Di suatu pagi yang indah, Iva berlari dengan cepat ketika melihat gerbang sekolah hampir tertutup sempurna. Pagi ini ia bangun ke siangan seperti biasa, namun kali ini lebih sial baginya. Karena hari ini OSIS sedang bertugas melakukan razia, bagi murid yang tidak mematuhi peraturan sekolah Maka harus siap menerima sanksi.
Sudah banyak dari mereka yang terkena hukuman, entah itu karena rambut terlalu panjang, sepatu warna-warni, atau celana sobek, dan lain sebagainya.
"Buka sepatu kamu!"
"Hah,"
Iva Kayra, gadis itu mendongak menatap wajah lelaki di hadapannya.
"Buka atau kita yang buka secara paksa?"
Iva mendesah berat, salahnya juga karena hari ini memakai sepatu warna biru. Sepatu hitam yang biasa ia gunakan untuk sekolah, basah. Dia memang bukan orang susah, tapi Iva terlalu malas untuk mengurusi keperluannya sendiri.
"Nih!"
Dengan kesal ia melemparkan sepatu itu, tak jauh darinya. Kemudian, Andra, si sekertaris OSIS yang tadi menyuruh membuka sepatu, mendorong pelan tubuh Iva supaya berbalik dan menghadap pada si ketua OSIS.
Wajah itu memang tampan, tapi sifatnya yang dingin tak tersentuh membuat Iva tak menyukai pemuda itu. Dalam hati Iva merutuki kebodohannya, karena ia selalu mengagumi wajah tampan si ketua OSIS yang sedingin es.
"Bersihkan toilet guru!"
Mata Iva mengerjap beberapa kali, mendengar kalimat ambigu yang keluar dari mulut pemuda es itu.
"Tapi kan ini sudah mau Bel, terus aku belajarnya gimana? Masa bolos, nggak mungkin dong." protes Iva, bibirnya cemberut. Ia mencoba bernegosiasi.
"Jam istirahat."
Iva menghentakkan kakinya, usahanya dalam membujuk pemuda itu ternyata tidak membuahkan hasil. Gadis itu sesekali berjinjit saat kakinya merasa sakit terkena batu kerikil.
"Iva!! Kamu kemana sepatu kamu? Orang tua kamu bangkrut ya, sampai-sampai kamu harus nyeker ke sekolah."
Ia mendelik, memberikan ancaman pada teman sebangkunya itu. Gadis itu satu-satunya orang yang mau jadi sahabatnya dari kelas X.
"Sembarangan, kerjaan si es balok noh. Sepatu aku diambil dia, terus aku disuruh bersihin toilet guru." adanya, dengan wajah memelas.
"Hahaha.." bukannya berempati, Sela malah terbahak menertawakan kesialannya.
"Puas, kamu ngetawain aku?"
"Sory-sory, tapi kamu emang lucu sih. Kan tahu sendiri, setiap hari Rabu pasti ada razia. Tapi kamu masih tetap aja ngelanggar peraturan." Sela mengusap punggung Iva yang kini sudah merajuk.
"Tapi kan, aku nggak semestinya dapat hukuman seberat itu." gerutunya lagi.
"Sabar, Sayang!" Sela beralih merangkul bahu sahabatnya itu.
Percakapan mereka terhenti, saat dua orang lelaki yang tadi Iva temui di gerbang kini sudah berdiri di depan kelas mereka.
"Attention please!" seru salah satu dari mereka. Membuat seluruh mata penghuni IPS2 itu beralih menatapnya.
"Buat yang merasa kena razia. Barang yang kena sita boleh kalian ambil di ruang kedisiplinan, dengan catatan kalian sudah mengerjakan hukuman. Thanks!"
Terdengar embusan napas lega dari beberapa orang siswa termasuk Iva sendiri. Namun tatapan gadis itu sama sekali tidak bersahabat pada kedua pemuda itu. Ia masih menyimpan dendam pada ke lima lelaki anggota OSIS, karena setiap minggu selalu saja kena hukuman.
"Masa aku harus nyeker sampai jam istirahat sih." Iva menghentakkan kakinya kesal.
"Ya kan nanti bisa diambil sepatunya, Va."
"Ah tahu ah, kesel aku sama si es balok itu."
"Loh kok dia sih, kan dia nggak salah."
"Salah lah, setiap rabu selalu saja dia hukum aku. Salah aku apa coba ke dia, sampai-sampai dia gemas banget sama aku."
Kali ini Sela sependapat dengan Iva, karena sahabatnya itu selalu saja menjadi sasaran Taksa saat razia. Mau salah atau tidak tapi Iva selalu saja salah di mata Taksa-si ketos.
Sesuai dengan hukuman yang harus dijalani Iva tadi. Saat ini gadis itu benar-benar tengah berperang dengan peralatan kebersihan di dalam toilet guru, yang letaknya masih berdampingan dengan toilet siswa.
Walaupun dengan wajah ditekuk serta kekesalan yang belum juga sirna, Iva tetap mengerjakan hukumannya dengan baik.
"Selesai." Ia menyeka keringat yang membasahi keningnya.
Dara cantik bermata bulat, serta wajah ayu tidak tirus juga tidak terlalu bulat. Namun, lesung pipit itu membuat senyumnya sangat manis, terlebih gigi gingsul itu seolah menjadi magnet bagi para lelaki yang menjadi penikmat senyuman manisnya.
Rambut panjang sepinggang yang sudah ia ikat asal ke atas memperlihatkan leher jenjang gadis yang mempunyai tinggi 140 cm itu dan tubuh ramping walau tidak seperti model tabloid remaja, dengan kulit putih bersih membuatnya terlihat mungil serta nyaman jika dipeluk.
Gadis itu memandang takjub pada pekerjaannya. Sebagai anak manja ketika di rumah tentu saja hal seperti ini sangat luar biasa baginya yang tidak pernah melakukan apa-apa, karena gadis berusia 16 tahun ini lebih mengandalkan jasa ART dari pada turun tangan mengerjakannya sendiri.
Iva membereskan peralatan yang tadi ia gunakan. Kemudian ia keluar dari toilet dengan susah payah, karena kedua tangannya memegang ember serta pel.
Brukk
"Astaghfirullah, kamu kalau jalan pakai mata dong! Nggak tahu apa orang lagi repot begini, kalau tidak mau bantu setidaknya jangan membuat aku semakin kerepotan," cerocos gadis itu sambil memunguti satu persatu barangnya yang terjatuh.
Karena ia tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang barusan. Iva tidak perduli siapa orang yang menabraknya, yang jelas ia sangat kesal terhadap orang tersebut.
"Jalan itu pakai kaki, bukan mata," ralat orang tersebut dan langsung mendapat perhatian dari Iva. Gadis yang masih berjongkok itu mendongak, sesaat kemudian ia mendengus kasar sebab ternyata yang menabraknya adalah si es batu.
Pemuda itu seperti biasa menatapnya dengan wajah datar, ia melipat kedua tangan di dada tanpa berniat membantu Iva yang masih mengumpulkan barang-barangnya.
Iva tidak lagi memperdulikan keberadaan pemuda itu di sana, ia milih pergi dari pada terkena masalah lagi dengan pemuda yang paling ia benci itu.
"Mau kemana?" Taksa menarik kerah belakang baju Iva, saat gadis itu beranjak meninggalkannya.
Iva menoleh, gadis itu nyengir menampilkan deretan giginya, "Mau makan, kan, hukuman aku udah kelar."
"Siapa bilang kelar?"
Taksa menarik mundur gadis itu, sehingga kini mereka berdiri sejajar. Iva memasang wajah memelas, semoga saja pemuda itu mempunyai sedikit saja belas kasihan padanya dan ia dibebaskan dari sisa hukumannya.
"Lantai ini masih kotor," ucap Taksa lagi, dia menunjuk lantai itu dengan dagunya.
"Kan, tadi hukumannya hanya toilet guru, jadi lantai di depannya nggak termasuk. Berarti ini bukan tugas aku dong? Jadi, please ya, Pak Ketua, aku lapar banget nih dari pagi belum makan soalnya. Nanti kalau pingsan gimana?" Iva menangkup kedua tangan di depan dada, ia berusaha memohon agar tidak melanjutkan pekerjaan itu. Ia memang tidak bohong soal tadi pagi tidak makan, memang karena kesiangan ia sampai lupa sarapan.
"Bukan urusan saya. Cepat selesaikan, kecuali mau saya tam ...."
"Oke-oke, aku selesaikan." Iva segera memangkas ucapan pemuda itu, bisa gawat jika dia benar-benar menambah hukumannya.
Iva kembali mengepel lantai di depan toilet guru, dengan perasaan dongkol. Dalam hati ia terus menyumpah serapah pemuda yang tidak punya hati itu. Entah apa dosa yang pernah ia lakukan sehingga Allah mengirimkan malaikat maut seperti dia padanya.
Taksa masih berdiri di sana menyandarkan punggung pada tembok dengan kedua tangan berada di saku celana, serta sebelah kaki yang di tekuk menempel ke dinding. Dia akan memastikan jika gadis itu benar-benar menyelesaikan tugasnya, Taksa takut gadis itu kabur kalau tidak diawasi.
Tiba-tiba Iva terpleset lantai yang licin, dan dengan gerakan kilat Taksa menarik tangan gadis itu supaya tidak jatuh menyentuh lantai. Dada mereka bertubrukan, tatapan keduanya bertemu. Beberapa saat mereka masih setia dalam posisi itu sampai Taksa yang lebih dulu tersadar. Ia melepas kedua tangan yang menahan punggung Iva, sehingga membuat gadis itu benar-benar terjatuh.
"Aw...." Iva mengusap bokongnya yang terasa sakit. Ia menatap wajah datar Taksa sekilas, pemuda itu sama sekali tidak terlihat kasihan padanya. Taksa malah memilih meninggalkan Iva yang masih terduduk di lantai tanpa mengatakan apa-apa.
Iva kembali ke dalam kelas saat jam pelajaran sudah akan kembali di mulai. Bajunya basah dan ia tidak sempat mampir ke koperasi untuk membeli pakaian ganti, bahkan ia benar-benar tidak sempat makan.
"Va, baju kamu kok basah sih?" tanya Sela ketika Iva duduk di sampingnya.
"Gara-gara si es batu yang rese nih," jawab Iva, ia melonggarkan sedikit bajunya yang menempel di kulit, sedikit memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Sela menatap heran pada sahabatnya itu, kenapa dia tidak pernah akur dengan si ketua OSIS itu. Tidak berapa lama guru masuk menghentikan obrolan kedua sahabat itu.
Tanpa menghiraukan tatapan teman-teman sekelasnya, Iva bersiap memulai pelajaran. Beberapa kali perutnya berbunyi, mungkin cacing di dalam sana tengah berdemo meminta jatah makan.
Gadis itu hanya bisa mengusap perutnya beberapa kali, lapar. Namun, saat ia merogoh buku di dalam tas, tangannya menyentuh sesuatu. Dengan kening berkerut Iva menarik keluar benda itu.
"Kotak bekal," gumamnya.
Ia mencondongkan tubuhnya mendekati Sela yang sedang menulis sesuatu di bukunya.
"Ini punya kamu?" bisik Iva, ia mengangkat sedikit kotak berwarna biru itu ke atas dan langsung dijawab gelengan oleh Sela.
"Kamu, kan, tahu, aku tidak pernah bawa bekal. Bunda kamu kali yang masukin."
"Nggak mungkin, orang tadi pagi aku langsung berangkat. Kapan Bunda masukin ini?"
"Udah makan aja, mungkin ada orang baik yang ngasih itu. Pasti dia tahu kalau kamu lagi kelaparan."
Iva tidak lagi mempertanyakan dari mana asal kotak makan itu. Namun, dalam hati ia masih bertanya-tanya dari mana asal kotak berisi nasi goreng tersebut.
Perlahan tangannya membuka kotak itu dan keningnya semakin berkerut dalam. Saat sebuah kertas kecil jatuh dari penutupnya.
"Sori"
Hanya itu yang tertulis di kertas itu, tidak ada petunjuk siapa yang mengirim kotak serta pesan tersebut. Iva berpamitan pada Bu Indah, untuk ke toilet padahal ia hanya ingin memakan nasi goreng tersebut di belakang sekolah. Tidak perduli lagi siapa yang memberikannya itu, yang jelas perutnya sangat membutuhkan nutrisi saat ini.
~
"Kamu tadi makan nasi goreng itu?"
Iva mengangkat kedua bahunya acuh, terserahlah siapa pemilik nasi itu yang penting perutnya kenyang sekarang.
Mereka kini sedang berjalan berdampingan menuju tempat parkir. Iva memang jarang membawa kendaraan pribadi seperti Sela. Ia yang malas menyetir dan akhirnya sering meminta sopir mengantar jemputnya.
Di parkiran, kedua perempuan itu berpapasan dengan kelima lelaki anggota OSIS. Iva memilih berpura-pura tidak melihat si wajah es, yang tengah menatapnya datar.
"Ckk." Taksa berdecak, ketika melihat lekuk tubuh Iva, karena baju gadis itu yang masih basah.
Pemuda itu tiba-tiba membuka jaketnya dan memasangkan di tubuh gadis itu. Seketika Iva mengangkat wajahnya dengan terkejut, saat jaket itu tersampir nyata di punggungnya.
Bukan hanya Iva yang terkejut tetapi Sela juga ke empat teman Taksa tak kalah terkejut melihat perlakuan lelaki yang paling anti perempuan itu.
Pemuda berusia 17 tahun itu memiliki wajah tampan sempurna, layaknya idola kaum hawa yang menjadi anggota boyband dari Negeri Gingseng. Tubuh tinggi atletis 165 cm, berat badan ideal 65 kg, serta kulitnya yang putih seperti kulit perempuan.
Pemuda itu sangat diidolakan di sekolahnya saat ini, bahkan diantara most wanted kelima anggota OSIS. Dirinyalah yang paling banyak mempunyai fans. Namun, Taksa tetaplah Taksa, yang cuek dan datar. Ia tidak pernah tertarik untuk memiliki pacar atau sekedar dekat dengan seorang gadis.
"Ikut saya!" Taksa menarik tangan Iva yang masih terpaku karena terkejut.
Mereka berdua mereka meninggalkan teman-temannya yang masih melongo tidak percaya dengan apa yang dilakukan Taksa pada Iva barusan.
Ternyata Taksa membawa Iva menuju mobilnya, dia membuka pintu mobil dan menyuruh perempuan yang setengah sadar itu duduk di sana.
Taksa tersenyum tipis, sangat tipis bahkan siapapun yang melihatnya tidak akan sadar bahwa dia tersenyum. Pemuda itu menggeleng pelan saat melihat wajah bodoh Iva, gadis yang kini sudah duduk di sampingnya.
Taksa mendekatkan wajahnya pada Iva, napasnya bahkan sangat terasa menyapu wajah gadis itu. Membuat gadis itu refleks memejamkan matanya saat wajah Taksa yang semakin dekat, bahkan bibir mereka semakin terpangkas jarak hingga menyisakan beberapa centi.
Bibir Taksa kembali tersenyum, tetapi masih sangat tipis. Tangannya terulur mengambil seatbelt di samping Iva dan...
Kliiikkk
Iva tersadar saat, ia membuka matanya saat sebuah sabuk pengaman telah terpasang melingkar di dadanya. Bersamaan dengan tubuh pemuda itu yang menjauh darinya dan mobil yang mulai melaju perlahan meninggalkan area parkir sekolah.
"Astagfirullah." Iva memalingkan wajahnya yang sudah terasa panas.
Apa yang ada dipikirannya tadi? Kenapa ia berpikir jika Taksa akan ... ? Ah, dia sangat malu. Iva memukul pelan kepalanya, dalam hati dia terus menyunpahi kebodohannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!