NovelToon NovelToon

MADU PILIHAN ISTRIKU (RUBBY)

PAMALI

Siang itu.

"Bang, ngga nyangka ya, bentar lagi kita jadi suami istri. " Ucapku pada Mas Bagas yang kebetulan sedang main kerumah.

"Iya, Abang juga udah deg-deg'an menuju ijab qabul. Semoga aja, nanti dalam satu tarikan ya By. " Jawabnya.

"Iya Bang. By juga, kayaknya kalo selesai dalam satu kali tarikan nafas itu, rasanya bangga banget. Sering-sering latihan ya Bang. " Balasku lagi.

"Iya, memang deg-deg'an. Tapi, kalian harus inget dong, sebentar lagi kalian mau nikah, kalian udah ngga boleh sering ketemu, Pamali." Sahut Ibu dari. Dapur.

"Ibu, masih percaya aja sama yang begituan. Ini jaman udah beda Bu. "

"Ah, kamu ini By. Kalo dibilangin pasti gitu. " Ucap Ibu kesal.

"Yaudah, abang pulang dulu lah dek. Nanti Ibu ngomel lagi, bener juga kata Ibu, kita jangan sering-sering ketemu sekarang. Supaya nanti berasa lebih rindu. " Ujar Bang Bagas.

"Hehe... Yaudah, sana pulang. Hati-hati tapi ya. Jaga kesehatan, jangan ngebut dijalan. Inget, bukan hanya target keuangan yang harus dikejar, tapi aku juga. " Pesan ku.

"Kalo kamu kan udah dapet. Hehe" Ledek nya dengan mengengkol motor dan pulang.

"Kamu ini By, kalo dibilangin itu jangan ngebantah aja. Boleh aja kamu bilamg itu mitos, tapi setidaknya kamu iya'in aja. " Omel Ibu.

"Iya iya Bu... Lagian orangnya juga udah pulang sih. "

"Terus kami kayak gitu. Udah sana siap-siap. Bukan nya mau dinas siang kamu? "

"Oh iya ya Bu, By lupa. Makasih Bu, udah ingetin. " Ucapku sambil mencium pipinya.

Aku Ruby, Aku adalah seorang perawat yang bekerja disalah satu RSUD dikota ku. Tiga hari lagi aku akan menikah. Ya, dengan Bang Bagas, kekasihku yang selama 3 tahun menjalin hubungan dengan ku. Dan sesuai rencana, Tiga hari lagi kami akan melaksana kan ijab qabul., untuk meresmikan hubungan kami.

Kisah cinta kami penuh lika liku, bahkan hampir tak direstui Ibu dan Bapak ku. Karna, Bang bagas hanya bekerja sebagai depcolektor disebuah koperasi swasta. Pekerjaan yang tidak menjanjikan masa depan menurut mereka.

"Eh... Calon penganten baru kenapa belum ambil libur?" Ucap Dinda sahabatku.

"Ini dinas terakhir kok. Siapa tahu kan banyak pasien." Jawabku.

"Ish... Kayak ada yang ditunggu aja. " Celetuk Dian.

"Udah ah, mulai kerja... Ngerumpi mulu ntar kena tegur kepala IGD lagi. " Sahut Witri.

Kami hanya tertawa bersamaan, dan kembali dengan pekerjaan kami. Mengecek alat, persediaan obat, dan menunggu pasien yang kemungkinan akan datang.

Hingga sore tiba, semua terasa sepi, tak ada satu pasien pun datang. Hingga nenjelang maghrib, sebuah mobil datang, seorang laki-laki turun memapah istrinya yang sedang hamil besar. Aku segera mengambil brankar, dan mendatangi pasien tersebut.

"Selamat sore Ibu, ayo baring disini aja, biar didorong sampai ruang observasi. "

Sang Ibu menurut, dan segera kubaea sesuai tujuan.

Rekan ku yang lain mendata pasien, dan menghubungi ruang Vk untuk menerima pasien baru.

"Maaf Bu, ini kehamilan pertama ya? Saya periksa dulu sebentar ya, " Ujarku.

Ibu tersebut hanya mengangguk dan menggigiti bibirnya, karna menahan nyeri.

"Wah,,, sudah buka empat Bu, sebaik nya saya antar keruangan Vk aja ya  kami sudah menghubungi mereka agar menyiapkan tempat." Bujuk ku.

"Iya mba, sakit sekali rasanya. Sepertinya sudah mau keluar. " Jawab Ibu.

"Masih lama, sabar saja ya Bu. Atur nafas, dan kelola stres. " Ucapku untuk menenangkan nya.

"By, ruang Vk udah siap katanya. " Panggil Dinda.

"Yaudah, siapin statusnya biar aku anter." Balasku.

Segera ku persiapkan semua yang diperlukan, bahkan aku pun sudah memasangkan infus padanya.

"Ibu mau naik kursi roda aja apa naik brankar? " Tanya ku.

"Naik kursi roda aja Mba. Naik brankar kasihan mba nya, berat. "

"Oke... Kita pindahin ya."

Setelah siap semua nya, aku mendorong nya menuju ruang Vk.

Saat aku pergi, ada sebuah mobil lagi yang datang, dan ku dengar adalah pasien kecelakaan motor. Tapi, aku tak terlalu menghirau kan nya.

"Mba nya udah lama kerja di RSUD? "

"Udah dua tahun Bu. " Jawabku.

"Oh... Pantes cekatan, kerjaanya rapi. Sudah PNS? "

"Belum Bu, baru honorer. Tapi sayang kalo ngga kerja, ijazahnya nganggur. Jadi. Telatenin aja lah. "

"Iya Mba, ditelatenin aja dulu. Siapa tahu, suatu saat diangkat ya. "

"Aamiin... Eh, udah sampai Bu, sebentar ya, saya laporan sama Bidan sini. "

"Mba Kuke, ini pasien dari IGD tadi. " Panggil ku.

"Oh, iya By... Makasih ya, sini laporan nya. Dan, itu tadi sih Dinda sms aku, katanya kamu harus cepet balik ke IGD. "

Ucap Mba Kuke.

"Hah... Kenapa? "

"Ya ngga tahu  udah sana balik. " Usirnya padaku.

Aku menuruti nya, tapi aku berjalan dengan santai, seraya mendorong kursi roda kosong ku.

"By! " Teriak Dinda.

"Apa? Kenapa? " Tanya ku heran.

"Aku udah pesenkan supaya kamu ceoet balik, kenapa malah santai? "

"Emangnya kenapa? Ada pasien tabrakan beruntun?"

"Engga By, cuma satu. Tapi kritis. "

"Cuma satu masa ngga bisa handle? "

"Ya Allah By. Gimana aku jelasin nya? Ayo lihat sendiri lah. " Ucap Dinda yang langsung menyeretku dengan kasar.

Di IGD aku melihat  Bang topan sedang duduk termenunh dikursi tunggu.

"Bang Topan, Ngapain disini ada yang sakit?" Tanya ku.

"Eng... Anu By, itu. "

"Byyy! " Panggil seseorang dari ruangan tindakan. Aku sangat kenal suara itu, apapun kondisinya.

"Bang Bagas? " Aku berjalan pelan, menghampirinya.

Ku lihat, beberapa rekan ku sedang memberi tindakan padanya, ada yang menjahit luka, ada yang membersihkan darah dari tubuhnya. Tapi, yang ku lihat, darah dari kepalanya seperti mengucur deras, hingga membuatnya sangat lemah.

"Bang... Abang kenapa Bang? " Lirihku.

"Maafin Abang By... Abang ngga bisa tepatin janji Abang sama By. Abang sudah ingkar."

"Bang, abang ngga boleh gitu Bang, luka abang bisa disembuhin kok. Sini, biar By aja yang jahit luka nya. Nanti pasti cepet sembuh. "

"By, pendarahn dikepalanya benar-benar parah. Bahkan operasi pun sekarang percuma. " Ucap dokter Hans.

"Engga, biar saya aja yang jahit lukanya. Segera siapin ruang operasinya, nanti saya bantu anter ya Dok. " Bujuk ku.

Mereka hanya diam, menyingkir dari meja tindakan.

Aku perlahan menjahit luka dikepala Bang bagas. Namun, sebelum tuntas jahitan itu, Bang bagas diam dan tak bergerak lagi.

"Bang, abang tunggu bentar jahitan nya selesai ya. " Ucapku dengan air mata mengalir.

"By... Udah By, Bang bagas udah  ... "

"Engga Din... Bang bagas cuma diem karna nahan sakit, dia belum pergi. " Jawabku.

Dinda menarik punggungku, dan mengarahkan pandangan ku ke matanya.  Sehingga aku menangis histeris saat itu.

"Aaarrrghhh! Engga... Bang bagas ngga boleh pergi secepat ini. Bang bagas harus tepatin janjinya dulu! "

"By, sabar By... Semuanya udah takdir. "

Aku menangis sejadi-jadinya dipelukan Dinda. Dan Ia pun mrmbawaku menyingkir dari meja tindakan.

Dokter Hans mengambil alih semua, hingga jenazah dibersihkan.

"Baaaang! Bangun Bang! Jangan tinggalin Ruby Bang... " Teriak ku pilu.

Namun, semuanya tak berguna, karna Bang bagas sudah benar-benar pergi.

Melepas cincin

Jenazah Bang Bagas sudah dibersihkan, dan sekarang, sudah ditutup kain putih. Hanya tinggal menunggu para sahabat nya yang lain untuk menjemputnya.

Aku masuk duduk disamping berankar Jenazahnya. Tangis ku pilu, begitu sakit rasanya hingga sesak dadaku.

Para sahabat tak berani melerai ku disana, mereka hanya bisa melihatku dan sesekali memberi semangat.

Aku merasa lelah, kusandarkan kepalaku di kaki brankar. Tiba-tiba tangan kaku Bang bagas terjatuh, tepat dikepalaku. Ku lihat jelas cincin pertunangan kami masih melingkar di jari manis nya. Begitu pas, dan begitu indah dimataku.

 

Ku genggam erat tangan nya yang mulai dingin, ku cium dengan penuh kasih sayang. Perlahan, ku lepas cincin dari jari manisnya itu.

"Bang... Cincin nya By lepas ya. Maaf, By harus ikhlasin Abang, supaya Abang pergi nya lebih tenang Bang. " Ucapku saat itu.

Setelah melepasnya, aku kembali berdiri dan melipat tangan nya kembali. Ku buka sedikit penutup kepalanya, dan mencium keningnya yang masih ada noda darah sedikit disana.

"By... Rombongan udah dateng, kami mau jemput Bagas pakai mobil kantor. Setelah itu, kami semayamkan di kantor aja. Besok pagi baru dimakamkan. " Ucap Bang topan.

"Dirumah By aja Bang. " Jawabku.

"Ngga enak lah By, disana udah tegak tenda buat pesta. "

"Toh pestanya ngga jadi Bang... Ngga papa jadi tenda kematian Bang bagas. Nanti Bunga-bunga nya, ganti sama bendera kuning ya Bang. By mau telpon Ibu sama Bapak dulu. " Jawab ku padanya.

"Hallo Pak, " Sapa ku ditelpon.

"Iya Nak, gimana? Bapak udah dengar semuanya. " Jawab Bapak.

"Jenazah disemayam kan disana aja ya Pak. Boleh? "

"Yaudah... Arahkan Ambulance kemari, Bapak siapin tempatnya. Orang-orang juga udha banyak yang mau melayat. Kamu yang sabar ya Nak. "

"Iya Pak... " Jawabku dan menutup telpon nya.

"Bagaimana By?" Tanya Bang Topan lagi.

"Bawa kerumah By bang. Bapak dan para pelayat sudah siap. Segera urus ambulance nya, By dampingi."

"Engga By... By disini aja, Abang aja yang urus. Kamu temani jenazah Bagas aja. " Jawabnya.

Tak lama kemudian, Jenazah Bang bagas mulai dinaik kan ke Ambulance, aku duduk disampingnya mencoba untuk tegar, dan tak menangis lagi. Namun, ternyata itu sulit, begitu berat bagi ku terutama saat melihat wajahnya yang sudah pucat.

Lima belas menit kemudian, kami sampai dirumah, disambut Bapak dan pelayat lain nya. Mereka membantu mengangkat Jenazah, dan membaringkan nya ditempat yang sudah dipersiapkan.

"Malam ini, Abang nginep disini dulu ya. Besok baru By anter kerumah baru Abang. " Ucapku.

Semua orang terisak melihat keikhlasan ku. Mereka menyayangkan semua yang sudah terjadi. Ada yang tulus berbela sungkawa atas nasibku. Dan ada juga yang menjadikan nya bahan pembicaraan.

"Nak... Sekarang kamu mandi, tengok lah baju mu, penuh darah begitu. Ngga enak dilihat orang. " Ucap Ibu.

"Iya Bu... By mandi dulu. Ini cincin Bang Bagas udah By lepas. Ibu simpan ya, " Pintaku.

"Iya Nak akan Ibu simpan dengan baik. " Jawab Ibu.

Aku segera mandi dibelakang. Samar-samar ku dengar mereka yang sedang berbicar tentang ku.

"Kasihan bener si Ruby, tenda pernikahan malah jadi tenda kematian gitu."

"Iya... Tapi aku ngeri juga ngelihatnya. Kenapa macam orang tak sedih dia itu, ngelepas tunangan nya pegi? "

"Ngga tahu lah... Tapi setelah ini, kita jaga anak bujang kita ya, jangan dekeat dengan Dia. Aku takut, Ruby itu bawa sial. "

Mereka langsung diam saat aku keluar dari kamar mandi. Dan menutup mulut masing-masing.

"Udah mandi By? " Tanya salah seorang dari mereka.

"Iya." Jawabku pelan.

Aku langsung masuk ke kamar,  mencoba tak ambil pusing dengan semua yang mereka katakan. Tak tahu kah mereka, jika aku lah yang paling terpukul saat ini.

Tapi sayangnya, tanganku yang hanya Dua, hanya mampu menutup telinga ku, tanpa bisa menutup mulut mereka.

"Huftzzz... Sabar By, sabar. Bahkan Jenazah Bang Bagas belum dikebumikan, tapi sudah ada saja yang begosip. " Gumam ku.

Malam itu, semua orang yang melayat sudah pulang. Hanya aku sendiri termenung disebelah tubuh yang membeku itu. Ku bacakan surat Yasin untuk nya berkali-kali, karna memang hanya itu yang mampu ku berikan.

Aku tertidur disebelah jenazahnya. Dan aku bermimpi, seolah aku kembali disaat kami baru pertama mengenal. Begitu indah dalam mimpi itu, hingga tanpa terasa air mata ku mengalir kembali.

.

.

.

Adzan subuh berkumandang, segera ku laksanakan shalat subuh.

Setelah itu, semua pelayat kembali datang, bahkan beberapa diantara mereka adalah tamu yang berniat menghadiri pestaku lebih cepat.

"Loh pak... Kok bukan pesta. Bukanya harusnya hari ini udah mulai? " Tanya seseorang.

"Maaf Pak... Pestanya ngga jadi, pengantin Pria nya meninggal tadi malam." Ucap pak Rt.

"Inalillahi wainailaihi rajiun... Ruby mana pak? " Tanya sang istri.

"Didalam Bu, masuk aja. "

Sang Istri yang bernama Bu Ratna langsung masuk, dan menemui ku yang sedang termenung dikamar.

"Rubby... Ya Allah By, kenapa ngga ngasih kabar Ibu Nak. " Tangis Bu ratna sambil. Memeluk ku.

Bu Ratna adalah orang yang bida dibilang adalah Mak comblang kami. Beliau yang mempertemukan kami pada saat masih sama-sama menjadi seorang pegawai magang dikantor nya.

"Bu... Maaf, By ngga tahu harus gimana? By cuma bisa bingung dengan semua keadaan ini." Balasku, dan tangisku kembali pecah dalam peluk kan nya.

"Ya Allah By... Yang sabar ya sayang. Ini cobaan buat kamu. Andai saja kita bisa mengulur waktu sebentar sayang. " Ucap Bu Ratna.

"By... Kami mau memandi kan Jenazah. Tapi maaf, By belum boleh ikut karna By bukan muhrim nya. " Ucap Pak ustadz.

"Iya Pak, ngga papa. By tunggu disini. " Jawabku.

Ku seka air mata ku kembali, dan aku keluar menunggu jenazah Bang Bagas yang sebentar lagi dikafani.

"Udah selesai By, Rubby mau ngucapin kata-kata terakhir? " Tanya Pak ustadz tadi.

"Engga Pak... Rubby udah bilang tadi malem. Sebaik nya Abang segera dimakam kan, itu lebih baik kan. " Jawabku.

Prose mengkafani selesai. Jenazah dishalatkan. Dan segera dibawa ke makam.

Aku ingin ikut, tapi sayagnya, aku jatuh pingsan saat keluar dari pintu. Untung ada Bu Ratna dibelakang dan langsung menopang ku.

"Astaghfirullah... Rubby, By dirumah Aja ya, Ngga usah ikut. " Ucap Bu Ratna.

Bang Halim sepupu ku, langsung membopongku kekamar, dan menidurkan ku.

"By disini saja. Biar Abang urus semuanya. " Ucap Bang Halim.

Aku hanya diam tak menjawabnya, hanya mengangguk kan kepala, dan memiringkan tubuh ku saat itu.

"Maaf Bang... By ngga bisa anter Abang, By takut ngga kuat." Ucapku seraya menatap foto prewedku yang seharusnya menjadi pajangan saat pesta ku nanti.

Tamu undangan berdatangan

"By... Bangun sayang." Ucap Ibu padaku.

"Bu, udah selesai pemakaman nya? "

"Udah By, terus gimana sama tenda dan lainnya? Besok pasti banyak tamu datang. "

"Ngga papa Bu, biarkan mereka datang. Pajang aja foto Rubby sama Abang diluar. Nanti masakan yang berlebih tolong antar ke panti asuhan, sama dibagiin ke kaum duafa ya Bu. Atas nama Abang, lalu ajak merek Ta'ziah nanti sore sama malam. " Pinta ku.

"By ngga papa kan? " Tanya Ibu lagi.

"By ngga papa. Kalau By terlalu sedih, Abang juga ngga akan tenang kan?" Ucapku.

"Iya sayang... Yang sabar ya, Allah telah mempersiap kan jodoh yang lebih baik buatmu. " Ucap Ibu.

"Bu... Uang mahar dari Abang, tolong belikan kalung ya Bu, By mau tarok cincin Abang dikalung itu nanti. "

"Iya sayang... Sekarang By istirahat dulu ya Nak." Pesan Ibu padaku.

Aku tahu, Ibu sangat mengerti tentang keadaanku saat ini. Tapi Ibu pun tetap berusaha tenang, agar aku tak kembali terpukul, mengingat kepergian Abang.

Sorenya, kami mengadakan Ta'ziah bersama para Ibu-ibu pengajian dikampung kami. Yang sebenarnya hari ini juga akan dilaksanakan pengajian untuk menyelamati pernikahan ku esok hari. Tapi, kenyataan nya berbeda.

Saat pengajian, Ibu melarangku keluar dari kamar. Tapi, aku bersikeras untuk ikut pengajian.

"Ngga papa Bu, By malah bosan dikurung dikamar. Malah yang kelihatan foto Abang semua disana. " Ucap ku.

"Yaudah... tapi kali capek By istirahat lagi ya."

"Iya Bu... " Ucap ku dengan senyum.

"By... By ngga papa ikut pengajian? " Tanya Bu RT.

"Ngga papa Bu. By duduk disamping Ibu ya." Pinta ku.

"Iya sayang." Jawab Bu RT.

Pengajian berjalan lancar, mereka pamit pulang.

Malam nya, rombongan pengajian Bapak-bapak bergantian datang dan melakukan Ta'ziah.

"Bagaimana rencana besok Pak Anton? " Tanya Pak RT pada Bapak.

"Kalau kata Rubby, besok pajang saja foto prewednya dengan Bagas. Kalau ada tamu undangan datang, persilahkan aja masuk, dan makan."

"Bagaimana jika mereka menanyakan tentang pengantinnya? "

"Jawab aja seadanya. " Balas Bapak.

.

.

.

Keesokan hari nya.

Seperti yang sudah diperkirakan, para tamu undangan, yang tak mengetahui kabar meninggal nya Bang Bagas, satu persatu datang membawa kado.

Namun, ucapan selamat dari mereka yang seharus nya mereka berikan dengan senyum bahagia, justru berubah menjadi tangisan pilu, mengenai nasib malangku.

"Ya Allah By... Maaf aku ngga tahu, kenapa ngga ada yang kabarin? "

"Maaf... Kami benar-benar kacau kemarin." Jawabku.

"Iya By. Turut berduka cita ya, ngga papa kan kado ini tetep aku kasih? "

"Iya ngga papa, makasih ya. " Ucapku lagi.

Setelah beberapa dari mereka pulang, dan tak ada lagi tamu. Bapak memanggil petugas tenda untuk membongkar sebagian dari yang dipasang.

Semua terasa terang benderang. Aku bisa menatap langit biru yang indah. Ku hembus kan nafas panjang, menandakan aku benar-benar sudah mengikhlaska semuanya.

"Apa rencana By selanjutnya? " Tanya Ibu dan Bapak.

"Ngga ada rencana apa-apa. Jalani aja seperti biasanya. Kan By juga belum jadi nikah, jadi ngga punya masa Iddah. " Jawabku.

"Apapun itu, Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung, jika menurut kamu itu yang terbaik. "

Beberapa hari berselang, aku masih tetap seperti hari yang lalu. Sedih, diam, namun berusaha ku sembunyi kan.

Aku mulai masuk untuk bekerja, dan melakukan aktifitas seperti biasanya untuk mengalihkan semua kesedihan yang aku rasakan.

Para teman, dan staf lain terus menemani, mencoba menghiburku dan tak membiarkan aku melamun selama bekerja. Mereka mencoba apa saja yang bisa membuatku tertawa dan lupa akan sedih ku. Namun, itu seperti sia-sia.

Setiap pulang dinas, aku mampir ke sebuah danau. Disana adalah tempat pavorit ku dan Bang Bagas saat itu. Aku duduk termenung dipinggiran sambil mengenang masa-masa indah ku bersama nya.

"By.... Kenapa disini? " Tanya Bu Indah, seorang petani, yang biasa ulu kilir melawati danau ini saat hendak ke sawah.

"Ngga papa Bu, capek pulang dinas jadi, istirahat sebentar. " Jawabku.

"By jangan lama-lama di danau, nanti By ngelamun. " Balas Bu Indah.

"Ya Bu, ini By juga mau pulang kok. Barengan Bu? " Tawarku pada Bu Indah.

Aku memboncengkan Bu Indah dengan motor ku dan menghampirkan nya kerumahnya.

"Makasih banyak ya By, By langsung pulang aja, jangan kemana-mana lagi. " Pesan Bu indah padaku.

"Iya Bu. " Jawabku singkat.

Aku kembali menyetir motorku untuk berjalan pulang. Namun, seorang Pria bernama Ramlan datang dan menghadang ku.

"Hay By... Udah pulang. " Tanya Ramlan.

"Iya Bang... Ini udah selesai dinas nya, kenapa Bang? " Tanya ku mencoba ramah.

Bang Ramlan adalah anak Pak lurah, Anak semata wayang lebih tepatnya. Seluruh desa tahu, jika dari jaman ku SMA, Bang Ramlan sudah menyukai ku, bahkan rela gonta ganti kampus untuk kuliah bersama ku.

Bang Ramlan sempat begitu marah, saat Ia tahu aku akan bersama Bang Bagas waktu itu. Namun, seiring berjalan nya waktu, Bang ramlan mengikhlaskan hubungan kami.

"By masih sedih kehilangan Bagas? " Tanya nya.

"Jagan ditanya lagi Bang, Bang bagas meninggal beberapa hari sebelum akad, menyisakan trauma berat dalam kehidupan By sekarang. "

"Tapi, kalian belum jadi menikah. Jadi tidak ada hambatan untuk kamu, membuka hati pada Pria lain By. "

"Maksud Abang? "

"Abang masih menunggu kamu By. Kamu fikir, apa alasan Abang mamilih tetap sendiri hingga sekarang? "

"Bang... Mohon mengerti perasaan By saat ini. By masih Trauma. "

"By... Tidak ada alasan lagi kamu menolak ku By. " Ucap Bang Ramlan dengan menggenggam pergelangan tangan ku.

"Bang! Jangan paksa Rubby. " Bentak ku sambil melepaskan tangan nya.

Aku segara memacu motorku lagi, dan pergi meninggalkan Bang Ramlan sendiri dalam keadaan marah

Sampai dirumah, Bapak dan Ibu ternyata menunggu ku dengan wajah panik.

"Assalamu'alaikum." Ucapku.

"Wa'alaikum salam. By, ya Allah By dari mana saja. Panik Ibu nunggu By."

"Ibu kenapa? "

"Ada seseorang lihat By dipinggir danau, melamun sendirian. Ibu takut sekali saat menerima laporan itu. " Sahut Bapak.

"Ya Allah Bu... By ngga akan berbuat itu, By masih ingat dosa. Ngga akan By berani menambah dosa Untuk Abang dnegan dalih ingin menyusulnya ke surga. Malah neraka yang By dapet nanti." Jawabku.

"Ibu hanya khawatir Nak. " Jawab Ibu lagi, dengan mengelus dada.

Saat kami sedang berbicara, Bu lurah tiba-tiba datang dengan wajah marah nya, ditemani salah seorang asisten nya.

"Hey Rubby....! Perempuan bawa sial kamu ya. Bisa -bisanya kamu nolak Ramlan, sok banget kamu. Lihat itu! Ramlan kecelakaan gara-gara mau ngejar kamu! Keterlaluan kamu. " Ucap Bu Lurah dengan Nada tinggi, yang hampir memecah kan gendang telinga ku saat itu..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!