Ada suara yang tak didengar
Ada hati yang terabaikan
Ada kesepakatan tanpa menimbang rasa
Ada harapan dalam keterpaksaan
Detak Jam seakan berhenti
Takdir datang tanpa menyapa
Matahari kembali mengintip
Bunga ditaman seakan bersorak
Secercah hayalan kembali menggoda
Membenarkan cinta yang datang secara tiba-tiba
***
Tiba di kamar Nindy langsung melemparkan tubuhnya ke kasur tanpa membuka gaun pengantin yang masih terpasang rapi di tubuh mungilnya. Nindy tak kuasa menahan tangis, statusnya mendadak berubah semua terasa mimpi pernikahan yang tak terduga terjadi dengan begitu cepat dan dia sendiri tak mampu untuk menghentikannya. Pernikahan tanpa restu Ibu menjadi beban yang paling menyakitkan buat Nindy. Tangisnya semakin pecah mengingat makian ibunya melalui telepon, Darco yang lagi berendam di kamar mandi buru-buru berdiri hendak ke luar dan hanya memakai selembar handuk.
“Ach syukurlah Aku kira Ibu bunuh diri, Ibu jangan nekat, Aku tidak mau berurusan dengan Polisi!” kata Darco dengn santai.
Nindy yang lagi dalam posisi telungkup segera bangkit dari tempat tidurnya.
“menikah denganmu akan membunuhku secara perlahan,”
“tidak usah pura-pura, aku tahu ibu pasti bahagia dapat suami muda sepertiku,”kata Darco sambil tersenyum.
Nindy kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur memilih diam daripada berdebat dengan Darco. Siswa kelas 3 SMK itu seakan tidak ada beban sama sekali. Setelah selesai Darco ikut merebahkan diri di tempat tidur dan memegang lengan Nindy, Nindy kaget ketika tiba-tiba darco ada di belakangnya.
“Kamu jangan macam-macam ya!” bentak Nindy bangkit dari tidurnya.
“siapa yang mau macam-macam Bu? Ibu mandi dulu sana!” kata Darco memperbaiki posisi tidurnya.
Nindy yang tidak mau berada dekat Darco bergegas ke kamar mandi dan langsung menyiram tubuhnya. Hampir 1 jam dia berendam dan baru sadar kalau dia tidak membuka gaun pengantinnya. Nindy berdiri dan berusaha untuk membuka gaunnya namun tidak berhasil. Dia juga tidak mau minta tolong sama Darco, Nindy berjalan ke sekeliling kamar mandi mencari gunting untuk merobek gaunnya namun tidak satupun benda tajam yang ada di ruangan itu. Kemudian dia membuka pintu kamar mandi secara perlahan mengintip Darko yang masih di tempat tidur dengan posisi miring membelakangi pintu kamar mandi.
“Syukurlah Darco sudah tidur,”
Nindy berjalan perlahan kearah lemari. Setelah mengambil sebuah gunting ia kembali ke kamar mandi, namun saat memegang gagang pintu kamar mandi ia dikagetkan dengan Darco tiba-tiba mengambil gunting di tangannya.
“ sudah Kubilang Aku tidak mau berurusan dengan Polisi!”
“kembalikan guntingnya,” kata Nindy sambil berusaha merebut gunting itu ditangan Darco
“tidak!”
“cepat kembalikan!” Nindy kembali memegang tangan Darco yang hangat seketika Darco menatap wajah Nindy yang kelihatan pucat dan tubuhnya dingin, Darco menjadi takut.
“Ibu kenapa? Apa ibu sakit?”
“tidak, tolong kembalikan guntingnya Aku mau membuka gaunnya.” Nindy kembali memohon denagn suara sedikit bergetar karena kedinginan, menjadi tambah dingin karena ruang ber-AC Itu.
“kenapa pakai gunting?” tanya Darco merasa heran.
“ jangan banyak tanya cepat kembalikan!”
Darco tetap tidak mau mengembalikan guntingnya, dia tidak yakin kalau gunting itu untuk membuka gaun. ia kembali teringat pembicaraan dengan ayah mertuanya sehari sebelum pernikahan.
"Mendekatlah, biar kubantu," Kemudian Darco menarik tubuh Nindy, meski dengan wajah ragu ia mengangkat tangannya perlahan sambil menutup mata sehingga tanpa sengaja bersentuhan dengan kulit mulus Nindy. Nindy yang sadar akan hal itu cepat-cepat menjauh.
“ya ya udah, ibu mandi sana, itu aja kok repot, kenapa tidak minta tolong dari tadi, dan gunting serta semua benda tajam di ruangan ini akan kubuang,” kata Darco sedikit gugup.
“silahkan, aku sudah tidak butuh,” jawab Nindy berlalu ke kamar mandi.
“Achh, sepertinya hari-hariku akan menjadi sulit,” Kemudian Darco menghubungi room service untuk memesan minuman hangat untuk Nindy.
Setelah satu jam, Nindy keluar dari kamar mandi dengan baju tidurnya, dia sengaja memakai baju panjang yang tebal karena dia tidak terbiasa di ruang ber-AC. Darco yang tau Nindy sudah selesai pura-pura sibuk dengan gawainya.
“ada minuman hangat di meja, ibu minum dulu ya,” kata Darco ketika mendengar Nindy bersin untuk yang kedua kalinya.
“ini anak perhatian juga,”
“Terimakasih,” kata Nindy sambil meraih cangkirnya, setelah itu Nindy mengambil selimut dan berjalan ke arah sofa yang ada di kamar itu.
“Kenapa ibu tidak tidur di kasur?” kata Darco mendekati Nindy.
“kamu saja yang tidur disana,” Nindy segera merebahkan tubuhnya di sofa
“Kenapa? Ibu takut? harusnya aku yang takut diperkosa sama ibu aku masih dibawah umur,” ketus Darco.
“bicara apa sih kamu?” Nindy semakin menarik selimutnya hingga menutup kepalanya, ia seakan malas melihat wajah Darco. Rasa marah dan belum menerima kejadian yang baru saja ia alami membuat emosi Nindy tidak stabil.
Melihat Nindy yang tidak juga beranjak dari sofa, Darco langsung menarik tangan Nindy dan memaksanya tidur di kasur. Nindy hanya pasrah mengikuti kemauan Darco.
“berbuatlah sesuka hatimu, ku pastikan ini tidak akan berlangsung lama, pernikahan ini membuatku gila,” kata Nindy dalam hati dan kembali melanjutkan tidurnya di kasur.
Sementara Darco duduk di sofa, dia masih membayangkan kejadian di kontrakan Nindy.
“niat baik menolong tetangga malah berujung di KUA,”
Darco berusaha memejamkan matanya, namun tidak berhasil, rentetan kejadian dalam dua hari terakhir seakan menari-nari dalam pikirannya.
“apa diluar sana ada anak sekolah yang menikah muda sepertiku?”
“hmm, tapi ada untungnya juga serumah dengan bu Nindy, bisa bantu menyelesaikan tugas matematika setiap hari," kata Darco sambil tersenyum. Kemudian memperbaiki posisi tidurnya dengan headset masih terpasang di telinganya.
flasback
Alhamdulillah, akhirnya selesai juga,” kata Nindy sambil merapikan buku-buku yang berserakan di meja ruang tamu itu, ia tampak senang karena baru saja menyelesaikan artikel pertamanya setelah diterima menjadi dosen kimia disalah satu perguruan tinggi di kota Jakarta. Meski statusnya sudah seorang dosen, Nindy masih tinggal di kontrakan sederhana yang tidak jauh dari kampus tempat ia mengajar. Kontrakan itu menjadi saksi bisu perjuangan Nindy menyelesaikan S3-nya hingga diterima menjadi dosen.
Setelah selesai merapikan mejanya, Nindy berjalan menuju kamar dengan membawa sebuah kursi dan menaruhnya diatas Kasur. Nindy memasang bola lampu kamarnya yang sudah putus, dan beberapa hari ini dia tidur diruang tamu. Nindy segera menginjak kursi dan berusaha memasang bola lampu itu, namun tidak berhasil. Nindy mencoba lagi dan lagi namun tetap tidak bisa.
“Resiko memiliki tinggi badan kurang ya begini, apa aku tunggu Ayah saja ya?” Nindy teringat Ayahnya yang sedang diperjalanan menuju kontrakannya.
“hmmm, coba sekali lagi, jika masih gagal minta tolong Ayah saja nanti,” kemudian Nindy kembali menginjak Kasur dan naik ke kursi.
Pelan-pelan Nindy kembali mencoba memasang bola lampu itu, namun karena tubuhnya tidak seimbang dia terjatuh kekasur tertimpa kursi sementara bola lampunya jatuh ke lantai dan menimbulkan ledakan kecil.
“Aaaaargh.” Nindy sedikit berteriak karena kesakitan dibagian kaki.
Mendengar suara Nindy, Darco yang tinggal disamping kontrakan itu cepat-cepat mendatanginya, karena Nindy tidak ada diruang tamu Darco berjalan kearah kamar Nindy yang sedikit gelap sambil memanggil Nindy.
“Bu Nindy, kenapa?” Darco panik ketika melihat Nindy tertidur dikasur dengan sebuah kursi kayu diatas tubuhnya, sementara lantai dipenuhi oleh pecahan bola lampu.
“aku tidak apa-apa, jangan masuk!” Nindy berusaha mencegah Darco, namun Darco tidak menggubris, ia berjalan kearah Nindy dan mengangkat kursi itu lalu memindahkannya ke samping lemari. Kemudian Darco membantu Nindy berdiri, Darco tidak sengaja menginjak kaki Nindy dan mereka terjatuh kekasur dengan posisi Darko berada diatas tubuh Nindy.
“apa ini, kok seperti permen karet?” Darco merasakan hal aneh diwajahnya.
sementara Nindy Nindy terus menggerakkan tubuhnya meminta Darco cepat bangkit dari posisinya.
Darco segera mengangkat kepalanya, ia kaget karena ternyata bibir mungil Nindy yang menempel di wajahnya. Sementara Nindy terdiam beberapa saat, dan seketika tatapan mereka beradu. Nindy jadi salah tingkah dan menempelkan kedua tangannya di dada Darco untuk mendorong tubuhnya, namun disaat bersamaan tetangga Nindy datang, dan disusul oleh 2 orang lainnya. Mereka kaget melihat Nindy dan Darco dalam posisi berhimpitan dengan rambutnya yang acak-acakan, Kemudian Nindy cepat-cepat berdiri.
“Ooo ternyata ini kelakuan seseorang dosen, benar-benar tidak menyangka,” kata salah seorang dari mereka.
“dasar wanita murahan percuma sekolah tinggi tapi akhlak nol besar!” sambung ibu-ibu lainnya.
“pantas belum nikah, mainnya sama anak sekolahan,”
Semua hujatan dan makian terlontar dari mulut ibu-ibu itu, Nindy semakin panik.
“Maaf Bapak ibu semua, ini tidak seperti yang kalian bayangkan tadi saya terjatuh lalu Darco datang mau menolong saya,” Nindy berusaha meyakinkan.
“jadi kami harus percaya? Sayangnya alasan kalian sudah basi,” salah seorang dari mereka angkat bicara.
“Sudahlah kita lapor saja ke Pak RT,” lelaki yang dari tadi hanya diam akhirnya buka suara. Dia bergegas menuju Rumah pak Galang yang hanya berjarak 50 meter dari kontrakan Nindy.
“jangan, jangan pak,” Nindy dan Darco berusaha meyakinkan namun tidak ditanggapi sama sekali.
Ayah Nindy yang baru datang heran melihat kondisi saat itu, perlahan dia mendekati kerumunan di pintu kamar Nindy.
“Ya sudah, nikahkan saja mereka pak daripada buat malu!” kata salah seorang ibu-ibu diruangan itu.
Nindy seakan tersambar petir mendengar suara itu, apalagi melihat wajah ayahnya yang penuh tanda tanya.
“bapak dan ibu semua, Sekali lagi saya mohon, ini tidak seperti yang kalian bayangkan jangan main hakim sendiri saya bersumpah demi Allah Kalau kami tidak berbuat apa-apa. Lagian mana mungkin saya menikahi dia yang masih dibawah umur.” Nindy terlihat menahan air mata, suaranya semakin berat.
“tidak usah bersandiwara, kalian sudah sering berduaan, tapi baru kali ini ketahuan, sengaja mematikan lampu supaya tidak kelihatan dari luar.”
“ Hei Bu gembrot! jaga ya mulutnya jangan fitnah!” Darco menatap tajam sambil menahan tangannya yang hendak menampar Bu Tami.
“sudah, sudah, mari kita bicarakan masalah ini secara baik-baik, kata Pak Galang yang baru bergabung dan berusaha memahami kejadian itu.
Kemudian Pak Galang langsung menghubungi orangtua Darco dan meminta mereka datang, mendengar berita itu orang tua darco kaget dan langsung bergegas menuju tempat tinggal Darco sementara beberapa dari tetangga Nindy pulang ke rumahnya.
“Tuhan, tolong selamatkan aku,” Nindy menunduk sambil memegang kedua lututnya, sementara Darco hanya sibuk memainkan telepon genggamnya.
***
2 jam kemudian orang tua Darco datang, Nindy memperbaiki posisi duduknya, ia terlihat gugup.
“hmm, dilihat dari penampilan mereka sepertinya bukan orang sembarangan, entah makian Seperti apa lagi yang akan aku terima,” Nindy hanya menunduk ketika Ibu Darco mendekatinya.
“kamu yang diganggu sama anak saya?” kata ibu Darco menatap wajah Nindy.
“bu bu bukan Bu, Darco tidak salah, kami bisa jelaskan,” kata Nindy dengan pelan.
“kamu tidak usah takut, saya pastikan Darco akan bertanggung jawab,” jawab bu Sela dengan tegas.
sementara Darco hanya menggelengkan kepala melihat ulah Mommy-nya.
“Hmm, sudah ku duga akan begini jadinya,” Darco membuang muka, seolah tidak mendengar apa-apa.
Sementara pak Algo, Ayahnya Darco berjalan kearah Pak Galang dan ayah Nindy yang duduk berdekatan. Setelah berkenalan dengan Ayah Nindy, ia langsung membahas ke permasalahan yang ingin dibahas pak Galang selaku ketua RT. Sesekali terlihat ayah Nindy membantah pak Algo, mereka berbincang-bincang cukup lama dan serius. Sedangkan Darco, Nindy dan Ibu Sela hanya menjadi pendengar menunggu keputusan mereka. Setelah satu jam, akhirnya mereka sepakat akan menikahkan Nindy dan Darco. Nindy tidak berani membantah karena itu sudah menjadi keputusan mereka.
Nindy tidak menyangka akan mendapatkan respon begitu dari orang tua Darco apalagi ayahnya juga setuju. Jangankan untuk membantah menatap ayahnya saja dia tidak berani.
Setelah selesai, pak Algo bangkit dari duduknya, kemudian memanggil Nindy dan Darco, ia menatap keduanya.
“Besok adalah hari pernikahan kalian sekarang istirahatlah! Daddy yang akan mempersiapkan semuanya. Satu hal yang harus kalian ingat, ini akan menjadi pernikahan rahasia sampai Darco tamat SMA.” Kata pak Algo dengan tegas kemudian berlalu pergi meninggalkan mereka diikuti oleh ayahnya Nindy.
Nindy tercengang dan tidak menjawab perkataan pak Algo, begitupun dengan Darco, ia seakan-akan tidak diberi pilihan.
Setelah pembicaraan di rumah Pak Galang selesai Nindy kembali ke kontrakannya, sedangkan ayahnya ikut ke hotel bersama Darco dan kedua orangtuanya. Sesampai dikontrakan Nindy merasa kacau, ia melemparkan tubuhnya kekasur.
“Besok aku akan menikah? menikahi anak dibawah umur?” Nindy mencubit pipi dan tangannya beberapa kali, merasa tidak percaya dengan yang baru saja terjadi tanpa ia sadari butiran bening mengalir perlahan di pelupuk matanya.
Flashback
Nindy meraih telepon genggamnya yang sudah beberapa kali berdering, terlihat di layar ada panggilan dari ibunya. Nindy gugup dan takut,
"Ayah pasti sudah memberitahu Ibu," Nindy hanya menatap layar teleponnya hingga berhenti berdering, ia gelisah berjalan bolak-balik mengelilingi kasur.
Kemudian handphonenya kembali berdering,
Nindy pelan-pelan menekan tombol hijau sambil memicingkan matanya.
"Assalamualaikum Bu," Nindy memberanikan diri menerima panggilan telepon dari ibunya.
"Hai anak kurang ajar, anak tidak berguna, ternyata begini kelakuanmu tinggal di kota, percuma kau sekolah tinggi tetapi tidak ada akhlak. Kau dengan beraninya mencoreng nama baik keluarga kita dan mulai hari ini aku juga berani mencoretmu dari kartu keluarga kau bukan anakku lagi." teriak ibu diseberang sana, suaranya seakan memecahkan gendang telingaku.
"Ibu tolong dengarkan dulu penjelasanku, ini hanya salah paham," Nindy menangis mendengar kata-kata ibunya.
"Tidak ada lagi yang ingin ibu dengar darimu Jangan panggil aku Ibu mulai sekarang," bu Ratih langsung menutup teleponnya.
" i-ibu, aku mohon," sambungan panggilan terputus, Nindy menangis sekuatnya Ia tidak menyangka ibunya semarah itu, hingga larut malam ia menangis dan menangis. Nindy
terus berfikir bagaimana caranya menghentikan pernikahannya dan membuktikan kalau dia tidak bersalah.
"seandainya kontrakan ini ada CCTV-nya, tentu tidak akan sesulit ini." air matanya kembali jatuh,
***
Sementara di hotel Darco yang baru bangun masih terbaring diatas kasur sambil memeriksa gawainya.
Ia segera bangkit dan berjalan ke arah luar karena seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Darco kaget karena yang datang itu adalah Pak Mulyadi, ayahnya Nindy, dengan sedikit gugup ia mempersilahkan masuk.
"Saya ke kamar mandi sebentar ya pak," kata Darco setelah mempersilahkan pak Yadi duduk.
"silahkan nak," kata pak Yadi sambil tersenyum tenang, ia merasa bersyukur karena ada kesempatan untuk berbicara dengan Darco sebelum melangsungkan pernikahan putrinya.
15 menit kemudian Darco selesai dan segera duduk di sebelah pak Yadi.
"Sudah berapa lama kamu kenal dengan Nindy?" kata pak Yadi memulai pembicaraan.
"Baru tiga bulan Om,"
"Tiga bulan? pacaran nya sudah berapa lama?" kata pak Yadi dengan wajah sedikit bingung.
"kami tidak pacaran Om."
"Jadi kalian berbuat sejauh itu tanpa hubungan pacaran?"
"Kami tidak berbuat sejauh itu Om." kata Darco tanpa ekspresi.
Pak Yadi makin bingung dengan jawaban Darco.
"Huhf, terserah kalian, bagaimanapun pernikahan sudah disiapkan oleh ayahmu. Om tahu kamu belum siap dan mungkin saja juga belum mengerti tentang pernikahan, jadi kamu harus mulai belajar dari sekarang karena Om mau ini pernikahan pertama dan terakhir buat Nindy. Anak Om itu pintar, berambisi tinggi mengejar mimpinya tetapi bodoh masalah percintaan. Walaupun ia lebih tua darimu, ia tetaplah seorang perempuan yang tentunya ingin dilindungi dan merasa nyaman dengan pasangannya." jawab pak Yadi.
"Iya Om, saya mengerti,"
" Om minta tolong jaga anak Om, Kejadian ini jangan sampai membuat dia bunuh diri dan kamu sebagai laki-laki harus kuat dan bertanggung jawab,"
"Baik Om, saya akan ingat nasehat om."
"Bunuh diri? Apa wanita serapuh itu?" Darco terdiam sejenak mencerna kata-kata pak Yadi.
"Om yakin kamu bisa, Om mempercayakan anak Om padamu," kata pak Yadi sambil menepuk lengan darco.
"terimakasih Om,"
"Ya sudah sekarang kamu siap-siap dan setelah itu tolong hubungi Nindy Karena Om telepon dari tadi tidak diangkat," Pak Yadi bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar Darco.
"Baik Om,"
"Hmm, Ibu Nindy yang harus menjaga dan melindungiku," kata Darco dalam hati sambil mengetik nama Nindy di Kolom pencarian kontak namun tidak ditemukan, seketika dia ingat dan mencari nama Ibu dosen kemudian menghubunginya.
Flashback Off
Paginya, Nindy bangun terlebih dahulu karena telepon genggam Darco berdering beberapa kali.
"Aku di mana? kenapa tempat tidurnya terasa berbeda?"
"Ya Tuhan anak 17 tahun itu suamiku? Bagaimana aku akan menjalani hari-hari setelah pernikahan ini?" kata Nindy ketika matanya melihat seseorang yang tidur di sofa.
"Oh ya hari ini aku kan harus ke kampus," kemudian Nindy segera mandi dan ganti pakaian.
saat melihat pantulan Darco dari cermin, ia ingat kalau Darco harus sekolah.
"Bangun Darco bangun," Nindy memukul lengan Darco beberapa kali namun namun Darco tidak kunjung bangun.
" Darco!" Teriak Nindy dengan kuat sambil mendekatkan mulutnya ketelinga Darco. Darco kaget dan cepat-cepat bangkit sehingga kepalanya berbenturan dengan kepala Nindy
"Au sakit," rintih Nindy.
"Ibu sih bangunan orang seperti teriak maling."
"lagian anak sekolah kok siang sekalibangunnya, Cepat mandi sana! sudah jam 09:00 nih."
" Ha? Kenapa tidak bangunkan aku dari tadi, lebih baik aku libur saja hari ini."
"tidak, cepat mandi sana, sudah kelas tiga kok masih santai,"
"Tidak, tidak mau," jawab Darco singkat.
"Ya sudah, aku sebentar lagi kekampus kamu mandi dulu sana!" Tegas Nindy.
"Tidak ada baju ganti," jawab Darco sambil berjalan ke arah kasur dan melanjutkan tidurnya. Nindy hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Darco.
Kemudian telepon genggam Darco kembali berdering. Ia segera menerima panggilan telepon dari Mommynya.
Nindy mendekati Darco dan meminta Darco mengaktifkan pengeras suaranya.
"Apa Mommy mengganggumu sayang? sudah 9 kali panggilan telepon dari Mommy tapi tidak kamu jawab."
"Tidak, ada apa Mom?"
"Mommy tunggu kalian berdua dirumah, Kamu libur seminggu kedepan, Daddy sudah menghubungi pihak sekolah."
"Kok libur Mi? Darco ada ujian lagian ibu Nindy mau ke kampus." jawab Darco, merasa heran dengan orangtuanya yang tidak minta pendapatnya terlebih dahulu.
"Kamu bisa ujian susulan sayang, ini lebih penting kalian masih pengantin baru kok sudah langsung masuk sekolah? apa Mommy perlu menghubungi kampus Nindy?" paksa bu Sela.
"Ti-ti-tidak Bu, kami pasti datang kerumah Ibu, Saya juga libur beberapa hari kedepan," jawab Nindy dengan cepat, ia tidak mau pihak kampus tahu kalau dia mendadak nikah, apalagi ketahuan menikahi anak SMA.
Bu Sela kaget karena Nindy yang menjawab.
"Hamm gitu dong, makasih ya sayang," kata Bu Sela dengan senangnya.
" Ya sudah kalian cepat siap-siap, kasiham Pak Wardani kelamaan menunggu di parkiran."
"Iya bu," jawab Nindy.
Kemudian Darco menatap Nindy,
"Ibu serius libur satu minggu?" tanya Darco seakan tidak percaya.
"Lebih baik libur dari pada ketahuan menikahi anak kecil sepertimu," Jawab Nindy sambil mencubit kedua pipi Darco.
"Apa ibu tau? aku diminta jadi suami yang baik oleh Ayah mertua, jadi ubah cara pandang Ibu kepadaku, kalau tidak Ibu akan menyesal," Balas Darco kemudian berlalu meninggalkan Nindy Kekamar mandi.
Nindy terdiam beberapa saat,
"Tidak, kamu yang akan menyesal karena tidak membantah orangtuamu saat berencana menikahkan kita," kata Nindy dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!