NovelToon NovelToon

Inilah Aku!

Katanya Aku 'Pembunuh!'

"Dasar pembunuh! PEMBUNUH! Kembalikan anakku!" teriakan itu berkali-kali terucap ulang dari mulut pria yang berdiri dan memandangku dengan tajam, tatapannya seakan ingin menikam dan melenyapkanku dari dunia ini.

"Kenapa harus dia, kenapa bukan kamu saja yang meninggal!" lagi, teriakan dari pasangan sang pria yang menatapku tajam, malah menangis segunggukan dan menatap dengan tatapan menyalahkan diriku.

Aku hanya diam, tak membuka mulutku sedikitpun. Padahal aku juga terluka, padahal aku juga sakit, tapi mereka tak peduli. Padahal bukan hanya mereka yang kehilangan anaknya, aku pun juga kehilangan satu-satunya saudaraku, saudara kembarku tepatnya.

Aku menunduk, tanganku terkepal erat, kuterima semua tuduhan yang sama sekali tak benar dalam diam. Tubuhku terkadang diguncang karena diriku tak juga membuka suara menjawab mereka, tamparan keras tak sedikit mendarat di pipiku. Namun, aku tetap diam. Air mata pun tak ada yang keluar, apa aku telah berubah menjadi gadis tanpa hati setelah ditinggal oleh kakak kembarku. Aku pun tak tahu bagaimana perasaanku sekarang, pikiranku kosong dan hanya mampu mendengar teriakkan kedua orang tuaku tanpa melawan.

Lelah berteriak, pria yang sejak tadi menatap garang diriku terduduk sambil memegang tengkuknya. Pria yang juga ayah kandungku terlihat meringis, menahan sakit. Si wanita yang juga merupakan Ibu kandungku, ikut duduk dengan raut wajah khawatir seraya memegang dada suaminya. "Jantung papa sakit?" tanyanya dengan nada suara yang bergetar ketakutan. Sepertinya dia takut jika suaminya menyusul anak laki-laki mereka. Wanita yang juga merupakan Ibuku itu menoleh dan menatapku dengan sangat-sangat tajam. "Semua karena kamu! Semua salahmu! Lebih baik kamu yang pergi untuk selamanya?! Semua kesialan ini terjadi karena KAMU!" ucapan menyakitkan dan tuduhan tak benar kembali menikam diriku, aku hanya dapat tersenyum getir mendengar kata-kata kasar dan makian dari Ibuku.

"Keluar kamu, keluar sekarang juga!" hardiknya padaku yang tak juga membuka mulut atau melawan sejak tadi. Aku keluar dengan langkah tegar, senyum pahit tergambar jelas di bibirku. Begitu sampai di kamar, aku menutup pintu dan bersandar di baliknya. Tubuhku merosot jatuh, terduduk di lantai yang dingin. Ah, bahkan perasaan dingin ini mengalahkan rasa dingin yang ada di hatiku. Air mata yang tadi terbendung akhirnya menggenang juga, aku menangis dalam diam. Sebenarnya dari mana semua ini terjadi, kesalahan apa yang kulakukan. Mereka orang tuaku, tapi mereka membenciku seperti membenci musuh bebuyutan mereka.

Aku berdiri dan menyeret langkahku yang terasa sangat berat, seolah ada beban yang menggelantung dan semakin memberatkan setiap langkah yang kuambil. Kuhempas tubuhku ke atas ranjang, ranjang tua yang tak pernah diganti setelah sekian lama pun berderit. Suara deritan seakan meronta meminta untuk diperlakukan lebih baik lagi, salah-salah ranjang ini akan ambruk beberapa waktu ke depan.

Kuusap wajahku kasar seraya menghela napas panjang, kembali teringat kejadian beberapa waktu lalu, saat saudara kembarku menghembuskan napas terakhirnya menggantikan diriku. "Kenapa kamu harus melakukan itu, kak?" lirihku bertanya dengan air mata yang mengalir lambat di ujung mataku.

"Andai saja kakak tak menggantikan aku, itu pasti lebih baik untuk semua orang." senyum getir kembali terpatri di sudut bibirku, perlakuan Ayah dan Ibuku tadi kembali membuatku terpuruk dalam kesedihan.

"Kakak yang disayang dan bukan aku, seharusnya kakak yang tetap hidup tanpa mengorbankan nyawa untukku!" raungku dengan perasaan marah, sedih, dan kecewa yang sangat terasa.

Aku memang masih bocah, masih butuh kasih sayang. Namun, Ayah dan Ibuku selalu tak memedulikan diriku. Bagi mereka hanya kakak kembarkulah yang pantas jadi anak mereka. Kak Adrian sangat baik dan memiliki kepintaran yang selalu dibanggakan oleh orang tuaku. Sedangkan aku, hanya aib yang tak pantas menjadi bagian dari mereka. Kata Ibuku ketika dia marah, aku hampir merenggut nyawanya karena terlalu susah dan lama terlahir. Ibulah sebabnya aku dibenci, terlebih aku tak mau dicintai hanya karena pintar dan sebagainya. Aku ingin merasakan kasih sayang yang tulus dari Ayah dan Ibuku, bukan karena ada sebab apapun, tapi hanya karena aku anak mereka. Namun, sepuluh tahun lebih bersama, tak pernah sedetik pun kurasakan kasih sayang tercurah dari mereka untukku.

Keberadaanku dianggap angin, tak dipedulikan, dan malah terlupakan. Aku tak protes, tak menyuarakan pendapat, dan tak juga ingin mengubah diriku agar lebih pintar guna menarik perhatian orang tuaku. Aku cukup bahagia melihat mereka tertawa bersama kakakku, tak ada rasa iri yang kurasakan pada kembaranku itu. Saudara kembarku, Adrian juga sangat baik padaku, dia membagi hadiah ulang tahun yang dia terima setiap tahunnya. Hanya dia satu-satunya tempat aku mendapat kasih sayang keluarga. Namun, semua tak akan sama lagi. Tak akan ada hadiah yang terbagi, tak akan ada tawa ceria lagi, aku ditinggal sendiri, diselamatkan oleh dia yang menjadi keluargaku yang sesungguhnya selama ini.

Aku tak peduli dengan hinaan serta cacian orang tuaku tadi, kalau bisa diubah, aku ingin menggantikan dia untuk pergi. Biarkan Adrian hanya selamat, biar keluargaku bisa terus bahagia. Pikiranku kusut dan terus-menerus menangis tertahan. Hingga batasnya,aku tertidur karena kelelahan.

Keesokan harinya, aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Aku seperti orang linglung, kepalaku berdenyut sakit tak tertahankan, belum lagi mataku yangbengkak disertai rambut yang sangat acak-acakan. Hasil jambakan atau karena bangun tidur, aku pun tak bisa memastikan. Kupegang pipiku, sedikit sembab terasa di ujung jariku. Aku pun tersenyum kecut. "Rupanya bukan mimpi," lirihku pilu, setetes air mata kembali menodai pipiku yang tirus.

"Padahal aku berharap semua yang terjadi kemarin adalah mimpi, kak," lanjutku, dadaku semakin sesak terasa.

"Ha-ha, bodohnya aku yang berharap," tawa sumbang terdengar bercampur dengan kepahitan.

"Kamu pergi, kak! Dan bagaimana aku menghadapi kehidupan bagai di neraka sendirian?" keluhku sambil memeluk lututku.

"Huh, dan kamu membuatku berjanji untuk tetap hidup dan bahagia? Lebih parahnya lagi, kenapa aku mengiyakan permintaan terakhirmu? Sungguh, julukan idiot sangat pantas untukku?" ocehku meluapkan sedikit rasa sesak di dadaku.

Kuhapus air mataku dan melangkah gontai ke kamar mandi, kutatap pantulan diriku di cermin. Aku tertawa miris melihat penampilanku sendiri, satu kata yang bisa mengibaratkan semuanya, aku kacau, baik dari segi penampilan ataupun dari segi kondisi batinku yang terguncang. Melihat saudara sendiri meregang nyawa bukanlah hal mudah untuk dilupakan.

Aku menunduk sebelum kembali mendongak. "Kakak tenang saja, aku pasti akan menepati janji yang kubuat! Meski aku tak bisa bahagia sekarang, aku bisa bahagia di masa yang akan datang ..., mungkin!" kataku disertai senyum kecil yang jelas kupaksakan. Kata 'Mungkin' kuucapkan dengan sangat lirih, aku tak yakin apa aku bisa bahagia atau tidak. Aku hanya perlu mencoba dan berusaha untuk menepati janji, keinginan dari kembaranku.

Si kembar.

Adrian dan Adriana, dua saudara kembar yang lahir dari pasangan Ferdian. Keduanya tumbuh dengan berbeda, Adriana yang tumbuh tanpa kasih sayang dan membatasi kemampuan berpikirnya. Gadis kecil ini tak mau mengeluarkan kepintarannya untuk menarik perhatian Ayah dan Ibunya, dia mendapat nilai seadanya, asal lulus baginya sudah cukup. Ana, begitulah biasanya sang kakak kembar memanggilnya. Gadis yang tak berambisi untuk memperoleh kasih sayang seperti yang didapat kakaknya, dia hidup seperti tak terlihat dan tetap bebas tersenyum. Ada pelayan yang bersikap baik padanya, ada juga yang menjahati gadis kecil itu karena merasa sang nona muda tak memiliki kuasa untuk menghukum mereka.

Jika Adriana diperlakukan seperti angin yang tak terlihat dan tak diperhatikan, lain lagi dengan Adrian. Semua yang diinginkannya akan dia dapatkan sebelum dirinya mengucapkan apapun. Kebutuhannya selalu dipenuhi tanpa kekurangan sedikitpun, kasih sayang tercurah tanpa henti dari kedua orang tuanya. Dia jenius, ramah, sopan, dan baik hati. Tak jarang Adrian membagi hadiah dan benda-benda yang dia miliki pada adik kembarnya. Adrian menjadi satu-satunya oase bagi Adriana yang haus akan kasih sayang, meski tak meminta, bukan berarti Adriana tak pernah berharap suatu saat orang tuanya bisa lebih melunak.

Adrian menempati kamar utama yang luas dan teramat rapi, tak ada setitik pun debu yang terlihat di sudut mana pun. Beda dengan Adriana yang diberi kamar di dekat kamar pelayan, gadis kecil itu menempati ranjang kecil yang terlihat lebih lusuh dari kamar para pembantu di rumah mereka. Adriana kecil tak menggubris hal itu dan tak berpikir jauh, dia hanya menerima dan merasa sang kakak memang pantas mendapatkan yang terbaik. Saudara kembarnya kan selalu menjadi kebanggaan Ayah mereka, berapa banyak piala dan berapa sering wajah tuan muda Ferdinan muncul di koran karena kejeniusannya.

Semua indah, Adriana tak pernah berpikir akan ada masa yang membuatnya akan merasakan kesakitan yang membuat jiwanya mati. Semua salahnya, dia yang mengajak sang kakak menyelinap keluar diam-diam hanya untuk bermain dan membeli es krim. Adrian yang sangat menyayangi adiknya pun mengiyakan saja, dia bahkan melarang pengawal yang ditugaskan oleh Ayahnya untuk mengikuti dirinya. Dia beralasan hanya ingin bermain di taman depan, padahal mereka keluar lewat lubang kecil yang berada di dinding dan tertutup semak.

Semua lancar di awal, mereka menikmati jalan-jalan berdua sebagai saudara kembar dan menghabiskan waktu dengan penuh senyuman. Adriana tahu dia akan dihukum saat pulang nanti, tapi dia tak terlalu peduli. Dua cukup bahagia bermain di luar bersama kakaknya seperti sekarang, hal mustahil dan bisa dipastikan tak akan pernah terjadi. Namun, siapa yang menduga, keduanya telah diintai dengan orang suruhan dari rival bisnis Ayah mereka. Saat akan kembali, keduanya diculik. Penculik tadi tentu saja menghubungi orang tua mereka, meminta tebusan dengan nilai yang sangat fantastis.

Adriana ketakutan, dia menangis terisak dan membuat keributan. Si penculik kesal, dipenuhi emosi, sang penculik menampar bahkan mengancam akan menembak gadis kecil tersebut. Adriana terdiam segunggukan, dia menatap takut pria tadi. Adrian memeluk erat sang adik guna menenangkan tubuh kecil yang bergetar ketakutan itu. Meski dia sendiri juga takut, tapi sebagai kakak, Adrian berpikir untuk melindungi sang adik dan berusaha menenangkannya.

Melihat kesempatan, Adrian mengajak Adriana untuk kabur. "Ana, kita kabur sekarang!" kata Adrian berbisik lirih di telinga sang adik.

Adriana menggeleng takut. "Jangan kak, lebih baik kita tunggu Ayah saja. Ayah pasti akan menyelamatkan kakak!" balas gadis kecil itu, dia tak ingin ditampar apalagi ditembak seperti ancaman sang penculik tadi. Bagaimana kalau penculik itu menampar kakaknya yang baik, bagaimana kalau kakaknya juga terkena tembakan karena kecerobohannya. Adriana tak mau itu terjadi pada kakak yang dia sayangi.

Adrian menggeleng. "Kita harus berusaha! Percayalah, kakak akan selalu melindungi kamu!" ucap si kakak keras kepala berusaha meyakinkan adiknya.

"Tapi, kak ...," lirih Adriana ragu. Siapa yang tak mau kabur, tentu saja dia ingin segera keluar dari tempat penyekapan mereka. Namun, sekali lagi. Gadis itu takut sang kakak kenapa-napa.

"Tak apa." kata Adrian cepat, dia memberikan sebuah senyum seolah meyakinkan adiknya yang masih ragu.

"Ayo!" ajak pria kecil itu menggenggam tangan adiknya. Dia menarik napas dan memberanikan diri mengambil langkah.

"Kita pelan-pelan saja," busuknya seraya menoleh ke belakang. Dapat Adrian lihat sang adik mengangguk patuh.

"Pintar." puji Adrian menepuk pelan kepala adiknya. "Setelah keluar dari sini, kita akan makan banyak permen dan kue yang manis!" lanjut Adrian memberi janji agar sang adik tak terlalu merasa takut.

"Ikuti kakak saja dan jangan membuat keributan agar kita tak ketahuan!" tambah sang kakak. Keduanya berjalan dengan langkah pelan, mengendap-endap mencari jalan keluar agar bisa bebas lebih cepat.

Setelah keluar dari rumah tua tempat mereka di sekap, keduanya berlari dengan kaki mereka yang kecil dan lemah. Tak berapa lama keduanya dikejar, teriakan yang menyuruh berhenti pun tak ada habisnya.

"Ingat, jangan menoleh! Anggap saja kita sedang bermain kejar-kejaran atau petak umpet!" kata Adrian. Keduanya terus berlari dengan napas terengah-engah.

"Kak, aku lelah!" bisik Adriana, wajah kecilnya basah karena air mata dan juga keringat.

"Sedikit lagi kita akan sampai ke tempat aman!" ucap Adrian cepat, wajah pria kecil itu juga sama basahnya karena keringat. Adrian tak membantah, dia terus berlari dengan sisa-sisa tenaganya.

Beberapa saat kemudian, Adriana tersandung kakinya sendiri. Dia tersungkur dan kakinya terluka, padahal mereka sudah sampai di jalan raya dan lumayan ramai. "Kamu tak apa? Masih bisa berdiri? Kita masih harus berlari!" kata Adrian tergesa, dia melirik ke belakang dan melihat para penculik mereka hampir menemukan keberadaan dia dan adiknya.

"Kalau tak bisa, sini kakak gendong!" kata Adrian tanpa pikir panjang. Baru saja dia akan menggendong adiknya, matanya melebar, salah satu penculik menodongkan senjata ke arah mereka. Refleks dia melindungi sang adik. Suara letusan dari tembakan membuat keributan, para penculik tak bisa mendekati dua bocah yang saat ini sedang dikerumuni massa. Mereka sibuk melarikan diri dan saling menyalahkan kegagalan mereka.

Adriana menarik napasnya yang terasa sesak, mengingat bagaimana sang kakak menghembuskan napas terakhir dipangkuan ya dan karena dirinya. "Saat aku memiliki kekuatan, aku akan membuat mereka membayar semuanya! Meski harus terkurung di penjara neraka, bagiku tak ada artinya, asal mereka mendapat bayaran yang setimpal!" desis Adriana, bocah kecil yang harusnya hidup dalam kebahagiaan itu malah memupuk dendam dan tumbuh menjadi orang yang dingin.

"Aku akan menjadi apapun, bahkan yang terburuk sekalipun tak masalah buatku!" katanya yakin.

Putusan.

Setelah mengurung diri dan melamun, mengenang detik-detik akhir sang kakak meregang nyawa karena dirinya. Adriana akhirnya keluar dari kamarnya.

"Heh, kamu! Kamu dipanggil nyonya! Cepat sana!" hardik salah satu pelayan yang tak suka dengan Adriana.

Gadis kecil itu menatap dalam diam, dia tak menjawab dan memilih berlalu pergi ke kamar orang tuanya. Begitu sampai, Adriana mengetuk pintu kamar Ayah dan Ibunya.

"Masuk!" suara tegas sang Ibu terdengar, tak ada sedikitpun kasih sayang di dalam suara tadi yang bisa Adriana dengar.

Adriana masuk sesuai perintah, dia hanya berdiri diam seperti seorang pesakitan yang menunggu putusan hukuman. "Huh, sangat bagus. Kamu masih bisa tidur setelah semua yang terjadi karenamu!" cibir sang Ibu menatap Adriana seperti menatap musuhnya sendiri.

"Aku sudah berbicara dengan suamiku ...," ucap sang nyonya rumah menggantung kata-katanya.

Adriana tetap diam, dia berpikir paling buruk dia akan dibuang ke panti asuhan yang jauh dan terpencil. Dia akan didaftarkan sebagai anak yatim atau apalah namanya. Bukan hal buruk bagi Adriana yang tak mengharapkan apa-apa.

"Aku tak peduli apa yang akan mereka lakukan padaku, mau dibuang ke panti asuhan atau dikeluarkan dari daftar keluarga juga tak masalah! Aku akan memikirkan dan berusaha untuk tetap hidup dan meraih kesuksesan, kemudian aku akan membalas mereka yang telah melakukan hal jahat pada kakakku!" batin Adriana dengan tampang datar seolah tak memiliki hati.

"Kamu akan dikirim ke luar negeri, sekolah di sana dan hiduplah sebagai ADRIAN! Kubur nama Adriana selama-lamanya!" titah sang Ayah yang sejak tadi diam. Adriana mendongak, menatap wajah orang tuanya yang sudah membuat keputusan yang besar dalam hidupnya.

"Kenapa diam? Kamu tak terima?" desak sang Ibu, nyonya Desita Ferdinan.

"Apa saya masih memiliki kesempatan untuk menolak, nyonya? Dan bagaimana kalau memang saya merasa keberatan?" untuk pertama kalinya Adriana membalas ucapan orang tua kandungnya.

"Lancang! Kamu yang membuat anak saya meninggal, kamu yang menjadi penyebab kami kehilangan putra berharga kami! Dan sekarang kamu tak mau mengikuti keputusan kami?!" bentak Desita meraung marah.

"Kami akan memaafkan kamu, maka lakukan seperti yang kami inginkan! Jalani sisa hidupmu sebagai Adrian tanpa ada siapapun yang tahu!" ucap Hermansyah dengan nada suara dingin.

"Ingat yang meninggal adalah kamu, putra kami masih hidup dan akan menua bersama kami!" oceh Desita tak masuk akal.

Adriana terdiam sebentar, sebelum senyum sinis terukir di sudut bibirnya. "Lakukan seperti yang anda inginkan, nyonya! Dan saya tak butuh maaf dari anda!" balasnya dengan tenang, tak ada rasa kecewa atau tertekan pada nada suara gadis kecil itu.

"Bagus, secepatnya kamu akan menggantikan posisi putra kami. Adriana sudah terkubur di dalam peti yang dingin! Sekarang yang akan melanjutkan hidup adalah Adrian, anak kebanggaan dan kesayangan kami!" senyum puas nampak jelas tercipta mengakhiri perkataan sang nyonya rumah.

"Lakukan sebaik mungkin, jangan biarkan teman-teman Adrian curiga sedikitpun! Dan juga gunakan otakmu yang bodoh dan tak berisi itu untuk berpikir! Nilai-nilai di sekolah baru nanti tak boleh turun meski hanya sekecil apapun?!" tambah sang kepala keluarga, Hermansyah Ferdinan.

"Jika kamu mengerti pergilah, kami akan mengurus sisanya!" usir Desita.

Adriana tak merespon sedikitpun perkataan Ibunya, gadis kecil itu hanya langsung berbalik dan pergi meninggalkan kamar orang tuanya. Dia tak banyak berpikir, dia juga tak melakukan persiapan apapun. Paling, dia hanya harus memotong rambutnya yang panjang. Masalah lain bukan urusannya, biarkan kedua tuan dan nyonya yang merasa sangat berkuasa itu yang mengatur semuanya. Dia hanya tinggal memainkan peran.

"Huh, gunakan otakku katanya!" ucap Adriana dengan senyum mencemooh.

"Seperti aku butuh hal-hal membosankan! Berpikir? Jika aku mau, aku bisa mendapat nilai yang lebih bagus dari Kak Rian, tapi aku malas mendapatkan kasih sayang hanya karena melakukan sesuatu terlebih dahulu," lanjut Adriana sambil melangkah ke kamar mandi.

Gadis kecil itu membasuh wajahnya dan menatap refleksi dirinya di dalam cermin. "Apa tak ada kasih sayang yang tulus buatku? Seperti yang biasa Kak Rian berikan untukku selama ini?" bisiknya sedih. Dia jadi merindukan sang kakak kembarnya.

Adriana keluar dari kamar mandi dan duduk di pinggir jendela yang terbuka lebar, matanya menatap jauh ke depan, seolah menembus kegelapan. Biasanya di saat seperti ini, sang kakak akan menghampiri Adriana dan menghabiskan waktu bersama dengan bercerita. Adrian lebih sering menceritakan tentang kesehariannya selama berada di luar, juga berbagi hadiah atau makanan yang dia dapatkan. Namun, sekarang semuanya tak akan pernah terjadi lagi. Cahaya hangat itu tak akan menyentuh hati Adriana yang semakin mendingin.

"Setidaknya aku bisa menjadi dirimu, kak!" senyum tulus untuk pertama kali tersungging di bibir Adriana, meski hanya sesaat. Namun, itu seakan melelehkan sedikit kebekuan di diri gadis kecil yang malang ini.

"Aku melakukan ini bukan untuk mereka, bukan juga untuk mengiba kasih sayang dan perhatian dari mereka. Apalagi untuk menggantikan atau merebut posisi kakak sebagai anak tersayang di keluarga Ferdinan. Aku melakukan ini untuk diriku sendiri, untuk menebus dosa karena telah membuat kakak mengorbankan nyawa." kata Adriana mendongak, menatap langit yang dihiasi bulan purnama.

"Aku pikir aku dulu menginginkan sedikit perhatian dari mereka, orang tua kita, kak. Nyatanya, aku hanya butuh kasih sayang darimu saja. Bodohnya aku yang tak sadar saat kamu ada di sini, kak." Adriana terkekeh kecil, tapi kekehannya tak terdengar bahagia. Justru kekehan gadis kecil itu terdengar pilu dan menyakitkan.

Adriana berdiri, mendekati lemari kecil di samping tempat tidurnya. Dibukanya lemari tersebut dan ditariknya laci paling bawah. Tangan kecil Adriana mencari-cari sesuatu di dalam laci yang baru saja dia buka. Kilat putih terlihat, terpantul cahaya dari lampu kamar. Di tangan Adriana sudah memegang gunting yang terlihat tajam dan berkilat sedikit menyilaukan. Adriana menaruh gunting tadi di atas meja, dia beralih mengambil ikat rambut. Adriana mulai menyisir rambutnya dan mengikat semuanya menjadi satu, gadis kecil itu menarik napas panjang sambil menutup mata. Sebelah tangannya memegang rambutnya yang telah terikat, sebelah tangannya yang lain memegang kembali gunting yang tadi dia letakkan di meja.

"Izinkan aku menjadi dirimu, kak! Kuharap aku bisa selamanya dan membuat cerita bahagia seperti yang kujanjikan!" selesai berucap, mata Adriana terbuka. Dengan satu gerakan, rambut panjang miliknya telah terpotong. Bukan potongan rapi, tapi gadis itu tak peduli. Dia hanya menuruti apa yang ingin dia lakukan, tuan dan nyonya Ferdinan pasti mengurus rambutnya nanti.

Dimulailah kisah Adriana yang memutuskan untuk membuat dirinya menjadi seperti sang kakak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!