...( Episode 1 )...
Sejak kepergian Ayah dan Ibu. Aku tinggal bersama dengan salah seorang sahabat Ayahku, yang menyandang status sebagai suami sahku secara agama. Dan belum sah secara negara, karena umurku baru 18 tahun saat ini. Dan aku menikah dengan sahabat Ayahku saat masih berumur 17 tahun. Ya, tepatnya satu tahun yang lalu.
Aku masih ingat sekali, saat di mana Ayah meraih tangan Om Zidan. Dan memohon pada Om Zidan, agar dia mau merawat dan juga menjagaku. Tapi bukan hanya itu, Ayah juga meminta Om Zidan untuk menikahi dan menjadikan aku sebagai istrinya. Aku yang memang menyukai Om Zidan saat itu pun mengangguk setuju.
Saat itu memang saat-saat di mana aku baru mengenal apa itu cinta. Bisa dibilang, aku menyukai Om Zidan layaknya aku menyukai sebuah mainan baru. Jika sudah bosan, maka aku akan melupakannya dan mencari mainan baru lagi. Hahahaha. Aku malu menceritakan hal itu.
Dua hari setelah pernikahan tertutup itu, Ayah pun pergi menyusul Ibu ke surga. Aku benar-benar terpukul dengan kepergiannya. Kukira Ayah hanya bercanda dan hanya menakut-nakuti saja. Ternyata aku salah, Ayah benar-benar pergi meninggalku.
Tapi Ayah bilang, dia bisa pergi dengan tenang, karena aku sudah memiliki pengganti yang tepat di sisiku.
Ayah bilang, "Zidan ada bersamamu, Sayang. Dia akan menyayangimu sebagaimana Ayah sayang padamu. Dia akan menjagamu seperti Ayah dan Ibu menjagamu saat kecil dulu. Dia akan selalu ada untukmu, Nak. Hiduplah dengan tenang bersamanya."
"Hiks....." Aku menyeka air mata, sambil memandangi makam Ayah dan Ibu. Hari ini, adalah hari di mana genap satu tahun Ayah dan Ibu pergi meninggalkanku. Aku rindu, Ayah! Aku rindu Ibu!
"Jangan nangis lagi," lirih pria dewasa yang duduk di sampingku. Dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Mengelus punggung dan juga kepalaku dengan pelan dan lembut.
"Aku ada di sini untuk Manda. Aku nggak akan pergi meninggalkanmu."
Aku tau itu, dia selalu menenangkanku dengan mengucapkan kalimat itu. Dia selalu berkata, kalau dia akan tetap ada untukku, dan tidak pernah pergi meninggalkanku.
Aku pun mengusap air mataku sendiri dengan ujung hijab yang kukenakan. Lalu aku tersenyum padanya.
Dia Om Zidan, pria 29 tahun yang masih perjaka, katanya. Dan dia adalah SUAMIKU. Ya, dia suamiku yang belum mendapatkan haknya dariku sampai saat ini.
Hal itu bukan karena aku, ya. Tapi karena dia sendiri yang menahan diri. Katanya, aku harus menyelesaikan sekolahku dulu. Setelah itu, dia akan menikahiku dan menjadikan aku istri yang sesungguhnya. Yang sah secara agama ataupun negara. Begitu katanya setiap aku menggodanya. Hahahaha.
"Udah, jangan sedih lagi. Ayah dan Ibumu udah bahagia dan tenang di sana!" Sekali lagi ia memeluk dan menenangkanku. Dan aku suka sekali saat dia seperti ini. Kenapa aku bilang saat dia seperti ini?
Ya karena dia, dia memiliki pribadi ganda. Ada saat dimana dia benar-benar menunjukan jati dirinya. Dan ada saat dimana dia hanya diam dan bicara dengan tatapan mata atau gerakan tubuh saja. Jika sudah begitu, dia sedang dalam mode serigala mabuk namanya. Bercanda, dia pria yang bersih kok. Tidak minum alkohol dan juga tidak merokok. Hanya pencemburu berat aja.
"Kita pulang?" tanyanya saat aku sudah lebih tenang. Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban : iya.
Tanpa kuduga, Om Zidan merapikan hijabku, memasukkan anak-anak rambut lalu mengelus kepalaku. "Kita beli es krim sebelum pulang, mau kan?"
"Mau... Mau...." jawabku dengan semangat lalu meraih tangannya. Menggenggam tangan kekar itu sembari berjalan menjauhi makam Ayah dan Ibu. Dia hanya tersenyum tanpa berniat melepaskan tangannya dari genggamanku.
Jujur saja, satu tahun tinggal bersamanya, membuat aku mulai benar-benar jatuh cinta padanya. Kali ini jatuh cinta yang sebenarnya. Dan aku juga mulai belajar menghormatinya, sebagai suamiku. Bukan sebagai sahabat dari Ayahku lagi seperti satu tahun sebelumnya. Saat dimana aku cinta monyet padanya.
Dan satu tahun tinggal bersama dengan Om Zidan juga membuatku lebih mengenal lagi Agamaku. Dia banyak mengajariku tentang hal-hal yang belum sempat Ibu dan Ayah ajarkan.
Dua bulan yang lalu, tepatnya ketika ulang tahun Om Zidan yang ke 29 tahun. Dia meminta hadiah spesial dariku.
"Manda nggak punya hadiah spesial apapun untukmu, Om. Yang Manda punya hanya keperawanan. Apakah Om mau itu?" Jawabku saat itu. Dan jawabanku itu pun berhasil membuat tawa indah keluar dari bibir seksinya. Aku suka tawa itu.
"Gadis MESUM!" Dia mencubit hidungku.
"Aku ingin yang lebih berharga lagi dari itu," bisiknya lembut di depan telingaku.
"Apa?" Gemetar aku bertanya padanya.
"Rambutmu. Aku ingin hanya aku lah yang melihat betapa indah rambutmu ini." Dia melilit rambutku dengan tangannya. Lalu tangan itu beralih menyentuh leherku. Aku benar-benar merinding takut saat itu.
"Leher putihmu, aku ingin tidak ada orang yang selain aku yang bisa melihatnya. Tidak ada pria yang bukan muhrimmu lagi yang bisa melihat ini. Aku ingin, agar kamu menutupinya...." Tangannya menarik selimut tebal di sampingku. Lalu memakaikan selimut itu di kepalaku.
"Tunaikanlah kewajibanmu.... Tutupilah kepalamu sebagaimana kamu menutupinya saat sedang sholat. Aku ingin kamu memakai hijab, Manda."
Ternyata hadiah itulah yang Om Zidan minta padaku. Dan Alhamdulillah, aku pun bisa memberikan hadiah itu padanya. Tapi sebenarnya, akulah yang diuntungkan dengan hadiah itu. Karena aku lah sudah melaksanakan kewajiban dan juga perintah dari Tuhanku.
"Manda?" Panggil Om Zidan. Membuat aku langsung tersadar.
"Mikirin apa lagi?" Tanyanya sambil menatapku penuh interogasi.
"Mikirin Mike Angelo, Om! Makin hari dia makin tampan aja!" Candaku. Tapi walau begitu, Om Zidan tetap saja menampakan wajah tak sukanya.
Dia memang sangat sensitif mendengar aku menyebut nama Mike. Karena dia tau, kalau aku sangat tergila-gila pada Hot Daddy itu. Jangan contoh aku, ya. Tidak baik.
"Udah Aku bilang. Jangan sebut nama itu saat bersamaku! Aku nggak suka! Aku cemburu!" Dengan cemberut ia mengatakan itu.
Hahaha. Om Zidan memang lucu. Aku suka dengan dia yang tidak pernah gengsi untuk mengatakan kalau dirinya sedang cemburu.
"Maafkan aku!" Aku sudah mulai meringsut mendekatinya. Mumpung masih lampu merah. Hehehe.
"Jangan coba-coba merayuku!" Lembut ia menyingkirkan tanganku.
"Tapi maapin dulu! Manda janji nggak bakal sebut nama Mike lagi deh!"
"Itu baru saja di sebut!"
"Ya udah. Nggak usah dimaapin aja! Tapi jangan marah ya, nanti, kalau Manda nggak mau tidur di kamar lagi!" Ancamku. Biasanya kalau udah begini dia tidak akan cemberut lagi.
"Emmmm, tidur aja di sofa. Tapi kalau ada suara tokek lagi, jangan panggil-panggil aku, ya? Awas aja!"
Uh, imutnya. Ingin rasanya aku mencuri satu ciuman darinya.
"Ya sudah, nanti panggil nama Mike aja! Mike pasti datang untukku! Dan memenangkanku!"
"Jangan mimpi, ya, Istriku!" Dengan secepat kilat ia menciumi bibirku, sampai aku tidak sadar kalau dia benar-benar melakukan itu. Aku pun tersenyum sambil memalingkan wajah. Menatap mobil-mobil yang mulai melaju setelah lampu hijau terlihat.
Aku malu. Walau ciuman itu bukanlah yang pertama untukku. Entah, ini mungkin ciuman yang ke satu milyar. Sejak ciuman pertamaku pada tanggal 10 Juli lalu.
*****************
Sambil menepuk-nepuk pahanya, Om Zidan menatapku yang sedang sibuk membuka bungkus es cream cokelat bertabur kacang, kesukaanku. Dia terus saja menatapku, karena aku tak kunjung melangkah mendekati dirinya.
Dengan sedikit kesal Aku menghampiri Om Zidan yang tidak bisa sabar. "Kenapa, Om?"
"Kemarilah, Gadis Nakal!" Ucapnya sambil kembali menepuk pahanya. Apakah dia memintaku untuk duduk dipangkuannya?
"Mqnda berat, Om!"
Dia menggeleng keras. Seolah tidak ingin mendengar penolakan dariku. Dari pada dia gambek lagi, dan masalahnya semakin ribet lagi. Aku pun menuruti keingingannya. Duduk di atas pangkuannya.
Om Zidan diam. Dia tidak melakukan apapun selain menatapku yang mulai asik menggigit es cream.
"Om mau?" Tawarku. Dia tersenyum sambil menggeleng pelan.
"PR mu udah selesai semua?" Tanyanya sambil mengelus kepalaku yang masih terbungkus hijab.
"Sudah." Aku meliriknya sebentar. Menawarkan es cream ku padanya. Tapi dia tetap saja menolak.
"Berapa berat badanmu sekarang?"
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Kan tadi sudah kubilang, aku berat. Tapi kenapa dia masih bersikeras untuk memanggku, sih. Dan sekarang apa ini? Dia bertanya berapa berat badanku?!
"Hei, kalau ditanya jangan melamun, Manis!" Om Zidan mencubit pipiku lalu mengecupnya.
"Kan tadi Manda udah bilang. Manda erat, sekarang!"
"Iya, aku tau kamu semakin besar dan berat sekarang. Tapi aku kan bertanya berapa berat badanmu, Manda?" Dia gemas sendiri dengan sesekali mencium pipi dan juga sudut bibirku.
"Lima puluh empat!"
"Owh, hanya naik dua kilo saja," ujarnya kemudian memeluk tubuhku yang masih di atas pangkuannya.
"Memang aku berat sekali, ya, Om?" Kuusap pelan rambut hitamnya. Aku suka rambutnya. Wangi khas rambut pria tampan.
"Tidak sama sekali!"
"Masak?" Tanyaku tak percaya.
Om Zidan mengigit bibirnya, membuat aku berpikir yang tidak-tidak saja tentangnya. "Kenapa, Om?"
"Tidak apa, bibirku gatal aja." Dia tertawa sendiri. Mungkin sedang menertawakan nasib nya atau apa. Entah aku tidak tau.
Beep...
Satu notifikasi baru dari Hp-ku. Aku segera melirik ke arah benda pipih itu. Namun, belum juga tanganku menyentuhnya. Tangan kekar Om Zidan yang lebih dahulu menyentuhnya. Ia memindahkan tangannya dari pinggangku. Dan mulai sibuk dengan benda pipih itu.
"Kenapa? Apakah ada yang salah?" Tanyaku saat melihat perubahan ekpresi di wajahnya. Aku yakin, pasti ada hal yang tidak ia sukai di Hp-ku sekarang.
"Siapa Gilang?" Nadanya terdengar penuh interogasi. Tentunya dengan wajah yang mulai cemberut yang seram bagiku.
"Siapa? Kenapa malah bengong?" Dia memberikan Hp itu padamu.
"Kamu juga mengikutinya, dia melihat dan membalas story IG-mu!"
Aku tau, dia pasti sedang salahpaham sekarang padaku. Dengan pelan aku meletakan Hp itu di dekatnya. Lalu kukalungkan kedua tanganku pada lehernya.
"Kenapa marah, Om? Manda bahkan belum jelasin siapa dia. Tapi Om udah marah dan cemberut seperti ini!"
"Siapa dia? Apakah dia Gilang yang kamu pernah ceritakan dulu? Apakah dia Cinta Pertamamu itu?!"
Aku tau, dia sedang menahan api cemburu. Bukannya takut, aku malah suka melihat dia cemburu.
"Suamiku sayang...." Kukecup kedua pipinya. "Aku hanyalah gadis delapan belas tahun yang tidak tau apa makna cinta yang sebenarnya."
Dia diam, siap mendengar ucapanku selanjutnya.
"Tapi yang kutahu, aku merasa nyaman saat ada di dekat suamiku. Aku merasakan jantungku berdebar saat berdekatan dengan suamiku. Aku merasa malu dan pipiku panas saat mendapatkan tatapan dari suamiku. Dan aku, aku juga merasa cemburu apabila suamiku berbicara dengan perempuan lain di luar sana. Hanya itu yang kutahu. Aku mencintai suamiku...."
Om Zidan pun mulai tersenyum saat mendengar ucapanku yang sudah ahli dalam mengambil hatinya.
"Sekarang katakan, siapa cinta pertamamu?" Dia balas memeluk tubuhku dengan erat.
"Cinta pertamaku? Mungkin Muhammad Zidan Al-Ghozali?"
"Hanya mungkin?" Bibirnya kembali cemberut.
"Hehehe.... Kalau begitu, Manda yakin seratus persen, kalau cinta pertama Manda adalah seorang Om Tampan yang super pencemburu dan posesif!"
"Aku seperti itu, karena aku mencintaimu!"
Yeah. Jantungku berdebar mendengar pengakuan cinta itu. Ya walaupun aku sering mendengarnya. Tapi tetap saja. Jantungku berdebar setiap kali mendengar kata cinta terucap dari bibir seksinya.
Huhuhu... Aku ingin bibirnya. Tapi takut, dia pasti akan tersiksa saat hasratnya terpancing nanti oleh kenakalanku.
"Manda?" Om Zidan menurunkan aku dari pangkuannya. "Kamu masuk ke kamar dulu, ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan."
Aku hanya mengangguk patuh sambil meraih Hp-ku. Tapi, Om Zidan malah melotot ke arahku.
"Jangan main Hp sambil tidur! Apalagi di kamar cahaya lampunya redup!" Dia mengulurkan tangannya. Memintaku untuk memberikan Hp seharga ginjal ini padanya.
"Sepuluh menit aja, Om. Please...." Kudekap Hp itu agar dia memberikan izin. Aku janji, hanya sepuluh menit saja!
"Kamu mau melakukan apa dengan benda itu?"
"Mau hapus semua pria yang Aku ikuti. Kecuali Mike Angelo dan Om Suami," ujarku.
"Nggak perlu, aku nggak perlu itu darimu." Dia merebut paksa Hp itu dari tanganku.
"Yah, nanti kalau ada yang DM lagi, Om marah. Kalau ada yang nge-like atau komentar lagi, Om Cemburu. Maunya Om apasih?!" Kesalku. Padahal aku sudah berjanji untuk menjadi gadis yang patuh padanya. Tapi tetap saja, susah!
"Aku mau tau, setulus apa kamu mencintaiku dan menjaga cintamu agar tetap untukku, Manda!" Dia mencium keningku dua kali, lalu pergi ke dalam ruang kerjanya. Dengan membawa Hp ku.
Gagal sudah, padahal tadi aku ingin menonton siaran langsung Mike di IG. Aku sudah lama tidak melihat wajah dan senyumnya. Bisa-bisa aku gila dibuatnya!
"Emmm...." gumamku saat tangan dingin dan kekar Om Zidan menyentuh pipi dan hidungku. Aku bisa membayangkan, bagaimana tampannya dia sekarang.
Dia pasti sudah memakai baju koko, sarung dan juga pecinya. Pasti terlihat sangat tampan rupawan.
"Bangun, Manda. Katanya mau Tahajjud bareng! Ayo, bangun!" Dia mencubit pipi dan juga hidungku secara bergantian. Aku yang sebenarnya masih malas bangun pun memegang tangannya. Meminta ia berhenti mencubitku.
"Bener nggak mau bangun, nih?" Tanyanya dengan lembut.
"Sepuluh menit lagi, Om!" Aku malah meringsut mendekatinya dan meletakan kepalaku di atas pahanya. "Om udah siap, ya?"
"Emmm, tapi aku harus ulang wudhu' lagi. Kamu membatalkan wudhu' ku!" Kesalnya namun tetap saja ia mengelus kepalaku.
"Hehehe, maaf."
Setelah aku merasa puas dengan elusan tangannya. Aku pun bangun tanpa disuruh lagi. Ku kucek mataku sambil tersenyum melihat betapa tampan Suamiku saat ini.
"Udah? Udah puas liatiinnya?"
Hehehe, aku tersenyum malu kemudian turun dari kasur dan langsung melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Sekeluarku dari kamar mandi. Aku melihat Om Zidan sudah berdiri di atas sajadahnya. Di dalam Mihrob yang juga ada sajadah yang di gelar untukku di sana.
"Cepatlah!"
Aku tersenyum lalu memakai mukenah. Sedangkan Om Zidan merapikan sarung dan juga pecinya. Ia menatapku sekali lagi, memastikan aku sudah siap diimami olehnya.
"Dagumu, Manda!" Ujarnya sambil mencontohkan padaku dengan menyentuh dagunya. Aku pun tersenyum lalu memajukan mukenah hingga menutupi daguku.
Setelah itu, Om Zidan kembali meluruskan tubuhnya. Dan kami pun mulai melaksanakan sholat Tahajjud empat rakaat, dengan Om Zidan sebagai imam dan aku makmumnya.
Jantungku benar-benar berdebar kencang setiap kali diimami olehnya. Terutama saat aku mendengar setiap takbir yang ia ucapkan. Rasanya jantungku ingin lepas seketika.
Oh, ya. Aku lupa dengan siapa namaku yang sebenarnya. Jadi namaku Annisa Amanda. Orang lain sering memanggilku Icha, sedangkan Om Zidan dan para sahabatku memanggilku, Manda. Kata mereka, nama Icha sudah banyak di sekolah ataupun di sekitar rumah. Jadi mereka memilih untuk memanggilku Manda saja.
Aku sendiri heran. Namaku Annisa Amanda. Tapi darimana mereka memanggilku Icha? Ah, sudahlah, terserah mereka saja. Asal mereka tidak memanggilku Lisa saja. Lisa Blackpink maksudnya. Hahahaha.
Setelah sholat Tahajjud, aku dan Om Zidan sama-sama berdo'a. Dan tanpa sadar, air mataku menetes saat mendengar dan meng-aamiinkan do'anya.
Om Zidan menutup do'a dengan membaca shalawat sebanyak tiga kai kali. Aku mengikutinya.
"Ngantuk..." Dia tiba-tiba saja berbalik dan langsung mencium kening lalu memelukku. Pelukannya terasa begitu erat, hangat dan menenangkan. Aku pun tak tahan untuk tidak balik memeluknya.
"Bangunkan aku nanti, ya?!" Ucapnya sambil melepaskan tubuhku. Ia meletakan kepalanya diatas pahaku, memegangi tangan kananku, menciumi setiap buku-bukunya.
"Om?" Aku menusuk pipinya. Matanya yang terpejam pun terbuka lalu menatapku.
"Ada apa?"
"Apakah Om Zidan nggak marah kalo Manda terus manggil Om seperti ini?" Tanyaku. Karena jujur saja, aku merasa dia tidak nyaman dengan aku yang memanggilnya dengan sebutan 'Om'
"Kenapa aku harus marah, Manda? Aku tau, kamu suka memanggilku seperti itu. Panggil saja, aku suka mendengarnya!" Dia menciumi telapak tanganku.
"Atau, kamu mau mengubah panggilanmu? Kamu mau memanggilku apa? Sayang? Honey? Baby? Atau Hubby?"
Aku tertawa mendengar semua saran yang ia berikan. Kutundukan wajahku, lalu kucium pipi kanannya. "Sepertinya Om Suami lebih cocok!"
"Hahaha, panggil saja sesukamu, aku tidak pernah mempermasalahkan itu!"
"Hehehe, baiklah, Om Cintaku!" Aku pun tertawa saat ia dengan gemas mengigit pipiku. Aku suka dia, aku juga tidak pernah mempermasalahkan berapa usianya. Aku benar-benar jatuh cinta untuk yang kedua kali padanya. Pada dia, Om Pencemburu dan Posesif itu.
*****************
Saat matahari sudah terbit, aku dan Om Zidan pun sudah rapi. Aku dengan seragam sekolahku. Sementara Om Zidan dengan setelan kemeja dan juga jas kerjannya. Dia tetap terlihat tampan dengan pakaian apapun. Tapi mungkin, dia akan lebih tampan jika tidak memakai apapun?
Hahahaha. Aku tidak tau, ya. Karena sampai saat ini, aku tidak pernah melihatnya tidak memakai apapun.
"Habiskan sarapannya!" Ujarnya saat aku hanya menghabiskan setengah dari sarapanku.
"Sudah kenyang, Om!" Ucapku dengan nada yang dibuat-buat manja.
"Tinggal tiga suap saja, Manda. Habiskan lah!"
"Hihihi... Aku sudah kenyang!" Aku pun berdiri, lalu mengangkat hijabku. Menunjuk kan perut yang sudah kembung pada Om Zidan. Dia malah terkekeh melihat tingkahku.
"Baiklah, berikan padaku. Biar aku yang menghabiskannya!"
Dengan tersenyum malu aku mendorong piringku padanya. Dia memang begitu. Tidak suka melihat aku menyisakan atau tidak menghabiskan makanan atau minumanku. Dan jika sudah seperti itu, dialah yang akan menghabiskannya untukku.
**************
Setelah sarapan, kami pun melangkah keluar dari dapur. Om Zidan naik ke lantai atas terlebih dahulu. Lalu turun lagi sambil menentang tas kerjanya dan juga tas sekolahku.
"Makasih!" Ujarku sambil mengambil alih tas punggung berwarna biru tua miliku dari tangannya.
Om Zidan pun tersenyum. "Sama-sama, MANIS."
Dengan lembut ia meraih tanganku. Mengajakku untuk segera keluar dari rumah.
Setiap hari sekolah, dialah yang menghantar dan menjemputku. Kadang kalau dia tidak bisa, maka dia akan meminta Kak Henny untuk mengantar atau menjemputku.
Dan sejauh ini, Kak Henny baru mengantar beberapa kali saja. Itu pun karena Om Zidan harus masuk kerja lebih cepat dari biasanya .
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit. Mobil yang Om Zidan kemudikan pun berhenti. Tepat di samping kanan gerbang sekolahku.
Dia menatapku, memastikan kalau tidak ada satu pun dari rambut atau anak rambutku yang keluar. Jika ada, maka Om Zidan akan memasukkan mereka sampai semuanya terlihat rapi.
"Belajar yang serius! Kurangi mainnya saat di kelas!" Ucapnya mengingatkanku.
"Iya."
"Jangan dekat-dekat dengan yang bukan mahrammu!"
"Iya, Om."
"Baiklah, aku percaya padamu!" Kemudian dia mengelus kepalaku, sambil tersenyum semanis madu.
Setelah itu, aku pun meraih tangannya. Mencium punggung tangan dan telapak tangannya, lalu meletakan tangannya kembali di atas kepalaku.
"Jaga dirimu!" Ucapnya sebelum menurunkan kaca mobil.
"Hati-hati, Sayang..." lirihku sambil menatap mobilnya yang sudah melaju jauh. Aku sayang dia. Aku suka dia!
"Icha?" Panggil seseorang saat kakiku baru saja melangkah memasuki gerbang. Dengan sedikit malas aku memutar badan menghadap orang tersebut.
Dan seketika itu juga, wajah cuekku berubah menjadi ramah, ceria dan penuh senyum manis. Manisnya setara dengan satu liter madu murni.
"Selamat pagi, Buk. Ibu memanggil saya tadi?" Tanyaku sopan. Dia Bu Diah, guru Bahasa Indonesia di kelasku.
"Selamat pagi juga, Cha. Iya, Ibu tadi memanggilmu." Tangan Bu Diah tiba-tiba saja merangkul pundakku. Membuatku sedikit tidak nyaman. Tapi aku juga tidak berani menepis tangannya. Jadi kubiarkan saja.
"Kenapa Ibu memanggil saya? Apakah ada yang saya bisa lakukan untuk Ibu?" Sopan aku bertanya.
"Ada! Tapi ini jadi rahasia ya, di antara kita! Maksud Ibu, kamu jangan kasih tau siapa-siapa, ya?"
"Memang apa, Buk?" Aku menghentikan langkahku, saat Bu Diah terlihat ingin membisikkan sesuatu padaku.
"Tolong comblangin Ibu dong, sama Om Tampanmu itu!"
What?
Seketika itu juga aku mengerutkan dahi tak percaya.
Aku? Comblangin dia sama Om Zidan?
Oh, No!
Aku tidak bisa, Bu! Om Zidan kan suamiku! Enak saja, Bu Diah ingin merebutnya dariku!!
"Jika kamu mau, maka saya akan berikan kisi-kisi ujian padamu," imbuhnya. Masih dengan berbisik di depan telingaku.
Aku pun mengembuskan napas pelan. Lalu kutatap Bu Diah dengan seksama. "Apakah Ibu yakin?"
"Iya, Cha. Ibu itu sudah lama naksir Om-mu. Habis, orangnya tampan dan sholeh gitu!" Bahkan pipi Bu Diah memerah saat mengatakan hal itu padaku.
"Oooo, jadi Ibu ingin aku melakukan apa untuk Ibu?" Pura-pura aku bertanya. Penasaran saja, usaha apa yang ingin ia lakukan untuk mendapatkan hati SUAMIKU!
"Hehehe, untuk saat ini. Kamu cukup bilangin sama Om-mu. Supaya dia konfirmasi Ibu di IG. IG-nya kan dikunci, Ibu jadi nggak bisa kepoin dia!"
Cih. Bu Diah ini, Ibu tau tidak, kenapa IG Om Zidan dikunci? Itu karena aku yang memintanya, Bu!!!
"Oke, itu gampang, Bu!" Ujarku. Aku pun menatap jam tanganku, sepuluh menit lagi bel akan berbunyi. Aku harus segera masuk ke kelas untuk menaruh tas dan bersiap untuk ikut upaca bendera.
"Oh, ya, Bu. Kalau begitu, saya duluan ya, Bu!" Ujarku tersenyum ramah.
"Silahkan, Nak! Jangan lupa ya, comblangin Ibu!" Teriaknya Bu Diah tanpa malu.
"Comblangin? Dia kira aku akan benar-benar melakukan itu?" Gerutuku saat berjalan menuju kelasku di lantai dua.
"Di sekolah, Bu Diah tetap guruku! Tapi di luar urusan sekolah, dia akan menjadi sainganku!"
Aku pun membuka pintu kelas yang tertutup. Terlihat ada lima orang di dalam sana. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ada Qonita, si tukang make up, yang sibuk dengan kaca, lipstik dan juga bedaknya.
Ada Ayu Sintiya Dewi, si anak rajin yang sedang membaca buku, terlihat serius dan mendalami gitu.
Ada dua bocah laki-laki yang sedang merapikan rambut mereka. Menyisir dan juga mengoleskan minyak goreng sampai rambut mereka kinclaung seperti baru.
Dan satu orang lagi sedang menyiapkan meja guru. Dia Arina, si Ukhty yang sangat menghormati guru dan memperhatikan setiap apa yang berhubungan dengan guru di kelas kami.
"Selamat pagi!" Sapaku pada Qonita dan juga Ayu, kebetulan mereka berdua duduk di samping mejaku.
"Pagi, Manda" Balas Ayu tanpa mengalihkan pandangnya dari buku di tanganya. Abaikan, dia memang begitu!
"Pagi juga, Manda!" Balas Qonita. Dia juga sama, matanya masih fokus pada cermin di tanganya. Memastikan apakah lipstik-nya tidak berlepotan kemana-mana.
"Baca apasih, Yu?" Aku pun duduk di samping Ayu. Dia tidak menjawab apapun. Hanya memperlihatkan sampul buku yang ia baca padaku. Ilmu Pengetahuan Sosial. Begitulah bacaan sampul buku itu.
Karena bingung mau membicarakan apa dengan Ayu ataupun Qonita. Aku pun memilih untuk diam saja, menunggu sampai bel berbunyi atau sampai teman-teman yang lainnya datang dan menyapaku. Maka aku akan membalas sapaan mereka. Kecuali sapaan dari teman laki-laki di kelasku yang memang rada gesrek semua.
Aku, Ayu, dan Arina melangkah keluar dari kelas. Setelah bel pulang berbunyi tentunya.
Kami sama-sama melangkah menuju depan gerbang. Ayu biasanya dijemput oleh Abangnya. Bang Haikal namanya. Orangnya ganteng, baik, dan juga murah senyum. Aku akui, dia memiliki pesona yang luar biasa!
Dan jujur saja, dulu aku pernah naksir sama dia. Saat masih duduk di bangku SMA kelas satu. Tepatnya dua tahun yang lalu.
Sedangkan Arina biasa pulang dengan kakak sepupu perempuannya yang sekolah di sekolah yang berbeda. Kak Tamara namanya.
Tepatnya saat kami bertiga berdiri sekitar satu meter dari gerbang sekolah. Terdengar seseorang berteriak memanggil namaku. Spontan aku pun membalik tubuh menghadap orang itu. Diikuti oleh Ayu dan Arina.
Ternyata Bu Diah! Dia melangkah cepat ke arah kami. Dengan membawa sebuah bingkisan di tangan kanannya.
"Selamat siang, anak-anak!" Sapa Bu Diah ramah.
"Selamat siang juga Bu."
"Maaf, ya, Ibu bikin kaget kalian tadi." Bu Diah nyengir. Lantas dia memberikan bingkisan di tangannya padaku. "Titip untuk Om-mu ya, Cha," bisiknya.
What?
Seserius itukah Bu Diah ingin dekat dengan Om Zidan ku!
"Oh, ya, Bu. Ibu tenang aja." Walaupun kesal, jengkel dan ingin marah. Aku tetap saja mengambil bingkisan itu. Membuat sebuah senyuman muncul di wajah cantik nan dewasa Bu Diah.
Oh, no! Ini tidak boleh berlanjut! Bagaimana jika Om Zidan goyah nanti? Bagaimana jika Om Zidan menyukai Bu Diah?!
"Kalau begitu, Ibu duluan ya. Sekali lagi, terimakasih ya, Cha!" Dia beranjak setelah aku menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala.
"Itu apa?" Tanyanya si Kepo Arina.
"Entahlah!" Aku pun mengangkat bahu. Karena benar, aku sendiri tidak tau apa isinya.
"Untukmu?" Sahut Ayu ikut bertanya.
"Bukanlah!"
"Lalu, untuk siapa?" Arina bergeser sambil celingak-celinguk melihat jemputannya.
"Untuk Om Zidan!"
"Hah?" Serempak dua insan itu. Mulut mereka terbuka lebar. Mata mereka menatapku dengan penuh tanda tanya.
"Serius?" Bisik Ayu di telinga kananku.
"Yakin, Bu Diah mau ngasih itu ke Om Zidan. Suamimu loh!" Bisik Arina di telinga kiriku.
"Apa kamu tidak marah?" Bisik keduanya bersamaan.
"Marah lah!" Aku pun ikut berbisik. "Tapi mau gimana lagi, Bu Diah udah ngasih. Mau nggak mau, aku harus terima!"
"Nah kan! Ini nih! Kamu sendiri yang buka jalan untuk Bu Diah ngehancurin rumah tanggamu!" Ayu kesal sendiri.
"Iya, Manda. Sebaiknya jangan diterima! Bahaya!" Sahut Arina. Mereka berdua memang tau fakta tentang aku dan Om Zidan. Tapi tenang saja, mereka nggak ember kok orangnya. Aku percaya pada mereka.
"Susttt, nggak akan terjadi apa-apa. Kalian tenang saja. Aku emang terima bingkisannya. Aku memang akan memeberikan pada Om Zidan. Ets, tapi jangan salah paham dulu. Aku mana mungkin akan diam saja kalau sampai Bu Diah berani melangkah maju lagi!" Ucapku.
"Pokoknya, aku udah ngingetin ya!"
"Ya, aku juga!" Arina ikut menyauti. Udah kek kabel putus aja. Terus disambung sama dia.
"Oke, oke, aku berterimakasih karena kalian udah ngingatin Aku!" Kupeluk keduanya secara bergantian.
"Udah, udah lepasin!" Ayu menepis tanganku ala-ala drama gitu. "Tuh, liat! Om Suamimu udah nunggu!"
Dia menunjuk ke arah mobil Om Zidan yang sudah terparkir. Entah sejak kapan. Aku juga tidak menyadarinya.
"Uh, kalau begitu, aku pulang dulu, ya!" Kutepuk pundak mereka bergantian.
"Yang sabar nunggu jemputan!" Aku melangkah tanpa dosa meninggalkan mereka yang sedang menunggu jemputan yang tak kunjung datang. Mau kutawarkan pulang bareng pun mereka pasti akan menolak. Alasanya karena nggak mau jadi obat nyamuk antara aku dan Om Zidan.
"Assalamu'alaikum," ucapku sembari membuka pintu mobil.
Om Zidan tersenyum. "Wa'alaikumussalam. Bagaimana sekolahnya hari ini?"
Dia mengelus kepalaku, lalu satu kecupan hangat pun mendarat di keningku.
"Pasti lelah, ya? Sama, aku juga lelah kok!"
Hahaha. Om Zidan ini lagi kenapa coba?
"Oh, ya, Om. Ini ada titipan!" Aku menyerahkan bingkisan yang Bu Diah titipkan.
Alis Om Zidan terangkat sebelah. Menatapku dengan penuh tanya. "Dari siapa?"
"Bu Diah, katanya dia jatuh hati sama Om!" Aku mencoba tersenyum sambil menahan tawa ketika melihat berubahan ekspresi wajah Om Zidan.
"Terus kamu diam aja?" Dia nampak kesal. Tanpa ku duga, dia melempar bingkisan itu ke kursi belakang.
"Loh, terus Om mau Manda ngapain? Nggak mungkin kan Manda bilang sama Bu Diah kalau Om Zidan Suami Manda. Dan nggak mungkin juga kan aku nolak bingkisan itu?"
"Tapi...." Terdengar Om Zidan menghembuskan napas kesal. Lantas dia mulai menyalakan mesin mobil. Melajukan mobil tanpa ada sepatah kata lagi yang keluar dari mulutnya.
'Aku juga ingin mengatakan itu, Om. Aku ingin memberi tau pada semua wanita yang ada. Kalau Om Zidan adalah milikku! Om Zidan suamiku! Tapi untuk saat ini, aku belum bisa....' Batinku. Aku memeringkan tubuh. Menatap ke arah luar jendela.
Jujur sejauh ini, tidak ada sedikit pun rasa penyesalan di hatiku karena menikah secara sirri dengan Om Zidan. Yang ada malah rasa bersyukur dan bahagia karena bisa mendapatkan sosok suami sebaik dia.
"Maaf." Akhirnya kata itupun keluar dari mukutku. Aku masih menatap ke arah luar jendela. Terlalu takut jika harus menatap wajahnya. "Maaf jika ada yang salah dengan tindakan dan ucapan Manda tadi. Maafin, Manda.."
Hening. Tidak ada jawaban apapun dari Om Zidan.
"Manda tau Manda salah. Jadi, maafin Manda, Om. Hukum aja Manda," lirihku karena dia tak kunjung mengeluarkan tanggapan juga.
"Mau hukuman apa?" Akhirnya, suaranya terdengar. Walau dengan nada yang dingin. Tidak seperti biasanya.
"Apapun itu, asalkan Om mau maafin Manda." Aku menoleh ke arahnya. Dia tidak tersenyum. Dia benar-benar dalam mode Serigala Mabuk.
"Turun!" Ucapnya sembari membukakan pintu mobil. Kita sudah sampai di halaman depan rumah. Tapi, tapi aku sungguh tidak nyaman dengan Om Zidan yang sekarang ini. Aku merasa dia bukan OM ZIDAN ku.
Karena mendapat tatapan sangar dari Om Zidan, Aku pun turun dari mobil. Berjalan mengekor di belakangnya. Dia langsung melepas sepatu. Membuka pintu dan langsung naik ke lantai dua.
Aku pun masih berjalan seperti gerbong kereta. Kemana dia pergi, ke sana aku pun akan pergi.
Sampai di kamar. Dia melirik sekilas. Jas dan kemejanya yang rapi sudah ia lempar di kasur. Kini dia sedang berdiri di depan lemari. Sementara aku mencari jarak aman dengan berdiri di dekat pintu kamar.
"Kemarilah!" Ucapnya tanpa menatap ke arahku. Sepertinya dia sedang mencari sesuatu di dalam lemari itu.
"Lebih dekat!" Tangannya masih sibuk mencari. Tapi dia tau kalau aku tidak berani mendekati dirinya.
"Annisa Amanda!"
Gelagapan. Aku pun berlari mendekatinya. Tidak berani menyentuh sedikit pun bagian tubuhnya. Bahkan dia sempat-sempatnya memamerkan perut kotak-kotaknya itu padaku! Dasar Om-Om Tampan!
"Lihatlah!" Om Zidan memberikan sebuah kotak padaku. Bingung, aku pun menerimanya.
"Ini apa, Om?"
"Buka!"
Aku mundur selangkah. Membuka kotak itu dengan perasaan yang berdebar tak karuan.
"Surat?" Gumamku.
"Baca!"
Ragu-ragu, aku membuka dan membacanya isinya.
Hah, apa ini?
"Sudah?" Om Zidan melangkah mendekat. Tatapan yang tadinya sangar berubah menjadi tatapan penuh kasih sayang.
"Aku bahkan menerima lebih banyak surat dari pria yang menaruh hati padamu. Tapi aku, aku sama sekali nggak pernah menyampaikan surat-surat itu padamu. Karena apa? Karena aku merasa cemburu, Manda! Aku cemburu!"
Dia menjatuhkan kepalanya pada bahuku. "Aku nggak mau ada orang lain yang ngungkapin perasaannya ke kamu selain Aku. Aku bahkan bilang sama mereka. Kalau kamu adalah milikku! Aku mengatakan hal itu, agar mereka tidak lagi menitipkan surat padaku!"
Aku terdiam. Hendak berkata pun, aku bingung harus mengatakan apa.
"Dan aku berharap, kamu juga bisa seperti itu. Setidaknya kamu menunjukan padaku. Kalo kamu juga nggak mau ada orang lain yang ngungkapin perasaannya padaku. Tapi apa? Kamu ternyata nggak seperti itu, Manda."
Huaaa. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku langsung menjatuhkan kotak itu. Kudekap tubuhnya seerat mungkin. Bukan begitu maksudku. Bukannya aku tidak takut kehilangan dia. Bukannya aku tidak cemburu jika ada orang yang menyukai dia. Tapi, aku hanya ingin melihat. Seperti apa tanggapannya. Dan sekarang, aku sudah melihatnya. Bahwa dia tidak suka hal itu terjadi padanya. Dia juga tidak suka jika hal itu terjadi padaku.
"Maafin Manda, Om!" Semakin erat aku mendekap tubuhnya. Bahkan detak jantungnya sampai terdengar oleh telingaku.
"Sekarang berjanjilah, kalo kamu juga akan perjuangin Aku?!"
"Hah, iya. Manda janji!"
"Yang tulus!"
"Aku, Annisa Amanda. Berjanji, untuk memperjuangkan suamiku, Muhammad Zidan Al-Ghozali!" Lantang aku mengucapkannya.
"Baiklah, aku pegang janjimu."
Apa? Semudah itu kah suasana hatinya berubah? Sekarang dia bahkan sudah tersenyum secerah sinar mentari pagi?
"Ayo, ganti dulu bajumu, kita makan siang. Setelah itu, kamu harus menjalani hukumanmu!"
"Hah?" Aku terdiam sejenak. "Emangnya Om nggak balik lagi ke kantor?"
"Nggak, untuk apa balik, kalau ada hal yang lebih penting lagi di hadapanku!"
Oh siapapun yang membaca ini. Tolonglah. Hatiku dibuat meleleh layaknya es cream yang dipanaskan!
------------
Setelah berganti baju, aku pun turun ke dapur untuk makan siang. Om Zidan tadi sudah memesan makan lewat aplikasi, dan mungkin sudah sampai sekarang.
"Duduklah!" Dia menarik kursi makan untukku. Di atas meja makan sudah ada ayam balodo, nasi dan juga sate.
"Makan yang banyak. Supaya kamu nggak kehabisan tenaga saat menjalani hukumanmu!" Ucap Om Zidan menakut-nakutiku. Bibirnya tersenyum kejam.
Sial, aku benar-benar takut dibuatnya!
"Emang hukumannya apa?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Lihat nanti saja!"
Ck. Aku harap hukumannya nikmat nikmat berhadiah! Astagfirullah.
Aku menyadarkan punggung pada kursi, setelah menghabiskan sepiring nasi, sepuluh tusuk sate dan juga satu paha ayam dan segelas air putih. Kenyang sekali.
"Udah kenyang?" Tanya Om Zidan sembari merapikan meja makan. Dia menyusun semua piring kotor menjadi satu.
"Udah, dan sekarang aku ngantuk, Om. Kita tidur siang aja, ya, Om? Main hukum-hukumannya nanti malem aja!" Ujarku dengan tatapan memohon. Dia mengabaikanku.
"Om!" Aku berdiri lalu mengekor di belakang Om Zidan yang tengah membawa piring-piring kotor ke dalam dapur. Om Zidan menaruhnya di wastafel.
"Ah, bagaimana kalau aku saja yang mencuci piring-piring kotor ini. Om tunggu aja aku di atas!" Ujarku sambil berusaha menggeser tubuhnya. Namun, tenagaku tentu saja tidak cukup untuk menggeser tubuh tinggi, tegap dan kekarnya.
"Udah, jangan banyak cari alasan! Sekarang duduk, dan tunggu aja aku!"
Hihihi, aku kembali dibuat merinding oleh ucapannya. Padahal saat di kamar tadi, dia sudah berubah menjadi bayi gemoy. Dan sekarang, kenapa mode Serigala Mabuknya aktif lagi?
Duduk sambil menatap punggung Om Zidan, itulah yang kulakukan sekarang. Om Zidan memang tidak pernah menyuruhku untuk sekedar mencuci piring, apalagi untuk mencuci bajunya. Tapi, sebagai seorang istri yang cantik, dan baik hati. Aku kadang memaksa untuk melakukan semuanya. Toh, aku juga tidak mempunyai kegiatan lain setelah pulang sekolah. Kecuali saat malam hari, karena Om Zidan mewajibkan untuk belajar, ada ataupun tidak ada PR yang harus dikerjakan.
"Kamu udah siap?" Pertanyaan dari Om Zidan mengagetkanku. Aku segara berdiri menghadap Om Suami tampan itu.
"Tapi hukuman jangan yang aneh-aneh ya, Om?" Tawarku dan dia hanya diam tanpa menatap ke arahku.
Kami pun berjalan menuju lantai atas.
Eh, tapi dia tidak mengajak untuk ke kamar? Malah berjalan menuju ruang bacanya!
Yah, tadinya aku mengira hukumannya anu-anu. Hehehe. Apaan sih otakku!
"Masuk! Kenapa hanya berdiri di sana?!"
Kakiku pun melangkah memasuki ruang baca Om Zidan. Selama ini, aku jarang masuk ke sini. Bukan karena apa, hanya saja tempat ini terlalu membosankan. Tidak ada apapun yang menarik bagiku. Hanya ada rak buku dan juga buku-buku tebal. Yang entah, aku tidak tau buku apa.
Om Zidan berjongkok di depan sebuah meja di pojok ruangan. Ia nampak sibuk mencari sesuatu. Karena penasaran, aku pun mendekatinya.
"Cari apa, Om?" Tanyaku sambil ikut berjongkok.
Om Zidan hanya menoleh sebentar. Dan tidak menjawab pertanyaanku lagi. Cukup lama, dia mengeluarkan semua buku yang ada di dalam laci meja. Sampai sebuah buku besar tebal berwarna coklat ia keluarkan.
Om Zidan tersenyum saat memegang buku itu. Mungkin buku itu yang dia cari. Setelah itu, dia merapikan buku-buku yang dia keluarkan tadi.
"Ayo keluar!" Dia menarik tangannya. Buku tebal itu ia bawa di tangan kanannya. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku.
Hukuman apa sih, Om! Kok aku jadi takut gini!
Sampai di depan pintu kamar. Om Zidan kembali tersenyum dengan kejamnya. Ia meletakkan buku tebal tadi di atas meja belajarku.
"Tulis surati cinta untukku!" Ucapnya sembari membuka halaman depan buku tebal itu, lalu meletakkan sebuah pulpen tinta hitam di atasnya.
"Hanya menulis surat cinta?" Aku tersenyum meremehkan hukumannya.
"Hemm, hanya menulis surat cinta. Tapi, sampai buku ini habis, dan di setiap lembar buku ini harus mendapatkan tanda tangan darimu. Dan juga....."
Om Zidan mengambil lipstick di depan meja rias.
"Jangan lupa stempel cantiknya!" Tanganya menujukkan pojok kanan paling bawah dari halaman depan buku itu.
"Hah? Yang benar saja, Om?!" Kutatap Om Zidan. Wajahnya nampak serius dan sedang tidak ingin bercanda ataupun mendengar penolakkan.
"Baiklah, Manda akan menulis surat cinta untuk Om Zidan tersayang. Kasi tanda tangan, dan stempel cantik juga. Kalau boleh, Manda juga mau buat stempel cantik di sini!" Aku menunjuk lehernya. Dia malah tertawa.
"Jangan menggodaku!" Dia memalingkan wajahnya. Mungkin dia malu.. Dasar Om-Om Tampan!
"Tapi, Om. Nulis surat cintanya nanti sore aja, ya? Manda sekarang ngantuk. Mau tidur sambil peluk Om!" Aku langsung melompat memeluk tubuhnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Huh, dia kan SUAMIKU!
Bukannya marah, Om Zidan malah balas mendekap tubuhku. Membawa tubuhku semakin dalam pada pelukannya. Aku nyaman, aku benar-benar nyaman!
Jadi begitulah Drama hari ini. OM Zidan ternyata hanya menakutiku. Dia bilang, dia suka melihat wajahku yang tegang saat sedang ketakutan. Dasar, awas saja ya. Akan kubalas sesuatu saat nanti!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!