NovelToon NovelToon

The Love Story Of Pram And Kailla

Pram & Kailla 1

Kisah ini adalah kelanjutan dari Istri Kecil Sang Presdir ( Season 1 ) dan Istri Sang Presdir ( Season 2 )

...***...

Terlihat seorang pria matang dengan sejuta pesona duduk di bagian sentral meja rapat yang ditata berbentuk U. Setelan jas abu-abu yang dipadankan dengan dasi senada membuatnya tampak jauh lebih muda dari usianya yang sedang berjalan menuju setengah abad. Wajahnya tenang, tampak memukau dan berkarisma. Sorot matanya teduh, menenangkan siapa saja yang beradu pandang dengannya.

Namun, dibalik semua itu, ia adalah pimpinan yang cukup disegani. Pram, begitu biasanya ia disapa. Pria matang 45 tahun dengan nama asli Reynaldi Pratama itu pemilik sekaligus presiden direktur RD Group. Sebuah perusahaan yang bergerak dalam bisnis real estate dan property developer, yang berkantor pusat di Jakarta.

Dengan empat anak perusahaan, kegiatan usaha utama RD Group yang sudah berdiri lebih dari dua puluh tahun itu meliputi akuisisi lahan, pengembangan real estate, penyewaan dan penjualan tanah, bangunan apartemen, mal dan kantor. RD Group juga dikenal telah membangun belasan proyek prestisius yang tersebar di Jakarta, Bandung dan kota-kota besar Indonesia lainnya.

Mengetuk pelan pena hitam berhias keemasan di atas meja rapat, Pram terlihat gelisah. Mata panda Pram bergeser ke kiri dan kanan, sesekali ia tertunduk. Daddy dari sepasang anak kembar laki-laki yang baru berusia tujuh bulan itu tidak begitu menyimak laporan yang disampaikan pimpinan proyeknya.

Sejak beberapa hari ini, tidur malamnya terganggu. Putra kembarnya rewel dan membuat seisi rumah terjaga sepanjang malam. Mungkin efek imunisasi yang baru disuntikan beberapa hari yang lalu.

Kepala pria itu semakin berdenyut ketika rapat tak kunjung usai. Berganti kepala divisi lain yang memberi laporan. Tidak ada satu pun materi yang bisa masuk di kepalanya. Di dalam otaknya hanya ada satu nama. Kailla. Terbayang istrinya sedang bergaun seksi berjalan menggoda.

"Ya Tuhan, kapan ini akan selesai." Pram bergumam pelan, memandang sekretarisnya yang duduk menyimak sambil mencatat hal-hal penting di tablet-nya.

"Ste, tunda rapatnya. Minta Pieter melanjutkan nanti," bisiknya pada Stella. Sekretaris yang setia menemaninya selama ini tampak mengangguk.

“Pesankan kamar di Fairmont untukku. Pilihkan yang ternyaman,” bisik Pram lagi.

"Bapak baik-baik saja?" tanya Stella mengerutkan dahi.

"Kepalaku berdenyut, Ste. Aku butuh obatku sekarang." Pram meraih ponsel tipis keluaran terbaru yang tergeletak di atas meja. Mengantonginya dan berjalan tergesa-gesa keluar ruang rapat tanpa pesan dan tanpa bicara sepatah kata pun. Bahkan tanpa menoleh ke arah stafnya. Langkahnya begitu meyakinkan, diikuti belasan pasang mata yang menatap penuh tanya dan keheranan.

Pram bisa mendengarkan keriuhan di ruang rapat sepeninggalannya. Namun, ia tidak peduli. Saat ini, ia butuh Kailla. Sang istri manja yang selalu bisa menyenangkan sekaligus menenangkannya setiap saat. Yang bisa membuat sakit kepalanya hilang dalam sekejap. Benar-benar keajaiban seorang Kailla.

Berlari menuju lift sembari melonggarkan simpulan dasi, Pram mengabaikan teriakan asistennya, Bayu.

"Ada masalah apa lagi?" Bayu bermonolog. Kepala menggeleng dengan raut wajah penuh tanya. Bukan hal aneh, sejak berganti status menjadi seorang ayah, Pram banyak berubah.

***

Bentley GT continental hitam melesat di jalanan ibu kota. Pram memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Senandung klakson tanpa jeda yang berteriak di jalanan memancing kesal pemakai jalan lainnya dan Pram tidak peduli. Ia hanya ingin secepatnya sampai.

Sinar mentari siang itu begitu terik saat sang surya tepat berada di pucuk kepala. Begitu menyilaukan mata saat sorot cahaya memantul di body mobil mewah yang hitam mengilap. Waktu sudah mengarah ke tengah hari, jalanan mulai sedikit padat karena aktivitas karyawan kantor makan siang.

Hampir empat puluh lima menit mencengkeram kemudi, mobil Pram akhirnya menepi di pinggir jalan. Tepatnya di depan sebuah kampus bergengsi, di daerah Tangerang, Banten.

Terlihat pria itu sudah tidak sabar, buru-buru mengeluarkan ponselnya. Jemarinya dengan cekatan mengusap layar dan mencoba menghubungi sang pujaan hati. Siapa lagi kalau bukan istrinya, Kailla Riadi Dirgantara Pratama. Sejak melahirkan, ibu dari baby Bentley dan Kentley itu memutuskan memakai nama keluarga suaminya di belakang namanya sendiri. Perlu proses panjang untuk bisa mendapatkan nama Pratama secara resmi.

Nada sambung tergantikan dengan suara manja di ujung panggilan. Mood pria tampan itu seketika berubah saat gendang telinganya menangkap suara manja mendayu.

"Sayang, ada apa?" tanya Kailla.

"Kamu masih ada kelas?" Pram balik bertanya.

"Masih," sahut Kailla sembari menyeruput kuah bakso pedas di kantin kampus. Makanan favorit Kailla yang tidak lekang oleh waktu dan tidak tergantikan dari masa ke masa.

“Bolos untukku, Sayang,” pinta Pram dengan suara terdengar memelas.

"Hah! Kamu kenapa?" tanya Kailla mengerutkan dahi. Tidak biasanya sang suami memintanya bolos kuliah. Bahkan ia terpaksa kuliah lagi karena permintaan Pram yang tidak terbantahkan. Bisnis manajemen, jurusan yang ditinggalkannya saat awal menikah dan sekarang ia terdampar di tempat yang sama. Pram memintanya menyelesaikan apa yang sudah dimulainya.

"Aku merindukanmu," ucap Pram dengan manja.

"Yang benar saja, Sayang! Setiap hari juga bertemu."

"Bertemu tetapi tidak bisa menyatu. Kembar mengacaukan segalanya." Pram tergelak. Tawanya begitu renyah, terdengar dari seberang.

"Jangan gila, Sayang. Bukannya kamu ada rapat penting hari ini." Kailla mengingatkan.

"Aku sudah di depan kampusmu. Ayo keluar, Sayang. Aku menunggumu sekarang."

"Hah! Kamu serius?"

"Ya. Aku tidak pernah main-main. Aku meninggalkan rapat demi untuk bisa bertemu denganmu," ungkap Pram.

"Tunggu sebentar, aku habiskan baksoku dulu. Kamu sudah makan siang?" tanya Kailla sembari menusuk bakso telur puyuh dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Belum. Aku sudah kelaparan sekarang. Ayo buruan, Kai."

"Mau aku pesankan makanan?" tawar Kailla. Bicara dengan mulut penuh.

"Tidak perlu. Cukup dirimu. Itu sudah mengenyangkan." Kembali Pram tergelak.

"Tunggu, Sayang. Aku keluar sebentar lagi."

***

Kedua sudut bibir Pram tertarik ke atas saat melihat Kailla yang berlari dengan tas menggantung di pundak, membelah dada. Rambut panjang perempuan 25 tahun itu terombang-ambing saat tubuhnya berguncang.

Tak lama, terdengar ketukan pelan di jendela mobil. Pram membuka pintu dari dalam dan mempersilakan istrinya masuk.

"Aku merindukanmu, Kai," ucap Pram saat melihat istrinya menjatuhkan bokong di sebelahnya. Bergerak mendekat, dilabuhkannya kecupan di bibir Kailla. Menyapu bibir merah delima, menikmati aroma kuah bakso yang tertinggal.

"Aku membelikanmu pasta." Kailla berkata sembari menunjukan kotak mika setelah ciuman mereka terurai.

"Suapi aku, tetapi dengan ini," pinta Pram dengan manja. Telunjuknya mengarah ke bibirnya sendiri.

Kailla mencebik. “Apa ada masalah di kantor?" tanya Kailla. Ia sedang membuka kotak mika berisi pasta dan bersiap menyuapi Pram. Rambut panjang yang baru saja dicat pirang itu, tergerai indah menutupi sebagian wajahnya.

"Tidak ada." Pram menjawab singkat. Menggeser tubuhnya lebih dekat sembari meraih pergelangan tangan Kailla dan mengeluarkan ikat rambut berhias manik hitam yang melingkar indah bak gelang.

"Menghadap ke sana, Kai," pinta Pram, menyisir rambut panjang Kailla yang mengeluarkan aroma buah dengan tangannya. Rambut panjang itu dikuncirnya tinggi, membuat tengkuk dan leher putih mulus terekspos sempurna.

"Ganti warna lagi?" tanya Pram. Ia tidak memerhatikan rambut Kailla beberapa hari ini. Putra kembar mereka membuat keduanya kewalahan sampai tidak memiliki waktu untuk hal lain.

“Ya, kamu menyukainya?” tanya Kailla.

Sebuah kecupan basah mendarat di tengkuk Kailla. "Cantik!" komentar Pram sembari memainkan ujung rambut Kailla.

"Warna sebelumnya lebih terlihat menarik, tetapi yang ini lebih menggoda." Pram mengedipkan matanya sambil tersenyum.

"Kita jalan sekarang?" tanya Pram merapikan posisi duduknya, bersiap menjalankan mobil kembali.

"Mau ke mana?" tanya Kailla bingung.

"Fairmont. Aku meminta Stella booking kamar sebelum menemuimu" Pram menjawab santai. Menengok ke belakang, untuk memastikan jalanan aman.

“Selalu begitu,” cerocos Kailla

“Apa kita beli apartemen saja? Setiap waktu, kalau rindu, kita bisa bertemu di sana,” tawar Pram.

"Buka mulutmu, Sayang," pinta Kailla dengan sesendok penuh pasta. Ia memilih mengabaikan tawaran suaminya.

Mulut Pram terbuka lebar dengan tangan tetap menggenggam kemudi. Pria itu memilih fokus ke jalanan.

"Oh ya, hubungi Sam. Minta dia menyusul. Aku meninggalkan Bayu di kantor."

"Ya.”

"Pastanya enak," ucap Pram sembari membuka mulut kembali. Siap menerima suapan Kailla berikutnya.

"Di kampus, menu ini yang paling laris manis." Kailla menjelaskan.

"Lumayan enak. Oh ya, kamu belum memerah asi untuk si kembar?" tanya Pram.

"Belum, nanti sampai hotel saja. Perlengkapannya masih di mobil Sam." Kailla menjelaskan.

Pram tersenyum. "Aku tidak keberatan kalau diminta memerah untukmu," ucap Pram mengedipkan sebelah matanya, menggoda Kailla seperti biasa.

***

TBC

Pram & Kailla 2

Kamar presidential suite Fairmont Hotel menjadi saksi betapa cinta keduanya tak pernah lekang oleh waktu. Menginjak tahun kelima pernikahan, rasa, hasrat dan gairah itu tetap sama seperti awal melebur dalam ikatan pernikahan. Romantika hidup memang mengajarkan banyak hal, menempa Pram dan Kailla menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Namun, pasang surut kehidupan itu tidak membuat perasaan keduanya luntur. Cinta itu semakin kuat seiring waktu.

Pram, tetaplah seorang pria matang dan dewasa dengan kegilaannya pada pekerjaan dan istrinya, Kailla. Dan Kailla, tetaplah istri manja yang terkadang nakal dan menggemaskan meskipun sudah melahirkan dua jagoan kecil untuk keluarga Pratama.

Sepasang anak manusia itu sedang berbagi rasa dalam belaian dan dekapan. Berbicara lewat tatapan mata dan pertautan bibir. Ketika helai demi helai kain terlepas dari kulit tubuh, saat hasrat menuntut lebih dari sekedar indah tetapi juga kepuasan batin.

Decapan bercampur desah, keringat melebur bersama gairah. Saat kulit tubuh bersentuhan, jari-jemari saling menaut dan meremas. Ranjang berukuran king size dengan seprai sutra putih menjadi saksi, siap mengantar cucu Adam dan Hawa menuju ke puncak singgasana cinta.

“Sayang, kamu tidak mengenakan pengaman.” Tiba-tiba Kailla mengingatkan. Mendorong pelan tubuh kekar yang sedang mengunci tubuh polosnya dengan posesif.

“Aku akan mendonasikannya pada dunia,” ucap Pram seperti biasa. Selalu alasan yang sama, setiap selangkah menuju puncak dan Kailla menghentikan kenikmatan yang sedetik lagi akan mereka reguk bersama.

“Aku tidak percaya padamu. Sedetik saja terlambat, aku pasti hamil lagi. Minta Sam membelinya. Di minimarket terdekat,” pinta Kailla bersikeras.

“Sayang ....” Pram menyerukan panggilan cinta dengan lembut, manja dan mendayu. Berharap kali ini, ia mendapat dispensasi.

“Tidak. Umurmu sudah empat puluh lima tahun. Kamu tidak segesit ketika masih muda. Gerakanmu sudah melamban, Sayang. Aku tidak yakin kamu sanggup mengeluarkannya tepat waktu. Dan kamu tahu, kesalahan sedetik itu akan menjadi masalah seumur hidup,” tegas Kailla. Aura perempuan yang tadinya pasrah berganti mengerikan.

“Aku tidak mau hamil lagi. Aku masih kuliah. Baby Bent dan Kent baru berusia tujuh bulan.” Kailla beralasan.

“Sembunyi di balik selimut!” pinta Pram.

Ia mengalah. Hilang sudah hasrat yang selangkah lagi mencapai garis finish. Kailla mengacaukan segalanya. Tubuh kekar itu berguling ke samping. Tak lama, terlihat Pram bangkit dan memungut celana kainnya, bergegas menuju pintu.

“SAM!”

“SAM!”

“SAM!” teriak Pram berulang kali. Pria bertelanjang dada itu seolah tak peduli saat ini sedang berada di hotel. Teriakannya menggelegar.

“Ya, Pak.” Sam menjawab sembari berteriak dari jarak lima meter. Ia baru saja keluar dari lift saat mendengar suara Pram yang berteriak menyerukan namanya tanpa peduli suara itu akan mengganggu kepentingan umum.

“Dari mana saja? Aku sudah katakan, tunggu di sini. Sewaktu-waktu Kailla membutuhkanmu.” Pram mengoceh.

“Ya, Pak.” Sam menunduk. Napasnya tersengal, naik turun karena berlari kencang. Bahkan ia menjatuhkan kopi hitam yang baru saja dibelinya di depan hotel dan berceceran di koridor.

“Ke Indomaret. Belikan pengaman untukku,” pinta Pram sembari merogoh saku celananya. Mengeluarkan dompet dan menyerahkan dua lembar uang seratusan ribu rupiah.

“Merek apa saja, Pak?” tanya Sam. Ia bukan pria lugu yang tidak paham maksud tuannya.

“Belikan yang terbaik, ternyaman,” sahut Pram.

“Baik, Pak.” Sam mengangguk pertanda mengerti.

“Jangan lama-lama. Kami tidak bisa memulainya tanpamu maksudku tanpa benda keramat itu.”

“Baik, Pak.”

“Jangan sampai salah beli. Biasanya posisi di dekat Kinder Joy atau permen lolipop. Kalau tidak, tanyakan pada kasir. Salah beli, potong gaji!” Pram mengingatkan. Pertama kalinya ia melupakan hal terpenting itu. Tanpa barang sakti itu, Kailla tidak akan bisa konsentrasi. Bertanya sepanjang waktu, membuyarkan semua imajinasi di dalam otaknya.

***

Tok ... tok ... tok.

Benturan punggung tangan Sam ketika mengenai pintu panel putih dengan nomor 34 tergantung di bagian atas. Jantung asisten kesayangan Kailla itu berdetak kencang. Ia baru saja berlari demi memenuhi permintaan Pram yang tak mengenal kata tidak.

Hampir setengah jam berlari menyusuri jalanan demi mendapatkan pesanan majikannya. Sam mengomel sendirian, menumpahkan kekesalannya. Memang nasib menjadi bawahan selalu begini. Harus menurut dan tidak boleh menolak.

Mengetuk pintu untuk ke sekian kali, bibir Sam menggerutu saat pintu tak kunjung dibuka. “Huh! Tadi minta dibelikan secepat kilat. Sekarang seperti hilang ditelan bumi.”

Setelah mengetuk pintu berulang kali, Pram muncul dengan tampilan terpanasnya sepanjang masa. Wajah tampan itu bercucuran keringat dengan rambut acak-acakan. Napas tersengal, dada telanjangnya naik turun. Peluh bercucuran dari dahi, pelipis dan semua kulit tubuh. Celana panjang yang menutupi pinggang ke bawah tidak terkancing sempurna.

“Kamu mengganggu saja!” Ucapan pertama meluncur dari bibir Pram sembari merapikan anak rambut yang basah oleh keringat. Dada telanjangnya tampak mengkilap di sorot lampu koridor.

“Tadi minta dibelikan pengaman. Aku sudah berlari secepat kilat, ternyata dia mulai duluan. Jadi buat apa aku memburu waktu untuk membeli pesanannya,” omel Sam dalam hati sembari menyodorkan bungkusan berisi pesanan Pram.

“Maaf, Pak. Semua rasa habis. Tinggal rasa ayam geprek level pedas mantap dan level pedas mampus. Karena Non Kailla tidak suka pedas, jadi aku belikan yang pedas mantap. Itu satu level di bawah pedas mampus,” ujar Sam asal menahan kesal. Ia langsung berbalik tanpa menunggu reaksi majikannya lagi. Baru saja kakinya melangkah, Pram sudah bersuara.

“Tunggu kami di sini! Takutnya Kailla membutuhkan sesuatu,” pinta Pram mengabaikan kalimat asal yang keluar dari bibir asistennya. Ia sudah paham keusilan Sam tidak jauh beda dengan Kailla. Telunjuknya Pram mengarah ke pinggir pintu, meminta Sam berjaga.

Sam terbelalak. Permintaan Pram membuat pria muda itu tersentak.

“Ya Tuha, aku tidak tahu kalau tugasku juga harus mengawal pasangan suami istri sedang bereproduksi,” gerutu Sam dalam hati. Meskipun kesal, ia tetap menurut. Berjongkok sambil meratapi nasibnya. Dikeluarkannya *I*Phone terbaru dari kantong celana. Diusapnya pelan dan hati-hati. Benda itu mungkin hanya biasa-biasa saja di mata kedua majikannya, tetapi menjadi barang mewah untuknya yang hanya seorang asisten merangkap sopir.

“Harus hati-hati. Tidak boleh sampai lecet. Cicilannya masih enam bulan lagi,” ungkap Sam tersenyum. Setelah bosan mengoleksi motor dan mencicilnya sepanjang tahun, Sam beralih ke ponsel.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 sore saat Pram menguraikan pelukannya pada Kailla. Sang istri masih terlelap, nyaman menyembunyikan tubuh telanjangnya di balik selimut hangat. Berbeda dengan Pram. Pria itu sudah terjaga sejak sejam yang lalu. Ia memilih menatap layar ponsel untuk memeriksa beberapa email yang dikirim Stella padanya.

“Sayang, mau ke mana?” tanya Kailla dengan suara serak. Matanya masih setengah terpejam. Tidurnya terusik akan pergerakan ranjang saat Pram bangkit berdiri dan memungut pakaian mereka yang berhamburan di lantai hotel.

“Ke kamar mandi. Aku mau mandi dulu. Mau ikut?” tawar Pram. “Bathtub lumayan besar, bisa menampung dua orang.” Pram tersenyum simpul.

“Tidak. Aku harus memerah ASI. Sam masih di luar, kan?” tanya Kailla.

“Masih.”

Tepat saat Pram masuk ke kamar mandi, ponsel hitam milik pria itu berdering di atas nakas.

“Sayang, ponselmu!” teriak Kailla sambil mendekap selimut di dadanya. Diraihnya gawai hitam suaminya. Mata Kailla membulat hebat saat mendapati nama Jeniffer muncul di layar ponsel yang berkedip.

“Siapa lagi dia? Kenapa menghubungi suamiku!” Kailla geram sendiri. Ia mematikan ponsel Pram tanpa banyak pertimbangan. Sedetik kemudian, bukan hanya suara dering yang hilang, layar gawai pun menghitam.

***

Tbc

Pram & Kailla 3

“Sam, kamu di sini?” Kailla terperanjat saat membuka pintu kamar hotel dan mendapati Sam duduk di koridor tepat di dekat pintu. Asisten itu hampir terlelap. Kepalanya tertunduk ke depan setiap beberapa menit sekali.

“Ah, Non sudah?” tanya Sam, mengusap sudut bibirnya yang basah. Asisten itu buru-buru berdiri, mengumpulkan nyawanya yang beterbangan.

“Kenapa tidak menunggu di lobi atau di mobil? Bisa tidur lebih nyaman.” Kailla masih terus mengoceh. Melangkah keluar sambil menenteng cooler bag tempat menyimpan asi yang baru saja diperahnya.

“Pak Pram memintaku menunggu di sini.” Sam menjawab dengan polosnya.

“Sam!” Kailla memukul lengan asistennya dengan kencang.

“Omongan Pram jangan didengar. Dia memang selalu begitu. Lain kali, kalau suamiku meminta hal-hal yang tidak masuk akal, tidak perlu di dengar. Ia tidak pernah serius dengan ucapannya.” Kailla menjelaskan.

“Oh begitu. Baiklah, besok-besok aku tidak akan mengikuti semua permintaan Pak Pram.”

Tepat saat Sam menyudahi ucapannya, Pram keluar dari kamar hotel. Matanya melotot, menatap tajam pada Sam. Ia bisa mendengar jelas apa yang baru diucapkan Sam.

“Berani membantah, aku akan memecat Kin dan Bin!” ancam Pram. Ia tahu jelas pada kelemahan Sam yang ada di dua pengasuh putranya.

“Ma-maaf, Pak. Aku tidak akan membantah.” Sam menurut, kepalanya tertunduk.

“Oh ya, jemput Bayu di kantor. Aku meninggalkannya tadi. Kailla akan pulang bersamaku.” Pram mengingatkan Sam.

***

Menikmati kebersamaan di perjalanan, tangan Pram tak henti menggenggam meskipun konsentrasinya tertuju pada jalanan. Sejak menambah titel baru, tujuh bulan yang lalu, kehidupan Pram dan Kailla banyak berubah. Waktu yang dulu dihabiskan berdua dengan saling memanjakan, sekarang harus dihabiskan berempat, berbagi dengan anggota baru Pratama.

Bentley hitam Pram masuk ke dalam pekarangan rumah setelah penjaga gerbang menekan tombol otomatis untuk membuka pintu raksasa istana Reynaldi Pratama. Komplek perumahan mewah di sebelah barat Jakarta dengan view laut di depan rumah. Salah satu kawasan tinggal para crazy rich Jakarta. Khusus untuk kediaman Pram, ia menjadikan dua rumah di dalam satu pekarangan.

Ya, beberapa hari setelah Kailla melahirkan, Pram resmi membeli rumah di sebelahnya. Dengan melakukan sedikit renovasi dan membongkar pagar pembatas, jadilah kedua rumah mewah itu menjadi satu kesatuan. Rumah tinggal baru itu diperuntukkan untuk Ibu Citra supaya leluasa menengok si kembar dan membantu mengawasi kedua putranya selama Kailla kuliah.

Terlihat Pram berlari turun lebih dulu, mengekor di belakangnya Kailla yang sibuk membalas chat dari grup wa kampus. Membahas acara seminar yang akan diadakan di kawasan Puncak.

Si kembar menjerit kegirangan saat mengetahui kedatangan Pram. Baby Bent merangkak mendekat, menarik celana kain Pram dan si Kent terlihat duduk sambil berceloteh tak jelas.

“Ya, nanti. Daddy harus mandi dulu baru bisa menggendongmu.” Pram membungkuk untuk melihat putra sulungnya lebih dekat. Tampak Kinara sedang menemani Kent dan Binara sedang mengawasi Bent. Ibu Citra duduk dengan wajah cemberut tidak jauh dari kedua cucunya.

“Ma, ada apa lagi?” tanya Pram. Ia berjalan mendekati mamanya.

Terdengar helaan napas kasar wanita tua itu. Raut wajahnya masih tidak bersahabat.

“Istrimu ... sampai sekarang belum kembali ke rumah!” adu Ibu Citra dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Ma, sudahlah. Kailla bersamaku ....”

“Tidak perlu membelanya. Sejak awal aku sudah tidak setuju dia kuliah!” tegas Ibu Citra, menatap tajam manik mata putranya.

“Ma, kuliah untuk kebaikan Kailla juga. Lagi pula anak-anak tidak terlantar. Kailla juga tetap memberi asi untuk si kembar. Masalah Mama itu di mana?” tanya Pram, berbalik badan menatap ke belakang untuk memastikan Kailla belum masuk ke dalam rumah. Ia tidak ingin Kailla mendengar kalimat-kalimat pedas yang keluar dari bibir mamanya.

“Cih! Asi basi," gerutu Ibu Citra.

“Ma ....” Pram mengeraskan suaranya.

“Kalau bisa memberi ASI langsung, kenapa harus diperah dan disimpan berjam-jam. Berhari-hari untuk kedua cucuku,” lanjut Ibu Citra.

“Ma, Kailla itu kuliah bukan kelayapan tidak jelas. Bagaimana dia bisa memberikan ASI langsung, sedangkan dia harus ke kampus. Selama di rumah, Kailla selalu menyusui anak-anak dari sumbernya langsung.” Pram membela.

“Nah itu! Kuliah tanpa tujuan yang jelas. Masih lebih penting mengurusi anak-anak di rumah dibandingkan kuliah. Coba kamu sebutkan satu saja tujuan Kailla kuliah itu untuk apa?” tanya Mama Citra masih bersikeras.

“Belajar tidak butuh alasan. Lagi pula aku yang memintanya kuliah, Ma. Jangan menyalahkan Kailla,” tegas Pram.

Ibu Citra tergelak. “Kailla-mu itu ... mau dikuliahkan sampai ke bulan sekalipun, otaknya hanya sampai di situ saja. Tidak akan menjadi pintar. Tidak akan menjadi profesor, apalagi doktor!”

“Ma ....” Pram menelan saliva setelah meneriaki sang mama. Raut wajahnya berubah saat mendapati Kailla sudah berdiri di ambang pintu mendengar percakapannya dan sang mama.

“Kai, tolong bawa anak-anak ke kamar. Aku masih harus membahas sesuatu dengan Mama,” pinta Pram setelah melihat wajah cemberut Kailla.

Kailla menurut. Menyapa Mama mertuanya sekilas. “Ma.”

“Ya,” sahut Ibu Citra singkat. Mengikuti pergerakan menantunya dengan senyum sinis.

“Nenek lampir itu benar-benar menguji kesabaranku. Aku tahu, aku tidak punya otak, tetapi tidak perlu diingatkan berulang-ulang.” Kailla membatin. Ia sudah kesal sendiri. Kalau tidak memikirkan perasaan Pram, ia sudah akan menyingsing lengan bajunya dan mengajak perang.

“Kin, Bin, bawa anak-anak ke kamar.” Kailla menurut tanpa banyak protes. Sejak ia memutuskan menerima permintaan Pram untuk melanjutkan kuliahnya, sikap sang mama mertua perlahan berubah. Awalnya, Kailla mencoba mengerti, tetapi semakin ke sini omongan mertuanya semakin kelewatan. Kalau tidak mengingat statusnya istri Pram, sudah dipastikan ia akan menendang keluar Ibu Citra. Ia tidak mungkin tinggal diam seperti saat ini.

“Kin, Mama mengomel terus, ya?” tanya Kailla sambil berjalan menuju ke kamar.

“Begitulah, Bu. Seperti tidak tahu Oma saja.” Kinara menjawab sambil menggendong Kentley.

“Bin, tolong masukan ke freezer, biarkan Bentley bersamaku,” pinta Kailla mengambil alih putranya dan menyerahkan cooler bag pada Binara. “Jangan lupa dicantumkan tanggal,” pinta Kailla lagi.

“Ya, Bu.”

“Anak-anak sudah makan sore, kan?” tanya Kailla lagi.

“Sudah, Bu. Baby Kent sepertinya sedang tidak enak badan. Tadi disuapi cuma makan sedikit,” adu Kinara yang memang bertanggung jawab pada bayi Kentley.

“Apa dia tidak suka dengan menunya? Besok aku coba memasak menu yang lain.” Kailla tampak berpikir. Menjadi ibu dari baby Bentley dan baby Kentley, ia belajar banyak hal. Tugasnya pun bertambah. Di tengah kesibukannya kuliah lagi, ia harus tetap memberikan asi pada kedua putranya.

Apalagi sebelum berangkat ke kampus, Kailla harus menyiapkan MPASI kedua putranya dan sarapan pagi untuk Pram. Khusus untuk dua hal itu, Pram tidak mengizinkan orang lain melakukannya. Pram hanya akan sarapan dengan masakan buatan Kailla dan anak-anak hanya akan mengonsumsi makanan pendamping ASI buatan sang mommy. Itu adalah aturan Pram yang tidak bisa diganggu gugat.

***

Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!