NovelToon NovelToon

Black Pearl

Bab 1 : Diary Andy

Langit siang mulai tampak abu-abu. Kencangnya angin membelai rambutku yang terurai. Aku sedang berjalan santai menuju sebuah indekos yang hanya berjarak beberapa meter lagi dari posisiku sekarang, sembari menikmati cuaca siang ini yang menurutku malah cerah. Tidak terlalu panas dan tidak pula turun hujan.

Langit mendung menurutku malah menciptakan cuaca yang romantis, tetapi aku juga suka hujan. Biasanya akan ada hal ajaib yang terjadi pada saat itu. Tangan kananku menenteng sekantong plastik berisi mie yang kubeli dari mini market terdekat. Biasa, anak kos sepertiku pasti akan mengirit kalau sudah tanggal tua ataupun kepepet duit.

Kamar kosku tidak terlalu luas tetapi juga tidak sempit. Harganya juga lumayan murah untuk bisa kubayar perbulan uang sewanya. Pas di sebelah kamarku, ada kamar teman gontok-gontokanku, namanya Yolanda. Di bab selanjutnya akan kuceritakan tentang si Yolanda.

Kuseduh sekotak mie rasa favoritku dalam sebuah wadah berbahan stainless. Setelahnya kuletakan mie tersebut di atas nakas. Pandanganku sekarang mengarah ke jendela kamar yang terbuka. Melihati rinai rintik hujan yang turun melesat dengan cepatnya. Entah mengapa, ada perasaan damai nan tentram bila melihat tetes demi tetes air yang turun dari langit.

Sambil menunggu air panas mematangkan mie yang kuseduh tadi, iseng, kuambil gawai yang sedari tadi tergeletak di atas tempat tidur. Terniat di dalam hati ingin menghubungi mama. Sudah lumayan lama aku tidak menghubungi beliau.

Ddrrtt... Ddrrtt... Ddrrtt...

Usai beberapa kali dering panggilan mengudara, barulah mama menjawab panggilan teleponku.

"Halo Mama," sapaku girang

"Andy Sayang, bagaimana kabarmu, Nak? Baik baik saja kan, Nak?"

Aku tersenyum mendengar celotehan mama yang begitu khawatir dari seberang.

"Iya Ma. Anak Mama sehat kok. Baik-baik saja."

"Mama khawatir karena kamu jauh, Nak. Apalagi tinggal sendirian di kota besar. Cuma ada Yolanda yang menemani kamu di sana. Oh ya, bagaimana kabar Yolanda?"

"Dia juga baik Ma. Kabar Tante Teresha bagaimana, Ma?"

"Tante Teresha baik, Andy. Sepupu kamu, Meera, dia juara satu lomba melukis di sekolahnya. Adiknya yang kecil Ricky, baru saja masuk sekolah dasar."

"Wah, hebat-hebat ya mereka! Titip salam buat Tante Teresha dan keluarga di sana ya, Ma."

"Ya Sayang, nanti Mama sampaikan. Kamu sudah makan, Nak?"

"Sudah Ma, barengan sama Yolanda tadi."

"Makan apa Sayang?"

"Makan ayam, Ma. Beli satu ekoran. Yolanda yang masak tadi. Mama sudah makan?"

Terpaksa aku berbohong supaya mama tidak khawatir.

"Mama senang kalau kondisi kamu terjaga di sana, Nak. Mama juga sudah makan. Tadi Tante Teresha masak bubur ayam."

"Hhmm, pasti enak bubur ayam buatan Tante Teresha."

"Kapan kamu ke sini? Kalau kamu ke sini, nanti Mama buatkan bubur ayam juga."

"Eum, belum tahu, Ma. soalnya aku baru seminggu bekerja magang. Mungkin belum bisa ambil izin libur."

"Ya sudah tidak apa-apa. Kamu fokus saja kerja magangnya. Jangan terlambat makan dan banyak minum air hangat, ya. Apalagi sekarang lagi musim hujan."

"Iya Ma. Mama juga jangan terlambat makan. Kalau ada yang Mama mau bilang saja. Jangan sungkan, aku usahakan buat kasih yang Mama mau."

"Sayang, Mama cuma mau kamu jaga diri baik-baik di sana. Kalau kamu sehat, bahagia. Itu sudah lebih dari cukup buat Mama."

"Terima kasih Mama, sudah jadi ibu yang paling baik sedunia. Love you Mama."

"Mama juga sayang kamu, Andy."

"Ma, sudahan dulu ya teleponnya. Aku mau istirahat."

"Ya Sayang, istirahatlah. Mama juga mau menjahit baju, ada pesanan dari keluarga Pak Bobby. Mereka mau jahit baju seragaman."

"Baik deh, Ma. Dah Mama...."

"Dah Andy."

Tut! Tut! Tut!

Obrolan antara aku dan mama pun usai. Kutengok lagi cuaca di luar dari jendela yang sama. Hujan masih sama derasnya. Sesekali gemuruh juga menyapa. Ah, sungguh suasana yang kontras untuk rebahan dan tidur siang.

Kricuk... Kricuk... Kricuk...

Tanpa sadar suara perutku berbunyi. Mungkin cacing di dalamnya sudah kelaparan minta diberi makan. Lantas kulihat mie yang sudah kuseduh sedari tadi.

Whoaa! Astagaaa!

Betapa terkejutnya aku. Ternyata besarnya sudah mirip ular piton. Ini pasti karena aku terlalu lama mengobrol dengan mama. Mieku sudah mengembang, melar kiri dan melar kanan. Segera kumasukan garpu ke dalam kumpulan mie yang berbelit-belit itu, memutar garpunya dan melahap mienya.

"Ah, enak sekali!" gumamku lalu melanjutkan makan siang.

**

Keesokan harinya di kala senja.

Kubuka dompetku yang berwarna merah muda lalu menghitung uang yang ada di dalamnya. Yang tersisa cuma ada empat lembar uang kertas berwarna merah juga tiga lembar yang berwarna biru. Sedangkan lainnya hanya tinggal pecahan kecil saja.

"Cukup tidak ya sampai menunggu gaji pertama bekerja magang?" tanyaku dengan wajah murung.

Nasib! Nasib! Ah, miskinnya aku. Bahkan kuntilanak saja levelnya lebih kaya sampai bisa extension rambut jadi panjang. Lah aku, masuk kategori fakir miskin dan rakyat jelata. Rautku cemberut sedih, meratapi hidup yang serba kekurangan, tetapi aku berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mencukupi hidupku dan juga membantu mama.

Tak sengaja mataku menoleh foto yang ada di slot dompet. Foto Andy Frederica. M. Gadis dengan wajah berbentuk oval, sepasang mata bundar dan bibir merah muda yang mungil. Aku beritahu, huruf M di akhir namaku adalah singkatan dari Maldyvi. Namaku yang asli adalah Andy Frederica Maldyvi.

Bicara tentang Maldyvi, kata itu diambil dari awalan nama mama yaitu Maldy. Dan Vi adalah awalan nama papa yaitu, Victor. Bila digabungkan jadilah kata Maldyvi. Mamaku, adalah wanita kuat yang mengasuhku dari kecil sebagai orang tua tunggal. Dari pekerjaan mama yang berprofesi sebagai penjahit-lah, Mama bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.

Tidak banyak yang kuketahui tentang papa. Kenapa hanya ada aku dan mama? Di mana keberadaan papa? Mama hanya bilang kalau nama papa adalah Victor. Ia sudah lama pergi meninggalkan kami dan tidak pernah kembali lagi.

Sesekali di dalam hati, ingin rasanya aku bertanya pada mama, alasan apa yang membuat mereka terpisah antara satu sama lain. Namun, kuurungkan niatku itu. Lantaran aku tidak takut melukai mama. Memaksanya kembali mengingat luka lama yang sudah berhasil ia singkirkan demi bisa membesarkan dan membahagiakanku.

Berlanjut ke cerita tentangku. Aku seorang mahasiswi di sebuah universitas swasta dan rencanaku sore ini adalah, ingin memberikan hadiah pada adik sepupuku-Meera karena dia baru memenangkan perlombaan melukis.

Untuk hadiah kemenangannya, aku ingin memberinya poster BTS (Grup penyanyi pria dari Korea Selatan) yang sangat besar. Sampai poster itu bisa dengan jelas memperlihatkan wajah bahkan lubang hidung dari semua anggota penyanyi itu. Agar Meera puas melihatnya.

**

Hari sudah sangat gelap ketika aku berjalan pulang menuju indekos. Hadiah yang kucari untuk Meera juga sudah kudapatkan. Udara malam ini cukup dingin lantaran beberapa hari terakhir sering hujan deras. Apalagi sekarang bulan November. Itu sebabnya aku selalu membawa sebuah payung lipat di dalam tas untuk berjaga-jaga kalau mendadak turun hujan.

Namun, dari kejauhan tepatnya di pinggir jalan yang sepi. Kulihat sesuatu yang aneh terjadi. Terlihat ada tiga orang yang terlibat, tetapi satu di antara mereka nampak begitu lemah, lunglai seperti orang yang sedang mabuk. Dua orang lainnya berdiri tegak merapatkan tubuh mereka pada seseorang yang terlihat lemah tadi.

Lalu apa yang terjadi?

Dua orang itu memukul pria yang lemah hingga pria itu jatuh tersungkur ke tanah.

"Astaga naga, apa yang kulihat ini!"

Seketika aku panik. Selang beberapa detik setelahnya terdengar seseorang berteriak copet.

"Copet! Copet! Copet!"

Akan tetapi, yang membuatku lebih panik adalah karena dua orang yang memukul pria lemah tadi belari ke arahku.

"Ya ampun! Bagaimana ini?" Aku bingung setengah mati. Kakiku sampai gemetaran.

Dan, Braak!

"Akh!"

Dua orang yang berlari tadi ternyata keduanya adalah pria. Mereka menabrakku karena terburu-buru ingin kabur. Membuatku jatuh tersungkur ke tanah.

"Copet! Copet!" teriak seseorang yang tertinggal di belakang.

orang itu berlari sempoyongan mengejar dua pria yang kabur tadi. Namun nahas, ia malah jatuh lagi terjerembab ke tanah. Jarak kami cukup dekat hingga aku yakin dia ternyata seorang pria juga.

Ketika melihatnya tak berdaya, tetapi tetap berusaha mengejar para pencopet tadi membuat hasrat keberanianku muncul.

Jreng! Jreng! Jreng!

Aku pun berubah menjadi pahlawan kemalaman. Sekonyong-konyong bangkit hendak mengejar para pencopet tadi.

"Tolong! Copet! Copet! Ada Copet di sana," teriakku sambil berlari dan menunjuk ke arah para pencopet tadi.

Dua pencopet tadi mau menyebrang jalan tetapi terjebak oleh mobil dan kendaraan roda dua yang padat memenuhi jalan karena lampu merah sedang menyala. Sementara aku masih meneriaki mereka dari belakang.

Orang-orang pun mulai memperhatikan aku karena mendengar suaraku yang kencang. Mereka akhirnya mulai ikut mengejar dua pencopet tadi. Keadaan kini menjadi semakin riuh dan ramai. Bernasib tak mujur, aksi dua pencopet tadi berhasil dipatahkan.

Aku berlari menuju kerumunan tersebut dan seseorang menyerahkan dompet yang tadi dibawa kabur oleh para pencopet tadi padaku. Sempat kulihat wajah para pencopet itu jadi babak belur karena dihajar massa. Untung saja mobil patroli cepat datang. Polisi pun memborgol mereka kemudian membawa keduanya pergi dari kerumunan.

"Ini dompet laki-laki yang sempoyongan tadi," kataku tatkala melihat benda segiempat yang ada dalam genggamanku.

Aku ingat pria itu jatuh tersungkur ke tanah. Bergegas aku pergi menuju lokasi pertama kali aku melihatnya. Namun, apa yang terjadi selanjutnya?

Hilang, pria itu hilang entah ke mana. Sudah tidak ada lagi di tempat kejadian perkara. Aku berkeliling, berputar-putar mencari di sekitar lokasi pria itu jatuh, tetapi tetap tidak kutemukan. Jejaknya pun tidak membekas. Seperti hilang ditelan bumi, digondol demit atau dibawa kabur oleh alien. Hanya ada sebuah dompet ditanganku yang masih tersisa.

***

Bagaimana kelanjutan kisah Andy? Berhasilkah Andy mengembalikan dompet itu? Dan siapakah pemiliknya?

Halo Reades, salam kenal sayang dari Author, penulis cerita ini. Ini cerita pertama yang Author konsep sejak tahun 2015. Tapi baru sekarang Author niat untuk nyelesaiin cerita ini. Mohon maaf kalau tulisannya belum bagus dan kosa katanya ada yang salah.

Terima kasih untuk yang support dan kasi saran. Semoga awal bab ini menarik daya baca kalian untuk menunggu dan membaca kelanjutan ceritanya lagi. Happy reading!

Sehat selalu ♡

Mayu Assanna

Bab 2 : Tuan Asland Garland

Kamar kosku begitu gelap saat aku pulang. Kunyalakan lampu sembari melempar tas ke atas tempat tidur. Kemudian kubaringkan tubuh lelahku di atas ranjang yang terbalut sprei motif bunga kamboja.

 

"Ah, capeknya!" lirihku kelelahan.

Efek berlari mengejar dua pencopet tadi baru kurasakan sekarang, setelah tubuhku terbaring seperti ini. Mataku yang letih mulai mendapatkan rasa kantuk. Beberapa saat setelanya rasa kantuk yang awalnya sekadar berubah menjadi luar biasa

Kupandangi terus baling-baling kipas angin yang sedang berputar-putar di langit-langit kamar. Perlahan-lahan mataku terkatup hingga akhirnya benar-benar terpejam. Aku tertidur pulas malam itu.

**

Di tempat yang berbeda.

Seorang pria duduk menyandar di kabin belakang mobil. Matanya terpejam dengan kepala bersandar ke belakang. Tangan kanannya sebentar mencolek ujung bibirnya yang berdarah, terluka oleh pukulan. Lalu jatuh lunglai ke paha. Tampak pakaian pria itu lusuh, kotor terkena tanah.

"Untung saja Tuan cepat menghubungi saya."

Seseorang yang menyetir mobil berbicara pada orang yang duduk di kabin belakang.

"Ya," jawabnya singkat dengan suara yang sedikit berat.

"Tuan, mau saya antarkan ke rumah sakit atau..."

Belum selesai orang yang menyetir bicara, pria yang duduk di kabin belakang sudah menyela.

"Ke tempat biasa saja."

"Tapi luka anda?"

"Tidak apa-apa, ini hanya luka ringan."

"Baiklah Tuan."

Mobil sedan mewah itu memutar arah. Melaju dengan kecepatan sedang menembus gelapnya malam.

**

Pagi hari.

Selesai berpakaian rapi, aku duduk di tepian kasur. Sebentar lagi waktunya berangkat ke tempatku bekerja magang. Lantas kuperiksa isi tasku, hendak memastikan apakah ada barangku yang tertinggal. Namun, saat tanganku merogoh ke dalam, selain dompet kepunyaanku sendiri, aku juga menemukan dompet yang lain.

Dompet itu berbahan kulit dengan tekstur yang lembut, warnanya coklat tua. Beberapa detik lamanya aku sibuk membolak-balik, melihat sisi depan dan belakang.

"Mungkin ini dompet orang kaya. Terbuat dari kulit buaya atau ular, ya?" candaku seraya tersenyum konyol.

'Boleh tidak kubuka dompet ini? Tapi dompet ini kan punya orang, bukan punyaku,' sergahku dalam hati.

Cukup lama aku diam memikirkan perlakuan yang tepat pada dompet itu dan akhirnya kuputuskan untuk membuka dompet. Mungkin saja ada kartu nama si empunya di dalam. Jadi aku bisa mengembalikan pada pemiliknya

Sesudah kubuka dompet tersebut, lantas kudapati beberapa kartu yang terselip di dalam slotnya. Malahan tidak kutemukan kartu tanda pengenal di sana. Iseng, kulirik kumpulan tebal uang kertas yang semuanya berwarna merah. Kumpulan uang itu disusun rapi secara horizontal. Meski tahu hal itu, tidak ada niatan sedikit pun untuk mengetahui berapa jumlahnya.

Selain kartu dan lembaran uang, ada juga sebuah foto terpajang di dalam slot foto. Mataku fokus mengamatinya cukup lama. Ketika melihat foto itu, di situlah rasa penasaranku muncul ingin melihatnya lebih jelas.

"Maaf ya Tuan. Maaf ya, aku lihat fotonya," ucapku meminta izin walaupun tidak ada orangnya.

Setelah itu kuberanikan diri untuk mengeluarkan foto tadi dari slot.

"Benar bukan sih ini orang yang kulihat kemarin malam?"

Aku menggerutu lantaran kurang yakin sebab kondisi gelap di sekitaran jalan membuatku sulit melihat jelas wajah pria itu. Dari foto yang kulihat, tampak pria itu berambut warna coklat tua. Klimis dan disisir rapi ke belakang. Sepasang manik matanya biru terang. Hidungnya pun mancung menjulang. Sedangkan garis wajahnya tegas dengan rahang yang lancip. Dilengkapi dengan bibir tipis berwarna merah muda serta kulit putih khas pria Eropa.

"Wah, bule nih! Hhmm ... Tampan juga!" pujiku dengan pipi merah merona. Entah kenapa aku jadi malu-malu walau hanya melihat fotonya saja.

Jika dinilai dari penampilannya, sepertinya dia bukan orang biasa. Pria itu memakai setelan jas eksekutif yang pas membalut tubuhnya. Umurnya mungkin sekitaran 30 tahun. Beda jauh denganku yang masih beranjak ke 21.

Tak sengaja kubalikkan sisi belakang foto tersebut. Eh! Ternyata ada nama si pemilik foto. Kutemukan tulisan tangan bergaya sambung yang indah dengan barisan yang rapi.

"Mr. Asland Garland. M."

Namanya adalah Tuan Asland Garland. Dia juga memakai huruf M di belakang namanya. Sama sepertiku yang memiliki awalan huruf M pada nama belakangku.

"Mungkin memang sudah jodoh, kali ya? Hahaha!"

Aku terkekeh menertawakan diri sendiri. Mungkin karena efek tidak pernah punya pacar. Terlalu lama menjomblo sampai aku jadi karatan.

"Blue Tower Building, Jalan boulevard raya No. 310...," lanjutku membaca.

Untung saja ada alamatnya. Nanti malam akan kudatangi alamat yang tertera di foto itu. Lalu kukembalikan dompet ini kepada pemiliknya. Sekonyong-konyong kulihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jam itu menunjukan waktu sudah pukul 8.15 pagi.

"Ah, nyaris aku terlambat!"

Segera kumasukan foto tadi ke dalam dompet dengan posisi seperti awalnya. Terburu-buru kupakai flat shoes warna hitam yang berada di rak sepatu dekat pintu. Sembari menyampirkan tali tas selempang ke bahu kiri, aku pun berangkat bekerja.

**

"Oh, Blue Tower Building itu rupanya gedung apartemen," kataku pelan dengan kepala mendongak ke atas. Melihati sebuah gedung tinggi yang berada di hadapanku sekarang.

Gedung tinggi itu bergaya modern. Jika melihat dari bawah seperti gedung pencakar langit. Banyak mobil masuk dan berhenti sebentar di depan lobi utama yang kelihatan mewah. Lampu di dalamnya pun begitu terang menyala.

Dan benar saja, begitu aku melangkah masuk ke dalam, pandanganku disuguhi pemandangan gedung apartemen yang memiliki desain interior bergaya vintage nan mewah. Penghuninya mungkin orang-orang elite dan kaya.

Aku beranjak mendatangi bagian resepsionis apartemen. Terlihat lima orang wanita berada di belakang meja. Mereka semua tampak sedang sibuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Ada yang menerima telepon, adapula yang sedang melayani tamu lain.

"Permisi, apartemen Nomor 310 ada di lantai berapa ya?" tanyaku pada salah satu dari mereka.

"Maaf Nona, apa anda sudah membuat janji sebelumnya?"

Sontak aku bingung saat ditanya demikian, tetapi untuk melancarkan niat baikku, terpaksa aku berbohong.

"Sudah," jawabku tegas agar nampak meyakinkan.

"Ada di lantai 35. Nona bisa naik lift ke sana."

Resepsionis tadi berkata ramah seraya menunjuk pintu masuk lift yang ada di depan dari posisi kami. Aku pun ikut menoleh sesuai arahan petunjuk tangannya.

"Tapi sebelumnya Nona harus mengisi data tamu dulu."

Suara resepsionis itu juga terdengar lembut sembari menyodorkan sebuah buku tamu padaku. Selesai mengisi data diri di buku tamu. Segera aku masuk ke dalam lift.

Beberapa saat kemudian, aku pun sampai di lantai gedung yang aku tuju. Kutekan bel beberapa kali setibanya di pintu apartemen No. 310. Tak lama setelahnya pintu pun dibuka. Orang yang membuka pintu adalah seorang pria. Wajahnya menunduk, tetapi perlahan dia mengangkat kepalanya.

Deg... Serr...

Tiba-tiba hatiku berdesir gugup. Mulutku menganga, tubuhku mematung tak berdaya. Pandanganku seolah terpatri hanya padanya.

'Ta-ta-tampan sekali dia!' ungkapku dalam hati sampai terbata-bata. Sesaat kujelajahi sosok pria yang berdiri di hadapanku dari atas kepala hingga ujung kaki.

Sosok pria itu memiliki tatanan rambut coklat tua yang rapi. Panjang rambutnya sedikit melewati batas bawah telinga. Sepasang manik matanya benar-benar biru seperti langit cerah. Hidungnya pun mancung sempurna. Bibir tipisnya merah muda seolah kuncup sakura yang baru saja mekar. Apalagi kulitnya, halus nan bening meskipun dia seorang pria. Bentuk tubuhnya atletis dengan tinggi semampai, mungkin mencapai 183 cm. Ia bak dewa Yunani yang hidup.

Glek!

Kutelan ludah saking tergiurnya. Aku masih terdiam. Tenggelam dalam pesonanya yang memabukan. Dalam hitungan detik berikutnya, hidungku mencium aroma harum. Aroma harum itu segera menjalar ke rongga dada, memenuhi isi kepala. Aroma harum yang asalnya dari pria yang berdiri di depanku.

Bunga-bunga bermandikan air hujan.

'Wangi orang kaya.' Aku membatin.

Berbanding terbalik denganku, orang yang kusebutkan ciri-cirinya tadi malah merasa keheranan, melihatku hanya berdiri bengong dan melongo. Manik birunya bergerak ke atas lalu ke bawah. Mengamatiku yang seperti orang linglung.

"Kamu siapa? Cari siapa? Kenapa ke apartemenku?"

Suaranya terdengar sedikit berat. Ciri khas suara maskulin pria. Setelah mendengarnya aku jadi tambah terpesona. Ah! Penuh decak kagum. Jiwa wanitaku langsung meresponnya. Bagiku pria tampan adalah salah satu keajaiban dunia kedelapan.

"A-aku Andy, Tuan," jawabku masih gugup. "Aku datang ke sini mau balikin ini."

Kusodorkan sebuah dompet kulit yang menjadi alasanku mendatangi gedung apartemen itu. Sorot mata pria itu tampak mengenali benda yang kusodorkan.

"Ya, ini memang dompetku. Dari mana kamu mendapatkannya?" Ia bertanya seraya mengambil dompetnya.

"Kemarin malam aku lihat Tuan dicopet dua orang preman. Jadi aku kejar. Pas mau kukembalikan, Tuan sudah tidak ada di jalan itu."

Kujelaskan tentang kejadian kemarin malam sambil masih berdiri di depan apartemennya. Pria itu tidak mempersilakanku masuk. Dia hanya mengamatiku bicara. Mendengarkanku dengan seksama. Dari raut wajahnya, terlihat sepertinya pria itu mempercayai ucapanku.

"Kemarin malam aku memang mengalami kejadian itu."

"Ya Tuan. Aku sudah balikin dompet Tuan. Sekarang aku pamit pergi, ya."

Kulemparkan seulas senyum padanya lalu beranjak berbalik badan.

"Tunggu!"

Pria itu memanggilku. Langkahku jadi terhenti sontak berbalik ke arahnya lagi.

"Ada apa, Tuan? Apa barang Tuan ada yang hilang?"

Tidak seperti dugaanku, pria itu ternyata membuka dompetnya untuk mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah yang terlihat cukup tebal.

"Ini, ambillah!"

Refleks aku terkesiap.

"Maaf Tuan. Aku tidak bisa menerima ini. Aku ikhlas membantu Tuan."

Pria itu seketika meraih tanganku. Tanpa basa-basi ia meletakan uang yang dikeluarkannya dalam genggamanku.

"Ambillah!"

"Maaf Tuan, aku tidak bisa."

"Anggap saja ini imbalan karena kamu sudah menolongku dan mengembalikan dompet ini."

"Tapi Tuan...."

"Ambillah! Kalau kamu ikhlas, aku juga ikhlas."

Kulihat uang yang berada di tanganku sekarang. Sepertinya cukup banyak. Mungkin bisa jadi uang tambahan untuk membeli buku kuliahku. Dengan malu-malu, akhirnya kuterima uang itu.

"Terima kasih, Tuan."

"Hhmm!"

Dia tidak menjawab. Hanya berdeham dan mengangguk singkat.

Sebenarnya tidak terpikirkan olehku kalau pria itu mau memberiku uang sebagai imbalan. Aku juga tidak berharap diberi uang, tetapi karena orang tadi memaksa. Ya sudah, tidak baik kalau menolak pemberian tulus dari seseorang, kan? Hehehe.

***

BERSAMBUNG...

Dear Reades Tercinta, Makasih banget kalian masih setia nungguin update cerita ini dan membacanya. Makasih juga sudah mampir di laman ini. Jika sudah membaca, tolong beri komen ya.

Sehat selalu ♡

Mayu Assanna

Bab 3 : Traktir Teman

"Yolandaa!"

Aku berteriak saat masuk ke dalam kamar kos teman gontok-gontokanku.

"Ada apa, sih? Happy sekali!" sahut yolanda tanpa menoleh lantaran sedang sibuk memakai bedak di depan meja riasnya. Lagipula bayanganku sudah terpantul di cermin itu.

"Beli bakso, yuk!" ajakku bersemangat. Aku pun duduk di tepi tempat tidur Yolanda lalu mengambil sebuah bantal. Kuletakan bantal itu di atas pangkuanku dan mendaratkan kedua tanganku di sana dengan posisi nyaman.

"Bakso?" Yolanda mengerutkan alis tak percaya.

"Iya. Aku yang traktir, deh!" Raut wajahku masih percaya diri.

"Wah! Kayaknya lagi banyak duit, nih. Habis ngepet di mana?" canda Yolanda seenak jidat.

"Dasar cebong! Enak saja habis ngepet!" Kujulurkan lidah mengejek.

"Memangnya kamu dapat duit dari mana? Sekarang kan masih tanggal tua. Biasanya juga makan nasi sama telur dadar atau ikan asin doang."

"Nih, dengar ya! Kemarin malam aku nolongin orang yang dompetnya dicopet. Pas aku balikin dompet itu sama pemiliknya, orang itu kasih aku uang."

Yolanda langsung memutar posisi badannya jadi menghadapku. "Nolongin orang yang kecopetan?"

Aku mengangguk beberapa kali dengan polosnya.

"Kamu lihat isi dompetnya, tidak?"

"Aku lihat karena mau cari kartu nama pemiliknya."

"Isinya banyak, tidak?" Binar mata Yolanda berapi-api menginterogasiku.

"Idih, dengar duit langsung semangat kayak karyawan mau gajian!"

Kuledek Yolanda dan serta-merta ia pun tertawa.

"Hahaha! Kenapa kamu balikin semuanya?" tanyanya lagi.

"Kok kamu tahu, aku balikin semua uangnya?" timpalku penasaran.

"Iyalah!" sergah Yolanda sangar. "Tampang polos otak dodol!"

"Jelas dong aku balikin semuanya, Yol! Itukan uangnya orang. Bukan uangku."

"Harusnya kamu ambil selembar, dua lembar, gitu."

"Lah, orangnya malah kasih aku lebih. Bukan cuma selembar, dua lembar."

"Benar kamu?" Yolanda mendekatiku. Hidungnya yang lumayan mancung mencium aroma uang di sekitarku. "Memangnya kamu dikasih berapa, Ndy?"

"Lumayanlah. Bisa buat beli buku kuliah sama traktir kamu makan lima mangkuk bakso."

"Cih! Itu sih kurang banyak!" cibirnya jutek.

"Yang penting kan lebih dari selembar, dua lembar kayak yang kamu bilang, Wek!" Kujulurkan lidah lagi mencandainya.

"Tapi sebentar lagi aku mau berangkat kerja, nih!"

"Ya sudah, kita cari warung bakso yang dekat saja!"

"Oke! Pas sekali aku memang belum makan. Tahu saja kamu, ini jam cacing ngamen. Main gitar dalam perut."

"Pssh ... Hahaha! Aku kan cacingnya. Yuk gerak! Kita makan bakso."

"Ayo!"

Yolanda dan aku pun beranjak pergi dengan berjalan kaki. Lima menit kemudian kami tiba di warung bakso favorit kami. Nama warung bakso tersebut adalah "Janda Beranak Lima".

Alasan warung bakso itu bisa menjadi warung favoritku dan Yolanda karena rasa baksonya yang memang enak. Ditambah harga semangkuk baksonya juga bersahabat. Pas di kantong anak kos yang suka mengirit pengeluaran seperti kami berdua.

Lokasinya juga tidak jauh dari indekos. Istilah kekiniannya yaitu "Terpeleset sampai", Hihihi. Jadi rate bintang dariku dan Yolanda untuk warung bakso ini adalah lima, sempurna.

Meski namanya sangar, tetapi tempat itu cukup menyenangkan. Lantaran si pemilik warung memang seorang janda yang mempunyai lima orang anak, Mpok Julaeha. Kata Mpok Julaeha banyak anak banyak rezeki. Sebab itu dia menamai warungnya Janda Beranak Lima. Supaya rezekinya banyak seperti anaknya.

Aku memesan semangkuk bakso pedas ditambah mie dan pangsit goreng. Serta teh manis dingin, sebab sedang ingin yang sederhana saja. Sedangkan Yolanda memesan seporsi nasi goreng spesial pakai telur bebek, semangkuk bakso beranak lengkap dengan anak-anaknya. Juga seporsi sate rendang jengkol dan segelas soda gembira.

Tidak menunggu lama, dua orang pelayan wanita datang ke meja kami. Mereka meletakan makanan yang telah kami pesan dengan hati-hati. Saking banyaknya pesanan Yolanda, mataku sampai terbelalak melihat ke atas meja sekarang.

"Benar-benar aji mumpung nih, Anak Kelelawar!"

"Hahaha!"

Bukannya malu, Yolanda malah terbahak-bahak.

"Ya iya lah! Sekali-kali dapat berkah dari langit."

"Yakin kamu sanggup ngabisin semua makanan ini, Yol?"

"Sadis sekali sih! Cacing di perutku yang ngamen cuma satu tapi mangkuk uang sumbangannya ada lima. Ditambah dua porsi sate jengkol lagi pun, aku masih sanggup."

Yolanda menarik kedua ujung kerah kemejanya, berlagak percaya diri.

"Ya sudah. Nanti kalau kamu masih lapar, pesan saja lagi," balasku seraya mengambil satu tusuk sate rendang jengkol milik yolanda.

Kulahap sate tersebut penuh nikmat. Melihatku makan jengkol membuat yolanda tergoda. Ia langsung mengambil satu tusuk sate juga, lantas segera memakannya.

"Ah, kenikmatan surga tiada tara!" ungkapnya puas. Yolanda benar-benar menikmati setiap gigitannya.

"Memangnya di surga ada jengkol?" tanyaku lugu.

"Tidak tahu. Aku belum pernah ke sana." Gadis berambut lurus berwarna hitam itu mengedikan kedua bahu.

"Lah, jadi yang kamu bilang surga yang mana?"

Satu sudut bibir Yolanda terangkat. "Surga dunia dong, Sayang!"

Aku mencebik manja. Kemudian kutusukan garpu ke dalam bakso pedasku. Menggigitnya sedikit lalu mengunyahnya. Seketika kelezatan langsung lumer di atas lidahku.

"Wah, benar-benar enak baksonya, Yol!"

"Coba! Coba! Aku mau coba!" pinta yolanda antusias.

Aku pun memberikan garpu berisi bakso padanya. Ia menggigit dan pada hitungan detik berikutnya merasakan hal yang sama.

"Iya, enak!" ungkap Yolanda, jujur.

"Pintar ya Mpok Julaeha buat baksonya," kataku memuji si empunya warung.

"Dia kan janda, sudah pengalaman kali."

Lagi-lagi Yolanda bercanda sembari cengar-cengir tidak jelas.

"Hush! Gosip saja. Nanti kalau Mpok Julaeha dengar, bisa dijambak kita berdua. Dia lagi berdiri di belakang meja kasir, tuh!" omelku dengan gerakan kepala menunjuk ke belakang.

"Hehe ... Ya sudah. Yuk, makan yuk!"

"Hhmm...."

Aku berdeham lalu melahap bakso pedasku lagi.

**

Tiga hari setelahnya.

Rinai hujan yang turun di pagi hari, akhir bulan November begitu syahdu. Kupeluk diriku sendiri guna menghangatkan tubuh yang kedinginan. Lantas kukenakan sandal jepit dari indekos menuju kantor tempatku bekerja magang. Rencananya akan kuganti sandal jepit itu dengan flat shoes di dalam toilet khusus pekerja wanita setibanya aku nanti.

Gedung perusahaan G. F Company.

"Hhmmm ... Basah! Basah! Basah!" celotehku selagi mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Usai turun dari angkutan umum, aku memang terkena tetesan air hujan saat berlari dari pinggir jalan menuju lobi utama gedung perusahaan G.F Company.

Aku seorang pekerja magang di perusahaan multinasional tersebut. Karena aku kuliah di jurusan manajemen pemasaran, jadi perusahaan tempatku bekerja magang menempatkan aku di bagian pemasaran pula.

Beberapa waktu berlalu, hujan akhirnya reda. Matahari pun mulai menghangatkan udara dan cuaca. Selesai makan siang di kantin perusahaan, aku melanjutkan tugasku, mengetik laporan perencanaan pemasaran produk terbaru untuk tiga bulan ke depan.

Mbak Sheryn, sekretaris direktur pemasaran yang memberikan tugas itu padaku. Selain cantik dan masih muda, Mbak Sheryn juga seorang yang baik hati. Dari sejak pertama kali aku masuk bekerja, wanita itu sudah bersikap ramah. Tak sungkan membantuku mengatasi pekerjaan yang sulit kulakukan.

Perut yang kenyang membuatku jadi lebih berkonsentrasi. Mataku fokus menatap layar komputer. Jari-jariku sedang lincah mengetik papan keyboard ketika tiba-tiba Mbak Sheryn memanggil.

"Andy!"

Ia berjalan gemulai di atas high heels seraya menghampiri meja kerjaku.

"Iya, Mbak. Ada apa?" sahutku pelan.

"Tolong bawa dokumen ini ke ruang rapat di lantai 11 ya. Kasih sama Pak Rudy. Tadi Pak Rudy lupa bawa ke ruang rapat."

Mbak Sheryn menyerahkan sebuah dokumen yang cukup tebal padaku untuk diberikan pada Pak Rudy. Pak Rudy sendiri adalah direktur pemasaran di perusahaan ini.

"Iya Mbak."

Aku mengangguk singkat. Kuambil dokumen yang disodorkan Mbak Sheryn tadi.

"Sekarang ya, Ndy. Rapatnya sebentar lagi dimulai."

"Baik Mbak."

Segera aku bangkit dari kursi. Bergegas pergi menuju ruang rapat di lantai 11.

Pintu lift merapat setelah aku masuk ke dalam. Jari telunjukku menekan tombol angka 11 yang terletak di dekat pintu. Ketika lift sudah naik dua lantai, tiba-tiba lift itu berdenting dan kembali terbuka. Ada seseorang yang menekan tombol dari luar.

"Eh...."

Sekonyong-konyong aku menggerutu pelan.

Dag! Dig! Dug! Serrrr!

Seperti mengetahui sinyal yang diberikan oleh mataku. Refleks hatiku jadi berdebar. Kenapa bisa berdebar?

***

BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!