"Mbak... Mbak.... Bangun, Mbak. Masjidnya sudah mau ditutup," ucap seorang perempuan tua menggoyang pelan bahu seorang gadis yang tertidur lelap bersender pada dinding masjid.
Ia mengerjapkan mata, melihat seorang wanita paruh baya yang membangunkannya.
"Maaf, Bu. Saya ketiduran," jawab Senja lirih
"Mbaknya ini mau kemana?"
"Saya mau pulang,"
"Rumahnya jauh ya, Mbak?" Sambung wanita tadi
"Dekat, Bu. dikomplek depan jalan itu." kilah Senja.
"Saya kira jauh, kalau jauh biar saya antar,"
"Tidak usah! terima kasih."
Senja melepaskan mukena yang dia pinjam dari lemari masjid, setelah melipat mukena dan sajadahnya, Senja meletakkan kembali ke tempat semula, kemudian berjalan keluar dari masjid dan duduk di teras masjid.
Ibu yang tadi sempat membangunkan Senja tertegun melihat penampilan Senja terlihat sedikit berantakan, rambut panjang sepunggung yang diikat asal dengan dress selutut terdapat robekan di bagian lengannya, Ibu itu mendekati Senja yang sedang duduk melamun.
"Kamu enggak papa, Nak?" Tanya wanita itu "Apa ada masalah?" Sambungnya.
Senja menoleh ke arah Ibu yang sudah duduk disampingnya, "Iya Bu, saya tidak apa apa."
Meski Senja mengatakan tidak apa-apa, Ibu itu tahu jika Senja sedang dalam masalah, terlihat dari matanya yang sembab, ada sedikit luka gores dipelipis mata dan lebam di pipi kiri serta bekas darah disudut bibirnya.
"Nama saya Utari, rumah saya agak jauh dari sini, tadi saya dan anak serta cucu saya, mampir buat sholat disini pas dengar Adzan isya, kalau kamu mau, biar kami Antar kamu pulang kerumahmu." tutur Ibu Utari
"Tidak apa Bu! saya pulang sendiri saja, terima kasih banyak atas tawarannya," Senja berdiri dan pamitan dengan Ibu Utari
"Nak!!"
Baru beberapa langkah Senja meninggalkan Bu Utari, dia dipanggil lagi olehnya, Bu Utari mengeluarkan sebuah pasmina berwarna peach dari dalam tas, dan memakaikan pasminanya melingkar di bahu Senja, menutupi bekas luka pada leher dan koyakan di lengan baju,
"Pakailah! biar kamu tidak kedinginan"
"Terimakasih banyak, Ibu." ucap Senja kemudian berbalik pergi meninggalkan Bu Utari
Bu Utari masih berdiri memperhatikan Senja yang berjalan lunglai, "Kasian gadis itu." gumam Bu Utari. Setelah melihat Senja menghilang dari pandangannya, Bu Utari masuk ke mobil anaknya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Perempuan tadi siapa, Mah?" Tanya Awan ketika Bu Utari sudah masuk ke dalam mobil.
"Mamah juga enggak tahu, Wan. tadi didalam masjid ketiduran sambil bersender, terus Mamah bangunin tapi kayak yang lagi ada masalah gitu, soalnya mama lihat matanya bengkak, banyak luka-luka terus sedih banget mukanya" jelas Bu Utari
"Kasian banget." sahut Awan.
"Biru kok ditidurin gitu sih, Wan! bukannya taruh di car seat." protes Bu Utari melihat cucunya tertidur telungkup di bangku belakang.
"Tadi udah ngantuk banget, nungguin Mama sambil mainan dibelakang, taunya ketiduran." jawab Awan.
"Ya sudah, Mama pindah kebelakang saja, Takutnya nanti Biru jatuh." ujar Bu Utari berpindah duduk ke kursi belakang.
...----------------...
Tok...tok...tokkk
Seseorang dari dalam rumah berlari kecil menuju pintu utama setelah mendengar suara ketukan pintu,
"Iya, Siapa? Astaghfirullahaladzim Mbak Senja!" Tika terkejut melihat kedatangan Istri Dewo yang merupakan sepupu dari Tika, dengan penampilan yang acak-acakan,
"Masuk, Mbak." sambung Tika.
"Mbak! kamu diapain lagi sama Mas Dewo?" Tanya Tika menyelidik
"Aku capek banget, Tik. Aku numpang tidur disini ya," jawab Senja seraya merangkak naik ke tempat tidur Tika, Senja merebahkan tubuhnya, menyelimuti dengan selimut kemudian meringkuk didalamnya.
Senja merasakan Tubuh kecilnya sangat lemah tak bertenaga, badan nya gemetar karena belum terisi nasi sejak pagi tadi, namun rasa sakit pada badannya mengalahkan perut yang sudah keroncongan sejak tadi. Tidur adalah pilihan terbaik untuk melupakan sejenak permasalahan dalam hidupnya.
Senja Nahesswari, adalah seorang perempuan, anak semata wayang dari pasangan Ibu Ina dan Bapak Deni, yang setahun lalu resmi menikah dengan laki-laki bernama Sadewo Yudistira. Pernikahan mereka hasil perjodohan dari kedua orang tuanya, Kedua orang tua Senja menjodohkan anak semata wayangnya karena merasa banyak berhutang budi kepada orang tua Dewo. Awalnya Senja menolak perjodohan ini, tapi karena kondisi orangtuanya yang sudah renta terus memohon kepada dirinya, akhirnya Senja menyetujui untuk menikah dengan laki-laki yang bahkan belum pernah Ia temui.
Dewo merupakan laki-laki yang sangat dingin dan tak acuh, Kedua orang tua Dewo adalah pebisnis yang sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk keluarganya, Oleh sebab itu Dewo sangat bebas dalam pergaulannya. Karena perilaku Dewo yang sangat urakan, Mama Sinta dan Papa Anto seringkali berurusan dengan kepolisian.
Merasa lelah menghadapi kelakuan anak satu-satunya, akhirnya tercetus lah ide dari Papa Anto untuk menjodohkan Dewo dengan gadis pilihannya.
"Kamu harus menikah dengan gadis pilihan Papa dan mulai bekerja di kantor Papa, kalau kamu menolak! Papa pastikan namamu akan kucoret dari daftar ahli waris!! Papa akan menyumbangkan seluruh harta kekayaan Papa untuk yayasan, dan kamu jangan berharap akan mendapatkan bagian!"
Ancaman dari Papa Anto berhasil membuat Dewo menuruti kemauan orangtuanya yang di anggap konyol oleh Dewo, "Biarlah aku turuti kemauan Papa sekarang, tapi aku tidak akan pernah benar-benar menganggap dia menjadi istriku nanti." batin Dewo
Setahun sudah Senja dan Dewo mengarungi bahtera rumah tangga, namun sikap Dewo tak juga berubah. Laki-laki itu tetap bersikap dingin dan semaunya sendiri. Awalnya, Senja berpikir kecanggungan mereka tidak akan berlangsung lama, mungkin jika sudah terbiasa tinggal berdua, benih cinta akan tumbuh dengan sendirinya.
Ternyata dugaan Senja salah, semua itu hanyalah harapan kosong belaka. Meski sudah lama tinggal berdua, sikap Dewo tak kunjung berubah, dia tetap bersikap dingin dan seenaknya sendiri.
Yang lebih memprihatinkan lagi, prahara dalam rumah tangganya seakan tak pernah berakhir.
Senja membuka pintu saat mendengar suara deru mobil Dewo memasuk halaman rumah mereka, setelah membukakan pintu untuk suaminya, Senja berlalu menuju dapur, kemudian membuatkan minum dan menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Setelah semuanya sudah siap, Senja membawa minum itu keluar, namun tak mendapati suaminya diruang tengah maupun di ruang tamu,
"Perasaan tadi udah kedengeran masuk rumah, kok enggak ada? apa mungkin di ruang kerjanya." gumam Senja
Senja mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil nama suaminya, namun tak juga ada jawaban dari penghuni didalam ruang kerja. Senja mulai khawatir, kalau saja terjadi apa-apa dengan Dewo, Suaminya itu memang kerap pulang dalam keadaan mabuk. Akhirnya Senja memberanikan diri untuk membuka pintu ruang kerja Dewo.
Perlahan Ia memutar kenop dan mendorong pintu,
Deg!!!
Hampir saja gelas dalam genggamannya terjatuh ketika menyaksikan adegan panas suaminya yang sedang bercumbu dengan perempuan dalam pangkuannya. Dengan tidak tahu malunya, kedua pasangan zina yang kepergok itu, bukannya kaget atau bersikap merasa tidak enak dan malu dengan kelakuannya, mereka justru hanya menoleh sesaat kearah Senja kemudian melanjutkan lagi perbuatannya tanpa menghiraukan keberadaan Senja.
Senja menutup pintunya kembali dengan keras dan berlari meniti anak tangga menuju kamarnya, setelah sebelumnya meletakan gelas di nakas samping pintu.
Senja bersimpuh di samping ranjang, menangisi nasibnya sendiri. Ini memang bukan hal baru buat Senja, Semenjak menikah dengan Dewo, tak pernah sekalipun Dewo menganggap Senja sebagai istrinya, jangan kan untuk berhubungan layaknya suami-istri pada umumnya, Dewo dan Senja hampir tak pernah bertegur sapa, nafkah lahir dan batin tak pernah Senja dapatkan dari laki-laki yang menyandang status sebagai suaminya itu.
Dewo hanya memberikan uang untuk keperluan dapur dan itupun tidak seberapa, untuk memenuhi kebutuhan nya sendiri, Senja melanjutkan pekerjaan sebagai Guru Taman kanak-kanak di sekolah elite, dari situlah Senja mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan sebagian diberikan kepada Kedua orangtua Senja.
Terdengar derap langkah kaki dari arah tangga, Senja paham betul pemilik langkah kaki yang terdengar berat dan tegas, Ia langsung berdiri menaiki kasur dan beringsut dibawah selimut.
BRAKK!!!!
Pintu kamar terbuka menabrak dinding hingga menimbulkan suara kencang.
"Bangun lu! Enggak usah pura-pura tidur!" Bentak Dewo
Senja membuka sedikit selimutnya, beralih menyenderkan punggung di headboar kasur.
Dewo mendekati Senja dan mencengkram kuat bahu Senja hingga sang pemilik bahu meringis kesakitan "Siapa yang nyuruh elu masuk ke ruang kerja gue!" Bentak Dewo
"Aku cuma nganterin minum kamu, Mas." jawab Senja lirih
"Gue udah bilang berkali kali jangan pernah usik kehidupan gue!" Dewo mendorong bahu Senja hingga terpentok headboard
"Sekarang turun siapin makan, Cepat!!" Bentak Dewo
Senja bergegas turun ke dapur menyiapkan makanan untuk suaminya ,dua set piring lengkap dengan nasi,sayur dan lauk sudah terhidang rapi dimeja.
Dari awal pernikahan, Dewo memang membatasi diri untuk tidak satu kamar dengan Senja, mereka hanya akan duduk bersama saat sarapan dan makan malam, hubungan antara mereka tidak lebih dekat dari itu.
Dewo keluar dari ruang kerja dengan menggandeng tangan wanita yang tadi bersama nya didalam ruang kerja.
Dengan santainya Dewo menarik sedikit kursi dan mempersilahkan wanita itu untuk duduk bergabung menyantap makan malam bersama mereka.
Biasanya Senja akan menyiapkan makanan untuk Dewo, kali ini justru Dewo yang turun tangan menyiapkan makanan untuk wanita itu, dituangkannya nasi beserta lauk dan sayur ke piringnya, "Udah, Sayang.... jangan kebanyakan" ucap perempuan itu.
"Kamu harus makan banyak Luna sayang! biar sehat," kata Dewo.
Dari situ Senja mengetahui jika perempuan yang duduk bersebrangan dengannya bernama Luna.
Sangat lembut... Dewo memperlakukan Luna dengan sangat lembut, sikap yang sampai saat ini tak pernah ditunjukkan pada Senja. meski sudah lama mereka hidup bersama, tak sekalipun Dewo memperlakukan Senja selembut itu, sekedar mengobrol dengan nyaman saja tidak pernah mereka lakukan.
Senja tidak tahu alasan Dewo bersikap sejahat ini padanya, Senja pikir sikap Dewo selama ini hanyalah bentuk dari protes karena perjodohan ini, "Mungkin sikap Dewo akan berubah suatu hari nanti" seperti itu cara Senja mendoktrin diri sendiri agar dapat bertahan hidup dengan laki-laki yang tidak mencintainya.
Kenyataannya, hal ini sudah berlangsung selama setahun, dan tidak ada tanda-tandanya Dewo akan berubah. Kian hari Dewo justru menunjukan sikap buruknya, selalu pulang dalam keadaan mabuk, memperlakukan Senja seperti seorang pembantu, sampai membawa pulang wanita selingkuhannya.
Anehnya, Dewo tidak pernah berniat untuk menceraikan Senja meski pria itu tidak mencintainya.
Pulang larut malam dalam keadaan mabuk, memperlakukan ku seperti seorang pembantu, hal ini masih bisa ku terima. Tapi sikap Dewo kali ini sudah tidak bisa ku tolerir, dengan beraninya dia membawa pulang selingkuhannya kerumah mereka berdua.
Aku meletakkan kembali piring yang masih kosong ke dish rack, kemudian pergi meninggalkan suamiku dan selingkuhannya yang sedang bermesraan. Sengaja ku hentakan kaki ku ketika menaiki tangga, membuka pintu kamar dan ku tutup dengan kencang, agar mereka menyadari bahwa perbuatan mereka telah melukai hatiku.
"Kamu sudah sangat keterlaluan Mas!" Air mata yang membendung di pelupuk mata sudah tidak dapat lagi tertahan.
Dadaku bergemuruh, sakit sekali menyaksikan suami sendiri bermesraan dengan wanita lain didepan mataku.
Aku merebahkan tubuh ku kekasur, menutupi wajahku dengan bantal supaya mereka tidak mendengar tangisanku, menikmati rasa sakit ini.
Lama aku menangis dibalik selimut yang masih kututup dengan bantal, ternyata menangis membuatku semakin lapar.
"Sudah satu jam aku dikamar, mungkin mereka sudah tidak diruang makan" batin ku,
Aku keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil makanan.
Dewo dan selingkuhannya sudah tidak ada, aku bergegas mengambil nasi dan lauk tidak lupa juga segelas air yang akan aku bawa ke kamar. Saat akan menaiki tangga, pintu kamar Dewo terbuka, dia menatap sebentar ke arah ku lalu membuang muka, aku kembali berjalan ke kamar dengan tangan berisi piring dan gelas.
Ku letakkan nasi di meja rias, "Sepertinya aku butuh pengalihan pikiran! enggak akan nikmat makan jika aku terus membayangkan kelakuan Dewo dan selingkuhannya."
Aku membuka laptop dan memutar sebuah acara variety show dari negri ginseng, baru saja aku menyuapkan sendok ke mulut, pintu kamar terbuka.
"Gue kira nangis bisa bikin elu kenyang!tahu nya masih kelaparan juga lu," ucap Dewo sembari menyalakan rokok dan menghisapnya.
"Mulai sekarang, Luna akan tinggal disini" sambungnya.
"Kenapa, Mas?!" Kenapa aku harus tinggal dengan selingkuhan mu itu" sengaja nada suara ku tinggikan, aku sudah tidak ingin terus terusan disiksa batin nya,
Hanya tinggal berdua dengannya saja sudah membuatku sangat tersiksa, sekarang apalagi?? Harus tinggal dengan selingkuhannya itu, aku enggak akan Sudi pikirku
"Buat apa lagi, Mempermudah hidup ku! Kalau pas aku lagi pengen enggak perlu mahal-mahal sewa hotel." ucapnya tak memperdulikan perasaan ku
"Kamu tahu sewa hotel mahal, kenapa kamu harus bermain dengan yang haram sedang yang halal saja kau abaikan!"
"Hahaha... halal? Kamu? Jadi maksud kamu kalau aku lagi pengen suruh dilampiasin ke kamu begitu?"
Arrgghhh!!!
Tangan kanannya menjambak rambutku dengan kuat, "Apa dengan melakukannya denganmu membuat kamu senang? Apa dengan bersikap baik dengan mu membuat keluarga kamu yang matre itu puas, Ha!!!! Dengar baik-baik, aku enggak akan pernah sudi menyentuh tubuhmu! kamu menerima dijodohkan dengan ku cuma demi harta ayahku, jadi terima saja!"
"Jika kamu tidak mencintaiku, kenapa kamu tidak menceraikan ku saja, Mas?! orangtuaku tidak seperti yang kamu kira, mereka menikahkan aku karena ingin membalas Budi kebaikan orangtuamu, andai saja mereka tahu kamu seperti ini, mereka juga tidak akan sudi menikahkan anaknya dengan bajingan seperti kamu." Aku menipis tangannya yang sedang mencengkram erat rambut ku yang terikat,entah darimana keberanian untuk melawan Dewo ini muncul.
Plaakkkkk!!!!
Dewo mengangkat dan mengayunkan tangan kanannya menampar pipiku.
"Berani lu sekarang ngelawan gue ya!" bentak Dewo.
Dewo kembali menampar pipiku, menjambak rambut dan mendorongku hingga terjatuh di sisi ranjang, melihat aku tersungkur, Dewo semakin menggila hingga menendang betis kaki.
Pembuluh darah tampak tegang di lehernya, muka nya merah padam penuh amarah, aku tahu betul jika sudah seperti ini, pasti Dewo akan lebih membabi buta, aku tendang perut Dewo dan segera berlari keluar dari rumah.
Aku berlari tanpa menghiraukan penampilanku, aku tidak tahu sudah sejuah apa aku berlari, yang pasti sedari aku keluar rumah pun Dewo tidak mengejar ku, hanya aku saja yang ingin menghindarinya sejauh mungkin. Langkahku terhenti di depan masjid tepat saat adzan isya berkumandang, Aku masuk ke dalam masjid dan ikut sholat berjamaah menggunakan mukena yang tersedia di masjid.
Lari dengan perut kosong membuat langkahku sedikit bergetar, aku senderkna tubuhku di dinding, lelah menggelayutiku, lantunan dzikir dari beberapa orang terasa sangat teduh ditelinga, seakan menghipnotisku untuk memejamkan mata.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, sayup terdengar suara seorang perempuan yang membangunkanku, karena sebagian orang yang sholat berjamaah sudah membubarkan diri.
"Setiap wanita pasti tahu akan perasaan wanita lain" aku pernah mendengar kalimat itu dari seseorang. Ibu itu seakan tahu jika aku sedang dihadapkan dengan masalah, beberapa kali Ia menanyakan tentangku dan terakhir Ia meminjamkan selendang berwarna peach untuk menutupi robekan baju yang ku kenakan.
Setelah mengucapkan rasa terima kasih ku pada Wanita itu, aku meninggalkan halaman masjid. Kali ini tujuan ku adalah rumah Tika, sepupu dari suaminya yang selama ini menjadi saksi bisu atas kekejaman Dewo terhadapku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!