NovelToon NovelToon

Aku Bukan Perawan Tua

Bab 1.1

...    وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَا فِلَةً لَّكَ ۖ عَسٰۤى اَنْ يَّبْعَـثَكَ رَبُّكَ مَقَا مًا مَّحْمُوْدًا...

...wa minal-laili fa tahajjad bihii naafilatal laka 'asaaa ay yab'asaka robbuka maqoomam mahmuudaa...

..."Dan pada sebagian malam, lakukanlah sholat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji."...

...(QS. Al-Isra' 17: Ayat 79)...

...🌼🌼🌼...

Dia tiba-tiba terbangun setelah mendengar suara alarm yang memekakkan telinga. Wajahnya yang sayu karena kelelahan berusaha terangkat dari tumpukan dokumen-dokumen penting kasus yang sedang dia tangani sekarang.

"Allah sudah memanggil." Katanya di sela-sela rasa lelah.

Dia mengusap kedua matanya yang masih berat agar terbiasa dengan cahaya lampu yang masuk ke dalam retina.

"Aku ketiduran sampai-sampai lupa membereskan pekerjaan ku." Dia kemudian duduk.

Mengumpulkan lembaran-lembaran kertas yang ternoda tinta hitam menjadi satu dan memasukkannya ke dalam map coklat. Dia lalu bangun dari duduknya, menaruh map coklat yang dia pegang di atas meja kerja bergabung dengan map-map yang lain.

"Jam 3 pagi tepat, waktu yang sangat baik untuk berbicara dengan Allah." Ujarnya ketika melirik jam weker yang ada di atas nakas samping tempat tidur.

Mengulum senyum yang manis, dia menyibak gorden jendela kamar. Memperlihatkan hamparan langit yang cerah cerah dipenuhi cahaya bintang-bintang yang indah. Lalu, diluar suara kokok ayam bergema dimana-mana. Memberitahu siapapun hamba yang bangun bahwa Allah kini sedang turun ke dunia menjamu para hamba-Nya yang setia nan tulus.

Mungkin karena merasakan perasaan hangat dan damai itu dia langsung membuka jendela. Membiarkan angin malam yang dingin dan segar masuk ke dalam kamar tanpa bisa dicegah.

"Mashaa Allah, malam ini sangat indah. Aku harap Engkau mau berkunjung ke rumah ku ya Allah karena ada sesuatu yang ingin aku bicarakan lagi dengan Mu." Ucapnya memohon penuh rendah hati dan pengharapan.

Dia berharap malam-malam dingin yang ia lalui dapat diijabah oleh Allah dan diberkahi dalam ridho Allah.

Samar namun masih bisa didengar dari masjid terdengar suara lembut nan mengalun indah sedang menggemakan surat cinta Allah kepada seluruh umat manusia. Suara yang selalu membuatnya rindu dan pada saat yang bersamaan mendambakan.

"Allah, aku akan segera menemui mu." Katanya tidak bisa menahan senyum.

Dia bergegas mengikat rambut panjang hitam yang sedari tadi dibiarkan lepas tergerai. Lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Setelah berwudhu, dia memakai mukena putih yang Kakak keduanya berikan tahun lalu ketika pulang umroh. Kemudian menggelar sajadah yang Kakak pertamanya berikan setelah pulang dari Mekkah beberapa bulan lalu ke arah kiblat.

Dia berdiri lurus di atas sajadah menghadap kiblat, kedua matanya yang cantik merendah menatap sisi sajadah yang akan dia sentuh nanti selama beribadah.

"اُصَلِّى سُنَّةً التَّهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالَى"

Bibir merahnya berbisik lembut mengalunkan niat hati yang tulus untuk berubah kepada Allah, kekasih seluruh umat manusia yang sejati.

"اَللّهُ اَكْبَرُ"

Suaranya lirih berdengung di dalam telinga, merasuk ke dalam hati dan menyebarkan sebuah getaran halus penuh rindu. Dia berusaha khusyuk agar bisa mendapatkan Rahmat Allah. Membisikkan kata-kata suci nan penuh cinta kepada Allah seolah-olah saat ini Allah ada di depannya. Menyentuh puncak kepalanya saat sujud seraya membisikkan sebuah kata-kata yang sangat dinantikan seluruh umat muslim di dalam telinga, "Aku mencintaimu wahai hamba-Ku."

Tak terasa sebuah cairan hangat jatuh mengalir lembut dari pipi. Dia merasa sesak karena perasaan rindu yang tidak kunjung puas. Semakin dia merasa penuh dosa dan penyesalan semakin rindu pula dia ingin bertemu dengan Sang Kekasih. Semakin rindu dia pada Sang Kekasih semakin sesak pula jantungnya.

Dia merasa dosa namun juga merasa rindu, ingin bertemu namun tidak layak karena hidupnya yang bergelimang dosa.

"ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ"

Syukurnya mengakhiri sholat malam yang sunyi nan sepi namun penuh akan kedamaian.

Dia mengangkat kedua tangan tinggi tapi kepalanya menunduk sebagai ungkapan kerendahan hati dan jiwanya. Dalam heningnya malam yang damai dia mulai menangis terisak menahan kelelahan hati. Siapapun yang mendengar akan langsung tersentuh dengan isak tangisnya yang pilu karena ini bukanlah tangisan karena dunia yang hina tapi karena kerinduannya pada Sang Kekasih.

"اَللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ واْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ نُوْرُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاءُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ. اَللهُمَّ لَكَ اَسْلَمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْكَ اَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَاِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْلِيْ مَاقَدَّمْتُ وَمَا اَخَّرْتُ وَمَا اَسْرَرْتُ وَمَا اَعْلَنْتُ وَمَا اَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ. اَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَاَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ"

Allâhumma rabbana lakal hamdu. Anta qayyimus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu anta malikus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu anta nûrus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu antal haq. Wa wa‘dukal haq. Wa liqâ’uka haq. Wa qauluka haq. Wal jannatu haq. Wan nâru haq. Wan nabiyyûna haq. Wa Muhammadun shallallâhu alaihi wasallama haq. Was sâ‘atu haq.

Allâhumma laka aslamtu. Wa bika âmantu. Wa alaika tawakkaltu. Wa ilaika anabtu. Wa bika khâshamtu. Wa ilaika hâkamtu. Fagfirlî mâ qaddamtu, wa mâ akhkhartu, wa mâ asrartu, wa mâ a‘lantu, wa mâ anta a‘lamu bihi minnî. Antal muqaddimu wa antal mu’akhkhiru. Lâ ilâha illâ anta. Wa lâ haula, wa lâ quwwata illâ billâh.

(Artinya “Ya Allah, Tuhan kami, segala puji bagi-Mu, Engkau penegak langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau penguasa langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau cahaya langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau Maha Benar. Janji-Mu benar. Pertemuan dengan-Mu kelak itu benar. Firman-Mu benar adanya. Surga itu nyata. Neraka pun demikian. Para nabi itu benar. Demikian pula Nabi Muhammad SAW itu benar. Hari Kiamat itu benar.

Ya Tuhanku, hanya kepada-Mu aku berserah. Hanya kepada-Mu juga aku beriman. Kepada-Mu aku pasrah. Hanya kepada-Mu aku kembali. Karena-Mu aku rela bertikai. Hanya pada-Mu dasar putusanku. Karenanya ampuni dosaku yang telah lalu dan yang terkemudian, dosa yang kusembunyikan dan yang kunyatakan, dan dosa lain yang lebih Kau ketahui ketimbang aku. Engkau Yang Maha Terdahulu dan Engkau Yang Maha Terkemudian. Tiada Tuhan selain Engkau. Tiada daya upaya dan kekuatan selain pertolongan Allah.”)

Dia kemudian menahan nafas, terdiam untuk menahan suara isak tangisnya agar tidak menjadi-jadi. Lama terdiam dia akhirnya bisa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Suaranya tidak terbata-bata lagi jadi dia kembali menyuarakan kelelahan hatinya yang cukup meresahkan.

"Ya Allah ya Tuhanku, aku malam ini datang lagi kepada-Mu untuk mengadu kegundahan hati ini. Aku ingin mengadu kepada-Mu bahwa hari-hari yang telah ku lewati tidak sedamai dulu lagi. Orang-orang yang ada di sekitar ku pergi satu demi satu bersama jodoh mereka. Membangun sebuah rumah tangga yang manis dan membesarkan anak-anak yang soleh-soleha. Ya Allah ya Tuhanku, hati ini menjadi resah dan sedih melihat mereka akhirnya bisa menyempurnakan agama namun diri ini belum kunjung juga menyempurnakan. Aku dilanda ketakutan ya Allah karena belum juga Engkau pertemukan dengan pemilik tulang rusuk ini. Aku takut bila Engkau masih belum meridhoi ku untuk bertemu dengan calon imam ku. Ya Allah.. ampunilah dosa-dosa ku dan ridhoilah aku tetap berada di dalam agama dan ampunan-Mu. Ridhoi aku ya Allah, pertemukan aku dengan imam ku agar agamaku menjadi sempurna dan melahirkan anak-anak yang sholeh-sholeha. Ridhoi aku ya Allah.. ridhoilah hamba-Mu ini berada di jalan yang Engkau kasihi dan Cintai."

"رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ "

Robbanaa Aatinaa Fid Dun-Yaa Hasanah, Wa Fil Aakhiroti Hasanah, Wa Qinaa 'Adzaaban Naar.

(Artinya: “Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka.”)

"آمِيْن اللّهُمَّ آمِيْن"

Dia menyelesaikan pembicaraannya dengan Allah tapi tidak langsung melepaskan mukenanya. Air mata yang meninggalkan jejak di pipi ia usap dengan beberapa lembar tissue. Setelah itu dia membuang tissue ke tempat sampah dan berdiri diam memandangi langit yang masih gelap dipenuhi cahaya lembut bintang.

"Dia masih membaca Al-Qur'an di masjid." Katanya takjub menatap penuh kagum puncak masjid tempat suara itu berasal.

Dia tidak tahu siapa pemilik suara ini tapi mendengarkannya adalah kegiatan alami yang ia lakukan secara diam-diam. Karena setiap kali mendengar suaranya dia merasa sangat damai dan nyaman, seolah-olah ayat-ayat itu dibacakan hanya untuknya seorang.

"Suaranya sangat indah, aku belum pernah mendengar suara seindah ini sebelumnya." Selain bacaannya yang benar orang itu juga punya suara yang indah, mengalun lembut dan membuat pendengar menjadi rileks.

"Semoga Allah senantiasa melindungi mu wahai pemilik suara yang indah." Dia mendoakan dengan tulus.

Dia kemudian berjalan mendekati nakas, mengambil sebuah Al-Qur'an dengan hati-hati yang sengaja dia taruh bersebelahan dengan jam weker.

"Aku juga tidak boleh kalah dengan pemilik suara indah itu." Bisiknya bertekad.

Dia kembali duduk di atas sajadah, membaca doa dan mulai membaca ayat-ayat indah nan suci Allah yang ada di dalam Al-Qur'an. Suaranya sangat lembut, mengayun indah di malam yang sunyi dan tidak menyadari bila suaranya ini ternyata sampai kepada pasangan paruh baya yang juga terjaga untuk menghidupkan malam yang dingin.

"Abi, suara Safira sangat indah. Kemampuan tilawahnya sudah maju pesat beberapa tahun ini." Seorang wanita paruh baya tidak bisa menahan takjub ketika mendengar lantunan ayat suci yang dibaca merdu oleh sang putri tercinta.

"Dia adalah anak kita jadi kemampuannya harus melebihi kita berdua. Anak ini, Safira..aku harap sudah saatnya dia memikirkan masa depannya."

"Seandainya dia tidak menjadi jaksa mungkin hari ini kita sudah bisa berbicara dengan anaknya." Mata tua wanita paruh baya itu mengenang masa lalu, tahun-tahun muda ketika anaknya masih aktif kuliah.

Abi melambaikan tangannya tidak senang, menegur istrinya agar tidak mengatakan kata-kata itu lagi.

"Umi jangan pernah mengatakan kata 'seandainya' lagi karena segala sesuatu di dunia ini sudah direncanakan oleh Allah SWT. Hal ini sudah dijelaskan dalam Shahih Muslim terdapat hadits Abu Hurairah yang mengandung larangan penggunaan kata “seandainya”, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, 'Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu'. Tetapi katakanlah, 'Qadarullah wa ma sya-a fa’al' (hal ini telah ditakdirkan Allâh dan Allâh berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya). Karena ucapan “seandainya” akan membuka pintu perbuatan syaitan”. [HR. Muslim]."

"Astagfirullah, Umi khilaf Abi." Umi merasa bersalah.

Abi menggelengkan kepalanya tidak berdaya, menepuk tangan Umi agar kembali fokus pada Al-Qur'an yang ada di depan mereka.

"Lain kali jangan diulangi, Umi. Baiklah, lebih baik sekarang kita membaca Al-Qur'an sebelum azan Subuh berkumandang. Manfaatkan waktu berkah ini untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT."

Umi mengangguk cepat, membawa Al-Qur'an lebih dekat dengannya dan mulai membaca ayat-ayat suci yang ada di dalam. Berdoa di dalam hati semoga putrinya lekas dipertemukan dengan sang jodoh dan segera menikah menyusul kedua Kakaknya yang sudah lebih dulu berumah tangga.

Aamiin Allahumma Aamin ya Allah. Batinnya memohon.

Bersambung..

Bab 1.2

Setelah sholat subuh Safira menyempatkan diri untuk membersihkan kamarnya sebelum turun ke bawah membantu Umi masak di dapur.

"Assalamualaikum, pagi Umi-eh, ada Abi juga." Salam Safira ketika masuk ke dalam dapur.

Di dapur kebetulan ada Abi yang sibuk memotong-motong sayur bayam segar. Sepertinya bahan-bahan dapur hari ini baru saja di antar Ibu Laeli, tetangga mereka. Kebetulan Ibu Laeli berjualan sayur mayur dan beberapa bahan dapur hasil sawah mereka di sini sehingga Umi tidak perlu repot-repot pergi ke pasar atau supermarket untuk membeli bahan dapur.

"Waalaikumussalam, kamu kok ke sini dek? Masih pagi lho." Umi sedang mengulek sambal di cobek.

"Iya Umi, Safira mau bantu buat sarapan biar aku ada kerjaan." Safira ikut duduk sama Abi, membantu Abi memotong sayur bayam.

"Gak usah bantu, dek. Lebih baik kamu siap-siap aja pergi kerja biar nanti gak terlambat." Umi membantu Safira berdiri ingin mengusirnya dari dapur.

Safira sangat sibuk dan suka pulang malam jadi Umi tidak mau merepotkan nya. Apalagi beberapa bulan ini Umi perhatikan Safira sering begadang dan punya jam tidur yang sedikit sehingga Umi semakin khawatir.

"Hari ini Safira masuk siang, Umi. Jadi Umi gak perlu panik." Ucap Safira santai.

Ada acara di kantor tapi Safira gak mau datang karena tidak terlalu suka keramaian. Apalagi acara yang mereka buat adalah acara makan-makan yang disertai minum-minum. Safira tidak suka juga benci dengan alkohol sehingga dia lebih senang bersantai di rumah daripada ikut bergabung bersama rekan-rekan kerjanya.

Safira tidak ingin menutup-nutupi soal rekan-rekan kerjanya di kantor. Meskipun mereka adalah pegawai negara tapi sikap mereka masih sulit diatur. Ya itu wajar saja karena di dalam sarang para penggalang keadilan juga sulit mendapatkan keadilan.

Karena uang, kekuasaan, hubungan nepotisme adalah hal yang wajar. Harga keadilan hanya sebatas itu saja.

"Kalau masuk siang kamu cukup diam aja di sini dan jangan melakukan apa-apa. Istirahat yang cukup agar kamu bisa bekerja dengan lancar di kantor." Umi masih kukuh ingin mengusir Safira.

"Potong sayur gak butuh tenaga besar, Umi. Biarkan saja Safira di sini." Abi membela Safira.

Karena Abi sudah mengatakan maka Umi tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia mendengarkan Abi dan membiarkan Safira diam di dalam dapur.

"Duduk saja di sana dan jangan melakukan pekerjaan yang lain." Perintah Umi memperingatkan.

"Iyaaa..Umi." Safira gemas dengan Umi.

"Em, ngomong-ngomong sepupu kamu Karina udah lamaran kemarin. Katanya 3 hari lagi akan akad di sini. Kamu udah tahu belum berita ini?"

"Tahu kok, Umi. Kak Annisa kemarin sore yang SMS aku. Dia bilang Karina bentar lagi nikah jadi dia dan Mas Gio mau nginap di sini."

Karina memang tidak dekat dengannya tapi Safira tidak terlalu acuh dengan kabar gembira ini karena pada akhirnya mereka adalah keluarga. Dia malah berencana membelikan kado kepada sepupunya itu.

"Oh, Umi kira kamu gak tahu." Umi melirik Safira, menilai bagaimana ekspresinya saat ini.

Setelah melihat tidak ada yang salah Umi berinisiatif membuka topik yang lebih sensitif lagi.

"Terus gimana sama kamu, dek?"

"Datang kok, Umi. Aku juga mau beliin dia kado nanti." Jawab Safira masih belum mengerti maksud pertanyaan Umi.

"Bukan itu, maksud Umi kamu kapan nyusul. Bibi Bibi kamu yang lain pada nanyain lho kapan kamu nikah. Katanya mereka takut kamu jadi perawan tua karena kelamaan belum nikah." Umi mengoreksi, tanpa sadar telah menyentuh titik sakit Safira.

Umi sama sekali tidak berubah. Dia masih sama dengan Umi 10 tahun yang lalu, suka mendengarkan pendapat orang dan menganggapnya serius. Umi tidak akan pernah berhenti gusar sebelum kata-kata orang itu lenyap. Dia akan selalu memikirkannya meskipun dia tahu sendiri dampaknya akan buruk untuk kesehatan.

Terkadang, Safira jengah dengan sifat Umi yang ini. Safira tidak suka melihat Umi lebih percaya dan senang mendengarkan pendapat orang lain daripada melihat situasi keluarganya sendiri.

"Kalau udah waktunya Allah pasti kirim kok, Umi. Kita tinggal tunggu aja." Safira menjawab enteng padahal hatinya berdebar gelisah.

"Pak Dimas emang kurang apa lagi, dek? Dia baik lho juga punya pekerjaan yang mampu jadi kamu gak perlu pusing besok kalau udah nikah sama dia."

Pak Dimas adalah atasan Safira di kantor. Dengar-dengar dari rekan kerja Safira di kantor kalau Pak Dimas memendam rasa kepada Safira. Awalnya Umi tidak percaya tapi saat melihat perhatian Pak Dimas kepada Safira dia akhirnya merasa yakin. Pak Dimas juga sesekali mengantarkan Safira ke rumah untuk menyapa Umi dan Abi. Dari kesan yang Pak Dimas buat dia tampaknya sangat serius dengan Safira.

Umi tidak mau melepaskan kesempatan ini dan ingin segera mereka menikah. Toh usia Safira juga sudah sangat matang untuk memulai rumah tangga.

Diingatkan tentang Pak Dimas ekspresi Safira langsung berubah total. Dia menatap Umi tidak setuju.

"Astagfirullah, Umi. Pak Dimas sudah punya istri dan anak, aku gak mau menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga apalagi sampai merusak rumah tangganya. Juga, Safira tidak pernah berpikir sama sekali untuk menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga orang dan dipoligami."

Dia pernah merasakan bagaimana sakitnya melihat laki-laki yang dicintai ternyata mencintai wanita lain. Sebagai perempuan tentu saja dia tidak mau perasaan sakit itu juga dirasakan oleh istri Pak Dimas. Membayangkan suami tidur dengan wanita lain untuk saling memadu kasih, betapa sakit yang dirasakan istri pertama.

"Umi, jangan berbicara lagi." Abi mengingat sang istri agar jangan merusak suasana damai ini.

Tapi Umi tidak mengerti dan keras kepala. Dia hanya tahu ini adalah pilihan terbaik untuk Safira.

"Menikah dengan Pak Dimas tidak harus dipoligami, Safira. Minta saja Pak Dimas menceraikan istrinya sehingga kamu tidak dipoligami. Lagipula, ini adalah soal perasaan yang tidak bisa dihindari sehingga kamu tidak bersalah sama sekali. Kamu dan Pak Dimas menikah karena cinta bukan karena hubungan terlarang."

"Umi, memohon ampunlah kepada Allah. Apa yang Umi katakan ini adalah dosa yang sangat tidak disukai Allah dan rasul-Nya. Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ"

bahwa 'Barang siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dari kami' ( HR. Ahmad, shahih). Apa Umi mau Safira tidak terjerumus ke dalam jalan yang tidak benar dan tidak diakui oleh Rasulullah Saw sebagai umatnya? Mengapa Umi begitu kejam mendorong Safira ke jalan yang tidak diridhoi oleh Allah?" Tanya Safira terluka.

Apa dia harus merendahkan dirinya hanya untuk mendapatkan suami?

Apa dia harus berlaku kejam merusak kebahagiaan wanita lain?

Tidak, Safira tidak akan pernah melakukan hal kejam itu!

Hukum Allah tetap berlaku, apa yang kamu tanam itulah yang kami tuai. Semua perbuatan kita di dunia ini pasti akan mendapatkan balasan meskipun itu hanya sebiji zarah dan telah Allah SWT peringatkan dalam firman-Nya surat Al-az Zalzalah ayat 7 dan 8.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ° وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Artinya : “Barangsiapa yang berasap seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. ”

Bagaimana bisa Safira lupa peringatan Allah ini?

Sudah cukup dengan dosa sehari-harinya kelak dia pertanggungjawabkan di hari kiamat. Dia tidak mau mengundang dosa besar apalagi sampai diasingkan oleh Rasulullah Saw.

"Astagfirullah, Umi tidak bermaksud menjerumuskan mu ke jalan yang salah. Maksud Umi baik, dek. Pak Dimas terlihat sangat menyukai kamu jadi Umi sarankan untuk menikah dengannya." Umi masih merasa di pihak yang benar.

Apa yang dia katakan salah tapi alasannya benar, ini adalah pemikiran keras kepala Umi yang tidak bisa berubah setelah bertahun-tahun lamanya.

Safira terdiam, dia seolah melihat Umi 10 tahun yang lalu ketika Annisa difitnah dan berakhir kabur di rumah. Saat itu Umi sangat percaya dengan apa yang dia yakini dan menganggap Annisa adalah sebuah aib.

Dia tidak mempercayai anak yang telah dibesarkan dan dididik sendiri. Entah mengapa Safira merasa dia sekarang ada di posisi Annisa.

Terjebak oleh ego Umi. Tapi sayangnya Safira tidak selemah Annisa sehingga dia tidak mudah dipojokkan Umi.

"Niat Umi memang baik namun cara Umi yang salah." Kata Safira dengan suara stabil.

"Aku juga ingin menegaskan kepada Umi bahwa apapun yang Umi katakan Safira tidak akan pernah mau menikah dengan Pak Dimas. Urusan jodoh Umi tenang saja karena sudah ada Allah yang mengaturnya. Safira hanya perlu menunggu waktu yang tepat, waktu dimana Allah mempertemukan kami berdua."

Umi berdecak tidak puas di ujung sana.

"Kamu juga harus usaha nyari, Safira. Kalau kamu duduk diam terus bersama tumpukan dokumen kasus laki-laki mana yang akan tertarik sama kamu. Apalagi usia kamu sudah tidak muda lagi Safira, usia kamu sudah masuk 30 tahun. Keluarga dari pihak laki-laki mungkin akan mempertimbangkan ini karena di usia 30 tahun rahim wanita sulit dibuahi. Kamu harus pertimbangkan ini secepat mungkin dan jangan menunda-nunda, Umi gak mau apa yang mereka katakan benar-benar menjadi kenyataan. Umi gak mau kamu jadi perawan tua selamanya."

30 tahun,

Ya, tahun ini Safira berusia 30 tahun. Seperti kata Umi usia ini terbilang sulit untuk mendapatkan suami atau kepercayaan dari pihak keluarga calon suami. Umi pikir Safira tidak pernah memikirkannya?

Jawabannya adalah salah besar karena faktanya Safira sering memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang Umi katakan tadi. Dia takut juga gelisah jika tak ada laki-laki yang mau beristri seorang perawan tua.

Safira sangat takut.

"Umi, cukup! Kamu sudah keterlaluan. Tidak seharusnya kamu mengatakan itu kepada Safira karena ini pasti akan membebani pikirannya. Lagipula ini adalah masalah pribadinya jadi kamu tidak perlu terlalu memaksa apalagi sampai memintanya merusak rumah tangga orang lain. Ini adalah perbuatan yang dilarang Rasulullah Saw, tapi mengapa kamu malah mendorongnya untuk melakukan itu?" Abi tidak tahan lagi melihat Umi terus memojokkan Safira.

Umi jelas terkejut mendapatkan bentakan Abi. Tangannya hampir saja tergelincir masuk ke dalam cobek jika dia tidak segera mengendalikan diri.

"Aku harus kembali ke kamar. Kebetulan dokumen-dokumen yang Sarah minta belum aku siapkan. Jadi, aku pamit ke atas dulu." Safira membawa langkahnya keluar dari dapur.

Bersambung...

Bab 1.3

"Aku harus kembali ke kamar. Kebetulan dokumen-dokumen yang Sarah minta belum aku siapkan. Jadi, aku pamit ke atas dulu." Safira membawa langkahnya keluar dari dapur.

Tapi dia berbohong karena langkahnya tidak langsung naik ke lantai dua tempat kamarnya berada dan malah berjalan ke taman belakang. Di taman semua bunga-bunga yang Annisa tanam dulu hanya sebagian yang bisa bertahan selama 10 tahun terakhir.

Salah satunya adalah mawar hitam yang sudah melebihi tinggi Safira. Mawar hitam itu kini sudah tumbuh subur dan tidak rapuh lagi saat pertama kali ditanam.

"Aku sekarang mengerti apa yang Kakak rasakan ketika melihat bunga mawar hitam ini." Dia mengangkat tangannya memetik bunga mawar hitam yang paling dekat.

Membawa bunga mawar itu ke ujung hidung untuk dia cium seberapa wangi yang dimiliki.

"Bunga mawar hitam melambangkan duka dan kesedihan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, aku pikir ini sangat cocok dengan warnanya yang terkesan menyedihkan."

Matanya kemudian beralih menatap hamparan langit luas yang ada di depan. Tidak ada bintang karena sinar mentari lebih mendominasi, memberikan suasana ceria yang hidup.

"Ternyata mereka selalu memandangku sebagai perawan tua." Bisiknya miris.

"Perawan tua.." Bisiknya mengulangi, menerawang ke hamparan langit yang tidak berujung.

"Apakah dia juga berpikir sama dengan apa yang orang-orang itu pikirkan.. bahwa aku adalah perawan tua?"

...🌼🌼🌼...

Safira mengecek sekali lagi dokumen-dokumen yang ada di dalam tas kerjanya. Setelah mengurutkan beberapa kali dia akhirnya memutuskan semua sudah lengkap dan tidak ada masalah lain.

"Aku akan menyempatkan diri ke toko buku sebelum pergi ke kantor."

Untuk saat ini dia tidak bisa berbicara dengan Umi dulu karena ketegangan yang sempat terjadi di dapur. Dia tidak marah tapi hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Lagipula Umi adalah wanita hebat yang melahirkannya sehingga wajar saja dia panik melihat Safira masih belum juga menikah diusia yang sudah tidak muda lagi.

Safira mengerti jadi dia tidak marah.

"Abi, Umi, aku pamit berangkat ke kantor yah. Ada dokumen penting yang harus aku diskusikan dengan Sarah." Safira mencium punggung tangan Abi dan Umi yang sedang duduk di ruang keluarga.

Ekspresi mereka tampak suram, mereka pasti sedang membicarakan masalah tadi di dapur. Yah, biar bagaimanapun juga pernyataan Umi cukup kontroversi dengan ajaran Rasulullah jadi wajar saja Abi masih marah.

"Lho, kok kamu udah pergi aja. Tadi katanya masuk agak siangan?" Umi heran karena ini masih pagi tapi Safira sudah siap pergi ke kantor.

"Iya, Umi. Tadi Sarah hubungi aku minta ketemuan di kantor untuk mendiskusikan kasus yang sedang kami tangani sekarang." Bohong Safira.

Umi langsung percaya dan wajahnya semakin suram.

"Kamu jangan terlalu bergaul dengan Sarah. Dia sudah lebih dari 30 tahun tapi masih belum menikah dan sangat gila kerja. Umi gak mau kamu kehilangan minat pada urusan masa depan mu gara-gara terlalu-"

"Pergilah, Nak. Usahakan jangan pulang malam dan jangan terlalu capek. Istirahat yang cukup dan sempatkan diri untuk santai sejenak di kantor." Abi memotong ucapan Umi.

Dia menarik Safira berjalan dengannya agar bisa menjauh dari Umi. Untuk saat ini kata-kata Umi terlalu tajam buat Safira.

"Jangan pikirkan apa yang Umi katakan di dapur tadi. Dia tidak sengaja mengatakan itu karena terlalu cemas memikirkan kamu. Dia adalah seorang Ibu dan mudah khawatir terhadap kebahagiaan anaknya. Apalagi kamu adalah anak terakhir kami yang belum menikah dan lebih sibuk bekerja daripada tinggal di rumah membuat kekhawatirannya berlipat ganda. Safira, tolong mengerti dan maafkan sikap Umi mu tadi karena sesungguhnya dia tidak bermaksud menyakiti mu." Ucap Abi merasa bersalah.

Dia mengerti apa yang membuat istrinya cemas tapi dia merasa bersalah karena kecemasan Umi membuat Safira terluka.

"Abi tidak apa-apa, aku sama sekali tidak marah kepada Umi. Safira mengerti kekhawatiran kalian berdua dan Safira juga tahu bahwa ini semua karena kalian ingin Safira bahagia." Kata Safira seraya menggenggam tangan Abi lembut.

Dia tersenyum hangat mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak mempermasalahkan kata-kata Umi tadi di dapur.

Abi menghela nafas panjang,"Nak, kamu masih saja belum berubah. Kamu masih Safira yang kuat dan pemaaf, Abi sangat bangga kepadamu."

Safira tersenyum,"Safira lebih bangga memiliki kalian, dua orang hebat yang sudah berjasa mendidik dan membesarkan Safira hingga sampai pada hari ini. Safira sangat bersyukur mempunyai Umi dan Abi."

Terlepas sifat yang sulit dirubah, Safira sepenuhnya bangga mempunyai Umi dan Abi. Mereka adalah orang tua yang hebat untuk Safira.

"Baiklah, kamu harus pergi sekarang. Abi tidak mau menahan kamu di sini dan membuat Sarah menunggu lebih lama. Katakan kepada Sarah salam Abi dan ajak dia berkunjung ke rumah bila tidak sibuk."

"Inshaa Allah, Safira akan sampaikan salam dari Abi kepada Sarah. Kalau begitu Safira pamit, assalamualaikum Abi." Safira mencium punggung tangan Abi dan bergegas keluar dari rumah karena taksi yang dia pesan sudah menunggu di halaman.

Di depan pintu Abi menatap kepergian Safira yang sudah menghilang bersama taksi. Dia menghela nafas panjang, menatap tidak berdaya ke dalam rumah yang hanya menyisakan dia dan Umi saja.

...🌼🌼🌼...

"Pak, bisa jalan lebih pelan? Saya ingin melihat apa kenalan saya di rumah atau tidak."

"Bisa, Mbak."

Safira kembali bersandar di kursi sambil menatap pemandangan yang ada di luar. Karena rumahnya ada di dalam komplek Safira harus melewati beberapa komplek perumahan agar bisa memasuki jalan raya.

Di luar berdiri rumah-rumah mewah yang jauh lebih besar dari rumahnya. Ya, ini karena komplek rumah Safira ada di blok B sedangkan komplek perumahan yang dia lewati sekarang adalah blok A. Perkumpulan para pengusaha kaya raya dan lebih menonjol daripada blok-blok perumahan yang lain.

Safira suka melihat ke arah luar ketika melewati blok A. Ini bukan tanpa alasan karena ada seseorang yang sudah beberapa tahun ini menarik hatinya.

"Mas Ali bantuin Kak Kayana bawa barang-barang ini."

Namanya Ali. Lengkapnya dia bernama Muhammad Ali Althalib, seorang pemuda tampan yang disukai banyak gadis-gadis di komplek perumahan ini.

Tak terkecuali Safira.

Dia dari dalam mobil taksi menatap nanar sosok tampan nan tinggi itu bergegas mendekati seorang gadis ayu yang membawa banyak barang. Sepertinya itu adalah makanan.

"Mereka sepertinya sangat dekat." Gumam Safira lemah seraya mengalihkan pandangannya menatap tas kerja yang ada di pangkuan.

"Lagipula, kami punya perbedaan usia yang cukup jauh jadi mana mungkin dia mau denganku. Astagfirullah, apa yang aku pikirkan. Mas Ali belum tentu mengenalku, jangankan mengenal tahu jika aku hidup saja mungkin tidak. Kami tidak pernah bertemu secara langsung jadi dia mana mungkin mengetahui tentang aku."

Itu benar karena sejak awal hanya Safira lah yang memperhatikan Ali. Beberapa tahun lalu dia melihat Ali yang masih sangat muda membantu seorang pengemis, memperlakukannya dengan baik dan sopan. Sejak itu pula Safira tertarik dengan Ali dan mulai mencari tahu siapa pemuda itu.

Ternyata namanya Muhammad Ali Althalib, tinggal di blok A dan berusia 19 tahun saat itu. Kini 5 tahun telah berlalu dan usianya sudah 24 tahun punya selisih 6 tahun dengan usia Safira.

Safira jatuh cinta kepadanya namun dia sadar akan perbedaan usia mereka yang jauh. Itulah mengapa Safira malu mendekati Ali atau sekedar menyapa. Karena faktanya Ali tidak akan tertarik kepadanya dan dia juga mendengar dari orang-orang sini bahwa ada seorang gadis bernama Kayana yang sudah menjalin hubungan dengan Ali.

Mereka berdua muda jadi Safira tidak punya kesempatan apapun untuk mendekati Ali.

"Sekarang Bapak bisa berjalan normal." Kata Safira masih lemas.

5 tahun dia mendamba meski tahu akhirnya tapi tetap saja rasa itu tidak bisa segera terhapus dari hatinya. Bertahun-tahun mencari cinta yang lain dia akhirnya mendapatkan cinta yang baru tapi sayangnya lagi-lagi tidak bisa ia miliki.

Hah..

10 tahun, Safira sudah 10 tahun berkelana mencari kebahagiaan tapi masih belum mendapatkan juga. Dia lelah tapi tidak bisa menyerah karena masih percaya bahwa akan ada akhir bahagia yang Allah siapkan untuknya.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!