icha :(" jawab Kaina merasa tidak enak.
"Lagi ada masalah? Atau kurang enak badan?" Icha bertanya dengan raut wajah khawatir.
Icha Desinta, senior sekaligus teman baru Kaina. Dia adalah orang pertama yang menyapa Kaina. Bersikap antusias ketika Hanif memperkenalkan dirinya sebagai karyawan baru di perusahaan.
"Engga kok Kak."
"Yakin?"
"Mau aku ambilin minum?"
"Nga usah Kak Icha, serius deh aku nga papa." tolak Kaina,
"Yaudah, nanti kalo butuh sesuatu jangan sungkan panggil aku ya 😊" Icha tersenyum tulus. Senyum itu membuatnya terlihat semakin cantik. Kaina tidak menampik fakta itu.
"Iya Kak Icha.. Makasih perhatiannya 😅"
"Sama-sama." balas Icha kemudian melangkahkan kaki menjauh menuju meja kerjanya sendiri.
Baik Kaina maupun Icha sama sama kembali melanjutkan pekerjaannya. Keduanya terfokus pada layar komputer yang berbeda.
Tak lama kemudian seseorang menghampiri meja kerja Kaina, lalu memberinya perintah. "Antar ini ke ruangan Bos ya."
Kaina hanya bisa mengangguk lantaran ia masih anak baru di sini. Tentu menolak perintah senior bukanlah hal yang baik untuknya di masa mendatang.
Gadis itu berjalan mendekati pintu hitam yang berada tak jauh dari meja kerjanya. Pertama-tama ia mengetuk pintu dan mengucapkan permisi terlebih dahulu.
"Masuk!" suara itu cukup familiar di telinga Kaina.
Kaina membuka pintu hitam itu dan mendorongnya perlahan.
Ia melihat Hanif dan seorang laki-laki lain di dalam ruangan itu. Kaina tidak tahu siapa laki-laki itu, tapi yang pasti dia cukup memiliki aura kuat.
"Maaf Pak Hanif, saya—"
"Sini, berikan pada saya."
"Tadi siapa yang menyuruhmu?" tanya Hanif.
"...." Kaina diam, ia berfikir cukup keras untuk mengingat nama orang yang menyuruhnya. Namun hasilnya adalah ia sama sekali tidak tahu siapa orang itu karena ia masih belum sepenuhnya bisa mengenal rekan kerjanya.
"Aduh, maaf Pak saya tidak tahu namanya :(" jawab Kaina dengan jujur. Ekspresi wajahnya yang dungu terlihat sangat lucu sehingga berhasil membuat Hanif tertawa kecil.
"Baiklah, kembalilah bekerja."
"Lain kali jika ada orang yang memerintah mu lagi, jangan mau."
"Kalau Pak Hanif yang memerintah? Saya harus menolak juga?" tanya Kaina spontan.
"Ah, maaf Pak."
"Saya permisi." katanya lalu melangkah dengan terburu-buru meninggalkan ruangan itu.
Hanif tertawa keras setelah kepergian Kaina. Sedangkan laki-laki lain yang ada di ruangan itu hanya menatap datar dan memilih menyembunyikan senyum tipisnya.
"Bukankah dia lucu?"
"Ngomong-ngomong dia itu anak baru."
"Fresh graduate, tapi lumayan bisa diandalkan." lanjut Hanif menjelaskan.
"Aku sendiri yang merekrutnya."
"Dia itu cantik kan?" tanya Hanif.
"Iya." jawab laki-laki itu singkat, dengan mata yang terfokus pada layar laptop.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!