Dalam koridor berdebu nan dipenuhi oleh berbagai kantung mayat. Seorang laki-laki dan perempuan tengah berlari terengah-engah mendorong sebuah tandu. Dengan kondisi penerangan yang berkelap-kelip akibat getaran hebat, mereka terus mendorong tandu tersebut tanpa kenal takut.
“Cepat! Kita tidak punya banyak waktu lagi,” ucap Sang Laki-laki khawatir.
“Aku tahu ... aku tahu ..., tapi kondisi kita tidak berbeda jauh dari seseorang yang berada di ujung tebing”
Berbeda dengan kebanyakan lorong koridor yang bersih dan steril. Tempat mereka berada jauh dari kata aman, semua dipenuhi oleh lumut darah. Baik dinding atau lantai, langit-langit pun terlihat tidak aman jika disandingkan dengan langit-langit biasanya.
Bahkan jika itu merupakah sebuah tempat sakral bagi para pasien sakit—rumah sakit. Dengan keadaan genting dan dikejar oleh waktu itu sendiri, kini mereka berdua tidak memikirkan apa pun karena seluruh perhatian mereka tertuju pada dua orang tak sadarkan diri yang sedang mereka bawa menggunakan tandu dorong.
Tanpa siapa pun di sana, baik perawat maupun dokter tergeletak—tersalib, digantung, menancap hingga tubuh mereka tidak bisa dikenali lagi oleh siapa pun. Tidak ada yang dapat membantu mereka berdua, satu-satunya cara agar mereka bisa aman adalah memasuki ruangan rahasia.
“Lagi pula kita akan pergi ke mana? Semua orang sudah tidak!” tanya Sang Perempuan.
“Tidak. Kamu salah, kita masih memiliki satu kesempatan terakhir sebelum semuanya berakhir. Benar ... kesempatan terakhir ...,” jawabnya sembari meremas dada.
“Jangan-jangan kamu akan menggunakan teknologi itu?!”
Sang Perempuan—Jenifer pun menatap tajam Kyle. Kedua mata yang sebelumnya itu ingin tenang kini kembali terbelalak tak percaya.
“Kyle! Jawab aku ... lihat ke sini? Apa kamu tega mengorbankan Adikmu sendiri?!”
Jenifer yang geram pun bahkan tak bisa lagi menahan emosinya dan langsung menyembur Kyle dengan berbagai sumpah serapah. Namun, Kyle sama sekali tidak merespons, ia hanya menutup mulutnya rapat-rapat dengan ekspresi kecut.
“Aku tahu ini salah. Semua salah, selain itu aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Siapa juga yang tega meninggalkan anggota keluarganya di tengah-tengah “bencana” ini, Jenifer?”
“T-t-tapi proyek itu ...—“
“Sudah! Aku tidak ingin lagi mendengar omong kosong darimu, kamu bisa membantuku atau pergi dari sini,” potong Kyle cepat.
Jenifer yang sedari tadi ikut mendorong pun berhenti, ia berdiri di tengah-tengah lorong dengan raut kusut. Ia tak menyangka bahwa laki-laki yang ia percayai itu mengatakan hal kejam kepadanya.
Kyle pun ikut terhenti, ia berbalik menghadap ke arah Jenifer.
“Ini memang tidak manusiawi, karena itu kamu tidak perlu memaafkanku. Biar akulah yang menanggung semua dosa itu, yang perlu kamu lakukan adalah hidup ... hidup untukku. [Arvine]!”
Tiba-tiba saja Kyle melepaskan sebuah mantra dan mengeluarkan dinding transparan yang membatasi mereka berdua. Sontak hal itu membuat Jenifer terkejut, ia pun segera berlari, dan berusaha menggagalkan mantra tersebut, tetapi sayangnya gagal.
“Kenapa harus berakhir seperti ini, Kyle! Jawab aku!”
“Maaf. Kamulah satu-satunya yang tidak ingin kutunjukkan hal ini, tapi memang sudah tidak ada pilihan lain ... dengan begini aku yakin kamu pasti bisa bertahan. Demi diriku dan juga Ash, tolong tetaplah hidup Jenifer.”
Itulah perkataan terakhir dari Kyle sebelum ia kembali berbalik dan mendorong tandu dorong menjauh dari Jenifer.
“Kyle! Kyle! Kyleeeee!—“
Jauh di dalam hati kecilnya, Kyle merasa kesakitan mendengar teriakan Jenifer yang putus asa. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain karena saat ini prioritas pertamanya adalah menyelamatkan Sang Adik yaitu, Ash.
Dengan mata sayu kelelahan itu, Kyle melihat wajah Sang Adik dengan sedih. Tubuh kecilnya dipenuhi oleh darah dan tangan kirinya telah hancur menjadi daging cincang.
Meski napasnya kecil, Kyle tidak ingin putus harapan, alhasil ia pun membawa Adiknya ke sebuah fasilitas yang dinamakan sebagai “Rumah Sakit”. Namun, apa yang diincarnya bukanlah bangsal pasien atau alat kesehatan melainkan sebuah kapsul spesial.
Sebuah proyek yang dinamakan The Little Garden—Taman Kecil.
“Meski ini masih purwarupa dan kemungkinannya kecil. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, demi Adikku ... keluargaku. Aku akan melakukan apa-apa.”
Setelah ia tiba di sebuah ruangan dengan pintu khusus. Kyle pun mencari kapsul besar, tapi tidak memerlukan waktu lama, dan ia pun berhasil menemukannya.
Hal pertama yang ia lakukan adalah mencuci tubuh Adiknya dengan air bersih tanpa membuka pakaiannya. Setelah itu ia masukan kemudian mencari komputer terdekat untuk mengaktifkan program tersebut.
“Ash ... aku akan menunggumu. Semoga kehidupan keduamu di sana jauh lebih baik dibandingkan dengan di sini,” tutur Kyle gemetar.
Ia pun menekan tombol enter kemudian berbagai sandi serta kode pada layar bermunculan hingga sebuah kalimat membuatnya meneguk ludah sendiri.
—Pengaktifan Program V-000 Bagian Pertama Telah Dimulai, Selamat Datang Diproyek Rahasia [Taman Kecil]. Kode ID 000000 Dimulai.
***
Note: Prolognya ane rombak ulang lagi agar sesuai dengan jalan cerita asli dan lebih relevan dengan kelanjutan cerita sama chapter-chapter yang udah rilis.
“Hmmm... sepertinya isi dompetku kosong.”
Di jalanan setapak itu, segerombolan orang berlalu lalang dengan keperluannya masing-masing. Mereka begitu fokus dengan telepon genggam tang mereka bawa masing-masing. Begitu hampir padatnya seperti antrean di sebuah kasir Mall pada saat diskon merajalela dan para wanita berubah menjadi monster gila.
Cuaca yang cukup terik di siang hari, seruan angin yang berhembus minim sama sekali tak mengubah fakta terkadang sebuah ilusi tampak di depan mata. Begitu nyata, tetapi itu hanyalah gambaran yang diperlihatkan oleh otak lalu disalurkan melalui saraf mata sehingga membentuk gambaran yang kita inginkan.
Contohnya saja seperti fatamorgana yang selalu berada di padang pasir. Dengan dua buah zebra cross yang di buat menyilang seperti huruf x pada rangkaian rumus integral. Apa hubungannya?... tentu saja ada, karena sekarang adalah zaman yang sudah canggih bahkan rumus-rumus seperti itu hanya perlu kita download melalui sebuah aplikasi pembantu.
Kalian pasti tahu kan E-Book?... pasti tahulah, masa zaman seperti ini gak tahu E-Book. Pffttt... sungguh memalukan sekali jika tidak tahu apa itu E-Book.
Gedung-gedung pencakar langit dengan berpuluh-puluh kaca yang memantulkan radiasi sinar matahari terkadang membuat jengkel. Namun, itu adalah realita yang harus mereka hadapi jika berada di kota mega politan seperti ini.
Di mana pepohonan yang di tanam hanya berbaris di pinggir jalan dengan jarak beberapa belas meter. Seperti sebuah pagar yang menyerupai payung minim, tidak terlalu lebar maupun tidak terlalu sempit.
Bisa dibilang pas dan cukup untuk meneduhkan beberapa bagian, tapi tidak semuanya. Suara kendaraan yang
mendengung sambil menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Sedangkan para pejalan kaki cukup tergesa-gesa dengan caranya berjalan.
Terkadang di suatu kesempatan ada yang sambil melompat-lompat indah seperti penari balet. Ada juga yang seperti siput, lambat sekali namun ketika klakson kendaraan berbunyi mereka pun sadar dan akhirnya lari terkacir-kacir.
Di sinilah kota yang telah terkena dampak globalisasi luar biasa jika di bandingkan dengan ibu kotanya sendiri.
Bandung, julukannya sebagai kota kembang memang bukan isapan jempol belaka. Di setiap sudut pasti akan selalu kita temukan beberapa taman minimalis.
Walaupun minim kota ini adalah satu-satunya kota yang cukup sejuk jika musim panas, maka tidak terlalu
menyengat seperti di kota-kota lain. Pemandangan serta sejarahnya yang cukup unik banyak mendatang kan para pariwisatawan manca negara yang ingin sekali datang ke kota kembang ini sendiri.
Jika menyangkut kota kembang, maka ada satu buah sekolah yang hampir seluruhnya di isi oleh bunga-bunga serta rerumputan hijau yang menyejukan. Kita menyebutnya sebagai sekolah X, meskipun seperti itu, sekolah ini menawarkan fasilitas yang sangat lengkap sekali.
Dan tentunya ada salah satu murid yang sangat terkenal karena kepribadiannya yang di kenal oleh dunia perwibuan. Kita mengenalnya sebagai Hikikomori atau orang yang selalu mengurung dirinya sendiri di kamar.
Tetapi bagaimana jika hanya setengah Hikikomori?... apakah mungkin? A.K.A. Amphibi yang hidup dalam dua kondisi tertentu.
Bisa saja terjadi, pada beberapa hari masuk sekolah dan beberapa hari lagi tidak masuk sekolah. Penelitian dari
berbagai sumber, Web, majalah, tabloid, blog, ataupun para pakar yang menyebutnya sebagai ahli.
Menyebutkan beberapa faktor yang memiliki sangkutpautnya dengan penyebab terjadinya penyakit yang di anggap
Hikikomori. Yang pertama adalah kurangnya bersosialisasi atau ketakutan yang mendalam terhadap beberapa kelompok sosial yang menyebut mereka sendiri teman.
Yang ke dua adalah faktor internal seperti masalah psikologis yang tidak stabil dikarena kan trauma akan kejadian
masa lalu yang menimpanya. Bisa berupa pembulian, pelecehan, di mata-matai alias stalker.
Namun, diantara kedua faktor tersebut ada yang paling parah, yaitu tanggapan bahwa ia di lahirkan di dunia yang
salah. Tanggapan yang membuahkan kesimpulan berupa dunia yang mereka tinggali sekarang tidak lebih hanya sebuah permainan yang telah di atur dan telah direncanakan dengan matang oleh segelintir orang yang benar-benar tidak bertanggung jawab.
Karena itulah mereka—para Hikikomori sangat betah sekali berada di dalam kamarnya sendiri. Walau kumuh, kotor, suram, gelap ataupun berantakan mereka tetap nyaman asalkan ada sebotol Cola besar, satu mangkuk kentang goreng dan juga satu nampan Pizza.
Tidak lupa dengan satu buah personal komputer dengan akses internet yang memadai. Hikikomori tanpa itu semua akan membusuk karena terkuras oleh waktu sia-sia yang mereka buang begitu saja.
Namun, tidak semua juga—ehmmm... diantara orang-orang seperti itu. Laki-laki yang mengaku sebagai semi
Hikikomori tengah terduduk lemas di bangku sambil melihat isi dompetnya yang benar-benar tipis.
Tidak berisi dan hanya mengeluarkan angin sapaan. Namun, di setiap sisinya terdapat kartu-kartu kredit yang tidak
di ketahui berapa jumlah nominal yang tersimpan di dalamnya. Ia beranggapan bahwa sepertinya ia harus mengandalkan mie instan yang tersimpan di tas gantel yang ia bawa.
Kotak dengan garis putih seperti perekat, warnanya seperti langit yang suram. Biru tua. Tali untuk menggantelnya
putih terang seperti cahaya. Begitu bebas tergantung di sisi meja tempatnya untuk menulis pekerjaan sekolah maupun pekerjaan sampingan.
Hingga pada akhirnya ia tersadar karena namanya di sebut oleh sebuah geraman yang tidak bersahabat.
“Ryan? Ryan?... RYAN ANGGA BASKARA!!”
Suaranya seperti gemuruh di dalam gua yang begitu gelap. Keras seperti toa pengeras suara dan berat seperti baja
dengan ukuran yang melebih batas.
Berpewakan tegap, menggunakan setelan kemeja putih berdasi hitam. Sepatu kerjanya cukup mengilat jika terkena pantulan sinar matahari siang. Sedangkan untuk celana panjangnya yang hitam seperti hampir menyentuh lantai. Rambut yang di sisir rapi ke samping kanan klinis dengan poninya yang sejajar namun tidak cepak.
Guratan atau yang lebih di kenal dengan kerutan tampak terlihat di sepanjang bawah kantung matanya. Dua buah bola matanya yang hitam sekarang telah dalam keadaan siaga dan tampak berurat.
Sedangkan mulutnya mulai tak bisa diam, seakan-akan ingin terbebas. Sementara kumis tipisnya yang cukup panjang melambai-lambai tertiup angin. Dalam satu tarikan lagi ia mulai mengeluarkan kemampuan
sebelumnya karena cooldown yang telah selesai.
“RYAN ANGGA BASKARAAA!!!”
“HuAAaaaa!”
Karena namanya terpanggil ia pun hampir terjungkal dari bangku yang kini ia duduki. Barisan pertama dari sebelah
jendela, nomor urut 15 dalam susunan bangku kelas. Saking kagetnya... ia pun mulai bangkit sambil memegang bagian sisi kanan mejanya dengan tangan kiri.
Sedangkan tangan kanannya mulai terangkat cukup tinggi. Wajahnya kini kusut seperti habis baru bangun tidur.
Matanya sedikit sayu dan warna kulitnya berubah menjadi pucat dan ada beberapa aura kesuraman yang nampak dari atas kepalanya.
“S-saya hadir pak.”
Bibirnya sedikit bergoyang seperti bergumam dan tampak begitu kelelahan.
“Lain kali kamu jangan ngelindur di siang hari, bapak telah berkata seperti ini berapa kali. Ryan... walau sekarang
musim panas tetapi kamu jangan ngelindur apa lagi jeli-jeli cairmu itu sekarang menetes.”
Kedua tangannya pria itu kini menyilang sambil mengambil yang cukup panjang. Di tangannya sekarang terdapat sebuah buku absen dan juga bolpoint yang di apit di jari jempol dan telunjuk kanannya.
“Maaf, pak... hehehe”
“Dasar! Mau sampai kapan kamu seperti ini, sekarang kamu udah SMA kelas dua, Ryan!” ujarnya sambil mendesah kecewa.
Tampak seperti ketidaksukaan terhadap sesuatu walaupun ia harus memaksakan dirinya sendiri untuk menyukainya.
“B-baiklah pak, saya tidak akan mengulanginya lagi.”
Sambil kembali merapikan badannya yang terlihat acak-acakan. Tawa mulai menggema di ruangan itu. Di ruangan dengan 27 bangku yang masing-masing di isi oleh satu orang dan tidak lebih.
Meja guru tampak kokoh di depan papan tulis virtual berwarna hitam-putih itu.
“Lain kali kalau bapak lihat kamu kayak gitu lagi, bapak tak sungkan-sungkan untuk menghukummu agar menghormati bendera kebangsaan kita dua jam di malam hari.”
Dan sekali lagi gelak tawa yang tidak tertahankan mulai keluar, membuncah bagai percikan api yang hebat. Ryan pun kembali tenang dan mulai berpikir bahwa hal yang tadi ia lihat hanyalah sebuah mimpi.
Ketika ia diam-diam memeriksa kembali isi dompetnya... ternyata sama sekali tidak merubah apapun. Sama seperti mimpinya tidak apa-apa sama sekali bahkan terkesan hampa. Hanya beberapa kartu kredit yang terpajang di bagian dalam selipnya.
Lalu waktu yang sedikit membosankan itu perlahan mulai habis. Bel pun berbunyi....
Seluruh siswa dan siswi mulai keluar dari bangkunya sambil memberi hormat kepada guru yang telah selesai bertugas. Sementara Ryan kembali mendesah khawatir keuangannya bulan ini tidak akan dapat membantunya sama sekali.
Tetapi ia masih memiliki cadangan berupa mie instan yang tersimpan di tas gantel biru pucatnya. Ia kembali pada
tas gantelnya, lalu mengodok-ngodok tas tersebut dengan gesit. Beberapa detik kemudian ia mengeluarkan sebuah buku catatan.
Pinsil mekanik berputar-putar di jari-jemarinya cukup lancar. Ia buka lembaran demi lembaran seperti mencari
sesuatu. Setelah selesai pada lembaran ke 36 ia mulai menulis sesuatu. Suara setapak kaki mulai mendekatinya perlahan.
“Ryan, kamu memang beda dari yang lain”
“Huh!?... beda dari mana? Aku masih manusia berkepala satu dengan jantung satu di tambah dengan gender laki-laki, jadi jelas-jelas aku sama seperti dirimu... Fajar.”
Sembari menulis, Ryan masih meneruskan percakapannya itu dengan kedua temannya yang telah tiba tepat di pinggir kanan bangkunya.
“Sepertinya sang putri menghampiriku lagi ... huhhh”
“Tetapi kamu hebat deh, masa di pelajaran guru Killer itu kamu masih sanggup tertidur,” ujar Anna sambil
menggeleng-gelengkan kepala ovalnya yang sedikit chubby.
Rambutnya yang dikucir ke samping seperti ponytail benar-benar berbeda. Hitam gelap itulah warna rambutnya yang kini ikut bergoyang karena kepalanya menggeleng-geleng.
Matanya agak sedikit sayu dengan dua buah pupil hitam yang sedikit kecokelatan bercampur merah samar terendam pada bagian bawahnya. Bibirnya putih dan sedikit kemerahan, di tambah dua pipinya yang kini sedikit memerah akibat teriknya sinar matahari.
“Heii... Anna, apa kau yakin tidak kepanasan dengan menggunakan pakaian tertutup seperti itu?”
“Gimana yah? Kalau di bilang iya juga nggak, mau bilang nggak juga iya... sulit untuk kujelaskan, Ryan.”
Entah mengapa gadis kelas yang kini Ryan ajak bicara adalah seorang gadis populer di kalangan anak kelas satu dan juga dua. Ryan juga tidak mengetahui bagaimana ia bisa terlibat dengan dua orang menyebalkan seperti mereka berdua.
Mereka yang mendeklarasikan diri sendiri sebagai sahabat Ryan benar-benar di luar nalar pemikiran Ryan itu
sendiri. Namun, mereka begitu bersahabat dengannya, jadi ia juga berpikir hal yang sama dengan mereka.
“Tetapi aku heran mengapa kamu mau berteman dengan lelaki membosankan seperti diriku ini? Di tambah dengan
penyakit semi hikikomori-ku ini.... “
“Aku juga heran ... dan sampai sekarang masih bertanya-tanya kenapa aku bisa berteman denganmu, Ryan”
“Dasar cewek plin-plan,” gumamnya begitu menyadari akan sebuah kehadiran yang membuatnya harus berganti mode menjadi petarung siap siaga.
“Kenapa mukamu kayak gitu, jar? Kesamber petir ya?”
“Akhirnya dinotis juga sama boss besar”
“Hentikan, itu menjijikkan aku tidak suka mendengarnya. Lalu siapa yang kau sebut boss besar?”
Fajar pun menunjuk Ryan yang melihatnya dengan tatapan menjijikkan. Ia pun membalasnya dengan tatapan seorang petarung sejati seperti di film-film aksi buatan luar negeri.
“Aku? Lah... kayaknya kamu malem tadi habis nonton film Men In Black, ya?”
“Seperti yang di harapkan dari seorang boss besar, bisa mengetahui segalanya.”
Dalam pandangan Ryan kali ini, Fajar seperti seorang lelaki aneh yang benar-benar suka sekali film-film bertema Sci-fi. Bisa di bilang seperti seorang maniak sejati, bahkan raut wajahnya pun kini meniru aktor-aktor film tersebut.
Fajar, laki-laki kutu buku berkaca mata sedikit flamboyan seperti orang-orang yang tinggal di pinggir pantai.
Rambutnya yang seperti baskom itu sesekali bergidik ketika ia mulai berbicara. Lurus dengan poninya yang
menjuntai ke bawah seperti tali balon. Matanya sedikit bulat dengan bentuk wajahnya yang kotak.
Bukan berarti seperti kotak hanya saja dagunya itu tampak seperti orang tua. Bibirnya pun sedikit tebal dan lembab.
“Lalu?” tanyanya.
“Setidaknya aku ingin menghayati isi dompetku ini, jadi bisa tidak kalian berdua tidak terlalu dekat denganku.
Terkadang aku ingin bersemedi sambil membayangkan setidaknya satu martabak keju yang enak tepat di depanku...,” ucapnya sambil mendesah.
Fajar dan Anna kini saling bertukar pandang, tak lama kemudian keduanya saling tertawa cekikikan. Inilah keahlian
Ryan teman mereka yang tidak pandai melawak tapi anehnya lucu.
“Heii... Ryan kalau kamu segitunya mau martabak keju nanti aku traktir deh, tapi imbalannya biarkan kami berada
di sini, bagaimana setuju?”
Mata Ryan mulai bersinar terang penuh harapan. nya mulai mendengus dan dari hidungnya keluar uap angin yang
berhembus, lalu ia pun menepuk pundak Fajar seperti sahabat sejatinya sendiri walaupun sebenarnya hanya deklarasi yang di dasarkan pada keegoisan mereka.
“Hmm... baiklah kawan, aku setuju”
“Hahahaha”
“Anna?”
“Tidak hiraukan saja aku, Ryan. Melihatmu seperti inilah yang membuatku menjadi ingin berteman denganmu di bandingkan dengan yang lainnya.”
Wajah Anna mulai merona seperti kelopak bunga sakura di musim semi. Tawanya juga tampak tulus. Fajar mulai menyilangkan kedua tangannya lalu mengangguk pertanda ia pun setuju dengan perkataan Anna.
“Jadi sepertinya aku benar-benar merepotkan ya?”
“Tidak, tidak, malah kami yang merepotkan kamu, Ryan.”
Fajar pun bangkit sambil mengepalkan tangan kanannya lalu dari kaca matanya yang transparan itu keluar sinar yang bersuara crinngg.
“Mari kita bertahan hingga pelajaran terakhir... yeahh”
“Y-yeahhh”
“Yeayyy.”
Ryan dan Anna pun secara tak sadar mengangkat tangan sambil bersorak seperti pesta kemenangan. Setelah itu bel pertanda masuk kembali terdengar. Fajar dan Anna kembali ke bangku mereka masing-masing sedangkan Ryan mulai kembali mengisi baterai tubuhnya sambil membayangkan martabak keju yang akan Fajar belikan untuknya.
Waktu yang mereka lalui tidak begitu terasa lama, tapi membosankan sehingga secara tidak sadar Ryan kembali tertidur di dalam dekapan kedua tangannya yang di silangkan. Walau bel telah kembali berbunyi tetapi pemuda itu masih tengkurap di atas mejanya.
Suara dengkuran pelannya cukup terdengar. Anehnya guru yang mengajar tadi tidak mengetahui bahwa Ryan sudah terpulas dengan nikmat di bangkunya sendiri. Itulah yang menyebabkannya tidak diketahui sama sekali.
Fajar dan Anna yang telah membereskan kelas karena hari ini adalah jadwal piket mereka hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala ketika tersadar bahwa Ryan masih tertidur begitu pulasnya. Apakah kedua telinganya di tutup atau di sumbat sesuatu ya? Siapa yang tahu, hanya Ryan sendirilah yang mengetahuinya.
Mereka berdua pun kembali ke bangku mereka masing-masing lalu mengambil tasnya masing-masing. Setelah itu mereka menghampiri Ryan yang begitu pulas. Anna pun langsung mengoyang-goyangkan tubuh Ryan.
“Ryan, Ryan... bangun dong, kami tidak bisa pulang kalau harus meninggalkanmu sendirian di sini.”
Samar, tapi nyata kepala Ryan mulai mendongak perlahan seperti di tarik katrol pada sumur-sumur tua. Kini wajahnya mulai terlihat setengahnya dan setengahnya lagi tertutup oleh kedua tangan yang ia silangkan di atas meja.
Matanya sedikit teler dan sipit, tetapi kantung matanya mulai terbuka.
“Ahhh... kamu manis sekali deh, aku jadi ingin memakanmu....”
Anna yang mendengar itu langsung memerah seperti kepiting rebus lalu menutup wajah manisnya. Sementara Fajar yang mendengarnya hanya bisa tertawa kecil ketika melihat itu terjadi, apalagi melihat Ryan yang kembali masuk ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri.
“Biar kupastikan agar kau tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang memalukan, Ryan apa yang kamu lihat sekarang?”
“M-martabak k-k-keju.”
Seketika Fajar yang mendengarnya langsung terbahak-bahak karena mendengar penuturan sahabatnya yang begitu
polos. Sedangkan Anna malu luar biasa karena salah paham dan sesekali menepuk pundak Ryan yang tertidur.
“Anna, kasian Ryannya jangan di tepuk tapi pukul aja wajahnya biar bonyok sekalian”
“Fajar terkadang kamu jadi sedikit sadis ya?”
“Ah... masa sih, perasaan jika kita membicarakan perbincangan antar sesama lelaki hal seperti itu wajar kok”
“Yang benar?”
“Serius! Ehh, maksudnya dua rius.”
Fajar mulai cekikikan sendiri dengan perkataan yang baru saja ia lontarkan. Namun, Anna tahu bahwa itu adalah hanya sebuah kebohongan belaka, walau ia terkadang plin-plan tetapi di dalam waktu tertentu ia juga jadi cepat tanggap.
Karena masih khawatir terhadap Ryan, ahkirnya Anna menggunakan sedikit kejutan untuk membangunkan Ryan yang masih tengkurap di atas mejanya itu.
“Ryan~ ada martabak keju lhoo~”
Dengan sedikit godaan itu, tak di sangka-sangka baterai tubuh Ryan langsung terisi penuh dan sekarang ia
terbangun dengan punggung yang tegap dan kedua mata yang terbuka lebar.
Perlahan dan kedua buah jendela matanya perlahan turun dan menampakkan dua buah bola mata sipit. Sambil mengucek-ngucek kedua matanya, Ryan mulai menelusuri seisi kelas dengan matanya yang menyipit.
“Ahhh... aku ketiduran lagi rupanya.”
Setelah itu ia mendapati Fajar dan Anna yang kini berdiri di samping kanannya.
“Ehh... Anna, Fajar belum pulang toh. Kukira kalian udah lama pulang meninggalkanku di kelas lembab ini.”
Dengan polosnya perkataan itu langsung membuat Anna dan Fajar kembali tertawa kecil. Mereka tidak menyangka bahwa godaan Anna sangat ampuh sekali ketika harus berurusan dengan tukang tidur seperti Ryan ini.
Dan lagi-lagi setetes jeli menetes jatuh ke atas tas gantel miliknya sendiri. Ryan yang begitu sadar langsung
terburu-buru mengelap mulutnya yang kini sedikit terbuka. Lalu ia mulai berdiri dengan gagah seperti tidak terjadi apa-apa.
“Baiklah mari kita segera pulang dan tolong lupakan hal yang baru saja terjadi, Ok.”
Ryan pun mulai mengambil langkah sambil mengangkat jempol kanannya ke atas lalu segera berjalan keluar kelas. Anna dan Fajar pun tersenyum kecil lalu mulai mengikuti Ryan dengan pelan.
Suara sentakan telapak kaki yang bergema di lorong sekolah. Cuaca yang mulai sore, wajah langit pun turun
menjadi oranye dan untuk beberapa jam ke depannya akan menjadi gelap seutuhnya.
Ryan, Anna dan juga Fajar kini telah sampai di depan gerbang sekolah mereka. Karena rumah Fajar berlawanan arah dengan mereka berdua. Akhirnya mereka berpisah ketika berjalan melewati persimpangan awal di sebelah kanan sekolah.
Angin senja mulai bertiup, sementara Ryan masih menguap. Tampaknya ia belum puas akan tidur panjangnya itu, apakah ia seperti mamalia? Dapat berhibernasi dengan nyaman walau dalam keadaan perut yang keroncongan.
“Hahahaha”
“Anna lagi-lagi kau menertawakanku dan tadi itu yang ke lima kalinya, apakah aku begitu lucu sehingga kau
menertawakanku?”
“Bukan seperti itu, Ryan. Hanya saja setiap kali kau tidur di kelas kau itu tampak seperti beruang grizzly sedang berteduh di bawah pohon”
“Hmmm ... perumpamaan yang cukup bagus juga, sebenarnya aku inginnya jadi koala sih”
“Hahahaha.”
Anna yang tidak bisa menahan lagi tawanya. Kini terpingkal-pingkal karena melihat kepolosan dan kejujuran dari
Ryan temannya itu. Walau Ryan terlihat seperti pemalas sejujurnya menurut pengamatan yang ia lakukan.
Ryan itu adalah tipikal orang serius memang jika ada niatnya atau memiliki kemamuan yang kuat. Jika saja ia
menemukan sesuatu yang membuatnya menarik, pasti ia akan menyelesaikannya hingga selesai. Begitulah Ryan dalam pikiran Anna sekarang.
Dan ia juga masih mengingat Ryan ketika pertama kali bertemu dengannya. Lelaki yang biasa-baisa saja, tukang tidur, dan apalagi ketika upacara penerimaan siswa baru. Ia hampir saja terjungkal karena melihat Ryan dapat tertidur dalam keadaan mempertahankan kedua matanya yang masih terbuka.
Anna berpikir bahwa Ryan terbangun, tapi tebakannya itu dijatuhkan ketika melihat jeli-jeli kenyal jatuh turun dari
mulutnya. Dan pada saat itulah ketertarikan Anna ingin berteman dengan Ryan muncul.
“Anna bicara tentang itu, apakah ada PR buat besok? Tadi aku tertidur jadi tidak memperhatikan pelajarannya, habis membosankan.”
Anna tersenyum kecil, ia menggenggam erat tas gantel biru pucatnya yang sama seperti Ryan. Sambil berjalan di sampingnya, itu mengingatkannya terhadap masa kecilnya yang pernah di bantu oleh seorang anak seusianya dulu.
Apakah lelaki yang kini menemaninya berjalan adalah anak yang sama ketika ia kecil dulu. Dengan menyipitkan kedua matanya kini Anna memperhatikan Ryan secara seksama.
“Hmmm... gak ada tuh”
“Ok... baiklah. Anna kenapa kau memperhatikan diriku layaknya seorang pencuri?”
“Pencuri? Hahahaha ... tidak, tidak, hanya saja kau mirip dengan seorang laki-laki yang menolongku dulu waktu kecil.”
Ryan menatap langit ketika Anna mengatakan itu. Sambil mengodok saku celananya ia seperti mencari sesuatu.
“Hmmm... jadi seperti itu. Huhhhh... aku tampaknya hanya mempunyai recehan sekarang”
“Tentang itu bagaimana jika kau makan malam di rumahku saja, Ryan?”
“Maaf Anna, tetapi aku harus menjaga si bola bulu agar ia tidak mencakari sofa dan juga kasurku.”
Anna tersenyum kecil sambil menutup mulutnya sendiri yang akan beralih menjadi tawa kecil.
“Nggak usah minta maaf, aku tahu bagaimana kelakuan peliharaanmu itu, Ryan. Oh ya ... titipkan salamku padanya, ya”
“Maksudmu si Samurai?”
“Ya, ya, aku heran mengapa kau memberikan nama aneh seperti itu terhadap hewan peliharaanmu sendiri, Ryan”
“Kamu tidak mengerti Anna, ketika aku ingin makan mie instan saja ia selalu hampir menumpahkannya seperti bos. Apalagi ia memiliki tanda goresan di mata kirinya kayak Roronou Zora di One Pace... yang lebih parah ketika ia ingin membangunkanku selalu saja menghantam wajahku dengan bokongnya”
“Hahahaha... sepertinya inilah yang membuatku dan Fajar betah berada di sekelilingmu, Ryan”
“Apakah itu pujian?”
“Bukan ejekan”
“Ughhh....“
Anna kembali tertawa kecil sementara Ryan hanya tersenyum kecil melihat Anna yang tampak senang berada di
sekitarnya. Cuaca mulai menggelap dan perlahan tirai hitam muncul di langit. Setelah menemui persimpangan yang ke empat, mereka berdua berpisah karena letak rumah mereka yang berbeda walau hanya dua blok.
“Kalau begitu sampai jumpa besok, Ryan. Semoga aku dapat tertawa seperti tadi lagi”
“Huhhh... sepertinya aku memang cocok jadi kontestan Stand Up Comedy,” ujar Ryan sambil menggosok-gosok dagunya secara perlahan.
Anna kembali di buat ketawa olehnya dan tampaknya efek samping yang di timbulkan dari tawa yang berlebihan mulai terlihat pada diri Anna.
“Sebaiknya kau segera sampai di rumah sebelum perutmu jadi tambah sakit gara-gara terlalu banyak tertawa.”
Anna tersenyum menanggapi saran dari Ryan. Ia berusaha menahan tawanya kali ini, setelah itu Anna pun melambaikan tangannya. Ryan hanya menatapanya sedikit aneh kemudian mereka pun kembali berjalan menuju rumahnya masing-masing.
Ryan yang kini berjalan sendirian di tengah-tengah jalan merasa khawatir tentang si Samurai. Pasalnya yang ia
khawatirkan itu bukan hewan peliharannya tetapi perabotan rumah yang mungkin saja akan kembali di rusak olehnya.
Jadi ia pun berlari terburu-buru hingga akhirnya sampai tepat di depan rumahnya. Setelah itu ia langsung membuka pintu depan rumahnya dengan gegabah. Yang membuatnya kaget adalah ketika melihat si Samurai tengah ketakutan.
Ia menancabkan kuku-kukunya yang tumpul di atas sofa dengan keadaan bulu-bulu tubuhnya tegak seperti tiang. Hampir membawa katana versi mini di telapak kakinya yang mungil.
“Hehehehe... apakah aku mengagetkanmu, Samurai?”
“Meonggg....”
Ryan lega ternyata kucing peliharaanya itu tidak terlalu kejam hingga akan mencakar-cakari sofa terakhir yang ia
miliki di rumahnya. Setelah cukup tenang Samurai mulai duduk kembali dengan ekornya yang terkibas-kibas ke samping kiri dan kanan.
Ryan menghela kemudian ia pun melangkah masuk ke dalam rumahnya. Sebelumnya ia melepaskan sepatunya terlebih dahulu kemudian ia menaruhnya di rak sepatu, seragam sekolahnya yang berupa kemeja putih berlengan pendek, dasi hitam dan juga Blazer biru ia gantung di dekat tangga lantai dua.
Kini ia menggunakan kaos polos biru pucat dengan logo segi enam yang bertuliskan “Nicey”. Setelah itu ia segera
merebahkan dirinya di atas sofa, meletakan ponsel serta dompetnya di atas meja depan sofa, tapi tidak lama kemudian si Samurai ikut duduk di atas perutnya sambil mengeong.
Itu tandanya ia sedang kelaparan dan Ryan tahu akan hal itu. Akhirnya ia kembali bangun dan tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Ia memindahkan si Samurai terlebih dahulu dari atas perutnya kemudian mengambil ponselnya yang bergetar tidak jauh dari tempatnya.
Lalu ia membuka ponselnya itu ....
Subject: None
To: Ryan Angga Baskara
....
Ryan cukup heran dengan pesan itu. Mengapa orang yang mengirim pesan untuknya tahu nama lengkap dirinya. Sedagnkan Ryan sendiri bingung sebenarnya siapa yang mengirim pesan itu untuknya, ia pun menghilangkan pemikiran itu untuk sejenak lalu kembali melihat isi pesan tersebut....
Selamat, anda telah terdaftar di Nameless Crown untuk menjadi seorang raja tak bermahkota. Silahkan menikmati dunia yang kami ciptakan, Taman Kecil.
Pesan itu begitu singkat. Ryan mulai bingung Nameless Crown? Taman Kecil? Raja Tak Bermahkota?
Sebuah pesan rahasiakah? Atau hanya seseorang yang memainkan kejahilan?
Setelah itu Ryan terus menekan tombol navigasi ke bawah untuk melihat kejelasan dari pesan itu.
Tekan Ok untuk mengaktivasikan akun Avatar Anda.
Avatar? Berarti ini adalah semacam game MMORPG. Permainan yang paling tidak di sukai oleh Ryan. Karena waktu lima detiknya terbuang sia-sia akhirnya ia meletakan ponsel itu di atas sofa yang rawan akan bahaya.
Terutama bagi si Samurai yang memang terkadang jahil.
Ryan pun pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan bagi si Samurai. Setelah mengambil sekotak sereal
kesukaannya, ia pun membuka tutupnya lalu menuangkannya ke atas mangkuk khusus makanan hewan peliharaan.
Setelah itu kotak sereal tersebut ia simpan kembali ke dalam lemari. Ia pun segera menuju tempat Samurai berada,
dengan membawa semangkuk sereal kesukaannya. Ryan pun memanggil Samurai dengan pelan.
Entah mengapa ia seperti mendengar Tut yang pelan berasal dari sofanya. Samurai pun melompat dari balik sofa dan langsung menyambar makananl kesukaannya itu, sementara Ryan langsung menghampiri sofa dimana ponselnya berada.
Ketika ia sampai dan melihat layar ponselnya menyala terang. Keringat dingin langsung mengguyur tubuhnya. Ia berpikir bahwa si Samurai tidak sengaja menekan tombol Ok pada ponsel miliknya.
Perlahan ia ambil ponsel itu lalu melihat apa yang terjadi. Mungkin meskipun dugaannya adalah sebuah Game tapi bisa saja penipuan ataupun pemerasan terhadap pulsa yang ia miliki. Apalagi kantung tempat penyimpanan lembar pundi-pundinya sedang kosong.
Yang lebih ia takutkan adalah pesan yang nyasar atau salah kirim. Namun dugaannya itu salah ketika ia melihat
kembali sebuah kalimat yang sedikit mencurigakan.
Selamat akun anda telah aktif.
Lalu tiba-tiba saja lampu rumahnya padam, si Samurai langsung melompat kaget dan segera berlari ke arah majikannya yang sedang kebingungan. Ryan pun sama kagetnya, ia segera duduk di sofa sambil memegangi ponselnya.
Seketika itu si Samurai langsung melompat ke arah pangkuannya, tubuhnya bergetar ketakutan. Ryan heran
sebenarnya apa yang terjadi, terlebih lagi jika ini pemadaman lampu. Itu tidak lucu sama sekali dan jika memang seperti itu maka tidak mungkin tetangga sebelah sunyi.
Pasti ada yang aneh, ponsel yang kini di genggamnya berkedip-kedip dan mulai berubah warna. Dari yang asalnya
bercahaya putih kini menjadi gelap dengan menampilkan emotikon senyum kucing.
“Eh....”
Dan seketika itu dari dalam ponselnya muncul dua buah tangan yang putih. Kedua tangan itu langsung menyentuh pipi milik Ryan dengan lembut. Sementara si Samurai terus saja mendesis seperti ular dengan bulu-bulunya yang menegak.
Tak lama kemudian sebuah suara muncul... menggemakan seisi rumah milik Ryan.
“Selamat, ya, kamu sudah terpilih menjadi salah satu calon raja tak bermahkota di dunia yang kuciptakan.”
Ryan masih meragu, tetapi kedua tangan yang menyentuh pipinya tidak bisa ia lepaskan lantaran kakinya sedikit bergetar ketakutan. Berhubung Ryan memiliki Phobia pada fenomena-fenomena supernatural.
Ia pun hanya bisa mengatakan beberapa kata dengan logat robot, kaku dan juga dingin.
“S-s-siapa k-kau!?”
Sebuah tawa yang dikiranya mirip seperti suara tawa seorang perempuan mulai terdengar. Cukup halus dan juga
hangat. Tetapi bukannya merasa tenteram Ryan malah semakin bergidik ketakutan sembari memeluk si Samurai yang juga ikut ketakutan.
“Aku adalah Elesis.”
Dan seketika itu sebuah wajah muncul dari dalam ponsel yang kini tergeletak jatuh ke bawah karena Ryan yang kaget. Wajah itu muncul dan keluar dari dalam ponsel milik Ryan, perlahan lalu tubuh dan akhirnya kaki.
Lalu entah mengapa pemandangan sekitar Ryan berubah menjadi gelap total dan hanya sebuah cahaya terang yang muncul dari langit-langit. Cahaya itu satu-satunya penerangan yang di miliki oleh Ryan.
Samurai yang ia peluk tadi menghilang, sofa yang ia duduki tadi ikut lenyap, hanya kegelapan yang kini ia lihat. Dan terakhir adalah seorang gadis cantik berperawakan anggun yang juga sedang dilihat oleh Ryan.
Karena sinar cahaya yang meneranginya dari atas, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa gadis tersebut. Hanya saja dengan rambut putih di twintail, bibirnya merah muda tipis dan lembab. Kulitnya putih seperti salju.
Kedua pipinya merah merona. Ia juga menggunakan dua buah pita hitam atau dapat di kenal sebagai pita, dua buah pita hitam itu digunakannya sebagai ikat rambut yang menjadikannya twintail.
Selain itu ia menggunakan sebuah kemeja putih berlengan panjang serta sebuah rompi merah gelap. Rompi rajutan, hangat dan juga mengeluarkan wangi yang harum.
Gadis itu mengulurkan tangannya untuk Ryan yang kini tengah duduk di lantai yang gelap.
“Ada apa, jangan kaget seperti itu dong. Aku jadi sedikit kecewa, apakah aku hantu?”
Suaranya benar-benar halus seperti gadis berusia 16 tahun. Dengan aksen yang unik seperti gadis pedesaan. Ryan
yang masih memperhatikan gadis tidak di ketahui itu masih ragu untuk meraih tangan gadis tersebut.
“Apakah kamu manusia? Atau malaikat pencabut nyawa?”
“Ehhhh... kejam”
“Eittt... tunggu dulu aku belum selesai, atau kau adalah bidadari cantik yang ditakdirkan untukku?”
Entah mengapa gadis tak di ketahui itu langsung memerah. Wajahnya yang tadi tenang sekarang tampak gundah dan malu. Ia juga langsung menutupi wajahnya.
“Maaf, tadi hanya bercanda, aku tahu siapa kau.”
Gadis langsung mengembungkan kedua pipinya begitu tahu bahwa tadi hanyalah sebuah candaan.
“Dasar... kukira tadi sungguhan, lalu kau sudah tahu siapa diriku?”
“Yup, kau Elesis dan itu saja yang aku tahu. Tapi, sebelum itu kau hampir saja membuat jantungku berhenti dalam waktu satu detik. Kau tahu rasanya seperti waktu yang di matikan, terlebih lagi wajahku jadi beku gara-gara itu”
“Hahahaha... maaf, habisnya baru pertama kali aku melihat ekspresi seperti itu jadinya itu lucu”
“Lucu jidatmu... kau tahu setiap orang pasti kaget terlebih lagi ada seorang gadis yang tiba-tiba nongol dari dalam
ponsel, berasa nonton Ju-On versi lain tahu”
“Ju-On?”
“Lupakan saja, kau tidak akan mengetahuinya sama sekali. Lagi pula kau itu seperti hantu yang berwujud manusia”
“Hueee ... kau kejam”
“Aku hanya bercanda jadi tolong jangan menangis.”
Rupanya Ryan telah tertipu, gadis itu hanya berpura-pura menangis. Dan setelah ia mendongakan kembal wajahnya ia pun meledek Ryan dengan menjulurkan lidahnya.
“Dasar....”
Ryan yang sedikit kesal langsung menjitak kepala gadis itu hingga sebuah benjolan merah besar keluar menampakkan diri seperti bukit. Tetapi anehnya benjolan itu kembali turun dan menghilang menjadi sebuah data-data virtual yang tertelan kegelapan.
“Eh!?....”
Ryan langsung kebingungan, mengapa benjolan itu menghilang seperti tertelan oleh sesuatu?
“Pasti kamu heran ya?”
“Tentu saja, habis seorang gadis muncul dari dalam ponsel lalu sekarang lukamu itu menghilang seperti di dalam dunia virtual saja”
“Yup... kamu benar. Sekarang kita memang lagi di dunia virtual”
“Eh? Yang bener? Kok gelap sih?”
“Itu karena kamu belum mendesain Avatarmu, Ryan”
“Wohhh ... Avatar, ya?”
Di dalam hatinya Ryan ia mengutuk Samurai kucing peliharaanya itu, gara-gara dia ia jadi terjebak ke dalam situasi seperti ini.
“Baiklah kalau begitu... Command Activation.”
Suara gadis itu seperti sebuah elektronika robot dengan teknologi yang paling mutakhir. Menggema dengan suara
khas robot perempuan. Dan seketika itu sebuah panel muncul di depan Ryan. Panel itu sangat lebar dan juga tinggi, seukuran dengan tubuhnya Ryan.
“Kalau begitu silahkan mendesain sendiri Avatar yang kamu inginkan, Ryan”
“Wew... cepat amet kamu memanggil namaku”
“Kamu juga bisa panggil aku Elesis kok.”
Ia pun mencondongkan wajahnya ke arah Ryan. Dengan wajah yang tidak terlalu terlihat, membuat Ryan mengacuhkan Elesis seperti angin yang melintas begitu saja. Elesis menjadi kesal sendiri karena di acuhkan. Ia menyilangkan kedua tangannya sambil mengembungkan pipi meronanya.
“Baiklah kalau begitu, tidak ada kata mundur karena aku terpaksa masuk ke dalam dunia ini”
“Terpaksa?”
“Iya terpaksa... DAN ITU SEMUA GARA-GARA SI GUMPALAN BOLA BULU ITU!!!”
Wajah Ryan memerah panas dan uap-uap muncul di atas kepalanya, sebuah emosi meledak dan entah mengapa ada sebuah gambar gelas berisikan air yang tiba-tiba muncul di atas kepalanya. Gelas air itu lalu menuangkan air ke atas kepalanya dan anehnya lagi Ryan kembali tenang.
“Huh? Yang barusan tadi apa?”
“Akhirnya tenang juga, tadi itu adalah kemampuanku untuk menenangkan sesuatu. Bagaimana jika kau meneruskan hal yang kau hentikan tadi.”
Elesis tersenyum kecil lalu ia pun mengeluarkan sebuah kursi beroda yang dapat di putar-putar atasnya. Kursi itu keluar seiring dengan tangan kanannya yang terangkat ke atas.
“Hmmm... tak masalah.”
Setelah Ryan kembali tenang ia pun segera menyesuaikan Avatar yang akan ia gunakan. Di panel itu benar-benar lengkap, dari mulai tinggi tubuh, gender, berat tubuh, fisik, serta pakaian dan juga ada ras yang akan ia pilih.
Tetapi pada bagian gender sudah seperti di kunci dan tidak bisa di pilih. Ryan pun memutuskan untuk menyesuaikan Avatar yang akan ia pilih dengan tubuhnya sendiri. Tinggi 174cm, berat badan 67kg, rambut hitam sedikit acak-acakan.
Untuk bagian fisik ia sesuaikan dengan bentuk tubuhnya sendiri. Dari mulai warna kulit putih kecokelatan, alis yang
tidak terlalu tebal, mata hitam kecokelatan, dan bibir yang sedikit mengembang dan tipis.
Pakaian awal yang ia gunakan terbatas, sehingga ia memilih untuk menggunakan sebuah kemeja hitam berlengan pendek dengan Scraft yang melingkar di lehernya. Celana panjang putih dengan sepatu Sport putih.
Sisanya adalah perban yang meliliti lengan kirinya serta sebuah sarung tangan di lengan kanannya. sarung tangan
yang membiarkan jari-jemarinya keluar bebas menghirup udara bebas. Tidak terlalu tebal berwarna hitam bercampur putih. Dengan dua buah bulu burung yang menjadi sebuah gantungan pada bagian sisi kanannya.
Tepat di atas punggung sarung tangan itu terdapat sebuah lambang pedang minimalis yang di sesuaikan dengan warna dasar sarung tangan. Ryan cukup terkesan dengan Standar game yang akan ia jalani itu.
“Bicara tentang permainan yang akan kumainkan ini, Elesis... tampaknya semua pakaian seperti ini tidak seharusnya untuk para pemula termasuk diriku”
“Emangnya kenapa, Ryan? Kamu keberatan?”
“Nggak... hanya saja, seharusnya Item yang kugunakan seperti ini dikhususkan untuk level tertentu”
“Sebenarnya ini hanya seperti kulit luarnya saja, untuk statusmu tidak mempengaruhi. Bilang saja seperti bonus
dariku untuk seluruh Player yang ikut serta ke dalam game ini”
“Jadi kau bilang meskipun pakaianku seperti ini, efek yang kudapatkan sama halnya seperti Item dasar?”
“100 buatmu, Ryan. Walaupun luarnya begitu mewah seperti ini tetapi efek yang akan menambahkan statusmu tidak terlalu besar alias sangat kecil.”
Dengan cerianya Elesis memberi penjelasan seperti itu dengan bahasa yang ringan dan dapat di mengerti. Tapi
mungkin ini baru awal dari sebuah bencana ... mungkin?
Pada dasarnya setiap game dengan jenis MMORPG seperti ini akan mendapatkan Item dasar namun dalam kasus seperti Event ataupun Sayembara. Semua Player yang ikut berpartisipasi akan di berikan perlengkapan Item yang hebat sama halnya yang sedang di pakai oleh Ryan seperti sekarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!