Hansel Feliks, laki-laki tampan yang kini dibuang oleh keluarganya sendiri. Paman dan Bibinya yang dulu menampungnya, tidak berkenan lagi padanya. Ia pergi meninggalkan rumah Pamannya dan menyewa sebuah apartemen kecil di lingkungan yang sedikit kumuh. Ya, uang tabungannya tidaklah cukup untuk bisa menyewa apartemen besar, karena ia juga harus membagi uangnya untuk kebutuhan sehari-hari.
Rasa kecewa dirasakannya. Dulu, saat mendiang Papanya masih hidup. Pamannya selalu bersikap baik padanya. Ternyata semua itu hanya topeng. Pamannya baik kepadanya hanya karena harta peninggalan Papanya saja. Saat Papanya meninggal, usia Hansel masih sangat muda. Pamannya berperan sebagai wali dan mengirim Hansel ke sekolah asrama untuk beberapa waktu. Hansel tidak mengira selama ia tidak tinggal bersama Pamannya, ada trik dan rencana busuk yang dilancarkan Pamannya itu.
Harta Warisan yang seharusnya menjadi miliknya. Semuanya menjadi milik Pamannya. Hansel tidak punya kuasa dan kekuatan apa-apa karena ia tidak begitu perhatian pada urusan seperti itu. Yang ia tahu, Pamannya adalah satu-satunya keluarga setelah mendiang Papanya tiada.
*****
Hansel menatap apartemen kecil di depannya. ia mengambil napas dalam dan mengembuskan napasnya kasar. Kesal rasanya, saat mengetahui kebenaran yang menusuk hati. Lebih kesal lagi karena usahanya untuk mencari pekerjaan selalu gagal.
"Hah..." desah Hansel melempar jaketnya di sofa. Ia langsung duduk dan memijat lembut pangkal hidungnya.
"Sial. Bagaimana bisa mereka seperti ini padaku? aku harus apa sekarang?" gumamnya bingung.
Beberapa perusahaan sudah didatangi Hansel. Namun, semuanya menolak dengan alasan Hansel belum memiliki pengalaman pekerjaan. Perusahaan-perusahaan itu tidak mau mengambil resiko untuk memperkejakan seseorang yang belum punya cukup pengalaman. Beberapa tidak menerima karena sudah tidak membutuhkan pekerja baru lagi.
Sudah hampir sebulan, Hansel berjuang mencari pekerjaan. Namun, hasilnya sia-sia. Ia kesal karena ia harus menderita seperti ini demi mencari selembar uang bertahan hidup. Ia yakin nilainya tidak buruk, tetapi mengapa tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerimanya.
Tiba-tiba saja ia teringat akan seorang temannya. Teman Hansel semasa sekolah. Hansel masih menyimpan nomor teleponnya, dan langsung menghubunginnya. ia berniat meminta bantuan temannya itu.
"Hallo..." jawab seseorang di ujung telepon.
"Hallo, Marc. Ini aku, Hans."
"Oh, hai Hans. Apa kabarmu? Kau tidak lagi mebghubungiku semenjak kita lulus dari sekolah. Kau sehat?"
"Aku tidak begitu baik, Marc. Kau di mana sekarang? apa kau sibuk?" tanya Hansel ragu-ragu.
"Tidak, teman. Aku tidak sibuk apapun saat ini. Ada apa?" tanya Marc mulai penasaran.
"Apa kau bisa membantuku mencari tempat tinggal dan pekerjaan, Marc?"
"Tunggu, Hans. Pekerjaan? bukankah Pamanmu punya perusahana besar? kenapa kau butuh pekerjaan lagi? tempat tinggal juga, untuk siapa?" tanya Marc bingung.
"Untukku. Aku tidak bisa jelaskan di telepon detailnya seperti apa. Intinya aku dibuang oleh Pamanku. Jadi aku harus mencari pekerjaan untuk hidupku."
"Kau dibuang? jangan bercanda denganku," jawab Marc seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Ya sudah jika kau tidak percaya. Untuk apa juga aku berbohong padamu. Tidak ada untungnya, kan?" jawab Hansel.
Marc terdiam, ia sedang berpikir. Beberapa saat kemudian Marc kembali bicara dan meminta Hansel datang ke kotanya. Marc akan membantu Hansel. karena Marc tidak ingin dan tidak tega melihat sahabatnya bersedih.
"Kau mau datang ke sini, Hans? Yah, meski tempat tinggalju kecil. Kita bisa tinggal bersama untuk sementara waktu. Untuk perkerjaan, kita akan usaha bersama nanti. Kau tahu situasi dan kondisiku, kan? tempat asalku jauh dan aku juga seorang diri di kota ini. Jadi ayo, kita berjuang bersama teman."
Hansel tersenyum, "Terima kasih, Marc. aku akan pergi besok."
"Kau di mana sekarang?" tanya Marc khawatir.
"Aku di apartemen. Aku tidak tahu lagi harus pergi ke mana," jawab Hansel.
"Baiklah jika seperti itu. Kau tidurlah, hati-hati saat kau pergi besok. Hubungi aku jika kau sudah sampai di sini. Aku akan menjemputmu," kata Marc.
"Ok. Terima kasih, Marc. Kau memang teman yang terbaik."
"Jangan ucapkan itu sekarang. Ucapkan itu nanti saat kau sudah sukses. Sampai besok, Hans."
"Ya, sampai besok. Kau juga tidurlah," jawab Hansel. Ia langsung mengakhiri panggilannya.
Hansel meletakan ponselnya di atas meja. Ia kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa. Pikirannya kembali memikirkan kejadian-kejadian yang membuatnya kesal. Ucapan yang begitu menusuk, masih terdengar jelas di telinga Hansel.
"Tidak ada seorang pun yang bisa diandalkan rupannya. Aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri. Astaga, aku masih tidak bisa mengerti kenapa Paman begitu bernafsu untuk menguasai harta peninggalan Papa. Terlebih lagi Paman tidak memberiku uang sepeser pun. Benar-benar keterlaluan," batin Hansel kecewa, "Mau tidak mau aku harus pergi dari kota terkutuk ini. Aku sudah muak dengan kehidupan di sini," geram Hansel. Merasa terlalu lelah, Hansel akhirnya tertidur di sofa.
*****
Keesokan harinya. Hansel pergi meninggalkan apartemen. Setelah mengembalikan kunci dan berpamitan pada pemilik aparteme, Hansel pergi ke Halte untuk pergi ke luar kota dengan menumpangi Bus. Di Halte ia menunggu, ia menatap sekeliling yang ramai. Semua orang juga menunggu Bus sepertinya.
Beberapa menit menunggu, Bus akhirnya tiba. Hansel naik ke dalam bus dan segera mencari tempat duduknya. Ia langsung duduk di bangku paling belakang dekat dengan kaca jendela. setelah semua penumpang naik, Bus perlahan bergerak pergi meninggalkan Halte.
"Selamat tinggal, Pa. Maafkan Hansel yang memilih untuk pergi. Keputusan Hansel sudah bulat," batin Hansel menatap ke jalan. Ia memandangi jalanan yang ramai.
Sekelibat kenangan muncul. Kenangan saat ia masih kecil, ia sering sekali diajak Papanya utuk berjalan-jalan berkeliling taman. Meski ia tidak pernah melihat sosok Ibunya sejak kecil, ia tidak merasa kekurangan kasih sayang. Papanya begitu mencintainya, meski kini semuanya hanyalah kenangan.
Kenangan itu membuat Hansel tersenyum tipis walaupun sesaat. Ia sangat bersyukur, ia bisa mendapatkan cinta dan kasih sayang seorang keluarga meski hanya dalam waktu yang singkat.
Mama Hansel meninggal saat melahirkan Hansel. Sejak kecil, Papa Hansel yang merawat Hansel dengan hanya dibantu seorang pengasuh bayi. Saat Papanya bekerja, Hansel akan diasuh oleh pengasuh. Meski sibuk bekerja, Papanya akan selalu meluangkan banyak waktu untuk menemaninya bermain dan belajar. Membimbing dan memberikan arahan. Juga selalu memberikan semangat pada Hansel.
Kini semuanya hanya bisa disimpan dalam hati, hanya bisa dikenang. Kebahagiaan yang indah itu terenggut begitu saja denngan sebuah tragedi kecelakaan yang membuatnya kehilangan sosok orang yang paling disayanginya.
Mata Hansel terpejam, masih teringat jelas saat ia berlari masuk ke dalam gedung rumah sakit demi melihat Papanya yang terbaring tidak sadarkan diri. Jantungnya seakan berhenti bedetak, saat Papanya dinyatakan meninggal dunia. Itulah pukulan terberat Hansel saat ia harus merelakan kepergian satu-satunya orang yang begitu berharga dalam hidupnya.
*****
Hansel tertidur disepanjang perjalanan. Hampir sekitar empat jam perjalanan. Bus itu akhirnya tiba di kota tujuan. Hansel membuka mata perlahan saat seseorang di sampingnya membangunkannya.
"Hei, bangunlah. Kita sudah sampai, Nak."
"Ah, iya. Terima kasih sudah membangunkanku."
"Kau ingin pergi ke mana? apa ada yang menjemputmu?" tanya laki-laki paruh baya di samping Hansel.
"Iya, ada. Temanku akan datang menjemput."
"Baiklah jika seperti itu. Aku akan turun dulu. Semoga harimu menyenangkan," kata laki-laki itu yang lanhsung pergi untuk segera turun dari dalam Bus.
Hansel berdiri dari duduknya, ia menggendong ranselnya di bahu dan langsung turun dari dalam Bus. Pemandangan yang asing, ia tidak menyangka jika ia akan nekat pergi ke tempat asing yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.
Ponselnya berdering, Hansel mendapatkan panggilan dari Marc. Dengan segera Hansel menerima panggilan dari temannya itu.
"Hallo, Marc. Aku baru saja turun dari Bus. Kau di mana?" tanya Hansel.
"Aku di Halte. Aku menunggumu sejak tadi," jawab Marc.
"Di mana? aku tidak mrlihatmu," jawab Hansel melihat sekeliling.
"Hei, teman. Lihatlah baik-baik. Aku di belakangmu," kata Marc.
Hansel berbalik dan terkejut melihat Marc. Hansel dan Marc berpelukan ringan saling melepas rindu. Sudah lama sejak keduanya lulus sekolah, ini pertemuan pertama mereka setelah sekian lama.
"Kau banyak berunah, Hans. Kau semakin tampan," puji Marc.
"Jangan berlebihan. Kau juga banyak berubah. Lihatlah otot-ototmu ini. Apakah kau sedang berkencan sekarang?" goda Hansel.
"Tidak ada wanita yang menyukai laki-laki miskin sepertiku. Jika adapun itu hanya dalam mimpi," jawab Marc.
"Bicara apa kau ini. Ayolah, pasti ada wanita yang akan mencintaimu dengan tulus nanti."
"Ah, iya-iya. Aku selalu kalah bicara darimu, Hans. Nah, ayo kita beli makan dan kembali pulang. Nanti sore aku akan ajak kau berkeliling," kata Marc.
"Ok," jawab Hansel.
Marc dan Hansel pergi meninggalkan Halte. Mereka hendak mencari restorant kecil untuk makan dan selanjutnya Marc akan mengajak Hansel untuk pergi ke apartemennya.
...****...
Hansel makan siang bersama Marc. Meski makan siang dengan menu sederhana, Hansel begitu menikmati makan sianganya. Marc begitu lahap mamakan hidangan yang dipesannya. Hansel hanya tersenyum tipis melihat tingkah temannya itu.
"Pelan-pelan saja. Aku tidak akan merebut makananmu, Marc."
Marc menatap Hansel dan tersenyum, "Aku sangat lapar. Sepanjang hari aku tidur, dan baru siang ini makan. Makanlah, jangan terus menatapku. Aku tau aku adalah laki-laki tampan, tapi kau masih jauh tampan dariku."
"Kau ini bicara apa? tutup mulutmu saat kau sedang makan," jawab Hansel.
Marc kembali tersenyum dan mengangguk. Ia merasa senag bisa kembali menikmati waktu bersama teman lamanya. Sudah sejak lama, Marc menanti-natikan saat bersama dengan Hansel seperti pada zaman sekolah.
Suasana hening, Hansel dan Marc menyelesaikan makan siang mereka tanpa bicara lagi. Setelah selesai makan dan membayar tagihan, Marc mengajak Hansel pergi meninggalkan restorant. Mereka bergegas menuju apartemen Marc.
*****
Sesampainya di apartemen. Marc menunjukan seisi apartemennya. Di sana hanya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu yang terletak tidak jauh dari meja makan.
"Hanya ini yang bisa aku sewa, Hans. Aku harap kau berkenan tinggal bersamaku. Katakan saja apa yang kau inginkan dan butuhkan. Jika aku mampu aku akan berikan," kata Marc.
Hansel menggelengkan kepala perlahan, "Tidak ada yang aku perlukan lagi, Marc. Ini sudah lebih dari cukup. Aku sangat berterima kasih padamu," jawab Hansel.
"Jangan sungkan. Aku senang kau mau tinggal di sini. Itu kamarmu, Hans. Masuk dan istirahatlah," pinta Marc menunjuk sebuah kamar yang bersebrangan dengan kamarnya.
"Kau juga istirahatlah, Marc. Bukankah kau berjanji untuk membawaku berkeliling?" tanya Hansel.
"Tentu saja. Kau sudah jauh-jauh datang ke sini. Aku akan mengajakmu berkeliling selagi aku libur bekerja. Ayo kita bersenang-senang dan minum bir nanti," jawab Marc.
Hansel tersenyum, "Ya, terserah saja. Aku masuk dulu," pamitnya segera berjalan masuk dalam kamar.
Hansel membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Kamar itu sudah bersih, sepertinya Marc sudah bekerja keras membersihkan kamar yang akan di tempatinya itu. Hansel menutup kamar perlahan, ia segera meletakan ranselnya di lantai dan langsung duduk di tepi tempat tidur.
"Haahh..." desah Hansel mendorong tubuhnya sendiri ke tempat tidur. Ia memejamkan mata perlahan dan tidak lama membuka kembali matanya, ia menatap langit-langit kamarnya.
"Aku harus bisa merubah hidupku. Aku tidak bisa seperti ini terus. Bagaimana, ya? apa mencari pekerjaan di sini juga susah?" gumamnya berpikir.
"Aku masih tidak habis berpikir. Bagaimana orang-orang itu dengan mudahnya menolakku tanpa melihat kemampuanku. Mengesalkan sekali," gumamnya lagi. Hansen memejamkan mata dan tidak lama terlelap tidur karena kelelahan.
*****
Sore harinya, Marc dan Hansen pergi berkeliling. Marc membawa Hansen ke tempat-tempat yang sering ia kunjungi. Hansel merasakan sesuatu yang berbeda, meski masih belum yakin akan apa yang terjadi kedepannya. Ia cukup merasa senang dengan keadaanya yang sekarang. Ada Marc yang mau menampungnya saja ia sudah bersyukur. Pada akhirnya mereka berkeliling sampai malam datang. Puas berkeliling, Marc mengajak Hansel ke Pub tempatnya biasa minum-minum.
"Bagaimana? banyak tempat menarik kan?" tanya Marc meneguk minumannya sekali tegukan.
"Ya, semoga saja aku beruntung di sini. Aku akan coba mencari pekerjaan besok," jawab Hansel.
"Tidak perlu terburu-buru. Aku tidak akan membebanimu, Hans. Santai saja denganku," kata Marc tersenyum tipis.
"Aku tidak tahu harus bicara apa lagi selain mengucapkan rasa terima kasih, Marc. sungguh, kau adalah teman terbaikku."
"Ayo minum," ajak Marc.
Marc mengankat gelas berisi minuman, melihat itu Hansel juga mengankat gelas berisi minuman lalu mendekatkan gelasnya ke gelas Marc.
"Cheersh..."
"Cheersh..."
Keduanya bersulang dan langsung meneguk habis minuman dalam satu kali tegukan. Hansel meletakan gelasnya di meja, matanya menyelisik sekitar. Sebelumnya, ia jarang pergi ke luar seperti Pub atau Club. Berbeda dari Hansel. Marc sering datang ke Pub atau Club karena kedua tempat itu berhubungan dengan pekerjaan rahasianya.
Seseorang datang menghampiri Hansel dan Marc. Perempuan cantik itu langsung menyapa Marc. Bahkan tanpa canggung langsung memeluk dan mencium pipi Marc.
"Hei, Marc..." sapa perempuan cantik itu.
"Annabell? lama tak bertemu, sayang. Bagaimana keadaanmu?" tanya Marc.
"Aku tidak begitu baik, Marc. Kau tentu tahu kehidupanku sehari-harinya seperti apa."
"Ya, tentu saja tahu. Lalu?" sahut Marc penasaran. Marc menatapi perempuan cantik dihadapannya itu.
Annabell duduk dipangkuan Marc dan langsung mengalungkan tengannya ke leher Marc tanpa rasa canggung. Tidak hanya itu, Annabell bahkan sengaja menggoda Marc. Membelai-belai wajah Marc bahkan menciumi leher Marc. Tentu saja hal itu membuat Hansel tidak nyaman. Hansel mengalihkan pandangannya karena merasa canggung.
"Sayang, jangan seperti ini. Ada temanku yang melihat," kata Marc melihat Hansel yang sedang menyelisik arah lain.
"Oh..." Annabell ber-oh ria mengikuti pandangan Marc. Lalu ia kembali menatap Marc dan bertanya, "Siapa Dia, Marc? tampan juga," tanya Annabell.
"Dia temanku, baru datang siang tadi. Dan, sekarang akan tinggal bersamaku."
"Wow, kau menemukan penjaga rumah?" goda Annabell, tersenyum nakal ke arah Marc.
"Jangan macam-macam. Siapa yang kau sebut penjaga, hum? kau terus-terusan menggodaku, Anna. Jangan salahkan aku akan memangsamu," bisik Marc di telinga Annabell.
"Boleh saja. Ayo, mangsa aku. Aku tunggu kau di apartemnku nanti," jawab Annabell mengusap-usap pipi Marc.
"Wah-wah, kau merindukanku ternyata. Aku beruntung bisa dirindukan oleh seorang Annabell," goda Marc mengusap wajah cantik Annabell.
Annabell berdiri dari pangkuan Marc. Annabell menatap Hansel dan menyapa Hansel. Mengajak Hansel berkenalan.
"Hai, siapa namamu? aku Annabell," sapa Annabell mengulurkan tangan pada Hansel.
Hansel menatap Marc diikuti anggukan Marc, "Hai juga Anna. Aku Hansel," jawab Hansel menatap Annabell dan menyambut uluran tangan Annabell. Mereka pun berjabat tangan.
"Kau lumayan juga. Jangan terkejut seperti itu, aku tidak akan menerkammu. Aku adalah kekasih rahasia Marc," kata Annabell tersenyum cantik.
Hansel terkejut dan langsung menatap Marc. Marc hanya tersenyum dan menggelengkan kepala seakan senang dengan pernyataan Annabell. Memang benar Annabell dan Marc memiliki sebuah hubungan. Akan tetapi hubungan mereka sebenarny tergolong rumit. Karena Marc tidak akan bisa hanya mencintai satu perempuan.
Setelah bertegur sapa dengan Marc dan Hansel. Annabell berpamitan, lalu segera pergi meninggalkan keduanya. Annabell menatap Marc, mengedipkan satu matanya sebagai isyarat.
"Kau sungguh berkencan dengannya?" tanya Hansel.
"Dia pelanggan setiaku," jawab Marc.
"Pelanggan? maksudmu?" tanya Hansel.
"Hm... apa, ya? Sudahlah. Nanti kau juga tahu sendiri apa maksud dari ucapanku," jelas Marc. Merasa enggan untuk bercerita.
Hansel hanya bisa diam sembari mengernyitkan dahi. Ia sungguh tidak mengerti maksud ucapan Marc. Penasaran sebenarnya, tetapi Hansel mencoba mengerti jika Marc terlihat tidak ingin banyak bercerita mengenai pekerjaanya itu.
Mereka berdua kembali minum-minum. Hansel tidak berani minum banyak karena ia tidak ingin terlihat kacau keesokan harinya. Lain halnya dengan Marc, yang memang kuat minum dan sudah terbiasa.
Sekitar satu jam kemudian. Hansel dan Marc kembali pulang ke apartemen. Di depan pintu apartemen sudah berdiri Annabell yang sedang menunggu Marc pulang.
"Akhirnya kau datang, Marc."
"Maaf, sayang. Kau menunggu lama?" jawab Marc.
"Ya, kakiku sampai kram. Kau lama sekali," rajuk Annabell.
"Jangan marah. Aku akan berikan hadiah nanti," bujuk Marc.
"Hm, baiklah. Ayo," ajak Annabell.
Marc menatap Hansel, "Hans, malam ini aku akan pergi bersama Annabell. Kau tidak apa-apa sendiri?" tanya Marc.
Hansel mengangguk, "Ya, aku baik-baik saja. Kalian berdua pergilah bersenang-senang," jawab Hansel.
Marc tersenyum, "Maafkan aku teman. Di hari pertamamu datang aku begitu saja meninggalkanmu. Besok akan aku ganti dengan mentraktirmu makan," kata Marc.
"Iya, Marc. Tidak masalah," jawab Hansel.
"Ayo, sayang. Bye, Hans..."
Marc merangkul pinggang Annabell dan pergi bersama Annabell meninggalkan Hansel. Hansel melihat kilas kepergian teman dan kekasih temannya itu lalu segera masuk ke dalam apartemen. Hansel ingin segera pergi tidur agar esok bisa bangun pagi dan pergi untuk mencari pekerjaan.
...*****...
Sudah hampir dua Minggu berjalan. Namun, Hansel tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Hansel kesal, ia meeasa nasibnya sungguh sangat sial dan tidak beruntung. Marc juga mencoba menacarikan Hansel pekerjaan. Akan tetapi masih belum membuahkan hasil.
"Bersabarlah, Hans. Aku yakin kau pasti akan segera mendapatkan pekerjaanmu secepatnya. Kita berusaha bersama," kata Marc memberikan semangatnya.
"Terima kasih, Marc. Maafkan aku yang masih harus terus merepotkanmu. Kau benar, pasti aku akan dapatkan pekerjaan sesegera mungkin. Aku hanya kesal saja, rasanya hidupku tidak pernah beruntung. Terlebih setelah tiadanya Papa," jawab Hansel telihat sedih bercampur kecewa.
Marc menepuk bahu Hansel pelan, "Kau harus tetap semangat. Kau pasti bisa," ucap Marc tersenyum. Marc masih berusaha menghibur teman baiknya itu.
Meski telah dihibur oleh Marc, tetap saja rasa sedih yang mendalam masih dirasakan Hansel. Hanya saja ia tidak mau menunjukannya pada Marc. Terlalu banyak hal yang sudah Marc lakukan untuknya. Seakan beban hidupnya sepenuhnya ditanggung oleh Marc.
"Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan pekerjaan. Tidak bisa selalu membebani Marc," batin Hansel.
"Hans, aku pergi ke bekerja dulu, ya. Kau beristirahatlah selagi masih bisa istirahat. Saat nanti kau sibuk bekerja, tidak akan ada lagi waktu untukmu tidur puas-puas."
Hansel tersenyum tipis, "Jangan khawatirkan aku. Pergilah, Marc. Hati-hati di jalan," jawab Hansel.
"Sampai nanti, Hans."
Marc pergi meninggalkan Hansel seorang diri di apartemen. Hansel meremat kuat jemarinya, rasa jengkelnya kembali memenuhi hatinya.
"Ini semua karena Paman dan Bibi. Aku akan balas semuanya nanti. Ini janjiku," batin Hansel memejamkan matanya lekat. Emosinya serasa memuncak dan meluap saat itu.
Ponsel Hansel berdering. Hansel mendapatkan panggilan dari nomor asing yang tidak dikenalnya. Merasa penasaran, Hansel pun menerima panggilan tersebut.
"Hallo," jawab Hasel.
"Hallo, apa benar saya berbicara dengan Tuan Feliks?"
"Ya, benar. Anda siapa?" tanya Hansel penasaran.
"Bisa kita bertemu? saya punya pekerjaan bagus untuk Anda, Tuan. Upahnya tidak akan mengecewkan."
Hansel mengernyitkan kening, "Apa-apaan orang ini. Apa dia sedang bergurau denganku?" batinnya kebingungan.
"Tuan, Anda mendengar saya? hallo..."
"Sa-saya mendengar Anda, Tuan. Lalu? kapan kita bertemu?" tanya Hansel bertanya lagi.
"Sekarang saya sedang ada disebuah kedai kopi. Anda bisa datanh ke sini. Saya akan mengirim alamatnya lewat pesan."
"Baiklah," jawab Hansel mengakhiri panggilan orang asing tersebut.
Cukup lama Hansel menatap layar ponselnya. Hansel masih bingung dan penasaran akan pekerjaan yang ditawarkan. Beberapa saat kemudian, sebuah pesan masuk. Hansel membuka pesan tersebut dan membacanya.
"Apa aku harus pergi? jika tidak mungkin aku akan melewatkan hal baik. Jika pergi, aku tidak tau pekerjaan macam apa yang orang itu tawarkan. Ucapan yang misterius membuatku ragu," gumam Hansel.
Setelah sekian menit berpikir, Hansel akhirnya beranjak dari sofa tempatnya duduk dan langsung mengenakan mantelnya untuk segera pergi. Meski setengah ragu, Hansel tidak ingin melewatakan kesempatan yang ada di depan mata. Soal pekerjaan apa nantinya, akan ia pikirkan kembali setelah tahu apa yang harus ia kerjakan.
*****
Seseorang sedang duduk menikmati secangkir kopi. Di sampingnya, berdiri seorang laki-laki berumur yang merupakan asisten pribadinya. Laki-laki itulah yang menghubungi Hansel sebelumnya.
"Menurutmu, apakah orang itu akan datang?"
"Tentu saja, Tuan. Setelah saya selidiki dia adalah seorang yang sangat membutuhkan pekerjaan. Perusahaan kita memang tidak bisa merekrutnya sebagai karyawan. Namun, ia bisa dijadikan kaki kanan Anda."
"Kita lihat saja, apakah dia layak atau tidak. Orang-orangku harus tangguh dan bernyali. Setidaknya aku perlu melihat kesungguhannya jika ia menerima penawaran ini. Bukan begitu?"
"Anda benar, Tuan. Saya harap dia tidak mengecewakan Anda."
Pintu kedai kopi itu terbuka. Hansel melihat sekeliling mencari dimana orang yang menghubunginya. Laki-laki berumur itupun menghampiri Hansel yang sedang kebingungan mencari dan membawanya menemui Tuannya.
"Silakan duduk," katanya ramah. Mempersilakan Hansel duduk di hadapan Tuannya.
"Terima kasih," jawab Hansel segera duduk. Hansel menatap tajam seorang yang duduk di hadapannya lalu seseorang yang berdiri di sisinya.
"Maaf membuatmu kebingungan. Saya Luiso, Asisten Pribadi Tuan Alfonzo. Beliau adalah orang yang ingin bertemu dengan Anda," kata Asisten memperkenalkan diri dan Tuannya.
"Hallo, senang bertemu dengan Anda, Tuan. Saya Hansel Feliks," jawab Hansel yang juga memperkenalkan diri.
"Hans, ya? nama yang cukup menarik. Langsung saja, apa kau sedang butuh pekerjaan?"
"Ya, saya sedang membutuhkan pekerjaan. Jujur saja, sudah hampir dua minggu ini saya terus mencari dan belum mendapatkan hasil."
"O... begitu rupanya. Jika kau ingin mengambil pekerjaan ini, aku akan memberika upah yang besar. Dengan uang yang aku berikan, kau bisa membeli rumah, mobil dan apapun yang kau inginkan. Bagaimana?" tawarnya.
Hansel mengangkat satu alisnya, "Apa ini tipuan? pekerjaan apa yang menghasilan begitu banyak uang? apa mereka komplotan kriminal? atau pengedar obat-obatan terlarang?" batin Hansel menebak-nebak tidak pasti.
Seseorang bernama Alfonzo itu menatap Asistennya. Ia seakan mengisyaratkan sesuatu untuk membujuk atau memerika penjelasan lebih rinci lagi pada Hansel yang terlihat ragu-ragu.
Asisten itu mengangguk, ia tahu apa yang dipikirkan Tuannya. Ia melangkah mendekati Hansel, dengan hati-hati ia meletakan sebuah amplop coklat di atas meja di hadapan Hansel.
"Ini adalah surat kontrak kerjasamanya. Silakan diperiksa terlebih dahulu," kata Asisten itu.
Hansel menatap amplop cokelat yang ada di atas meja di hadapannya. Dengan hati-hati ia membuka dan membaca dengan seksama isi dari amplop itu. Hansel melebarkan mata, apa yang tertulis sungguh menggiurkan. Namun, di dalam surat kontrak tersebut tidak ditulisakan secara rinci apa pekerjaan yang sebenarnya harus ia jalankan.
"Tidak ada tertulis pekerjaanku," ucap Hansel yang masih sibuk menatap surat kontrak.
Luiso dan Alfonzo saling menatap. Alfonzo mengangguk seakan mengiyakan sesuatu. Asisten Luiso pun menjelaskan kembali perihal pekerjaan Hansel.
"Apa yang kami inginkan sederhana. Anda hanya harus melaporkan pergerakan Target. Dengan siapa target bertemu, apa yang target lakukan setiap harinya. Anda harus melaporkan secara rinci setiap hari selama kurang lebih satu Bulan lamanya."
"Memata-matai, ya?" sahut Hansel meletakan surat kontrak di atas meja.
"Bisa dikatakan seperti itu."
"Maaf, jika saya boleh bertanya. Siapa orang yang akan saya mata-matai itu?" tanya Hansel.
"Dia adalah keponakanku. Dia seorang muda yang licik dan suka bermain trik. hampir seluruh koneksiku direbutnya. Aku tidak menyangka Kakaku mempunyai Anak sepertinya. Ia bahkan berani menantangku dan terang-terangan melawanku tanpa kenal takut," jelasnya Alfonzo cukup detail.
Hansel menatap Alfonzo, "Apa ini persaingan antara keponakan dan Paman? perebutan tahta begitu?" batin Hansel.
"Bagaiman, Hans? apa yang kau pikirkan?" tanya Alfonzo.
"Maaf, Tuan. Saya sedang memikirkan hal lain. Baiklah, karena saya juga butuh uang untuk bertahan hidup. Maka, saya akan menerima tawaran dari Tuan. Apa saja yang haris saya persiapkan? dan, bagaimana saya mendekati keponkan Anda?" tanya Hansel ingin tahu.
"Soal itu, kami akan mengaturnya untuk Anda, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lagi. Anda cukup mempersiapkan diri," kata Luiso.
"Ok," jawab Hansel.
Luiso mengelurkan sebuah amplop cokelat berisi sejumlah uang pada Hansel. Hansel sempat terkejut, karena ia tiba-tiba saja diberi uang oleh Luiso.
"Apa ini? saya belum bekerja, bukan?" tanya Hansel.
"Anggap saja ini hadiah perkenalan kita. Aku percaya padamu, Hans. Kau memiliki wajah di atas rata-rata. akan sangat bagus jika keponakanku itu bisa dekat denganmu. Ingat, kau harus bekerja dengan sungguh-sungguh."
"Silakan, Tuan. Anda pasti mrmbutuhkan ini," kata Luiso menatap Hansel.
Dengan sedikit keraguan Hansel menerima uang pemberian Luiso. Hansel merasa pekerjaannya tidak akan semudah yang dipikirkannya. Namun, ia tidak bisa menolak karena memang butuh uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari setelah dua minggu terus membebani Marc.
"Baiklah, saya akan terima ini. Terima kasih, Tuan. Saya akan bsrusaha sebaik mungkin untuk perkerjaan saya," ucap Hansel yang lansgung menerima uang pemberian Luiso dan menatap Luiso lalu menatap Alfonzo.
Alfonzo menganggukkan kepalanya perlahan, "Aku menantikan hasil kerjamu," jawab Alfonzo.
"Ya, Tuan. Sekali lagi terima kasih," jawab Hansel.
"Cukup di sini pembahasan kita. Selebihnya kau akan mendengarkan arahan dari Asistenku. Sampai jumpa lagi, Hans."
"Baik. Tuan."
Alfonzo bangkut berdiri dari duduknya, lalu melangkah perlahan meninggalkan kedai kopi. Luiso masih bersama Hansel. mengarakan beberapa hal pada Hansel agar Hansel lebih mengerti dan tahu apa pekerjaanya.
"Saya rasa arahan dari saya sudah cukup, Tuan. Saya harap Anda benar-benar bisa diandalkan," kata Luiso.
"Semoga saja. Ah, tidak. Saya pasti bisa, dan harus. Terima kasih Tuan Luiso," jawab Hansel tersenyum.
Luiso tersenyum, "Kalau begitu saya pamit undur diri. Sampai jumpa," pamit Luiso.
"Ya, silakan. Hati-hati, Tuan Luiso."
Hansel kembali duduk. Ia meletakan amplop cokelat berisi uang di atas meja dan memandanginya cukup lama. Seperti mimpi baginya bisa mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup besar hanya dengan pertemuan singkatnya dengan orang asing. Ia bertekad apapun resikonya ia akan tanggung. Ia sudah menyanggupi pekerjaan itu dan harus menyelesaikannya dengan baik sampai di akhir.
...*****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!