Mata Laurel terlihat bengkak, rasanya dia sudah tidak lagi memiliki kekuatan untuk menangis lagi, dipandanginya mamanya yang hanya bisa tertunduk lesu dengan mata sembab di hadapan tantenya, kakak perempuan satu-satunya dari papanya, Tante Lina.
"Aku benar-benar minta maaf Kak, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi." Denia, Mama Laurel mengangguk lesu, rasanya memang satu-satunya jalan dia harus menjual rumah peninggalan suaminya yang meninggal akibat serangan jantung sebulan lalu.
"Aku juga tidak bisa membantu banyak, keuangan keluarga kami juga belum terlalu kuat." Mama laurel mengangguk, dia jelas-jelas tidak bisa menyalahkan Lina, kakak dari suaminya yang selama sebulan ini sudah begitu banyak membantunya, menyokong kebutuhan sehari-hari mereka karena kondisi ekonominya yang merosot tajam akibat penipuan yang dilakukan oleh adik kandung mma Laurel sehingga perusahaan mereka mengalami pailit, mengakibatkan papa Laurel yang tertekan terkena serangan jantung dan meninggal berapa waktu yang lalu.
"Kak, aku akan segera menjual rumah ini. Uangnya sebagian akan kami gunakan untuk membeli rumah yang lebih sederhana di pinggiran kota, sisanya untuk biaya hidup, biaya sekolah anak-anak dan menutup hutang gaji karyawan yang belum terbayar." Laurel melirik ke arah mamanya.
Dengan umurnya yang masih akan 18 dua bulan lagi rasanya dia tidak dapat membantu banyak, apalagi adik perempuannya Freya yang baru berumur 15 tahun. Dua minggu lalu dia baru saja menerima surat kelulusan SMA nya, sedangkan dia sendiri memiliki impian untuk kuliah di kedokteran.
Lina tidak bisa berkata apa-apa lagi, tapi sebenarnya masalahnya tidaklah sesederhana itu.
Rumah yang akan mereka jual ini sudah memiliki seorang calon pembeli yang bersedia membayar harga tinggi, bahkan melebihi pasaran, hanya saja orang tersebut meminta syarat yang tidak masuk akal.
Lina mendengar bahwa orang yang akan membeli rumah ini adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Dia sama sekali tidak keberatan untuk membeli rumah ini, bahkan bersedia menanggung biaya kuliah Laurel sampai lulus asal Laurel mau menikah dengannya.
Bagaimana bisa dia membiarkan adik iparnya menjual rumah seolah juga menjual putrinya sendiri yang juga merupakan keponakannya kepada orang yang tidak mereka kenal sama sekali.
"Denia, aku menghargai keputusanmu untuk menjual rumah ini, tapi membiarkan Laurel menikah dengan orang yang tidak kita kenal sama sekali, apakah itu merupakan tindakan bijaksana?" Mendengar itu airmata Laurel kembali menetes, bukan hanya masalah papanya yang meninggal, perusahaan yang bangkrut, rumah yang harus dijual, tapi masalah terberat adalah dia harus menikah dengan laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, sedangkan dia sendiri sejak 2 tahun lalu sudah memiliki tambatan hati, Devan.
Kakak tingkatnya yang sekarang ada di tingkat 2 jurusan managemen di salah satu universitas besar di Australia, dan sebenarnya mamanya juga tahu tentang hubungan mereka selama ini walaupun mungkin cinta mereka hanya dianggap romansa masa-masa SMA, hanya cinta monyet belaka.
"Aku memiliki sahabat yang mengenal keluarga mereka, menurutnya laki-laki ini adalah laki-laki yang baik Kak. Aku tidak serta merta menyetujuinya, aku sudah memiliki info tentang laki-laki ini. Dia bahkan tidak keberatan Laurel tetap mengejar impiannya menjadi dokter setelah mereka menikah dan dia bersedia menunda untuk memiliki anak karena usia Laurel yang masih terlalu muda," Mata Tante Lina melotot, sepertinya keputusan Denia untuk mengorbankan Laurel sudah benar-benar bulat.
"Denia, aku benar-benar tidak setuju. Aku tahu Laurel bukan putri kandungmu, tapi ingatlah, dia putri dari kakak kandungmu yang sudah meninggal. Kamu dulu mau menikah dengan papanya juga dengan alasan kamu ingin merawat Laurel dengan baik. Bagaimana bisa kamu mempertanggungjawabkan keputusanmu kepada kakakmu dan suamimu kelak? Kalau memang dia pria baik-baik kenapa kalau mau menolong harus bersyarat?” Mendengar tantenya menyebutkan bahwa dia bukan anak kandung dari Denia membuat hati Laurel semakin teriris-iris.
Memang papanya menikah dua kali. Mama kandung Laurel meninggal saat melahirkannya, sehingga adik mamanya, Denia, menggantikannya untuk merawatnya, sampai akhirnya papanya memutuskan untuk menikahinya supaya tidak ada desas desus negatif tentang hubungan mereka.
Selama ini Denia memperlakukan Laurel seperti anaknya sendiri, sama dengan dia memperlakukan Freya yang memang anak kandungnya. Tapi, dengan keputusannya untuk membiarkan dia menikah dengan pria yang tidak dia kenal sama sekali, membuat Laurel mulai meragukan ketulusan Denia sebagai mama tirinya.
Denia sendiri dalam posisi terjepit, dengan kondisi keuangan mereka yang parah. Dia sendiri semasa hidup suaminya tidak pernah sedikitpun ikut campur dalam urusan perusahaan, yang dia tahu dia hanyalah bertugas untuk semua urusan rumah tangga, bagaimana supaya rumah tangganya harmonis, suami dan anak-anaknya hidup bahagia bersama dalam rumah, mendapatkan makanan yang cukup dan mereka sukai, pendidikan anak-anak sukses, urusan lain dia tidak pernah ikut campur sama sekali.
# # # # # # #
Devan hanya bisa menepuk-nepuk bahu Laurel yang dalam pelukannya dengan lembut untuk bisa menghiburnya, dia sendiri saat ini tidak bisa membantu apa-apa. Saat Laurel kekasihnya menghadapi masalah paling tidak dia merasa beruntung kampusnya di Australia sedang libur dan dia bisa pulang ke Indonesia.
"Bagaimana kalau kita pergi jauh dari kota ini saja? Kita sama-sama berangkat ke Australia," Laurel melotot mendengar ide gila dari Devan.
"Kenapa? Aku akan bertanggung jawab untuk kehidupanmu selanjutnya. Saat aku lulus, 2 tahun lagi kita akan segera menikah, aku akan berusaha belajar dengan giat supaya bisa mempercepat kuliahku untuk lulus dalam waktu 1,5 tahun saja," Laurel menatap mata Devan dengan tidak percaya, tapi sepertinya itu bukan ide yang buruk. Saat ini yang terpenting baginya bagaimana dia bisa menggagalkan rencana pernikahannya dengan laki-laki asing itu.
"Lalu bagaimana dengan kuliahku?" Laurel menatap Devan dengan wajah bingung, karena dia sudah mendapatkan surat perberitahuan bahwa dia diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia jurusan kedokteran dengan jalur prestasi.
Menjadi dokter adalah impian Laurel sejak kecil, kalau dia mengikuti Devan untuk pergi dari kota ini, bagaimana dengan kuliahnya? Bagaimana dengan masa depannya? bagaimana dengan nasib mama dan adiknya?
Masa bodoh dengan mereka, mamanya sudah memutuskan akan menerima penawaran pengusaha tidak dikenal itu, benar-benar mama yang hebat, menjual anaknya untuk melindungi dirinya sendiri, Laurel tersenyum sinis mengingat bagaimana dua hari lalu mamanya memberitahunya bahwa keputusannya sudah bulat untuk menjual rumah mereka dan menikahkan dia dengan pria yang tidak dia kenal sama sekali, baginya sama saja dengan mamanya sudah menjualnya ke rumah pelacuran untuk laki-laki asing.
"Kamu bisa kuliah di Australia. Kamu gadis yang cerdas, pasti kamu bisa masuk ke universitas disana juga. Dengan nilai-nilai akademis yang tinggi, kamu bisa mengajukan beasiswa," Laurel mengerutkan keningnya, berusaha memikirkan ide dari Devan yang saat ini terdengar sedikit masuk akal walaupun sedikit gila juga.
"Papaku bukan orang yang benar-benar kaya, tapi kalau aku minta dia membantu sedikit biaya kuliahmu pasti dia tidak keberatan, apalagi aku anak tunggal dari papa, dia kan juga tahu kita sudah berpacaran sejak 2 tahun lalu, sisanya kita bisa bekerja paruh waktu disana untuk menutupi kekurangan keuangan kita," Wajah Laurel yang awalnya terlihat kusut mulai sedikit berubah ceria, merasa menemukan jalan keluar untuk masalahnya.
Sebenarnya walaupun hanya 2-3 kali baik dia ataupun Devan sudah pernah bertemu orangtua masing-masing walaupun bukan dalam acara resmi.
"Ah, sebaiknya sekarang kita hentikan pembicaraan kita, besok kita bahas lagi, sekarang aku lapar sekali," Devan bangkit berdiri dari kursi beton yang ada di tengah-tengah taman kota, Laurel yang pada saat bertemu Devan sudah tidak bisa tersenyum akhirnya bisa sedikit tersenyum karena pembicaraan mereka barusan, rasanya apa yang dikatakan Devan bisa menjadi jalan keluar terbaiknya saat ini.
"Ayolah, berapa hari ini nafsu makanku juga benar-benar kacau karena masalah ini. Hari ini kita harus makan dengan puas," Devan tertawa kecil mendengar keluhan dari Laurel, dia segera meraih tangan Laurel dan mengajaknya berjalan sambil berpegangan tangan ke arah parkiran taman kota untuk kemudian menuju sebuah mall untuk membeli makan malam mereka.
Setelah mereka makan dengan puas di area food court salah satu mall di kota itu, Devan dan Laurel sepakat untuk nonton bersama untuk menghilangkan stress mereka, berusaha melupakan sejenak masalah yang harus mereka hadapi saat ini.
Laurel masih memilih-milih judul film yang akan mereka tonton sampai akhirnya dia merasakan sesuatu benda yang awalnya terasa dingin menyentuh pinggangnya dan sedetik kemudian dia merasakan sakit yang teramat sangat di bagian itu, tangan kanannya spontan memegang bagian itu.
Seseorang dengan memakai topi dan masker terlihat berlari menjauhi Laurel dengan tangannya yang memakai sarung tangan terlihat meneteskan darah di lantai sepanjang dia berlari menjauh. Membuat beberapa orang berteriak histeris karena kaget dan ketakutan.
"Aduhhh!!" Laurel berteriak histeris menyadari tangan kanannya yang baru memegang pinggang kanannya berlumuran darah dan sebuah belati tampak masih tertancap menusuk bagian pinggang kanannya.
Devan yang awalnya berdiri tidak jauh dari tempat Laurel untuk membeli makanan kecil langsung berlari ke arah Laurel yang langsung pingsan dalam pelukan Devan. Beberapa orang yang melihat kejadian itu langsung mengerumi Devan dan Laurel.
"Tolong! Panggil ambulan! Panggil ambulan!" Dengan wajah pucat Devan berteriak histeris melihat kondisi Laurel yang pingsan di pelukannya dengan tubuh bagian pinggangnya dengan kondisi sebuah belati masih tertanjap disana terus mengalirkan darah segar, mengotori lantai mall tersebut.
"Panggil ambulan! Cepat!" Devan kembali berteriak histeris karena orang-orang yang berkerumunan hanya saling memandang tanpa melakukan apa-apa. Keringat dingin memenuhi kening Devan karena emosi sekaligus ketakutan yang dialaminya saat ini melihat kondisi Laurel yang masih pingsan.
"Panggil ambulan! Cepat! Tolong ambulan!" Devan kembali berteriak histeris karena orang-orang yang berkerumunan untuk melihat karena rasa penasaran mereka hanya saling memandang tanpa melakukan apa-apa.
Kerumunan orang yang melihat mereka semakin banyak, dua tiga orang meraih handphone mereka untuk melakukan panggilan ke rumah sakit terdekat, petugas keamanan tampak berlarian ke arah kerumunan orang-orang itu. Beberapa wanita dan anak kecil menutup mata mereka karena ngeri melihat kejadian yang menimpa Laurel.
Devan mencuci tangannya di kamar mandi rumah sakit dengan cepat, berusaha membersihkan bekas darah Laurel yang menempel di lengan dan bajunya sambil memandangi ke arah kaca yang ada di atas wastafel.
Akhirnya Devan kembali menyalakan kran air, mengambil air dengan telapak tangannya dan membasuh wajahnya yang tampak berantakan. Selesai mengeringkan wajah dan tangannya dengan tissue Devan berjalan dengan sedikit tergesa keluar dari kamar mandi ke arah ruang operasi.
Devan langsung bangkit dari kursi yang berjejer di depan ruang operasi, begitu diihatnya pintu terbuka, seorang dokter dan seorang perawat keluar dari ruang operasi.
“Dokter, bagaimana kondisi pacar saya?” Dokter tersebut sedikit mengernyitkan alis mendengar pertanyaan Devan.
Sebelum menjawab pertanyaan Devan dokter tersebut melepas masker yang menutupi wajahnya. Devan sedikit kaget, karena ternyata dokter tersebut terlihat masih muda, berwajah campuran, bukan wajah orang Indonesia asli.
Setelah maskernya dilepas Devan baru memperhatikan bahwa dokter tersebut memiliki mata bewarna coklat muda, bukan seperti mata orang Asia pada umumnya.
“Anda kekasih nona yang baru saja mengalami penusukan?” Devan mengangguk cepat mendengar pertanyaan dokter tersebut.
“Bagaimana ceritanya? Kenapa tiba-tiba ada peristiwa penusukan seperti itu? Apa ada orang yang punya dendam dengan nona itu?” Devan sedikit mengernyitkan alisnya, harusnya dia yang bertanya tentang kondisi Laurel, tapi kenapa sekarang dokter itu seolah-olah sedang menginterogasinya seperti seorang ayah yang menemukan dan menangkap basah anak gadisnya pergi keluar dengan teman laki-lakinya tanpa ijin.
“Ehmmm, anu dokter, saya tidak tahu. Tapi Laurel gadis baik-baik, tidak mungkin ada orang yang menyimpan dendam padanya,” Dokter itu menarik nafas panjang, keningnya sedikit berkerut seolah-olah sedang memikirkan sesuatu, sebentar kemudian kepalanya menoleh ke arah pintu ruang operasi yang lampunya sudah dimatikan, bertanda sedang tidak ada kegiatan operasi di dalam ruangan tersebut.
“Dok, jadi, bagaimana kondisi Laurel?” Dokter itu kembali menatap Devan.
“Oooo, dia baik-baik saja, sebentar lagi suster akan membawanya ke kamar, dia harus rawat inap untuk memastikan semua baik-baik saja pasca operasi. Kami akan melakukan observasi selama 24 jam, jika kondisinya sudah stabil, dia boleh pulang untuk menjalani rawat jalan,” Devan menarik nafas lega mendengar penjelasan dokter barusan.
“Untung saja tusukan belatinya tidak terlalu dalam dan tidak mengenai organ dalam, semua akan baik-baik saja dan semoga tidak terjadi infeksi lanjutan,” Entah kenapa Devan merasa dokter yang menangani Laurel ini terlihat begitu perduli dengan kondisi Laurel.
Devan mencoba mengingat-ingat apakah Laurel memiliki saudara atau kenalan seorang dokter, dan seingat Devan benar-benar tidak ada.
“Ok, saya harus mengurus pasien lain, tolong perlengkapi data diri anda sebagai wali dari nona tadi,” Devan mengangguk mendengar permintaan dokter tersebut.
“Terimakasih dokter,” Devan segera mengucapkan terimakasih dan dokter muda tersebut langsung berjalan meninggalkan Devan.
“Devan! Apa yang terjadi pada Laurel?” Denia, mama Laurel berlari-lari bersama dengan Freya ke arah Devan yang masih berdiri termenung di depan ruang operasi.
Belum sempat Devan menjawab pintu ruang operasi kembali terbuka, terlihat seorang suster sedang mendorong sebuah brankar dorong (merupakan ranjang yang digunakan untuk ranjang emergency dan transfer pasien. Transfer pasien disini adalah memindahkan pasien dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah. Penggunaan brankar ini tidak hanya terbatas memindahkan pasien antar ruangan. Namun brankar pasien juga bisa digunakan untuk transfer pasien dari dan ke ambulan. Brankar pasien ini lengkap dengan roda dan tiang infuse) dengan Laurel yang masih belum sadarkan diri terbaring di atasnya.
Denia langsung mendekati brankar tersebut dan mengikuti suster yang mendorongnya ke sebuah kamar. Devan hanya bisa mengikuti mama Laurel di belakangnya.
“Suster, bagaimana kondisi anak saya?” Wajah Denia terlihat benar-benar cemas, suster yang membawa Laurel hanya tersenyum.
“Tenang bu, dokter malam ini sudah menanganinya dengan baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja, tinggal menunggu masa pemulihan pasien,” Penjelasan suster cukup membuat Denia tenang, tapi setelah dia sedikit tenang dia baru menyadari bahwa kamar yang ditempat Laurel saat ini merupakan salah satu kamar VVIP rumah sakit.
“Ehm, suster, apakah anak saya bisa dipindahkan dari kamar ini ke kamar kelas lain?” Suster tadi sedikit mengernyitkan alis mendengar permintaan dari Denia.
“Maaf bu, saya tidak berani, penempatan pasien ke kamar ini atas perintah langsung dari dokter yang melakukakan perawatan kepada pasien, kalau anda keberatan anda bisa mendiskusikannya dengan beliau,” Denia mengerutkan kening setelah mendengar jawaban suster tersebut.
“Baik suster, terimakasih,” Denia menarik nafas panjang, bukannya dia tidak mau Laurel mendapatkan perawatan dengan fasilitas terbaik, tapi mengingat kondisi keuangannya saat ini, dia benar-benar tidak tahu darimana dia akan mendapatkan uang untuk membayar semua biaya rumah sakit nantinya.
# # # # # # #
Laurel bangkit dari duduknya di atas tempat tidur kamarnya, berdiri di depan kaca rias di kamarnya.
Dengan hati-hati diangkatnya sedikit t shirtnya sehingga dia bisa melihat bekas luka di pinggang kanannya. Sudah tidak lagi menimbulkan rasa nyeri, hanya kadang-kadang saja saat dia bergerak terlalu terburu-buru masih terasa sedikit nyeri.
Laurel menarik nafas panjang, nyeri karena luka tusukan dari orang yang tidak dikenalnya sebulan lalu masih berbekas, tapi dia bisa menahannya, tapi nyeri karena hatinya yang sakit benar-benar sulit dia lupakan.
Sejak kejadian penusukan itu dua hari kemudian Devan menghilang tanpa jejak, bahkan waktu kepulangannya dari rumah sakit, Devan tidak muncul sama sekali.
Tidak menjemputnya ataupun memberi kabar, bahkan semua sms dan panggilan telepon darinya tidak dibalas satupun oleh Devan, justru dia mendengar kabar tiba-tiba Devan sudah kembali ke Australia tanpa memberinya kabar.
Saat Laurel berusaha memberanikan diri menghubungi orangtuanya jawaban yang dia dapat adalah Devan sedang berkonsentrasi terhadap studinya, jadi lebih baik untuk sementara waktu Laurel melupakan Devan dan tidak mengganggunya. Benar-benar jawaban yang menyakitkan.
Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika Devan selama sebulan ini tidak dapat dihubungi sama sekali, salah seorang teman Laurel yang juga kuliah di Australia mengupdate status berupa foto, disitu terlihat Devan, teman Laurel dan seorang gadis cantik berambut pirang dengan posisi mencium pipi Devan, dengan caption di statusnya bertuliskan “Hari ini kebetulan berpapasan dengan Bos Devan dan pacar bulenya.” Melihat status medsos tersebut Laurel hanya bisa menarik nafas panjang. Tindakan Devan benar-benar menyakitkan, di saat dia terpuruk Devan datang seolah-olah menawarkan bantuan, tapi sedetik kemudian dia menghilang dan tiba-tiba terdengar kabar dia sudah memiliki pacar baru, dan tanpa malu-malu menunjukkan kemesraan mereka.
Laurel memejamkan matanya, teringat kembali pada kejadian sebulan lalu, teringat pada kejadian penusukan yang dialaminya.
Dengan kondisi setengah sadar dan tidak Laurel mendengar Devan memanggil-manggil namanya, beberapa orang sibuk mendorong tubuhnya yang terbaring di atas sebuah ranjang masuk ke ruangan yang dari baunya Laurel bisa menebak bahwa itu sebuah UGD rumah sakit. Beberapa saat kemudian Laurel mendengar ada suara orang yang berlari ke arahnya.
Dari ujung matanya yang terbuka sedikit setengah sadar dan tidak Laurel melihat sebuah sosok laki-laki muda berpakaian khas seorang dokter, dengan rambut bewarna kecoklatan, mendekat ke arahnya.
“Laurel Tanputra?” Sebuah suara lembut terdengar menyebutkan namanya.
“Benar dokter, nona ini bernama Laurel Tanputra,” Terdengar suara jawaban dari suster yang berdiri di dekat kepala Laurel tergeletak. Dokter tersebut menundukkan badannya, matanya mengamati luka tusuk di pinggang kanan Laurel dengan serius.
Sekilas Laurel sempat melihat tatapan mata dokter tersebut mengamati wajahnya dalam-dalam, seolah-olah dia mengenal Laurel. Mata tajam dan lembut bewarna coklat muda, yang sampai detik ini benar-benar membuatnya penasaran siapa dokter bermata lembut bewarna coklat muda tersebut.
“Siapkan segera ruang operasi, saya sendiri yang akan melakukan tindakan,” Suara lembut itu kembali terdengar sayup-sayup di telinga Laurel yang beberapa saat kemudian kesadarannya kembali menghilang.
Laurel memandangi wajahnya sendiri di kaca yang terlihat cantik dengan gaun pengantin putihnya yang begitu indah. Gaun pengantinnya dipenuhi dengan pernak pernik kristal dari atas sampai ujung. Laurel yakin calon suaminya menghabiskan cukup banyak uang untuk membeli gaun ini.
Freya yang sedari tadi menemaninya sudah memberikan begitu banyak pujian tentang kecantikan Laurel dalam balutan gaun indah itu.
Sudah sejak sebulan lalu Laurel dan keluarganya meninggalkan rumah peninggalan papanya setelah dibeli oleh pengusaha muda yang hari ini akan menikahinya. Laurel memandangi kamarnya yang baru, jauh lebih kecil dan sederhana dibandingkan dengan kamarnya di rumah lama.
Bagi Laurel sebenarnya bukan masalah besar jika dia harus berpindah dari rumahnya yang nyaman ke rumah sederhana ini, tapi persetujuan mama tirinya untuk menjual rumah sekaligus menikahkannya dengan laki-laki yang tidak dikenalnya, benar-benar membuatnya putus asa dan kecewa.
Rencananya setelah Laurel menikah dia akan kembali menempati rumah peninggalan papanya bersama suaminya, sedang mama Denia dan Freya akan tinggal di rumah sederhana ini. Walaupun rumah itu telah dibeli oleh calon suami Laurel, tapi setelah mereka menikah calon suaminya ingin agar Laurel memiliki rumah itu kembali sebagai hadiah pernikahan mereka, selain hadiah mobil, sebuah villa di daerah puncak, setumpuk pakaian, sekotak perhiasan, selusin sepatu dan belum lagi hadiah lainnya yang telah disiapkan untuknya.
Sepertinya dia laki-laki yang cukup murah hati, tapi kalau memang benar dia seorang yang baik kenapa kebaikannya harus bersyarat? Laurel berkata dalam hati dengan senyum sinis.
“Freya, kakak akan ke kamar mandi dulu,” Freya yang mendapat tugas menemani Laurel hanya mengangguk tanpa menaruh kecurigaan apapun, sesampainya di kamar mandi Laurel segera membuat riasan wajahnya berubah menjadi pucat, diminumnya obat pencahar yang sudah dia siapkan sedari pagi.
# # # # # # #
“Mama, Kak Laurel sakit!” Denia yang masih sibuk mempersiapkan keberangkatan mereka ke gedung pertemuan untuk melangsungkan pernikahan Laurel segera berlari ke arah kamar Laurel, disusul oleh Lina.
“Kenapa denganmu nak?” Denia bertanya dengan wajah khawatir, Laurel mengernyitkan dahi, sambil memegang perutnya, bibirnya mengeluarkan suara mendesis karena menahan sakit.
“Perutku sakit sekali ma, rasanya mau pingsan,” Lina, tante Laurel yang baru saja masuk mengerdipkan sebelah matanya ke arah Laurel.
“Aku akan antar Laurel ke rumah sakit,” Lina mendekati tempat tidur dimana Laurel duduk sambil memegang perutnya, Denia yang tampak gelisah langsung meraih handphonenya.
“Tunggu sebentar, aku akan tanyakan dulu kepada pihak pengantin pria,” Lina hanya mengangguk mendengar perkataan adik iparnya, dia segera mendekati Laurel dan duduk di sampingnya.
Entah apa yang dibicarakan oleh Denia kepada pihak keluarga calon pengantin pria, tapi beberapa saat kemudian tampak Denia keluar kamar sebentar dan setelah dia kembali memegang sesuatu di tangannya.
“Kak, kita antar Laurel ke rumah sakit setelah dia menandatangani ini,” Denia menyodorkan sesuatu yang langsung membuat mata Laurel dan Lina terbeliak, sesuatu yang harus ditandatangani Laurel di atasnya tertulis “SURAT NIKAH”.
“Ma, apa maksudnya ini?” Denia menarik nafas panjang.
“Pihak keluarga disana sudah lama menunggumu, mendengar kamu sakit mereka mengirimkan ini, kamu hanya perlu menandatanganinya, setelah itu kamu bisa beristirahat tanpa harus mengikuti resepsi,karena mereka sudah mengumumkan bahwa kamu sedang sakit dan menuju rumah sakit saat ini,” Laurel melirik ke arah tantenya, Lina langsung memberikan isyarat untuk menuruti permintaan mamanya. Dengan setengah hati Laurel menandatangani surat nikah tersebut, tanpa membaca sepatah katapun yang tertulis disana.
“Ah, kalau begitu, ayo kita ke rumah sakit,” Tante lina berusaha membantu Laurel yang terlihat pucat dan lemas untuk bangkit berdiri.
“Freya temani kakak ya ma?” Dengan wajah polosnya Freya mendekati mamanya untuk meminta ijin menemani Laurel.
“Jangan, kamu dan mamamu harus hadir di acara resepsi kalau tidak masalah ini akan jadi pembicaraan banyak orang,” Denia menatap Lina karena ucapannya barusan dengan wajah bingung, tapi apa yang dikatakan Lina ada benarnya.
“Baiklah, tolong antar Laurel ke rumah sakit, kalau ada apa-apa tolong kabari aku, aku akan ke gedung untuk memberikan info tentang kondisi Laurel,” Lina langsung mengangguk mengiyakan.
“Aku akan bantu kamu mengganti pakaianmu Laurel, tidak mungkin kamu ke rumah sakit memakai gaun pernikahan seperti itu,” Tante lina menarik tubuh Laurel dibantu seorang saudara yang lain untuk berjalan, membantunya mengganti pakaiannya, setelah itu mereka berdua memapah Laurel untuk berjalan ke depan rumah dan masuk ke mobil, melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
Di dalam mobil Laurel langsung meminum obat untuk menghentikan kerja obat pencahar di tubuhnya.
“Hufttt…. Semoga semua berjalan lancar,” Lina memandang Laurel dengan tersenyum lega.
“Ayo, kita harus segera ke bandara, koper-koper yang sudah kamu siapkan minggu lalu sudah tante minta sopir untuk mengantarnya ke bandara juga, kita akan bertemu disana untuk mengambilnya,” Laurel memegang dadanya yang berdebar-debar karena tegang.
“Apa menurut tante kita akan berhasil?” Lina yang sedang menyetir menoleh sekilas ke arah Laurel.
“Bagaimana dengan surat nikah yang sudah terlanjur aku tandatangani tante?” Lina kembali menarik nafas panjang.
“Sudah biarkan saja, kalau tadi kamu tidak mau menandatanganinya mereka tidak akan mengijinkan kita ke rumah sakit. Menurut info, calon suamimu seorang pengusaha muda yang cukup kaya. Laki-laki seperti itu, paling-paling setahun dua tahun lagi akan mengajukan gugatan cerai ke kamu dan dia akan menikah lagi, tenang saja,” Laurel menahan nafasnya, benar-benar berharap seperti apa yang dikatakan tantenya, benar akan semudah itu.
“Tenang saja, sejauh ini semua lancar, aku harap kita bisa tepat waktu sampai di bandara. Jangan Khawatir, sesampainya di sana, keponakan tante akan menjemputmu. Sampaikan salam tante kepada keluarga disana ya,” Laurel mengangguk.
Laurel teringat kejadian beberapa waktu lalu ketika Tante Lina memberikan ide nekat untuk melarikan diri ke Amerika.
Sore itu Laurel datang ke rumah tantenya untuk berkunjung sekaligus memberinya info tentang surat pemberitahuan bahwa dia diterima di salah satu universitas terkenal jurusan kedokteran di Amerika. Mendengar berita itu tante Lina yang dari semula tidak setuju Laurel menikah langsung mengusulkan agar Laurel berangkat ke sana untuk melarikan diri dari pernikahannya. Walaupun bukan keluarga yang sangat kaya, tante Lina tergolong mampu, dia dan suaminya sudah sepakat untuk membantu kebutuhan biaya Laurel selama di Amerika.
Suami Tante Lina memiliki seorang adik laki-laki yang sudah lama menetap di Amerika, bahkan sudah diangkat menjadi penduduk tetap, menjadi warga negara Amerika, dan dia bersedia membantu Laurel dengan menjadikan dirinya sebagai penjamin Laurel untuk menetap di Amerika selama melanjutkan studinya.
# # # # # # #
Setelah cukup beristirahat karena perjalanan panjangnya selama hampir 24 jam, Laurel membuka matanya, bangun dari tidurnya, diraihnya handphone di atas meja kecil tempat diletakkannya tas jinjingnya yang belum sempat dirapikannya.
Sesampainya di bandara keponakan Tante Lina yang bernama Johan sudah menunggunya. Laurel langsung mengenalinya dari warna baju yang dikenakannya (sesuai kesepakatan yang tertulis di pesan di hanpdhone Laurel dua hari yang lalu, Johan akan memakai t shirt bewarna kuning cerah dan celana jeans biru) dan kertas bertuliskan Laural-INA yang dipegangnya. Johan langsung mengantarnya ke salah satu homestay. Homestay merupakan pilihan akomodasi terbaik karena bagi Laurel selain biayanya tidak semahal kontrak atau sewa apartemen Laurel ingin mengenal kebiasaan dan kebudayaan warga setempat.
Pihak universitas mempunyai daftar keluarga yang menerima mahasiswa internasional untuk homestay di rumah mereka. Tuan rumah homestay biasanya akan menyediakan makanan. Untuk homestay, Laurel harus mematuhi peraturan keluarga tersebut, termasuk jam malam dan peraturan-peraturan lain.
Saat membuka layar handphonenya, mata Laurel melihat ada 20 misscall di handphonenya, 18 diantaranya dari nomer tidak dikenal, 1 dari mamanya, 1 dari tantenya dan 2 pesan belum dibaca. Laurel menarik nafas panjang, dibukanya pesan di handphonenya, dari tante lina menanyakan bagaimana kabarnya dia di Amerika, dari mamanya hanya tertulis kata: maaf, mama tidak bisa menjadi mama yang baik untukmu.
Membaca pesan dari mamanya rasanya mata Laurel memanas kembali, antara haru, jengkel, marah, kecewa, kasihan menjadi satu. Selain masalah penikahan yang dipaksakan, sebenarnya mama tirinya merupakan mama tiri yang baik, memperlakukannya seperti mama kandungnya.
Mama tirinya selalu menjaga dan menyayanginya, tidak pernah membeda-bedakan perlakuannya antara Laurel dan Freya, karena masalah pernikahan itu yang membuat Laurel kecewa terhadap mamanya, walaupun dia tahu mamanya dengan sangat terpaksa melakukan itu padanya, karena sudah tidak ada jalan lain yang bisa dia pikirkan untuk menyelamatkan keluarga kecilnya.
Laurel menyeka air mata yang sudah unjuk gigi di ujung-ujung matanya, ditariknya nafas panjang melalui hidungnya yang sedikit berair karena menahan tangisnya.
Belum lagi Laurel membalas pesan baik dari tante atau mamanya, sebuah panggilan dari nomer tidak dikenal terlihat di layar handphonenya, untuk beberapa saat Laurel terdiam, berpikir apakah dia perlu mengangkat panggilan tersebut atau tidak. Akhirnya dengan ragu Laurel mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo," Untuk beberapa saat Laurel tidak mendengar suara sahutan dari seberang sana, Laurel hampir saja menutup telponnya, tapi tiba-tiba sebuah suara yang terdengar lirih menyapanya.
"Bagaimana kabarmu disana? Kapan kamu pulang?" Laurel tersentak kaget, suara disana jelas-jelas merupakan suara seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, rasanya selama ini dia belum pernah mendengar suara seperti suara laki-laki yang saat ini sedang berbicara dengannya di telephone.
"Maaf, dengan siapa saya bicara sekarang?" Laurel mendengar orang yang ada di seberang sana menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Laurel.
"Ini aku. Suamimu," Mendengar jawaban itu Laurel benar-benar tersentak kaget, dadanya berdebar-debar dengan hebatnya, tangannya yang memegang handphone bergetar. Kekagetan Laurel seperti tersambar petir di siang bolong saat musim panas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!