NovelToon NovelToon

Berondong Bayaran, CEO Cantik

Dua kehidupan

Pagi itu, disebuah penthouse bergaya minimalis dengan warna monokrom. Seorang wanita cantik berusia hampir 31 tahun, bangun dari tidurnya yang lelap.

Ia melangkah menuju dapur, menyiapkan segelas kopi hangat, lalu membawanya berjalan. Menuju ke sebuah kursi di dekat kaca besar, yang menyajikan pemandangan ke arah gedung-gedung tinggi menjulang.

Amanda Marcelia Louis, begitulah nama wanita itu. Ia duduk dan meletakkan kopi paginya pada sebuah meja.

Tangan kanan wanita itu lalu meraih sebuah IPad, yang berada tak jauh dari sana. Ia pun membuka media berita dan membaca kabar apa saja yang terjadi pagi itu.

Setelah beberapa paragraf ia mulai meminum kopinya, lalu lanjut mencari artikel-artikel lain yang menurutnya menarik untuk dibaca.

Ketika hampir 30 menit berlalu, Amanda kemudian berjalan menuju kamar mandi. Melepaskan pakaian tidur yang menutupi tubuhnya, hingga terjatuh ke lantai.

Ia masuk ke dalam shower room dan menyalakan keran. Air hangat menerpa tubuhnya yang mulus dan sexy. Tak lupa ia juga membasahi rambutnya yang panjang sedada.

Ia menyemprotkan shower gel pada shower puff, lalu menyapukan busa yang dihasilkan ke seluruh tubuh. Kini kulitnya yang berwarna putih bersih terlihat penuh dengan sabun.

Usai membersihkan diri, ia mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Memakai body butter beraroma musk, dilanjutkan parfum dengan wewangian yang sama.

Ia lalu beralih ke lemari dan memakai pakaian kerjanya. Sebuah rok bodycon mini hitam dipadu dengan kemeja putih ketat, yang memperlihatkan bentuk tubuh serta dadanya yang penuh. Kemudian dilapisi dengan blazer berwarna hitam, serta high heels berwarna senada.

Lalu ia beralih ke meja rias dan memakai sunscreen serta cushion. Sesaat setelahnya ia tampak mengoleskan eyeliner pada kedua kelopak matanya. Serta tak lupa sentuhan warna lipstik yang merah menyala.

Sebuah aturan yang terbalik bagi sebagian perempuan. Dimana mereka biasanya memakai makeup terlebih dahulu, sebelum mengenakan pakaian. Tetapi Amanda tidak peduli sama sekali.

Jika ingat ia akan memakai makeup terlebih dahulu. Namun jika tidak, ya seperti inilah adanya. Menurutnya hidup itu harus sekali-sekali mendobrak aturan, meskipun itu memiliki resiko.

Usai meraih tas kerjanya yang seharga ratusan juta, wanita itu lalu melangkah. Di bawah penthouse sebuah mobil sudah dipersiapkan untuknya. Seorang supir membukakan pintu mobil dan Amanda pun masuk kedalam.

Perjalanan pagi itu cukup lancar. Saat tiba di kantor, ia sudah ditunggu oleh banyak karyawan. Mereka semua berdiri sekedar untuk menyapa atasan mereka tersebut.

Amanda yang cantik berjalan dengan penuh wibawa, serta senyum tipisnya yang disebar kemana-mana. Membuat banyak karyawan laki-laki yang masih single menghalu untuk menjadi pasangan wanita itu.

***

Sementara di sudut lain ibu kota, seorang pemuda tampan berusia hampir 21 tahun bernama Keenan Arka Adrian. Tampak tengah duduk di samping ayah tirinya, yang kini terbaring dirumah sakit.

Laki-laki itu terlihat lemah, karena penyakit ginjal yang diderita sejak lama telah menggerogoti tubuhnya.

"Pa, papa gimana sekarang?" tanya pemuda itu.

Ia tau jika kondisi sang ayah tiri memburuk dari hari ke hari. Namun ia selalu berharap akan adanya keajaiban di setiap harinya itu.

"Papa baik-baik aja, Arka. Kamu nggak usah terlalu mikirin papa, pikirin aja kuliah kamu."

"Tapi, pa. Arka mau papa sembuh."

"Udah sulit nak, ginjal papa sudah akut. Paling ya, cuci darah begini lah yang bisa papa lakukan. Mau ganti ginjal pun, kita akan butuh biaya besar. Lagipula mesti ada pendonor yang cocok. Ada uang tapi pendonornya nggak ada, ya percuma juga."

"Papa jangan putus asa begitu, Arka mau koq mendonorkan ginjal Arka buat papa."

Perkataan tersebut membuat sang ayah tiri cukup tersentak.

"Kamu jangan konyol Arka, hidup kamu masih panjang. Kamu masih membutuhkannya, biarin papa begini. Toh juga kalau papa meninggal, kamu dan ibumu nggak akan punya beban lagi."

"Arka nggak suka papa ngomong begitu."

Raut wajah Arka berubah marah, sekaligus sedih.

"Arka akan tetap berusaha supaya papa sembuh. Kalau papa nggak mau ginjal Arka, Arka akan usahakan cari uang dan juga pendonor lain."

"Arka..."

"Pa, udah!. Nggak usah ngomong lagi!. Papa udah menyelamatkan ibu yang dulunya hamil, tapi nggak punya suami. Papa udah menghidupi kami berdua selama ini, sekarang giliran Arka membalas budi ke papa. Arka nggak mau denger papa membantah Arka lagi, Arka sayang papa."

Air mata merebak di pelupuk mata sang ayah tiri. Tak disangkanya anak yang dulu ia selamatkan statusnya lantaran si ibu hamil diluar nikah, kini telah tumbuh menjadi anak yang begitu baik.

21 tahun yang lalu, ia menemukan ibu Arka ingin bunuh diri. Lantaran wanita itu hamil dengan seorang pria asing atau bule, dan bule tersebut pulang ke negaranya tanpa kabar. Ia lalu bersedia memberi tempat tinggal kepada wanita itu dan mengurus keperluannya.

Namun karena banyaknya cibiran tetangga kala itu, ia pun lalu menikahi ibu Arka untuk menghindari fitnah. Ia bermaksud menceraikan ibu Arka, saat Arka sudah lahir.

Karena ia tahu ibu Arka dan dirinya tidak saling mencintai. Namun lambat laun cinta itu pun tumbuh, dan mereka akhirnya berumah tangga hingga kini.

"Ibumu, baik-baik aja kan?" tanya ayah tirinya sekali lagi.

"Baik-baik aja, ada Rianti yang nemenin ibu. Nanti malam ibu kesini, soalnya masih harus jualan kalau jam segini." jawab Arka.

"Apa rentenir itu masih datang?"

Ayah tirinya melontarkan pertanyaan yang membuat Arka mendadak terdiam. Sebelum pergi kesini, ia dan ibunya sudah berhadapan dengan rentenir yang dimaksud.

Mereka sudah memaksa untuk menyita rumah yang kini ditempati keluarga Arka. Namun ibunya masih meminta keringanan.

Karena rumah itu satu-satunya milik mereka yang masih tersisa hingga kini. Pasca ayahnya bangkrut dan jatuh sakit, hidup keluarga Arka jadi berubah total. Mereka banyak hutang dimana-mana termasuk pada rentenir.

Sebenarnya Arka sendiri berprofesi sebagai aktor, model, dan bintang iklan. Namun beberapa waktu belakangan ini job di dunia entertaintment memang sedang sepi.

Selain karena Arka adalah pendatang baru yang saingannya lumayan banyak, ia pun masih fokus pada kuliahnya yang sudah pada tahap hampir menyusun skripsi. Ia tak bisa membantu banyak untuk menutupi keuangan orang tuanya.

***

"Bu Amanda, ada perempuan bernama Rani di lobi. Katanya teman bu Amanda dan sudah membuat janji untuk ketemu."

Pia Sekretaris Amanda memberitahukan perihal adanya seseorang, yang menunggunya di lobi. -

"Suruh dia masuk kesini!" perintah Amanda.

"Baik, bu."

Pia beranjak.

"Eee, Pia."

"Iya bu."

"Minta tolong ya, bilang ke OB. Beliin susu ibu hamil lima kaleng besar."

"Oh, ok. Merk apa bu?" tanya Pia.

"Apa aja yang menurut kamu bagus, saya nggak ngerti. Itu buat Rani." jawab Amanda.

"Baik bu."

Pia pun menutup pintu ruangan Amanda, CEO cantik itu lanjut fokus pada pekerjaannya. Tak lama kemudian Pia kembali masuk dengan membawa Rani.

"Man."

Sapa Rani pada Amanda.

"Ran."

Amanda beranjak, seketika Rani pun menghambur memeluknya. Lalu wanita itu menangis sesenggukan di pelukan Amanda.

Tak lama berselang, setelah Rani mulai tenang, mereka kemudian duduk di sofa ruang kerja Amanda.

"Ran, gue udah bilang dulu sama lo. Jangan menikah buru-buru cuma karena takut omongan tetangga, cuma karena orang tua lo maksa-maksa. Sekarang kayak gini kan kejadiannya. Lo juga bela-belain berhenti kerja demi laki-laki. Omongan laki-laki itu jarang ada yang bisa dipercaya, Ran."

Air mata Rani kembali mengalir. Ia pun mengusapnya dengan tissue yang diberikan oleh Amanda.

"Gue nyesel nggak dengerin omongan lo dulu, Man. Karena gue nggak nyangka David akan selingkuh, dan ninggalin gue sama anak-anaknya demi cewek lain."

Rani kembali menghapus air matanya. Sementara Amanda masih menatap wanita yang saat ini tengah hamil 7 bulan itu.

Rani dan suaminya bertemu di SMA, Rani sangat dimabuk cinta sejak pandangan pertama. Bahkan walaupun David kasar serta sudah sering memukul sejak jaman masih pacaran, Rani tetap bertahan.

Ia berharap kelak saat menikah dan punya anak, kekasihnya itu akan menjadi lebih baik. Tapi sampai sudah mau punya anak tiga pun, tak ada tanda-tanda pria itu akan berubah.

"Terakhir lo dipukulin lagi?" tanya Amanda.

Rani mengangguk, wajah perempuan itu kini tertunduk.

"Bahkan dia hampir nendang perut gue didepan anak gue, Rasya dan Rania." jawab Rani.

Amanda menghela nafas, antara kesal dan juga miris.

"Ran, Ran. Udah berbusa mulut gue ngomongin lo. Jangan pernah berharap cowok kasar bakalan berubah, hanya karena menikah dan punya anak. Sampe kapanpun mereka akan tetap seperti itu, kecuali udah jompo." ujar wanita tersebut.

Sementara Rani kini diam dan menunduk.

"Sekarang terbukti kan omongan gue." tukasnya lagi.

Hening, tak ada jawaban. Hanya air mata Rani saja yang terus mengalir.

"Mana suami lo suka kasar depan anak. Lo secara nggak langsung udah ngajarin Rasya, untuk berlaku kasar juga sama wanitanya di kemudian hari. Anak itu belajar dari apa yang dia lihat dari orang tuanya, Ran. Dan lo juga ngajarin Rania, untuk jadi wanita yang mau aja diperlakukan kasar oleh laki-laki."

"Gue sekarang udah bener-bener sadar, Man. Gue udah mengajukan gugatan cerai. Tapi lo tau sendiri kalau lagi hamil begini, belum bakal dikabulkan pengadilan. Kadang juga gue masih inget sama dia, gue masih ada perasaan sama dia Man."

"Yang lo inget itu, adalah dimana ketika lo di belai-belai karena dia butuh tidur sama lo. Semua laki-laki juga kalau butuh hubungan biologis, ya baik sama pasangannya. Sifat aslinya adalah diluar kepentingan itu." ujar Amanda.

Rani menyeka lagi air matanya.

"Coba kalau dulu lo nggak buru-buru memutuskan menikah dan lo berkarier. Lo nggak akan sesusah sekarang, mana nyokap lo udah sakit-sakitan lagi."

"Makanya gue minta kerjaan sama lo, Man. Dulu gue sempet kerja sebentar. Gue pilih dirumah karena David yang nyuruh." ucap Rani.

"Gue pikir buat berbakti sama suami. Tapi ternyata dia selalu menuduh gue ngabisin duit dia. Padahal gue udah sehemat mungkin menekan pengeluaran tiap bulan." lanjutnya kemudian.

"Belum lagi emak dan saudara perempuannya ngerecokin rumah tangga lo melulu kan?" tanya Amanda.

"Ngatain lo menantu nggak guna, nggak kerja. Padahal anaknya sendiri yang nyuruh lo jadi ibu rumah tangga. Ipar lo juga dikit-dikit ngajakin lo berantem." imbuh wanita itu.

Rani mengangguk, semua itu memang benar adanya. Sebab ia selalu curhat pada amanda mengenai rumah tangganya selama ini.

Tak lama kemudian office girl datang dan membawakan minuman, serta susu ibu hamil yang tadi diminta oleh Amanda.

"Bu, ini yang ibu minta tadi." ujar office girl tersebut.

"Makasih ya, Tina." jawab Amanda.

"Sama-sama bu, permisi!"

"Nih lo minum dulu!"

Amanda menyerahkan segelas jus buah pada Rani, sesaat setelah office girl itu berlalu.

"Ini juga ada susu hamil buat lo." tukas wanita itu lagi.

Rani makin menangis.

"Dia kabur gitu aja, Man. Nggak ada kasih nafkah buat Rasya dan juga Rania, atau buat anaknya yang belum lahir ini. Bahkan susu aja gue nggak kebeli." ujarnya terisak.

"Udah, lo nggak usah nangis lagi!. Gue yang akan membiayai hidup lo selama lo hamil sampe melahirkan. Ntar kalau udah ngelahirin, anak lo udah umur 7 bulan atau setahun, lo bisa kerja disini." ucap Amanda.

"Ntar gue bayarin baby sitter buat lo selama satu tahun ke depan, terhitung hari pertama lo kerja. Tahun berikutnya lo bayar sendiri pakai gaji lo. Asal lo kerja bener, gue bisa kasih lo gaji tinggi." lanjutnya kemudian.

Rani kembali hendak menangis, namun kemudian Amanda memeluknya.

"Udah Ran, ada gue. Kasian anak lo kalau ibunya stress. Selama gue masih ada, lo dan anak lo nggak akan gue biarin kelaparan atau kekurangan."

"Makasih, Man. Lo temen yang selalu ada buat gue."

Amanda mengusap punggung Rani agar wanita itu menjadi lebih tenang.

***

Di sebuah Universitas.

"Lo kenapa dah, bro?" tanya Doni pada Arka yang tengah diam seolah memikirkan sesuatu. Disisi Doni ada Rio yang juga kini tengah memperhatikan Arka.

"Mikirin bapak gue." jawab Arka dengan suara pelan.

"Bapak lo masuk rumah sakit lagi?"

tanya Rio.

Arka mengangguk.

"Makin parah malah. Kalau gue punya duit banyak aja, udah gue cari siapa yang mau donor ginjal buat dia. Mana hutang nyokap gue banyak lagi, kerjaan sepi."

"Sabar, bro. Lo udah coba ikut casting lagi?"

tanya Rio

"Udah, tapi belum dapet. Tau sendiri siapa yang paling sering dapet castingan."

Arka melirik pada seseorang yang baru saja melintas.

"Iya sih. Dari manajemen kita, si Robert mulu yang dapet job." ujar Rio.

"Ada main kali dia sama manajer kita." celetuk Doni.

"Tau dari mana lo?" tanya Arka heran.

"Ya kali aja, siapa tau. Soalnya dia mulu yang di prioritaskan sama pak Jeremy. Kali aja ada udang dibalik tepung kanji." jawab Doni.

"Lengket dong." canda Rio.

"Yoi, lengket. Jaman sekarang mah apa juga dilakukan buat cepet tenar. Lawan jenis, sesama jenis juga diembat, biasalah." Doni sewot panjang lebar.

"Apa juga dilakukan ya, bro." tukas Rio.

"Eh, bro. Lo butuh duit banyak kan sekarang?” tanya Doni pada Arka.

"Iya." jawab Arka sambil menyalakan sebatang rokok.

"Kenapa lo nggak nyari petinggi production house aja, buat lo gebet. Biar lo dikasih job sekaligus duit." ujar Doni lagi.

"Kan petinggi PH rata-rata laki, bro." ujar Arka.

"Ya nggak apa-apa, jaman sekarang mah udah biasa kali."

"Heh gue bukan elo ya, yang depan-belakang oke."

Kali ini Arka sedikit tertawa, akibat ucapannya sendiri.

"Ya udah, lo cari tante aja." celetuk Rio.

"Gue setuju." Doni sepakat dengan Rio.

"Maksudnya, gue pacaran sama tante-tante gitu?" tanya Arka tak mengerti.

"Iya tapi yang tajir." ujar Doni kemudian.

Arka makin tertawa.

"Lo kan ganteng, bro. Atletis, tinggi, kulit lo rada coklat, muka lo semi Latin. Laku lo pasti." Rio bersemangat.

"Bisa-bisanya lo berdua sebagai temen ngasih solusi yang membagongkan model begitu." ujar Arka.

"Duitnya kenceng, bro." tukas Doni.

"Lo tau Luke, temen gue yang anak fakultas teknik?" lanjutnya lagi.

"Iya tau, yang pake tesla item kan?" tanya Arka.

"Nah iya, lo pikir itu tesla dapet dari mana?" Doni balik bertanya.

"Dari mana emang?" Arka mengerutkan dahi.

"Tantenya lah." jawab Doni.

"Dia di piara?" tanya Arka tak percaya.

"Lo pikir dia anak orang kaya?" Lagi-lagi Doni melempar balik pertanyaan.

"Maybe." jawab Arka.

"Kagak ege, sebelum itu orang tuanya kang gorengan. Abis itu dia ketemu itu si tante kaya-raya. Dibeliin apartemen, mobil gonta-ganti, duit ngalir terus. Sekarang orang tuanya buka usaha jual beli mobil bekas." ucap Doni.

"Gue nggak mau ah, ntar tantenya malah ngatur-ngatur hidup gue lagi. Gue masih bisa berusaha dengan cara lain."

"Lu mah sayang, bego." Rio menimpali.

"Ganteng begitu. Gue kalau jadi lo, gue cari tante paling kaya dan gue pacarin." lanjutnya lagi.

"Yoi, udah enak, dibayar lagi. Cuma belai-belai dia doang sama antar-jemput. Paling ekstrim ehem-ehem di ranjang. Itu juga enak." Doni menambahi.

Arka tertawa saja dengan tingkah kedua temannya itu.

***

Sementara di kantor, Amanda kini masih berbincang dengan Rani. Tak lama kemudian Nindya teman mereka yang sudah lama menetap di Australia pun datang.

Meski sejujurnya telah janjian sejak semalam, namun baik Amanda maupun Rani tetap bersemangat. Karena sudah bertahun-tahun tak saling bertemu dengan Nindya.

"Nindy."

Amanda dan Rani bersorak kegirangan ketika Nindya masuk. Mereka bertiga pun saling berpelukan. Suasana bertambah haru ketika Nindya ternyata membawa serta kedua anaknya, Michelle dan Harlen. Buah pernikahannya dengan lelaki asal Australia.

Mereka bertiga saling melepas rindu. Nindya juga sudah diberitahu perihal yang dialami oleh Rani, dan ia pun sangat bersimpati.

Setelah beberapa saat Rani akhirnya pamit terlebih dahulu, karena ia meninggalkan dua anaknya pada sang ibu yang sedang sakit-sakitan. Sementara itu kini Amanda dan Nindya melanjutkan obrolan sambil makan siang, di restoran yang berada di bawah kantornya.

"Lo nggak bercita-cita menikah, Man?" tanya Nindya pada Amanda.

Dengan santainya Amanda menggeleng sambil melahap makanannya.

"Buat apaan?. Lo nggak liat Rani tadi gimana?"

"Ya kan nggak semua cowok begitu, oneng?"

"Gimana gue bisa tau ada cowok baik. Yang namanya manusia itu kan kalau mau deketin orang ya, pasti baiknya aja yang ditunjukin. Mana ada cowok mau deketin kita terus dia ngomongin keburukannya, pasti dia bagus-bagusin dirinya lah. Pas terlanjur nikah, baru tau boroknya gimana."

"Ya lo perbaiki diri dan berdoa supaya dipertemukan dengan yang baik."

"Gue nggak mau challenge diri gue untuk sesuatu yang belum pasti, Nin. Apalagi masalah ikatan resmi secara hukum dan agama. Mau pisahnya nanti ribet, kalau zonk. Mesti ke pengadilan lah, sidang ini itu lah."

Nindya tertawa, sahabatnya itu masih tidak berubah sejak terakhir bertemu. Amanda belum juga mau merepotkan diri dengan urusan pernikahan, yang ia anggap tidak penting bagi hidupnya.

"Lo nggak kepengen ada penerus perusahaan lo?" tanya Nindya.

Kali ini Amanda terdiam, ia bahkan tak pernah terpikir sampai kesana.

"Lo kan anak tunggal, Man. Siapa lagi coba yang bakal ngurusin bisnis lo yang udah segede ini?"

Hati Amanda kini sedikit terusik.

"Gue mau sih punya anak. Yang gue nggak mau itu adalah pernikahan dan segala urusan keribetannya. Termasuk mertua dan ipar ribet kayak hidupnya Rani."

"Lo coba aja dulu cari. Kalau lo niatnya cari yang baik, niat itu bisa jadi doa loh. Siapa tau lo dapat yang baik, yang orang tuanya nggak ribet, kayak laki dan mertua gue."

"Iya deh, ntar gue pikirin lagi. Gue tuh males ada orang lain di ranjang gue, nggak bisa bebas tidur."

Nindya makin terkekeh, lalu mereka pun melanjutkan makan. Kebetulan anak-anak Nindya adalah anak-anak yang tenang dan tidak membuat pusing Amanda. Biasanya ketika melihat anak kecil yang nakal, ia selalu ingin kabur ketempat yang bisa membuatnya tenang.

***

WAJIB DIBACA SEBELUM LANJUT BAB BERIKUTNYA :

DALAM NOVEL INI AKAN ADA TOKOH MAUPUN JALAN CERITA YANG KALIAN SUKA MAUPUN TIDAK SUKA. Untuk bagian yang kalian tidak suka, TIDAK AKAN SAYA UBAH. MESKI BERBALUT "SARAN" JALAN CERITA SAYA TIDAK DAPAT DIGANGGU GUGAT OLEH PEMBACA MANAPUN.

Siapa pewarisnya

Amanda Marcelia Louis baru saja mendapat penghargaan sebagai pengusaha muda yang sukses dan menginspirasi di tahun ini. Setelah melewati tahun-tahun penuh perjuangan dalam merintis dan memberi lapangan pekerjaan bagi banyak karyawan.

Banyak media termasuk majalah bisnis yang meliput keberhasilan wanita itu. Amanda dengan sangat bangganya memberi pernyataan di depan awak media. Bahwa wanita tidak harus melulu di dapur, sumur, kasur dan menjalani kehidupan biasa. Wanita pun bisa menjadi luar biasa asal diberi kesempatan.

"Bu Amanda, apa pesan anda kepada seluruh wanita yang ada di negara ini?" tanya salah seorang wartawan lokal, ketika Amanda sudah berjalan meninggalkan panggung penghargaan dan hendak menuju ke luar gedung. Tempat dimana ajang tersebut berlangsung.

"Untuk seluruh wanita, ketika ada yang menghentikan langkah kalian, maka singkirkan penghambat itu. Kalian semua bisa sukses asal memiliki kemauan yang keras dan bertekad untuk tidak mau diatur oleh keadaan. Atau siapapun yang kalian rasa tidak berhak."

Amanda terus melangkah, berjalan di atas arogansi dan kebanggaannya sebagai pemenang. Pemenang atas hidupnya sendiri.

Disaat perempuan lain tengah sibuk dipusingkan oleh masalah rumah tangga, seperti kekerasan fisik maupun verbal, perselingkuhan suami dengan pelakor, serta drama ipar dan mertua. Amanda justru menjadi potret wanita masa kini yang pantang mengikuti alur.

Ia tidak pernah mau mengikuti peraturan yang biasanya dipaksakan bagi kaum wanita. Yakni lahir, sekolah tak perlu tinggi, pandai memasak, menikah dengan pilihan orang tua, hamil, diam dirumah mengurus anak. Kemudian menerima perlakuan sekitar tanpa bisa melawan, tua, lalu mati. Amanda membuat dunianya sendiri.

"Bu, bagaimana soal rencana pewaris perusahaan ibu nanti?. Bu Amanda kan sudah cukup berumur sekarang dan belum menikah."

Kali ini Amanda menghentikan langkah. Ia menatap tajam ke arah awak media yang melontarkan pertanyaan tersebut. Ia selalu heran pada kebiasaan manusia di negri ini, yang suka ikut campur urusan pribadi orang lain.

"Anda sekarang berbicara dengan wanita yang bahkan belum berusia 31 tahun. Yang usianya di atas saya tapi belum memiliki keturunan juga banyak. Jadi saya masih memiliki waktu untuk memikirkan hal tersebut. Lagipula itu ranah pribadi, kenapa pertanyaan seperti itu sampai masuk ke dalam daftar list pertanyaan yang anda buat. Bukankah itu tidak sopan?"

Awak media itu diam, sementara Amanda melanjutkan langkah dengan perasaan kesal. Ia masih tidak habis pikir pada orang yang tujuan hidupnya hanya untuk beranak pinak.

Padahal wanita dilahirkan dengan kapasitas dan kemampuan yang sama dengan pria. Setidaknya itulah yang ia pahami dalam benaknya selama ini.

"Bu, kenapa ibu diem aja?. Ada masalah?"

Pak Darwis, supir Amanda bertanya. Ketika mereka telah berada di dalam perjalanan pulang. Sebab sang supir tersebut memperhatikan raut wajah Amanda yang terlihat jengkel.

"Nggak pak, biasa aja." jawab Amanda.

"Ada awak media yang nanya-nanyain ranah pribadi saya. Soal nikah dan punya anak." lanjutnya lagi.

"Nggak usah di pikirin bu, orang kita ya emang begitu. Suka nanya kapan nikah, kapan punya anak. Sedangkan pernikahan mereka aja kadang nggak bahagia, anak-anak mereka nggak keurus." ucap pak Darwis.

"Ya begitulah pak, biasalah. Ntar juga sama media di tambah-tambahin itu omongan saya tadi, pasti heboh besok beritanya. Dibilang saya nggak mau nikah lah, nggak mau punya anak. Nanti pasti banyak yang nyinyir ke saya."

"Ya resiko jadi orang terkenal bu, istri saya yang orang biasa aja bisa jadi bahan ghibah tetangga. Apalagi ibu yang cukup dikenal dimana-mana."

Amanda tertawa kecil. Matanya kini tertuju pada kaca mobil, yang memperlihatkan bangunan kota dan mobil-mobil lain yang melintas.

Jujur sejak Nindya bicara soal siapa pewarisnya kelak, ditambah pertanyaan yang dilontarkan awak media tadi, Amanda jadi benar-benar kepikiran soal siapakah nanti yang akan menggantikannya.

Ia adalah anak tunggal dan hanya memiliki sedikit kerabat dekat. Itupun tinggalnya berjauhan.

Ia mau saja mengangkat anak dari panti asuhan. Tapi jika ia tidak memiliki anak kandung, maka garis keturunan keluarganya akan terputus. Mau tidak mau ia harus memiliki anak dari rahimnya sendiri.

Tetapi ia sendiri enggan menikah. Ia tak ingin terikat dengan siapapun dan dengan aturan apapun. Ia tidak ingin tunduk dan menurut pada orang lain. Apalagi seseorang itu baru saja hadir dalam hidupnya.

Dan lagipula hidupnya kini sangat tenang. Ia memiliki kebebasan finansial dan juga waktu banyak untuk memanjakan dirinya sendiri. Belum tentu pada saat menikah nanti, semua akan sama seperti ini.

Belum lagi jika mendapatkan suami yang merupakan hasil produk patriarki. Yang menganggap wanita itu adalah makhluk yang harus selalu tunduk dibawah perintahnya.

Menganggap wanita sebagai pajangan yang harus disimpan rapat-rapat, dan digunakan apabila ia membutuhkannya di ranjang. Bertugas hanya seputar dapur, sumur, dan kepuasan laki-laki semata.

Harus melayani laki-laki dan keluarga laki-laki. Sementara laki-laki terkadang tak menghormati keluarga perempuan. Begitulah yang sering ia lihat disekitarnya. Namun jika tidak menikah, bagaimana ia bisa memiliki anak.

***

"Surrogate Mother."

Keisha, salah satu mahasiswi Amanda di sebuah kampus memberi saran padanya. Ketika Amanda bercerita mengenai keinginannya untuk memiliki anak.

Amanda sendiri selain CEO sebuah perusahaan. Ia juga masih menjadi dosen pengajar, untuk mata kuliah Desain Komunikasi Visual disebuah universitas. Ia mengajar karena iseng dan ingin melihat suasana lain, selain kantornya.

"Sistem ibu pengganti gitu?. Berarti anak si laki-laki dan perempuan itu dong, bukan anak saya?" tanya Amanda.

"Bisa koq, sel telurnya tetep punya mbak Amanda." jawab mahasiswi itu.

"Itu gimana sistemnya?" Amanda penasaran

"Biasanya kan, kalau ibu pengganti itu kebanyakan disewa rahim dan juga sel telurnya. Untuk kemudian dibuahi oleh laki-laki yang ingin memiliki anak." ujar Keisha.

"Iya tau." tukas Amanda dengan tetap memperhatikan.

"Itu namanya Genetic surrogacy, yaitu sewa rahim dengan sel telurnya." ujar Keisha lagi.

"Oh, oke." Amanda manggut-manggut.

"Nah cara lain juga ada, mbak. Namanya Gestational surrogacy, yaitu sewa rahim aja.

"Gimana tuh?" tanya Amanda.

"Itu misalkan mbak Amanda mau punya anak, tapi nggak mau hamil. Jadi pake sistem bayi tabung atau vertilisasi in vitro gitu deh. Sel telur mbak Amanda sama benihnya pasangan diproses di tabung gitu." jawab Keisha.

"Iya, terus?" Amanda masih belum mendapat poin dari pembicaraan tersebut.

"Terus kalau udah jadi, dimasukkan ke rahim si ibu pengganti ini. Dia yang hamil, tapi anaknya tetep anak mbak Amanda dan pasangan. Cuma numpang berkembang doang di rahim ibu pengganti itu. Itu kalau mbak Amanda nya nggak mau hamil ya, tapi kalau mau dan rahim mbak sehat. Bayi itu bisa dikandung di rahimnya mbak Amanda sendiri."

"Oh ada ya sistem ribet kayak gitu?" Lagi-lagi Amanda bertanya.

"Mbak Amanda kemana aja?" tanya Keisha.

"Banyak loh artis-artis luar negri yang kayak gitu. Contohnya Nick Jonas sama Priyanka Chopra, Paris Hilton sama suaminya dan lain-lain. Mereka punya anak kandung, tapi dititip di rahim orang." lanjutnya kemudian.

Amanda pun menghela nafas.

"Saya nggak terlalu banyak paham sama dunia perkembangan biakkan. Saya aja nggak kepikiran selama ini." jawab wanita tersebut.

"Mending mbak Amanda cari aja dulu calon papanya, baru mikirin anak-anaknya." ujar Keisha.

Amanda tersenyum bahkan kini tertawa.

"Tapi selain itu ada nggak ya sistem lain yang lebih alami?"

"Mungkin ada mbak."

"Apa?"

"Mmm?"

Keisha berpikir.

***

"Nikah siri."

Rani menjawab pertanyaan Amanda ketika ia akhirnya pulang dari kampus, dan mengutarakan niatnya untuk memiliki bayi.

Sebab tadi di kampus Keisha gagal memberikan jawaban, atas pertanyaan terakhir yang ia lontarkan.

"Nikah siri?" tanya nya seraya mengerutkan dahi.

"Iya, kata lo kan nggak mau punya anak diluar nikah. Tapi lo juga nggak mau terlibat pernikahan yang sah secara hukum. Solusinya ya, nikah siri." jawab Rani.

"Lo tinggal nikah, hamil, melahirkan, abis itu minta cerai. Kalau laki lo nggak mau menceraikan, tinggal lo bikin kesel aja. Pasti lo diceraikan." imbuhnya lagi.

"Hahaha, gila lo ya. Otak lo nyampe aja kesitu."

Amanda memakan gorengan bakwan yang dibuat oleh Rani. Dari dulu Rani memang selalu iseng di dapur dan pasti ada saja yang ia buat.

"Ya iyalah, itu solusi paling simpel loh. Dari pada lo kumpul kebo. Lo bisa punya anak, laki lo juga nggak bisa nuntut gono-gini kalau lo cerai."

"Iya juga sih. Tapi masalahnya gue nggak punya calon." ucap Amanda.

"Ya cari dong, Man. Main aplikasi dating kek." ujar Rani.

"Kayak aplikasi MINDER gitu?. Atau Halloya?. Atau OKE jadian?" tanya Amanda lagi. Ia menyebut nama beberapa aplikasi dating yang saat ini tengah hits.

"Ya gitu deh, mau cari dimana lagi lo. Pasti nggak mau kan lo, nikah sama karyawan lo sendiri?" tukas Rani.

"Iyalah, kan mau cerai ujungnya. Kalau sama karyawan gue, ntar abis cerai ketemu mulu dan jadi canggung." jawab Amanda.

"Lagian bakalan jadi nggak enak juga sama karyawan lain, kalau mereka tau gue menikahi satu diantara mereka. Ntar gue baik dikit ke laki gue karena dia berprestasi, dibilang gue nepotisme." lanjutnya kemudian.

"Nah makanya, lo download aja itu aplikasi." ujar Rani lagi.

***

Di salah satu ruangan kampus, masih dihari yang sama.

"Kamu udah telat bayar uang semester beberapa hari, Arka."

Seorang wanita tampak berujar pada Arka.

"Tolonglah bu, kasih saya kesempatan. Saya lagi ngumpulin uang juga." jawab Arka.

"Emangnya kamu nggak kerja?. Bukannya sering wara-wiri di iklan."

"Itu honornya udah dibayar lama, bu. Bukan kontrak selama iklan masih tayang."

Wanita itu tampak menghela nafas dalam-dalam.

"Saya itu udah sering loh kasih kamu keringanan. Beberapa semester belakangan ini kamu selalu bermasalah dalam hal pembayaran. Kampus lain otomatis cuti kalau nggak bayar, disini doang kamu bisa mengajukan permohonan. Makanya kuliah itu sesuai kantong orang tuamu aja. Nggak mampu koq maksa kuliah di kampus yang nggak terjangkau."

Arka tersentak mendengar ucapan dosen yang merangkap staf administrasi di kampusnya tersebut. Ia tak menyangka seorang yang terpelajar bisa berbicara hal seperti itu.

"Bukannya pendidikan adalah hak setiap warga negara?" tanya Arka seraya menatap dalam ke mata sang dosen.

"Dan tau diri adalah keharusan semua manusia." jawab dosennya itu dengan nada ketus.

Arka makin terdiam mendengar hal tersebut. Jika bukan karena kesabarannya yang tinggi, dan ia tidak ingat siapa yang sedang dihadapinya. Ia sudah menonjok wajah manusia itu.

"Sudah sana keluar!"

Arka melangkah keluar dengan kemarahan yang tertahan. Ingin rasanya ia berteriak namun takut mengundang perhatian.

***

"Erwin, 35 tahun."

"Klik."

"Wah Match."

Amanda mengklik suka kepada beberapa orang di sebuah aplikasi dating yang telah ia download. Dan ternyata klik tersebut pun match dengan orang yang ia pilih. Orang tersebut ternyata telah terlebih dahulu mengklik suka pada akun Amanda.

"Erwin, Bima, Fajri, Doni, Miko."

Amanda mendapatkan banyak Match. Beberapa diantara mereka langsung mengirimkan chat pada Amanda, Amanda pun segera membalas.

Karena saat ini ia sudah sangat kepikiran soal ahli waris. Ia ingin mencari laki-laki yang mau menikahinya secara siri dan memberinya anak dengan segera.

Hari pertama ia janji bertemu dengan Erwin. Di bio-nya tertulis, jika Erwin adalah seorang laki-laki yang sukses sebagai pialang saham.

Fotonya banyak berdiri di samping mobil sport, diantaranya Ferrari dan juga Lamborghini. Tipikal laki-laki yang suka pamer menurut pandangan mata Amanda.

Sebenarnya Amanda tidak terlalu menyukai tipe laki-laki yang seperti itu. Namun Nindya berkata, tak kenal makan kenalan lah. Agar kita mengetahui lebih dalam tentang pribadi orang yang dimaksud.

Karena apa yang kadang terlihat di sosial media dan apapun persepsi yang kita bangun mengenai hal tersebut, belum tentu begitu kenyataannya.

Amanda menunggu Erwin di sebuah kafe. Ia mengenakan simpel dress di atas lutut, dengan belahan dada agak rendah. Tak lama kemudian Erwin pun tiba.

Ketika sampai, tanpa basa-basi ia segera mencium pipi Amanda dari belakang. Amanda pun terkejut dan tergolong bengong.

"Hai." ujar Erwin kemudian.

Amanda memperhatikan Erwin, rasa emosinya saat dicium tadi masih memuncak. Ingin rasanya ia menyiramkan kopi panas ke wajah Erwin. Namun ia adalah wanita dewasa dan juga seorang CEO yang cukup terkenal.

Ia tidak ingin reputasinya hancur hanya karena masalah seperti ini. Ditambah sekarang ini banyak orang yang asal rekam kejadian dan asal memberi caption. Publik bisa saja salah persepsi dan justru malah Amanda yang mendapatkan masalah.

Amanda lalu memaksakan sebuah senyum kepada Erwin, meski hatinya begitu meluap-luap rasanya.

Erwin sendiri adalah tipikal eksekutif yang cukup arogan. Terlihat dari caranya berbicara serta menjelaskan sesuatu di sepanjang percakapan.

Ia selalu bersikap sok paling tau segalanya, apalagi saat membicarakan bisnis. Amanda yang juga memiliki sifat keras, merasa tak cocok dengan tipe laki-laki seperti itu.

"Bagaimana, apa kita akan lanjut ketemu?" tanya Erwin ketika mereka melanjutkan obrolan di dalam mobil, dan berjalan-jalan mengitari kota Jakarta.

Sejujurnya sudah sejak didalam kafe tadi, Amanda ingin menyudahi semua ini. Ia memberitahukan segalanya pada Rani, mengenai betapa menyebalkan sosok Erwin. Tetapi Rani bilang coba lagi saja, jangan menyerah dulu.

Amanda pun akhirnya menuruti ucapan sahabatnya itu, ia mau saja saat Erwin mengajaknya berjalan-jalan dengan Aston Martin miliknya.

"I don’t know." jawab Amanda.

"Loh kenapa?"

Tangan kiri Erwin mulai mengelus-elus paha Amanda. Amanda yang terkejut itu pun langsung menepisnya.

"Kenapa sih, sayang?" tanya Erwin seakan heran.

Pria itu menghentikan mobilnya, lalu secara serta merta memaksa hendak mencium bibir Amanda. Amanda pun memberontak dan,

"Buuuk."

Satu tonjokan keras mengenai mata Erwin.

"Aaaakh." Erwin mengeluh kesakitan.

Amanda lalu keluar dari mobil pria tersebut dan membanting pintu. Ia pun buru-buru menghubungi Rani.

"Gue nggak mau sama ini laki-laki." ujarnya.

"Loh kenapa?" tanya Rani heran.

"Belum apa-apa udah kurang ajar, jijik gue. Dia pikir gue ini cabe-cabean yang silau ngeliat harta dia. Yang mau-maunya aja diapain sama cowok kayak dia, demi dikasih duit dan naik mobil mewah. Gue punya duit dan mobil mewah sendiri, anjir."

Amanda kemudian dijemput oleh supirnya. Ia sudah tidak tau dimana Erwin berada kini. Butuh tujuh hari bagi Rani dan juga Nindya untuk membujuk Amanda, agar mau berkencan lagi dengan pria lain. Mereka tak ingin usaha Amanda kali ini sia-sia.

Amanda pun lanjut bertemu dengan Bima. Mereka janjian di kafe yang sama, karena Amanda malas mencari tempat lain. Ia bertekad tak mau lagi, jika diajak berjalan-jalan dengan menggunakan mobil. Ia hanya ingin didalam kafe itu saja.

"Ya nggak mau. Pokoknya kalau nikah sama aku, kamu harus berhenti kerja. Kalau kamu kerja, nanti siapa yang ngurus aku dan anak-anak?. Yang masak dan beresin rumah siapa?. Percuma dong aku nikahin pake biaya mahal, kalau istri nggak bisa ngurus segala keperluan aku dan anak-anak. Rugi udah keluarin uang."

"Jadi menurut kamu perempuan itu kamu nikahi, sama aja kayak kamu beli?" tanya Amanda.

"Ya, emang menikah itu untuk membeli orang yang bisa ngurus keperluan kita kan?"

Amanda pura-pura ke toilet, ketika akhirnya mereka beradu argumen soal wanita yang bekerja setelah menikah. Ia lalu pergi meninggalkan Bima dan memblokir nomornya di kontak.

"Lo kenapa lagi?" Kali ini Nindya yang bertanya, di dalam conference call bersama Rani.

"Ya belum apa-apa udah ngatur gue dan maksa minta berhenti kerja. Enak aja, emang dia tau rasanya membangun perusahaan itu lelahnya kayak apa." ujar Amanda.

"Dia bilang rugi nikahin dan keluar biaya, kalau perempuannya nggak bisa ngurus dia di rumah. Cari aja babu, nggak usah cari istri. Kalau ujungnya istri dijadikan asisten rumah tangga." lanjutnya kemudian.

Amanda berkata dengan emosi yang meluap-luap. Sementara baik Nindya dan Rani masih fokus mendengarkan.

"Cowok patriarki gitu muak banget gue ngeliatnya, dari awal chat udah ngatur-ngatur gue. Kenapa belum pulang jam segini, perempuan nggak baik jam segini masih diluar. Padahal gue didalam kantor bukan diluar, dan itu posisi abis meeting." geruutunya.

"Belum lagi dikit-dikit minta fotoin gue sama siapa aja. Ngeliat ada karyawan laki laki duduk deket gue, langsung ngamuk. Pengen banget gue sleding kepalanya."

"Ya udah cari yang lain, jangan yang kayak gitu." ujar Nindya.

***

"Pokoknya kalau nikah nanti, kita tinggal dirumah orang tua aku. Supaya aku bisa berbakti sama ibuku."

Fajri, sang pengusaha saffron yang ditemui Amanda dihari berikutnya. Memberikan syarat jika Amanda ingin menikah dengannya.

Yakni, ia tidak ingin tinggal terpisah dari sang ibu. Amanda belum mengatakan jika ia hanya ingin menikah siri dan belum resmi.

"Aku mau tanya, ibu kamu usianya berapa?" tanya Amanda.

"60 tahun." jawab Fajri.

"Ibu kamu dalam keadaan sakit?" tanya nya lagi.

"Kamu nyumpahin ibu aku?" Fajri mendadak emosi.

"Bedakan antara pertanyaan dan menyumpahi." ujar Amanda seraya menahan kesal.

"Nggak koq, masih sehat banget. Masih ikut arisan sana-sini, masih jalan-jalan naik motor, nyetir mobil sendiri." jawab Fajri.

"Aku itu tipikal orang yang mau ngurus orang tua. Tapi ketika orang tua itu memang sudah tidak memungkinkan lagi untuk tinggal sendiri. Aku cuma nggak mau tinggal di rumah mertua." ujar Amanda.

"Ya nggak bisa gitu dong. Gimana mau berbakti sama ibu aku, kalau kita nggak tinggal di sana. Saudara aku aja 5 orang udah menikah semua, masih tinggal sama-sama dengan ibu."

"Fajri, itu namanya nyusahin bukan berbakti. Kalau sudah menikah itu sebaiknya mencari tempat tinggal sendiri. Untuk meminimalisir salah paham atau pertengkaran, antara mertua, menantu dan juga ipar."

"Lagian ngapain kamu mau bertengkar sama ibu aku dan ipar kamu?. Belum apa-apa udah mau bertengkar. Posisi kamu itu istri, harus nurut sama suami."

Kencangnya suara Fajri, membuat pengunjung kafe agaknya salah paham. Mereka mengira Fajri dan Amanda memanglah suami istri yang saat ini tengah bertengkar.

"Bukan itu."

"Terus kenapa nggak mau tinggal sama orang tua aku?"

"Iya gue nggak mau, bodo amat."

Amanda sudah lelah menjelaskan, ia membiarkan saja semua anggapan itu terjadi.

"Ya udah kalau kamu nggak mau. Perempuan kayak kamu itu, yang suka memisahkan anak dari keluarganya."

"Laki-laki kayak lo, goblok." ujar Amanda.

Fajri beranjak. Namun sebelum ia bergerak, Amanda sudah mendahuluinya. Ia kini menelepon Rani dan Nindya.

"Skip, yang ini maunya di ketek emaknya mulu. Mau nikah siri aja ribet, anjir."

Hari-hari berikutnya, Amanda bertemu dengan beberapa orang lagi yang ia kenal melalui aplikasi dating.

Namun seperti hari-hari sebelumnya ia tetap tidak menemukan orang yang sesuai kriteria, seperti yang ia mau.

Hingga suatu ketika, saat ia sudah mulai kelelahan mencari. Ada satu nama lagi dalam daftarnya yang belum ia temui.

Ya, Doni. Pemuda yang tidak menyebutkan berapa usia dan apa pekerjaannya itu, membuat Amanda cukup malas untuk bertemu. Namun ia dipaksa oleh Rani maupun Nindya.

"Iya-iya, ini gue temui." ujar Amanda dengan nada malas di telepon. Ia berbicara pada Nindya dan juga Rani.

Kali ini ia tidak menemui calon suaminya di kafe. Karena Doni memintanya bertemu di sebuah kampus. Mungkin dia dosen, pikir Amanda.

Akhirnya Amanda pun tiba, dari jauh Doni melambaikan tangan. Karena sepertinya ia mengenali wajah Amanda, yang sama persis cantiknya seperti di foto.

Sementara Amanda sendiri tak begitu jelas melihat wajah Doni, karena Doni berada di dalam kantin kampus. Kaca dari luar kantin tersebut agak buram karena debu.

Amanda terus melangkah mendekat ke arah Doni. Namun kemudian, tiba-tiba di sisi sebelah ada seorang mahasiswi yang sedang dirundung oleh mahasiswi lainnya.

Tak lama kemudian seorang pemuda tampan, bertubuh tinggi dengan wajah semi Latin, serta kulit sedikit coklat muncul. Lalu ia membela gadis yang tengah dirundung tersebut.

Langkah Amanda terhenti melihat makhluk bertubuh sexy, yang memiliki hati bak malaikat itu. Tak lama kemudian ia pun berbisik pada supirnya.

"Cari tau tentang dia, kemungkinan dia dosen disini. Dan jangan lupa tanyakan berapa yang dia mau, usahakan dia harus mau."

Supirnya mengangguk. Amanda tersenyum, ia lalu berbalik menuju ke arah mobilnya. Kemudian ia menelepon Nindya.

"Gue udah mendapatkan apa yang gue cari." ujarnya masih sambil tersenyum.

Mendekati Arka

"Namanya Keenan Arka Adrian, dia seorang aktor, model. Pernah membintangi beberapa iklan, FTV, aktif di fashion show, dan photo shoot beberapa majalah."

Amanda mendengarkan secara seksama, penjelasan seorang asisten rumah tangga yang tengah bertugas di penthouse-nya.

"Itu informasi dari pak Darwis?" tanya Amanda dengan menyinggung perihal peranan sang supir.

Belakangan pak Darwis ditugaskan Amanda, untuk mencari informasi tentang pemuda yang dilihatnya tempo hari.

"Iya." Asisten rumah tangga tersebut menjawab.

"Oke, lanjut!"

"Berasal dari keluarga biasa saja, tinggal di lingkungan yang biasa saja. Pernah sekolah di sekolah yang biasa saja, tidak tau apakah memiliki darah Latin atau tidak. Tinggi sekitar 182 cm, bertubuh atletis, status mahasiswa."

"Wait, mahasiswa?" tanya Amanda tak percaya.

"Bukannya dia dosen ya?" lanjutnya lagi.

"Disini tulisannya mahasiswa, bu."

"Nggak salah liat?" Amanda memastikan.

"Nggak, beneran mahasiswa. Nih, mahasiswa."

Asisten rumah tangga tersebut menunjukkan tulisan yang tertera di catatan pada Amanda.

"Usianya?" tanya Amanda.

"Sekitar 21 tahun, bentar lagi sih."

"Hah?. Berapa?"

"Hampir dua puluh satu tahuuun."

Asisten rumah tangga tersebut berkata dengan nada keras dan panjang, lantaran mengira jika Amanda budek. Padahal majikannya tersebut hanya terkejut mendengar semua itu.

***

"Aduh gimana ini?"

Amanda mondar-mandir di hadapan Rani dan juga Nindya, beberapa jam setelah mendengar penjelasan dari asisten rumah tangganya. Wajah wanita itu tampak cemas dan juga bingung.

"Ya udah sih, embat aja."

Nindya memberikan saran paling simpel sejagat raya.

"Ih, jangan!" Rani berbeda pendapat.

"Masih muda banget, di umur segitu cowok mana bisa di percaya. Masih bocah dan pasti masih labil." lanjutnya lagi.

"Ran, Amanda itu lagi bukan mau cari suami beneran. Tapi suami sewaan yang bisa bikin dia bun to the ting, alias tekdung."

Nindya membuat gerakan setengah lingkaran di perutnya.

"Jadi ini tuh beneran?. Amanda cuma mau cari cowok yang bisa menghamili dia doang?" tanya Rani.

Amanda dan Nindya mengangguk sambil melebarkan bibir.

"Gila ya kalian. Kasihan tau anak yang bakal lahir nanti, nggak ada bapaknya."

Amanda dan Nindya saling bertatapan, lalu sama-sama menghela nafas.

"Ran, yang kasihan itu kalau si anak lahir dalam kondisi emaknya miskin, dan bapaknya ghosting. Nah ini temen lu si Amanda kan CEO, kaya raya. Mau bapaknya tuh anak kagak ada sekalipun, anaknya nggak bakalan kelaparan." ujar Nindya diikuti senyum Amanda.

"Ya tapi kan, anak juga butuh sosok ayah. Nggak sekedar butuh materi doang." Rani membela diri.

"Ya bapaknya masih boleh, kalau mau berkunjung ke anaknya. Amanda nggak akan ngelarang koq. Iya kan Man?" Nindya memastikan.

Amanda mengangguk.

"Tapi kan, lebih enak gitu kalau punya suami. Bisa berkeluh kesah, manja-manja." ujar Rani lagi.

"Pernikahan lo sendiri gimana?"

Kali ini Amanda bertanya, Rani jadi agak terdiam seketika.

"Iya sih, tapi kan Nindya suaminya baik. Ada contoh."

Lagi-lagi Amanda dan Nindya menghela nafas.

"Ran, gue itu nggak mau berumah tangga dalam arti sebenarnya. Satu, karena gue ngerasa itu nggak terlalu perlu. Dua, gue males jadi banyak kewajiban yang harus gue kerjakan. Terutama kewajiban dengerin bacot ipar dan juga mertua. Lagian kan lo sendiri yang awalnya menyarankan gue untuk nikah siri."

"Kan gue bercanda doang, Amanda. Kalau bisa nikah resmi kenapa harus siri?" tukas Rani.

Nindya dan Amanda tersenyum bahkan mereka tertawa kecil.

"Lo hargai aja keinginan Amanda, Ran. Lagipula prinsip dan pandangan hidup masing-masing orang itu kan berbeda-beda. Masih untung Amanda mau menikah siri. Diluar sana banyak yang punya anak, bahkan nggak menikah sama sekali."

Rani hanya diam, ia tak berani membantah apalagi menceramahi Amanda soal pernikahan. Karena pernikahan dirinya sendiri kandas, plus mantan suaminya yang ghosting dan tak memberi nafkah pada anak.

***

Di suatu tempat.

"Ya udah deh, Ka. Gue balik ya."

Rio berpamitan pada Arka, ketika urusan di kampus hari itu telah berakhir. Mereka berpisah di parkiran. Rio menuju mobilnya, sementara Arka kini berjalan ke arah halte bus yang ada di luar.

"Arka?"

Seorang wanita berpakaian rapi menghentikan langkah Arka, yang sedikit lagi sampai ke halte bus.

"Maaf, siapa ya?" tanya Arka kemudian.

Ia memperhatikan orang tersebut sambil mencoba mengenali.

"Saya Liana. Saya orang kepercayaan dari ibu Amanda Marcelia." jawab orang tersebut.

"Amanda Marcelia?. Siapa itu?" tanya Arka heran.

"Nanti juga kamu akan tau."

"Maksudnya?" Arka makin tak mengerti.

"Kamu sedang butuh uang kan?. Untuk menyelesaikan segala masalah yang terjadi di hidup kamu dan keluargamu?"

Arka sedikit terdiam lalu mengerutkan dahi.

"Iya, tapi apa hubungannya?. Anda ini siapa?. Amanda itu siapa?.

Pemuda itu benar-benar bingung.

"Atau kalian pemilik aplikasi pinjaman online ilegal?" tiba-tiba saja ia berspekulasi demikian.

"Kalau iya, saya nggak berminat. Soalnya debt collector kalian suka barbar dan sebar data, kalau telat bayar." lanjutnya lagi.

"Amanda itu adalah wanita yang bisa menyelesaikan semua masalah keuangan kamu. Kamu cukup bertemu dia hari ini. Apa kamu punya waktu?"

Arka merasa ini begitu aneh, mendadak ia menjadi penuh curiga kepada wanita bernama Liana itu.

"Ini sebenernya kenapa sih?. Maksudnya apa?. To the point aja." ujar Arka.

"Bu Amanda ingin kamu menikah siri sama dia."

Arka kembali mengernyitkan dahi.

"What, menikah siri?" tanya nya kemudian. Ia kaget mendengar semua itu.

"Iya, kamu cukup menikahi dia secara siri, memberikan dia kehamilan dan menunggu sampai dia melahirkan. Setelah itu kamu mau minta bayaran berapapun, dia akan kasih."

"Apa-apaan sih?"

Arka masih tak mengerti dengan ucapan Liana. Ia makin menganggap wanita itu sebagai orang aneh.

"Oh ya lupa, ada uang mukanya koq. Sebesar 100 juta." ujar Liana.

Kali ini Arka menghela nafas.

"Mbak, saya memang sedang berada dalam masalah yang serius. Tapi saya tidak punya waktu untuk berbicara dengan orang asing, dan membicarakan hal yang tidak masuk diakal seperti ini. Jangan jadikan masalah hidup orang sebagai bahan candaan."

Arka kemudian berlalu dan meninggalkan Liana menuju halte bus.

***

"Apa?. Dia menolak?."

Amanda tak percaya pada apa yang diucapkan oleh Liana. Liana sendiri merupakan asisten pribadi Amanda yang selalu menyiapkan segala keperluannya, baik di kantor maupun diluar.

"Dia langsung pergi begitu saja, bu. Padahal saya sudah mengatakan semua yang ibu suruh katakan." jawab Liana.

"Aneh, kenapa dia nggak mau ya?. Dia kan sedang butuh uang, salahnya dimana coba?" gumam Amanda.

"Salahnya adalah, lo langsung menyuruh Liana untuk menyampaikan maksud secara gamblang. Nggak ada basa-basinya sama sekali."

Rani membeberkan pendapatnya di hadapan Amanda dan juga Nindya. Saat mereka tengah mengunjungi penthouse milik Amanda dan membahas hal mengenai Arka. Saat itu sudah beberapa jam berlalu, setelah Amanda bertemu dengan Liana.

"Maksud lo, harus pelan-pelan gitu?" tanya Amanda pada sang sahabat.

"Ya iyalah, orang juga kaget kali lo gituin. Apalagi dia cowok, biasanya mereka tuh harga diri dan gengsinya tinggi. Udah deh, mending lo cari cowok yang bener aja. Yang usianya dewasa, jauh di atas lo. Pasti dia mau serius."

Rani memberikan pendapatnya.

"Ran, ini cuma masalah waktu aja. Menurut gue nggak apa-apa kalau Amanda langsung to the point sama si Arka ini. Biar si Arka berfikir, ini kesempatan mau dia ambil atau nggak." ujar Nindya.

"Lagian kenapa sih lo, kayak takut banget kalau Amanda sama cowok yang lebih muda dari dia. Daripada sama yang lebih tua, ntar yang ada Amanda malah di atur-atur." lanjutnya lagi.

"Ya tapi kan setidaknya kalau udah dewasa bisa lebih serius, Nin."

"Nggak ada yang bisa menjamin semua itu. Yang umur dewasa tapi kelakuan kayak bocil SMP banyak."

Rani dan Nindya terus berdebat. Sementara kini Amanda menyeruput kopinya, sambil melihat ke arah kaca penthouse. Ia tak menyangka perkara ingin memiliki anak saja, masalahnya bisa serumit ini.

***

"Gila, masa ada cewek yang nawar gue dan ngajakin nikah siri."

Arka conference call bersama Rio dan juga Doni, ketika ia sudah sampai dirumah.

"Tante-tante, bro?" tanya Rio antusias.

"Nggak tau tante-tante atau masih muda, atau istri orang. Gue nggak sempet nanya." jawab Arka.

"Lah, lo tadi tau dari mana kalau bukan dari orangnya langsung?. Masa lo nggak ngeliat muka dan tampangnya kayak apa?" Lagi-lagi Rio berkata.

"Dia kayak nyuruh orang kepercayaannya gitu, buat ngomong ke gue. Bukan orangnya langsung." jawab Arka.

"Nah, dia tau elo dari mana?" tanya Doni penasaran.

"Ya mana gue tau juga."

"Lo main dating APP kayak gitu nggak sih?" lanjut Doni.

"Kagak, mana ada gue main begituan. Yang ada di gampar sama cewek gue."

"Oh lo masih sama Maureen?" Kali ini Rio yang bertanya.

"Masih lah." jawab Arka lalu menyeruput kopinya, yang ia buat sebelum menelepon.

"Kalau misalkan si tante itu masih ngebet sama lo, lo mau nggak ninggalin Maureen?" lanjut Rio lagi.

"Gila lo ya." Arka berujar sambil tertawa.

"Dih kalau dibayar mah nggak apa-apa kali, bro." Doni mengeluarkan saran terbangsatnya.

"Dari pada lo bayarin kencan mulu tiap jalan sama Maureen. Mending sekali-kali dibayarin. Iya nggak, Ri?"

"Yoi."

Rio mendukung ucapan Doni.

"Sesat lo berdua." ujar Arka masih terus tertawa.

"Emang si cewek itu tadi menjanjikan lo berapa?" tanya Rio.

"Apanya?"

"Bayaran, ege. Kalau lo mau nikah sama dia, dia berani bayar berapa?"

"Mana gue tau. Tadi dia cuma bilang kalau gue bisa minta sebanyak yang gue mau, kalau tugas gue udah selesai."

"Tugas apaan emangnya?" tanya Doni penasaran.

"Menghamili itu cewek dan nungguin sampe dia melahirkan." jawab Arka.

"Hah?"

Doni dan Rio terperangah.

"Enak dong." seloroh Doni kemudian.

"Bangsat lo." Arka dan Rio tertawa.

"Ya enak, bego. Maju-mundur ah-ah doang, abis itu dapet duit. Udalah di enakin, di nafkahin lagi. Kurang apa tuh?"

"Iya juga ya." Rio mulai berfikir.

"Gue juga mau kalau ada yang ngajak gue begitu." lanjut pemuda itu lagi.

"Kenapa sih lo nggak mau, Ka?" tanya Doni penasaran.

"Ya nggak mau lah. Gue aja kagak tau tuh cewek bentukannya gimana, statusnya apa. Kalau bini sah orang gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Kalau bini sah orang dan ketahuan, ya lo bakal dilabrak sama lakinya."

Celetukan Rio tersebut sukses membuat mereka semua kembali tertawa.

"Abis itu viral deh." Doni menimpali.

"Iya, abis viral langsung tawaran job gue meningkat. Di undang ke banyak acara TV, podcast YouTube, ye kan?. Tapi emak gue malu." ujar Arka dengan nada setengah tertawa.

"Jaman sekarang ng penting duit, Ka." ujar Doni diikuti tawa Rio.

Arka pun hanya bisa senyum-senyum sendiri, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

***

"Arka, tunggu!"

Seseorang menahan laju Arka, ketika ia hendak masuk ke dalam kampus. Ini terjadi pada hari berikutnya.

"Lo lagi?"

Arka melihat perempuan yang kemarin, kini berada tepat di depan matanya.

"Masih inget saya kan?. Saya Liana dan saya."

"Orang kepercayaannya ibu Amanda."

Arka meneruskan ucapan Liana, sebelum Liana sendiri melanjutkan kata-katanya.

"Iya dan..."

"Dan kamu datang kesini atas suruhan ibu Amanda, untuk meminta saya menikah siri sama dia. Iya kan?"

"Eee, iya. Tugasnya...."

"Menghamili ibu Amanda dan menunggu dia sampai melahirkan." ujar Arka lagi.

"Eee, benar. Hehe."

Liana membetulkan kacamatanya, sambil terus menatap Arka yang kini mulai gerah.

"Bilang sama ibu Amanda, kalau saya nggak mau. Oke?"

Arka melanjutkan langkahnya, namun Liana tak menyerah begitu saja.

"Arka, ibu Amanda bilang, dia bisa kasih kamu apa aja yang kamu minta. Termasuk membelikan kamu mobil mewah. Dari pada kamu naik bus terus, ntar kamu cepat tua karena terkena debu dan polusi. Bisa jadi jelek loh nanti."

Kali ini Arka menoleh. Ia menatap Liana dengan tatapan yang tajam.

"Sekali lagi anda bicara, saya tidak segan-segan untuk mematahkan leher anda, mbak Liana. Bilang sama bos anda, bahwa sebanyak apapun uang yang dia miliki. Dia nggak akan pernah bisa membeli saya, camkan itu!"

Arka kembali melangkah, kali ini Liana hanya terpaku ditempatnya. Karena ia takut terjadi kekerasan terhadap dirinya, jika ia terus mengejar pemuda itu.

***

"Belagu banget sih itu anak, pake acara jual mahal segala lagi."

Amanda menggerutu di dalam ruangan penthouse-nya yang baru dibersihkan. Sementara Liana hanya diam tertunduk dihadapan bosnya itu. Liana merasa tak enak, karena telah gagal menjalankan misi untuk yang kedua kalinya.

"Maaf bu, saya sudah berusaha. Saya sudah katakan semua yang ibu suruh katakan ke dia." ujar Liana.

"Ya sudah sana!" Amanda memerintahkan perempuan itu untuk pergi.

"Besok saya kerja begitu lagi, bu?" tanya Liana.

"Besok libur." jawab Amanda.

Liana baru saja hendak selebrasi akibat kegirangan demi mendengar hal tersebut. Namun ia melihat masih banyaknya kekesalan yang terdapat di wajah Amanda. Ia pun mengurungkan niatnya lalu berbalik arah.

"Permisi bu." ujarnya kemudian.

Liana pun lalu meninggalkan Amanda yang masih berada dalam keadaan kesal.

***

"Mas Arka."

Rianti sepupu Arka datang dan menarik Arka. Ketika Arka baru saja hendak mendekati ibunya, yang tengah berjualan pada sebuah kios di pasar tradisional.

Ibunya tersebut tampak tengah sibuk meladeni pembeli, hingga tak menyadari kehadiran Arka.

"Ada apaan, Ti?" tanya Arka kemudian.

"Mas Arka mau minta uang buat bayar kuliah kan?"

Rianti seolah tahu maksud kedatangan Arka kali ini.

"Mmm, sebenernya iya Ti. Mas belum dapat uang lagi, sedangkan kampus udah mendesak mas untuk bayar." jawab Arka.

"Mas, uang ibu buat mas Arka itu udah ada. Tapi tadi..."

Suara Rianti seolah tercekat di tenggorokan.

"Kenapa Ti?" tanya Arka cemas.

Ia melirik sekilas ke arah ibunya yang masih sibuk melayani pembeli, lalu kembali menatap Rianti.

"Tadi rentenirnya nagih, mas. Ibu dimaki-maki depan orang banyak. Ibu bersikukuh bilang nggak ada uang, demi buat mas Arka."

Arka pun terdiam, hatinya kini hancur mendengar hal tersebut.

"Ibu nangis, mas. Rianti bukan mau ikut campur, Rianti ini hanya sepupu mas dari sebelah papanya mas. Tapi Rianti nggak tega liat ibu di hina begitu. Apa nggak lebih baik, uang kuliah mas Arka buat ibu cicil hutang dulu. Mas Arka berusaha lagi cari uang di luar sana."

Arka makin terdiam. Akhir-akhir ini ia sering merasa dirinya tak berguna, karena tidak menghasilkan uang. Jangankan membantu ibunya, untuk dirinya sendiri saja kadang ia kebingungan.

"Arka."

Tiba-tiba ibunya memanggil. Arka dan Rianti pura-pura tak terjadi apa-apa. Mereka mendekat ke arah ibu Arka dan menyapanya dengan senyuman.

"Kamu udah makan, nak?" tanya sang ibu kemudian.

"Udah bu, tadi di kampus." jawab Arka.

"Oh ya, Ibu sudah punya uang buat kuliah kamu."

Arka menatap Rianti, ibunya hendak mengeluarkan dompet.

"Bu, Arka udah dapet uangnya. Ini buat ibu aja."

Arka berpura-pura di depan wanita itu, ia tak ingin menyusahkan ibunya lebih jauh lagi.

"Beneran, Arka?" Ibunya tak percaya.

"Iya bu, bener. Arka udah bayarin ke pihak kampus." jawab Arka.

"Dapat uang dari mana kamu, nak?" tanya ibunya lagi.

Kali ini Arka agak gelagapan.

"Mmm, dari kontrak iklan bu. Arka dapat tawaran iklan lagi, tapi Arka minta bayarnya di muka."

Ibunya terlihat bernafas lega.

"Ibu senang sekali, Arka. Akhirnya kamu dapat tawaran kerja lagi setelah sekian lama. Ibu lega rasanya nak. Cukup untuk kamu aja udah syukur sekali."

Arka memaksakan sebuah senyum palsu, sementara Rianti mendukung kebohongan Arka."

"Iya bu." ujarnya kemudian.

"Tapi ini kalau kamu perlu untuk hal lain, kamu ambil aja uang ini nak."

"Nggak usah bu, buat ibu bayar hutang aja. Nanti Arka cariin tambahannya, Arka janji."

Mata ibunya berkaca-kaca menahan tangis. Lalu ia pun memeluk Arka. Arka yang sudah terlanjur larut dalam kebohongan itu, mau tidak mau akhirnya membalas pelukan ibunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!