NovelToon NovelToon

My Amazing Husband

Prolog

Marisa melipat kembali mukenanya setelah menyelesaikan sholat shubuhnya. Ia bergegas keluar masjid bersama sahabatnya, Ratna. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk menyempatkan sholat shubuh di masjid.

"Ris, aku main ke kost kamu ya," ucap Ratna sambil memakai sandalnya.

"Iya terserah kamu, mumpung libur juga Na," jawab Marisa yang masih berdiri sambil melihat-lihat letak sandalnya yang kini tak lagi bersandingan.

"Emmm. Tunggu Kak Galih bentar ya, biar nanti dibilangin sama mama." Ratna menatap pintu masjid yang khusus untuk laki-laki, menunggu kakaknya yang sepertinya belum keluar masjid.

"Oke deh." Marisa sedang memakai sandalnya, setelah ia menemukan posisi sandal kirinya.

Tak berapa lama setelah mereka menunggu di teras masjid, akhirnya laki-laki yang dimaksud Ratna keluar juga.

"Itu Kak Galih keluar," kata Ratna yang menunjuk dua laki laki yang keluar dari pintu masjid. "Kak sini cepetan!" Ratna melambaikan tangannya memberi isyarat untuk segera menghampirinya.

"Ada apa sih dek?" tanya Galih setelah menghampiri Ratna dan Marisa. Galih bersama temannya yang juga dikenal Ratna.

"Eh, Kak Elvan nginep di rumah ya semalem?" tanya Ratna. Ia memang berangkat setelah kakaknya, jadi ia tak mengetahui ada Elvan yang juga ikut sholat di masjid.

"Iya Rat, semalem hujan jadi ya terpaksa nginep daripada kehujanan," jawab Elvan sambil melirik ke arah Risa.

"Eh, Kakak tanya malah nggak dijawab ini bocah." Galih merasa jengkel karna sebelumnya Ratna yang memintanya datang malah tidak menjawab pertanyaannya.

"Ihh, Kakak santai dong, aku mau ke kost Risa Kak, mau ngobrol-ngobrol mumpung hari minggu. Kakak tolong bilang ke mama ya, aku males kalau bolak balik pulang." Rengek Ratna mencoba merayu kakaknya.

"Serah deh." Galih menggeleng gelengkan kepala. Sudah menjadi hal yang biasa Ratna merepotkannya.

Galih kini memperhatikan sahabatnya Elvan yang terus menatap Marisa. Sementara yang ditatap justru terlihat malu-malu. "Van, jangan dilihatin terus, dosa tau." Galih menepuk pundak Elvan yang membuat sahabatnya itu terkejut.

"Eh, sory, gue nggak sadar, soalnya lagi lihat bidadari disini," kata Elvan jujur mengagumi kecantikan Marisa.

"Makanya kenalan, nanti kalau udah kenal langsung dinikahin, biar halal dilihatin terus." Galih terkekeh menggoda sahabatnya, yang ternyata malah dianggap serius oleh Elvan.

Apa bisa wanita seperti dia menjadi istriku. Batin Elvan

"Aku Elvan, temennya Galih. Nama kamu Risa ya?" Elvan mengulurkan tangannya hendak berkenalan dengan Marisa.

"Em, iya aku Risa," jawab Marisa yang menjabat tangan Elvan.

Sumpah ini cewek cantik banget, mau sholat subuh di masjid gini pasti sholatnya juga rajin.

Senyumnya manis banget. Ya Allah apa dia jodohku. Jantungku berdebar debar terus dari tadi.

"Udah, ngobrolnya nanti lagi. Aku mau ke rumah Risa nih." Ratna menarik tangan Marisa dan langsung meninggalkan Elvan dan Galih.

Sementara Elvan masih terpaku menatap kepergian Marisa yang ditarik paksa oleh Ratna. Marisa hanya tersenyum seraya menganggukkan kepalanya untuk berpamitan.

...****************...

Marisa dan Ratna mengobrol dengan santai dikamar kost Marisa. Mereka memang bersahabat sejak masuk kuliah. Sudah menjadi hal biasa jika Ratna berlama-lama main di kost Marisa. Bahkan Ratna yang merekomendasikan tempat kost tersebut saat Marisa yang masih kebingungan karena baru tinggal di kota itu. Marisa yang tak ingin terus menumpang di rumah kerabat ayahnya, akhirnya memutuskan untuk tinggal sendiri.

Hampir 5 tahun Marisa tinggal sendiri di kost itu, ia bahkan sangat akrab dengan orang tua Ratna dan Galih, yang terkadang mengiriminya makan saat memasak lebih.

Marisa telah selesai menyapu dan mengepel lantai. Sementara Ratna kini sibuk dengan ponselnya. Marisa merebahkan tubuhnya di kasur spons tepat di sebelah Ratna. Hingga Ratna mendapat pesan dari kakaknya.

[Dek, mama bilang jangan sarapan dulu. Mama masak nasgor banyak. Nanti Kakak anterin ke kost Marisa.]

"Ris, Kak Galih bilang mama masak nasi goreng banyak, nanti dianter kesini," kata Ratna setelah membaca pesan kakaknya.

"Em, yaudah, aku masak nanti aja kalau gitu. Kebetulan aku juga belum belanja, baru masak nasinya aja sih," kata Marisa yang kemudian mendapat acungan jempol dari Ratna. Siip, begitu katanya.

[Oke Kak.. siap..] Ratna membalas pesan Galih

"Oh iya Ris, menurut kamu Kak Elvan ganteng nggak?" Ratna meletakkan ponselnya di meja kecil samping kasur. Kasur Marisa memang tanpa dipan, alias lesehan.

"Em,, lumayan. Kenapa emangnya?" tanya Marisa, ia membayangkan kembali wajah laki-laki yang tadi subuh memang terlihat mempesona, mungkin karna rambutnya yang masih basah terkena air wudhu.

"Kalau Kak Elvan suka sama kamu, gimana?" tanya Ratna yang sepertinya ingin menjodohkan Marisa dengan laki-laki yang dikenalnya dengan baik itu.

Marisa berfikir sejenak. Dia dan Elvan baru saja bertemu. Lalu, mana mungkin Elvan langsung menyukainya.

"Ris. . . . Ris. . . . Woy. . . . Marisa."

Marisa masih dengan lamunannya.

Memang sih Elvan laki-laki yang tampan. Sepertinya agamanya juga bagus. Tapi, ah sudahlah gara-gara Ratna aku jadi ke ge'er an. Marisa

"Marisa kamu melamun?" tanya Ratna, gadis itu menimpuk sahabatnya dengan bantal, yang seketika menyadarkan Marisa dari lamunannya.

"Apaan sih Na, siapa juga yang melamun." Risa mengelus-elus kepalanya yang tertimpuk bantal.

"Kamu aku panggil dari tadi nggak nyahut, itu namanya apa kalau nggak melamun." Ratna mengambil kembali bantal yang beberapa saat lalu ia gunakan untuk menimpuk kepala sahabatnya.

"Ih, orang aku dari tadi diem nggak melamun." Marisa bangun dari posisinya, mengambil ponselnya kemudian duduk lagi di kasur.

"Kamu ngelamunin Kak Elvan ya?" tanya Ratna menggoda Marisa.

Seketika pipi Marisa terasa panas, menyebabkan warna merah alami di pipi mulus itu. Marisa menimpuk kepala sahabatnya dengan bantal, demi menutupi rasa malunya.

"Apaan sih, siapa juga yang ngelamunin dia. Orang baru kenal juga." Marisa mengelak.

"Ya udah kalau nggak mau ngaku." Ratna pergi menuju kamar mandi yang masih satu ruangan dengan kamar Marisa.

Kamar Marisa memang tidak terlalu luas, ada kamar mandi dan dapur kecil yang hanya tertutupi tirai dari cangkang kerang-kerang kecil.

Lalu, sebuah notifikasi masuk di ponsel Marisa. Gadis itu membuka ponselnya, sebuah pesan dari ayah tercintanya.

[Nduk, kapan kamu pulang. Ayah kangen.] Ayah Marisa

Ayah, Risa juga kangen ayah. Rasanya Risa juga pengen cepet-cepet pulang ketemu ayah. Tapi, kerja di perusahaan besar sekarang ini, malah susah buat ambil libur. Gimana ya, ayah pasti kecewa kalau aku nggak pulang.

[Maaf ayah, Risa masih belum dapet cuti. Nanti sekalian lebaran saja yah, 2bulan lagi ya yah, sebelum lebaran Risa pulang.🥰]

Marisa membalas pesan ayahnya. Ayah Marisa tinggal di sebuah desa di lereng gunung. Setelah Marisa lulus SMA ayahnya memutuskan untuk tinggal di desa berternak kambing, sesuai dengan janjinya kepada almarhum sang istri. Ya, ibu Marisa telah meninggal sejak ia kelas 1 SMA.

Bermodal uang tabungan dan uang pensiunan selama bekerja menjadi mandor di pabrik biskuit, ayah Marisa pindah ke kampung untuk menikmati sisa hidupnya, yang telah lama ia rencanakan bersama sang istri. Namun takdir berkata lain, istrinya meninggalkannya lebih dulu setelah 1tahun menderita penyakit paru-paru.

[Baiklah Nak, jika memang kamu sibuk. Yang terpenting kamu harus selalu ingat untuk menjaga diri, dan jangan lupakan kewajiban sholatmu.]

[Iya ayah, Risa janji tidak akan mengecewakan ayah. Ayah jaga kesehatan ya, Risa sayang Ayah.]

Setelah mengirim pesan kepada ayahnya, Marisa meletakkan kembali ponselnya di meja.

Tok.. tok.. tok..

Pintu yang tidak tertutup itu diketuk. Marisa menoleh ke arah pintu. Ia yang baru saja ingin rebahan, akhirnya mengurungkan niatnya setelah melihat Galih dan Elvan yang datang membawa rantang makanan.

Bersambung....

novel ini, adalah karya pertama author, mon maaf kalau opening atau bahkan penulisannya berantakan 🙏🙏

Boleh Minta Nomermu?

Tok.... Tok.... Tok....

Pintu yang tidak tertutup itu diketuk. Marisa menoleh ke arah pintu, ia yang baru saja ingin rebahan, mengurungkan niatnya setelah melihat Galih dan Elvan datang membawa rantang makanan.

"Eh, Mas Galih." Marisa bangkit dari posisinya.

"Ris, ini aku bawain makanan dari Mama, sekalian kita sarapan sama-sama, bolehkan?" tanya Galih, ia dipaksa Elvan untuk bisa makan di tempat Marisa.

"Emmmmm.... Iya, boleh kok Mas Galih, silakan masuk." Marisa mempersilakan kedua laki-laki dewasa itu memasuki kamar kostnya.

"Jadi cuma Galih nih yang boleh masuk?" tanya Elvan yang masih berdiri memegang rantang di tangannya, ia memperlihatkan ekspresi cemberut di bibirnya.

"Eh, Mas Elvan juga, silahkan masuk," jawab Marisa dengan sopan. "Maaf ya, kamarku sempit dan berantakan." Marisa merasa sungkan, karena untuk pertama kalinya ada laki-laki yang memasuki kamar kostnya. Ia pikir Galih akan mengantar makanan dan langsung pulang seperti biasanya.

Elvan dan Galih mengedarkan pandangannya. Kamar Marisa benar-benar bersih dan rapi, terlihat sangat nyaman. Nuansa putih yang mendominasi ruangan itu terlihat sangat luas, karena hanya ada kasur, lemari kecil, kaca rias, dan sebuah meja kecil yang berisi peralatan make up sederhana milik Marisa, semuanya benar-benar tertata rapi.

"Aku siapin dulu makanannya ya." Marisa mengambil rantang dari tangan Elvan. Sementara Elvan menatap mata Marisa, ia terpesona dengan paras ayu nan sederhana dari sosok Marisa.

"Eh, iya maaf ya jadi ngerepotin. Aku tadi yang maksa Galih buat makan disini, supaya bisa kenal lebih dekat sama kamu. Boleh kan?" tanya Elvan, ia melepaskan pegangan tangannya dari rantang yang kini telah berpindah ke tangan Marisa.

"Iya, silahkan. Aku permisi dulu." Marisa lalu meninggalkan Galih dan Elvan yang kini telah duduk di karpet lantai, di samping kasur. Gadis cabtik itu menuju dapur dan mengambil piring, untuk memindahkan nasi goreng yang masih panas itu dari rantang.

"Oh ya Ris, Ratna mana?" tanya Galih yang sedari tadi tidak melihat adiknya.

"Ratna lagi di kamar mandi Mas," jawab Marisa yang masih sibuk mengeluarkan rantang-rantang itu.

"Oh," jawab Galih.

"Kamu tinggal sendiri ya Risa?" tanya Elvan sambil mengamati gerak gerik Marisa di balik tirai yang memisahkan dapur dan kamar.

"Iya.. Ayah Risa tinggal di kampung, jauh...." Ratna yang baru keluar dari kamar mandi tiba tiba menyahut dan langsung menghampiri Marisa, mengambil dua piring lalu dibawa menuju Galih dan Elvan. "Nih, buat Kak Galih. Pasti gara-gara Kak Elvan, Kak Galih jadi nahan laper, ya kan?" Ratna menyerahkan satu piring untuk kakaknya, sementara piring satunya lagi untuk dirinya sendiri.

"Ih, dasar.... Harusnya itu laki-laki duluan yang dikasih makan" cicit Elvan tak terima, karena Ratna tak memberinya piring berisi nasi goreng udang yang terlihat enak. Dari harumnya saat Mama Galih memasak, Elvan bisa menebak rasanya pasti seenak harumnya.

Marisa keluar membawa dua piring, ia melihat Elvan yang masih kesal memperhatikan Ratna dan Galih telah memegang piringnya. "Em, Mas Elvan ini silahkan." Marisa menyerahkan piring kepada Elvan.

"Kamu kayak lagi belajar melayani suami Ris kalau aku perhatiin." Ratna dengan iseng menggoda Marisa.

Marisa tersenyum canggung. Mau bagaimana lagi, Ratna seperti sengaja agar Marisa yang memberi nasi goreng kepada Elvan.

"Bener Dek, mereka cocok kan kalau jadi pasutri," bisik Galih yang sebenarnya masih terdengar jelas di telinga Marisa dan Elvan.

"Apaan sih Na, aku tu belum kepikiran mau nikah. Aku masih pengen kerja, nikmatin masa lajang aku." Marisa membela diri, jujur ia sebenarnya tak ingin berpacaran, karena sang ayah yang melarangnya.

"Emang kalau suami kamu ngebolehin kamu tetep kerja dan nikmatin hidup bersama, kamu tetep nggak mau nikah?" tanya Elvan yang sengaja memancing respon Marisa.

Elvan memang ingin mengenal Marisa lebih dekat, apa salahnya mencoba mencari tahu keinginan Marisa sendiri?

"Em,, kenapa ngobrolin aku sih, coba topiknya diganti Ratna, jangan aku." Marisa tersenyum malu, menolak menjawab pertanyaan Elvan.

"Aku kan udah punya pacar, kalau kamu kan nggak mau pacaran, jadi pasti langsung nikah kan?" tanya Ratna yang ikut-ikutan memprovokasi.

"Iya Ris, coba aja dulu kamu mau pacaran, pasti udah aku pacarin." Galih terkekeh, karena ia dulu juga pernah menyukai Marisa saat awal-awal kenal.

"Aku bilangin sama kak Dea ya," ancam Ratna yang kini tengah melotot kepada sang kakak.

Galih dan Ratna terlihat beradu pendapatbdisela-sela sarapannya. Elvan dan Marisa terkekeh menyaksikan keakraban adik kakak itu sambil melahap makanannya.

****

Setelah sarapan

"Ris, aku boleh minta nomer whatsapp kamu nggak?" tanya Elvan memberanikan diri, sebenarnya Galih telah mengajaknya berpamitan.

"Em..." Marisa nampak berpikir, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenernya ia tidak pernah chating dengan laki laki, selain ayah dan atasannya di kantor, tentu hanya untuk urusan pekerjaan.

"Aku cuma pengen kenal deket sama kamu Ris, kalau kita cocok pasti aku akan seriusin kamu. Please kasih aku kesempatan." Elvan memohon setelah melihat banyak keraguan dimata Marisa.

"Emmm.. Iya deh, sebentar." Marisa meraih ponselnya di meja. "Ini Mas Elvan catat," katanya sambil menyerahkan ponsel yang layarnya menampilkan nomor telepon nya.

"Oke makasih Ris, aku sama Galih pamit." Elvan menyerahkan kembali ponsel Marisa.

"Nomer rekening Risa nggak sekalian nih," tanya Ratna.

"Udah, entar aja kalau udah sah, baru kasih nomer rekening, karena itu kewajiban suami. Sekarang nggak wajib." Galih keluar dari kamar kost Marisa.

"Kalian ini ngomongnya suami istri terus kayak paham aja." Marisa terkekeh.

"Yaudah, aku pamit dulu Ris, Assalamu'alaikum." Elvan melambaikan tangannya.

"Waalaikumsalam," jawab Marisa dan Ratna serempak.

Marisa dan Ratna pun melanjutkan obrolan mereka, yang lebih banyak curhatan Ratna tentang kekasihnya yang romantis.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

_Malam harinya_

Marisa menggantung mukenanya setelah sholat Isya. Ratna yang pulang sebelum maghrib membuatnya kesepian lagi. Ia membuka ponselnya, melihat foto-foto yang dikirim ayahnya. Foto-foto kambing ayahnya yang baru lahir. Marisa tersenyum melihat ayahnya yang begitu bahagia.

Namun, jika dia tinggal di desa, dia tidak akan maju. Dia paling hanya akan menjadi penjaga toko, atau bahkan menjadi penjaga warung. Hidup di desa tidak semudah kehidupannya di kota. Teman dan kehidupannya ada di sini, apalagi ia telah bekerja di perusahaan besar.

Marisa masih terus menatap foto bahagia ayahnya. Dan, sebuah pesan masuk dari nomor baru.

[Assalamu'alaikum Risa, ini aku Elvan.

Kamu lagi apa?]

Marisa membaca pesan dari nomor baru tersebut. Ia tersenyum, lalu segera membalas pesan Elvan.

[Wa'alaikumsalam.

Aku baru selesai sholat]

[Alhamdulillah, aku juga baru selesai sholat. Kamu udah makan?]

Mereka pun saling berkirim pesan, mencoba saling mengenal satu sama lain.

...****************...

_Satu bulan kemudian_

Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang sangat dinanti-nanti oleh kaum muslim. Bulan Ramadhan yang penuh ampunan. Bulan di mana manusia berlomba mengumpulkan pahala yang berlipat-lipat dari bulan biasa. Namun, aktifitas harus tetap dijalani seperti biasa.

Hari pertama puasa, Marisa menjalani dengan penuh semangat. Ini adalah puasa pertamanya sebagai karyawan. Memang, bekerja sebagai sekretaris seorang Direktur Utama perusahaan ternama membuatnya lebih banyak melakukan aktifitas di dalam ruangan berAC. Namun tetap saja, pekerjaan yang tak ada habisnya membuat energi Marisa terkuras juga.

Marisa bekerja sebagai sekretaris Alvero Wiguna. Seorang Direktur Utama yang memimpin perusahaan Guna Cipta Group atau lebih dikenal dengan nama GC grup. Marisa begitu bersyukur, karena bosnya adalah orang yang ramah dan baik, meskipun ia sangat tegas, tapi Alvero bukan direktur yang arogan dan kejam.

"Risa, kamu puasa?" tanya Alvero saat selesai menandatangani berkas yang diserahkan Marisa.

"Iya Pak, Insya Allah," jawab Marisa singkat, namun tetap sopan.

"Mau buka puasa bareng nggak?"

"Emmm, maaf Pak, sebenarnya, saya ada acara bukber sama sahabat saya, rame-rame." Marisa merasa tidak enak, karena sebelumnya Elvan telah mengajak dia buka puasa bersama Ratna dan juga Galih, bahkan, mereka membawa pasangannya masing-masing. Namun, menolak ajakan atasan yang begitu baik itupun Marisa merasa sungkan.

"Apa boleh saya ikut?" tanya Alvero sambil mengembalikan berkas kepada Marisa.

Bersambung...

Mengantar Pulang

"Apa boleh saya ikut?"

"Em, terserah bapak. Tapi ini cuma buka puasa biasa yang sederhana pak," jawab Marisa menerima berkas yang telah ditanda tangani itu.

"Tidak masalah, saya juga bisa kok makan makanan sederhana." Alvero terlihat sangat ingin berbuka bersama sekertaris yang disukainya itu. "Kosongkan semua jadwal saya sore ini. Nanti kita kesana sama sama," kata Alvero dan kemudian Marisa pamit kembali ke mejanya.

...----------------...

Saat jam pulang kerja Alvero berjalan menuju meja sekretarisnya. Marisa tengah bersiap siap, tiba tiba seorang wanita setengah baya masuk ke ruangan.

"Hai Al," sapanya. "Mama sengaja loh datang kesini mau ajak kamu buka puasa di restauran sama Papa dan Kakek," kata wanita itu sambil mencium pipi kanan dan kiri Alvero.

"Mama kenapa dadakan sih, aku udah ada janji Ma, next time aja gimana?" tanya Alvero.

"Emang kamu ada meeting ? Sekretaris kamu gimana sih, hari pertama buka puasa malah meeting," kesal wanita bernama Anita itu kepada Marisa.

"Ma, aku nggak ada meeting, aku udah janji duluan buka puasa sama sekertarisku Ma." Alvero langsung menjawab kata-kata mamanya, saat Marisa baru saja membuka mulut akan menjawab kata-kata Anita.

"Oh, kamu mau buka puasa sama sekretaris kamu ini." Anita menunjuk Marisa dengan telunjuk kanannya. "Eh, kamu jangan mimpi ya bisa menggoda anak saya. Kamu itu nggak selevel sama keluarga Wiguna. Kamu cuma sekretaris biasa, jangan mimpi bisa jadi anggota keluarga Wiguna." Anita mencaci Marisa.

Risa tersenyum, "Maaf Nyonya, saya bukan bermaksud menggoda Pak Alvero. Tapi Pak Al sendiri yang ingin ikut saya," jawab Marisa dengan masih tersenyum.

"Ma, Mama kenapa marah marah sih. Nanti puasa Mama batal lho," kata Alvero mengingatkan.

"Kalau begitu, kamu ikut Mama ya." Kata Anita tersenyum menghadap Alvero yang tingginya jauh diatasnya.

"Tapi Ma," Alvero enggan menuruti permintaan mamanya.

"Nggak ada tapi tapi. Kamu tega nolak keinginan Kakek kamu." Anita mencoba meluluhkan Alvero.

"Tidak apa pak, saya bisa pergi sendiri kok." Marisa mengambil tasnya.

"Yaudah, tapi next time kita buka puasa sama sama ya," kata Alvero yang tak tega jika kakek yang disayanginya kecewa.

"Insya Allah pak, saya permisi pamit dulu. Mari Nyonya." Marisa berpamitan dan segera keluar dari ruangannya.

Setelah Marisa menghilang dari ruangan itu, mama Alvero kembali mengomeli anaknya.

"Al, kamu jangan deketin sekertaris kamu itu ya. Dia itu nggak selevel sama kita," omel Anita.

"Kenapa memangnya Ma, aku berhak untuk menyukai siapapun. Marisa gadis yang baik kok, selama kerja disini Al nggak pernah melihat ada yang aneh dari dia. Dia baik ke semua orang Ma."

"Al, Mama nggak peduli dia seperti apa, yang Mama peduli itu kamu. Sampai saat ini Papa kamu masih belum memberikan sahamnya ke kamu. Dengan hanya 10 persen saham kamu nggak akan bisa menguasai perusahaan ini Alvero. Kamu seharusnya menikah dengan anak keluarga Darmawan supaya kamu bisa mendapatkan saham mereka."

"Ma, kenapa sih pikiran Mama cuma harta harta dan harta. Apa Mama nggak mikirin kebahagiaan aku?"

"Justru karna Mama mikirin kebahagiaan kamu Al. Mama melakukan semuanya supaya kamu berada di posisi tertinggi perusahaan ini. Bagaimana kalau papa mu memberikan sahamnya kepada anak sialan itu." Hati Anita terasa sakit ketika menyebut anak dari suaminya dengan wanita lain.

"Ma, udah lah aku percaya dia nggak akan merebut kekuasaan aku. Mama tenang ya, ayo kita pergi sekarang."

Mereka pun pergi ke sebuah restauran mewah, dimana mereka akan buka puasa.

***

"Maaf ya, aku terlambat" Marisa menarik kursi kosong disebelah Ratna, tepat dihadapan Elvan. Karna hanya itu kursi kosong satu satunya di meja mereka. Rumah makan yang menjual ayam dan bebek itu terlihat ramai. Penuh dengan pengunjung yang menanti datangnya adzan maghrib.

"Iya nggak papa, lagian juga adzan masih lama," kata Ratna. "Kamu tadi dipeseni ayam bakar sama Kak Elvan." Ratna melirik kearah Elvan.

"Oh... iya.." Marisa mengikat rambutnya yang kini dikuncir kuda. "Aku emang udah chat Mas Elvan tadi," katanya dengan pipi merona. Bahkan untuk mengakui mereka dekat pun Marisa masih sangat malu malu.

Elvan terdiam. Sepertinya, dia hanya menikmati kecantikan wanita yang tengah duduk tepat dihadapannya. Dia bahkan tak mendengar ocehan Ratna yang sedari tadi membuat pipi gadis impiannya itu merona.

"Emang kalian udah sedeket apa sih?" Tanya Galih yang kini ikut penasaran. Sementara Dea kekasihnya, hanya menyimak saja.

"Em,,, aku cuma chating aja kok. Nggak sedeket itu," jawab Marisa masih malu-malu. "Ya kan Mas?" Marisa kini mencari dukungan dari Elvan yang masih saja senyum senyum menikmati pemandangan indah di depannya.

Ratna dan Galih memperhatikan Elvan. Laki laki tampan berhidung mancung itu masih saja terpaku tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga Galih yang duduk di sebelahnya pun iseng ingin mengerjainya.

"Van, Risa ngajakin nikah tuh!" Teriaknya di telinga Elvan sambil menepuk pundak sahabat sekaligus bos nya di bengkel tempatnya bekerja. Ya, Elvan memiliki bengkel motor yang Ia rintis bersama Galih.

"Apa? Serius Ris? Kapan aku harus ngelamar kamu? Atau kita ketemu ayah kamu dan langsung menikah?" tanya nya gelagapan karena kaget sekaligus bahagia bercampur aduk.

"Hahahahaha" Galih dan Ratna tertawa terbahak bahak. Bahkan Dea dan Bimo yang sedari tadi hanya menyimak pun ikut tertawa, melihat tingkah Elvan yang seperti anak kecil tak sabar diajak rekreasi. Sementara Marisa terlihat bingung.

"Kok kalian ketawa sih?" Elvan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sedikit bingung apakah reaksinya barusan terlalu berlebihan.

"Jadi kalian udah bener bener serius?" Tanya Galih setelah berhasil menghentikan tawanya.

"Enggak gitu Mas Galih. Aku sama Mas Elvan cuma chat biasa kok. Kita aja baru ketemu tiga kali ini," kata Marisa jujur. Karna semenjak pertemuannya dengan Elvan sebulan lalu, ia memang tak pernah jalan berdua dengan Elvan.

Pertemuan kedua mereka terjadi di bengkel Elvan yang pada saat itu Marisa menemani Ratna pergi ke bengkel menyusul kakaknya yang akan menginap di rumah Elvan namun meninggalkan dompetnya dirumah. Sementara Ratna yang tengah menginap di rumah Marisa terpaksa mengantar dompet kakaknya itu karna sang ibu yang begitu khawatir.

"Ya kan emang kamu yang nggak pernah mau jalan sama aku," kata Elvan serius. "Kalau aja aku nggak ngajak mereka buka bersama kamu juga pasti nggak mau kan buka puasa sama aku?" tanya Elvan.

Galih dan Ratna terdiam. Membiarkan Marisa dan Elvan berbicara menyampaikan isi hatinya.

"Emmm.. maaf Mas, aku emang nggak pernah jalan berdua sama laki-laki. Aku takut timbul fitnah, lagian aku juga nggak mau pacaran Mas," kata Risa.

"Kalau kamu nggak mau pacaran, gimana kalau kita langsung menikah." Elvan serius.

Semua terdiam. Termasuk Marisa. Hanya suara berisik orang orang dimeja lain yang terlihat tengah sibuk mempersiapkan buka puasa pertama meraka. Hingga terdengar suara adzan dari radio yang diputar rumah makan tersebut. Semua masih terdiam.

"Alhamdulillah," ucap Galih setelah suara adzan selesai. "Kita berdo'a dulu terus langsung makan ya. Nanti kita cari masjid terus sholat jamaah," katanya mencoba mencairkan suasana.

Sementara Elvan masih terus menatap Marisa. Berharap segera mendapat jawaban dari Marisa.

Semua berdo'a dalam hati. Marisa dan Elvan pun terdiam sambil menikmati buka puasa mereka. Diawali dengan kurma yang dibagikan gratis. Lalu mereka melahap nasi yang telah dihidangkan di meja. Marisa dan Elvan sesekali saling menatap. Lalu melanjutkan lagi makanannya.

"Sayang aku mau coba ayam bakar punya kamu dong?" pinta Ratna menghadap Bimo yang artinya membelakangi Marisa.

"Kamu mau aku suapin?" tanya Bimo yang sebenarnya memang laki-laki romantis.

"Malu ah sayang sama kak Galih." Ratna menolak.

"Dih, tau malu juga kamu," sahut Galih.

"Dih, Kakak fokus aja sama kak Dea. Jangan ngupingin aku," kata Ratna.

"Siapa juga yang ngupingin. Orang semua bisa denger kok," kata Galih lagi.

"Udah udah. Selesaikan makannya cepat, katanya mau sholat jamaah. Nanti keburu habis waktu maghribnya," kata Dea menengahi.

Mereka pun menghabiskan makanannya masing masing. Elvan yang terus memperhatikan Marisa berfikir semakin dalam.

Apa Marisa nggak mau nikah sama aku? Kenapa? Sepertinya dia juga suka sama aku. Kenapa dia nggak mau pacaran, langsung nikah juga sepertinya nggak mau. Jadi dia kenapa. Batin Elvan.

Kenapa Mas Elvan memperhatikanku seperti itu. Apa benar dia mencintaiku dan tidak akan mempermainkan aku. Batin Marisa

***

Setelah selesai makan mereka menuju sebuah masjid. Orang orang yang telah selesai sholat pun baru saja keluar dari masjid.

Karna hanya mereka berenam yang sholat, akhirnya Elvan yang menjadi Imam.

Marisa, Ratna dan Dea sholat ditempat khusus wanita. Mereka masih bisa mendengar suara Elvan memimpin sholat, karna masjid itu hanya dibatasi dengan tirai kain untuk memisahkan tempat sholat laki laki dan perempuan.

Marisa yang mendengar suara Elvan melantunkan ayat ayat suci merasa tersentuh. Laki laki itu suaranya terdengar begitu merdu. Membuatnya semakin jatuh hati pada pria berkulit putih yang jauh di lubuk hatinya sangat ia sukai.

***

Setelah sholat mereka memutuskan pulang kerumah. Kini mereka berada dihalaman masjid tempat mereka memarkir kendaraannya. Marisa yang akan pulang bersama Ratna dan Bimo menumpang mobil Bimo pun dicegah oleh Elvan.

"Aku antar kamu pulang ya." Elvan memegang tangan Marisa.

"Aku pulang sama Ratna aja Mas. Kan deket juga," kata Marisa.

Ratna yang sepertinya paham jika Elvan butuh waktu bicara berdua pun akhirnya ikut membantu Elvan. "Sory ya Ris, kayaknya aku sama Bimo mau mampir ke rumah Bimo dulu deh," kata Ratna sambil memberi kode kepada Bimo.

Sementara Galih telah pergi dahulu mengantar kekasihnya pulang.

"Oh iya bener Ris. Aku sekalian beli martabak yang deket komplek mutiara itu yang antri lumayan lama. Soalnya ibu aku pesen itu tadi." Bimo tersenyum mengerti kode Ratna untuk membiarkan Marisa pulang bersama Elvan.

"Kebetulan Bim, berarti cuma ada aku kan ya yang bisa nganter Risa pulang," sahut Elvan tersenyum senang, ia menang telak.

"Udah Ris, kamu pulang sama Kak Elvan aja. Nggak mungkin lah dia macem-macem sama kamu," kata Ratna meyakinkan sahabatnya itu.

"Yaudah, aku sama Ratna balik dulu ya. Kalian hati-hati," kata Bimo mengepalkan tangannya yang kemudian disambut Elvan. Toss.

"Oke kalian juga hati-hati." Elvan melambaikan tangannya setelah mobil Bimo melaju.

Sementara Marisa masih terdiam. Anak rambutnya yang diterpa tiupan angin melambai lambai membuatnya terlihat semakin menggemaskan dimata Elvan.

"Jadi kita pulang atau sekalian teraweh disini?" Elvan menurunkan kepalanya menatap lebih dekat wajah Marisa yang sedari tadi masih menunduk.

"Kita pulang aja Mas," jawab Marisa.

"Emmmm. Kamu mau aku ajak mampir ke rumahku tidak? Sebentar aja. Deket kok dari sini. Aku mau ambil jaket sebentar," kata Elvan sambil menaiki motor sportnya. Lalu menyerahkan helm kepada Marisa.

"Iya terserah Mas Elvan saja. Tapi jangan lama lama ya," kata Marisa.

"Siap." Elvan mengangkat tangannya sigap seolah memberi hormat.

Marisa tersenyum.

Mereka pun menuju ke rumah Elvan. Angin malam itu memang terasa menusuk. Karena mereka dikawasan yang tidak terlalu ramai kendaraan. Udara dingin terasa menembus kulit Marisa. Hingga tak berapa lama mereka memasuki sebuah gang yang cukup lebar. Elvan menghentikan motornya setelah sampai di rumah sederhana yang terlihat asri dihiasi tanaman tanaman hias di terasnya dengan pagar bercat biru setinggi pinggang Elvan.

"Mau masuk atau tunggu disini," katanya saat telah memasuki halaman rumah.

"Aku tunggu disitu aja Mas, kan Mas Elvan cuma sebentar," kata Marisa menunjuk kursi yang ada di teras rumah.

"Yaudah, aku masuk dulu. Kamu tunggu sini ya jangan kemana-mana," kata Elvan.

Marisa pun tersenyum lalu duduk di kursi teras. Sementara Elvan langsung masuk ke dalam rumah.

Selang beberapa menit kemudian, keluar seorang laki laki tua dari dalam rumah.

"Kamu temennya Elvan? Kok nggak masuk rumah nak?" tanya laki laki tua tersebut.

"Oh iya pak, saya tunggu disini saja," jawab Marisa sopan.

"Panggil kakek saja. Saya kakeknya Elvan." Sang kakek lalu duduk di kursi sebelah Marisa, yang hanya dibatasi meja saja.

"Saya Risa kek, temennya Mas Elvan." Marisa menyalami tangan kakek Elvan dan mencium punggung tangannya.

"Kakek baru tahu kalau Elvan punya temen perempuan. Kakek pikir Elvan itu temennya laki laki semua," kata kakek yang dibalas dengan senyum oleh Risa.

"Baru kali ini Elvan bawa temennya perempuan pulang. Apalagi cantik sekali seperti nak Risa," puji kakek.

"Emm trimakasih Kek, tapi saya tidak secantik itu," ucap Marisa malu.

"Iya, bener, kamu cantik kok. Elvan itu hari hari cuma di bengkel saja. Apalagi semenjak ibunya meninggal." Kakek terlihat sedih mengingat kematian putrinya yang tak lain adalah ibu Elvan.

"Udah lah kek, Bunda udah tenang di alam sana," sahut Elvan yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah. "Aku antar pulang yuk Ris, entar nggak keburu sholat tarawihnya," kata Elvan sambil memakai jaketnya.

"Kalau gitu Risa pamit dulu kek." Marisa berpamitan dan mencium tangan kakek Elvan.

"Hati hati dijalan Van, jangan ngebut, kakek juga mau langsung susul nenek ke masjid," kata kakek.

"Iya Kek, Elvan pergi dulu." Elvan pun mencium punggung tangan kakeknya.

Elvan menyerahkan jaket yang telah ia bawa kepada Marisa. Jadi, Elvan memang keluar rumah membawa dua jaket.

"Kamu pakai jaket aku biar nggak masuk angin." Menyerahkan jaket kepada Marisa. "Tenang ini nggak bauk kok." Terkekeh setelah Marisa menerimanya.

"Mas Elvan ini, makasih ya Mas." Marisa memakai jaket Elvan. Elvan yang sudah diatas motor menunggu Marisa memakai jaketnya, dan menyerahkan helm kepada Marisa.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Kembali berbaur dengan mobil dan motor yang lain. Ditemani lampu kota yang semakin menambah kesan romantis. Elvan tersenyum dibalik helmnya, mengamati Marisa yang tampak menikmati suasana.

Sementara Marisa yang mencoba mengalihkan rasa gugupnya, memilih untuk melihat kiri kanan jalan. Seakan membaca nama nama toko yang berbaris rapi.

"Ris, mau mampir beli makan dulu nggak buat sahur nanti?" tanya Elvan yang kini membuka kaca helm nya.

"Apa Mas..? Nggak kedengeran.." tanya Marisa setengah berteriak sambil mendekatkan kepalanya dengan kepala Elvan. Suara deru mesin yang bersahut sahutan ditambah angin yang bertiup tiup. Membuat Marisa tak lagi mendengar jelas suara Elvan.

"Kamu mau mampir beli makanan dulu nggak, buat sahur nanti." Elvan juga setengah berteriak dan menghadapkan wajahnya kearah Marisa. Membuat mereka saling menatap. Wajah mereka begitu dekat.

Ya Allah. Mas Elvan ganteng banget dari deket gini. Apalagi senyumnya, Ya Allah. Jika dia jodohku maka dekatkan kami Ya Allah, jika bukan, segera beri petunjukmu sebelum kami saling menyakiti. Batin Marisa

Ya Allah, bener bener cantik kamu Marisa. Rasanya aku pengen cepet cepet milikin kamu. Elvan

Jika saja Elvan tak ingat sedang menyetir, pasti dia akan berlama lama dalam posisi itu. Sayang sekali karna sekarang Ia harus fokus lagi ke jalan didepannya. Daripada harus terjadi kecelakaan yang malah melukai wanita pujaannya.

"Yaudah kita mampir ke warung padang Bunda aja Mas. Bolehkan?" tanya Marisa masih setengah berteriak.

"Okee" Elvan tersenyum puas. Ia masih ingin berlama lama dengan Marisa, sehingga Ia harus mencari alasan untuk bisa menahan Marisa walau hanya sementara.

Mereka pun sampai di warung masakan padang yang dimaksud Marisa. Warung padang yang terkenal enak itu begitu ramai pengunjung.

"Mas, ramai banget, kayaknya bakalan lama deh. Gimana?" tanya Marisa setelah melepas helmnya.

"Kamu tunggu sini bentar, aku yang pesenin aja. Kamu mau apa?" Elvan menawarkan diri.

"Nggak usah Mas." Marisa menolak.

"Udah, biar aku saja. Sekalian beliin kakek nenek."

Setelah Marisa menyebutkan pesanannya. Elvan segera masuk memesan makanan dan membayarnya. Kemudian Ia kembali ketempat Marisa menunggunya.

"Udah aku pesenin, nanti dianter pegawainya kesini," kata Elvan.

"Emm. Mas aku boleh tanya nggak?"

"Boleh, mau tanya apa?" Elvan duduk tepat disamping Marisa.

"Mas Elvan cuma tinggal sama kakek nenek aja?"

"Iya, aku tinggal sama mereka, Bunda udah meninggal delapan tahun lalu," jawab Elvan lalu menundukkan kepalanya. Ada kerinduan yang mendalam saat mengingat ibunya tercinta.

"Maaf ya Mas, aku jadi bikin Mas Elvan sedih," sesal Risa.

Elvan tersenyum.

"Enggak kok, aku juga pengen ceritain semua ke kamu," ucap Elvan.

"Kalau ayah kamu kemana Mas?" tanya Risa sedikit ragu.

Elvan menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar.

"Sebenarnya, ayahku udah bahagia dengan keluarganya," jawabnya tegar. Ada rasa tidak suka dibalik senyum paksanya.

Apa ayahnya menikah lagi ya. Tapi aku tidak tega kalau tanya lebih jauh. Batin Marisa

"Oh iya Ris, sebelumnya kamu tinggal dimana? Kata Galih, kamu ngekost sejak masuk kuliah." Elvan merubah pembahasan mereka dengan membahas kehidupan Marisa.

"Aku dulu tinggal di rumah Bude aku Mas, kakaknya Ibu, tapi aku pengen mandiri jadi aku ngekost deh," kata Marisa.

"Kenapa kamu nggak tinggal sama ayah kamu?" tanya Elvan yang masih penasaran.

"Aku dari dulu emang pengen kuliah disini Mas, biar lebih gampang cari kerja. Dulu aku lahir dan sekolah sampai SMA di kota S, tapi setelah Ibu meninggal, ayah memutuskan untuk pulang ke kampung setelah aku lulus SMA, dan akhirnya aku kuliah dan kerja di kota ini," jawab Marisa yang kembali mengingat masalalunya.

Tak lama pesanan mereka pun datang, dan mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kost Marisa.

***

"Kayaknya terawihnya udah mulai dari tadi Mas," kata Risa setelah mereka sampai di kost Risa.

"Iya sepertinya Ris." Elvan melepas helmnya. "Ris, boleh aku mampir sebentar, ada yang mau aku obrolin."

"Disini aja Mas, nggak enak kalau dilihatin orang lewat," kata Marisa sambil menyerahkan helm kepada Elvan.

"Jadi gimana perasaan kamu ke aku Ris?" tanya Elvan yang menginginkan jawaban Marisa.

"Maksud Mas Elvan apa sih?" Marisa tersipu malu.

"Ris, aku suka dan cinta sama kamu Ris. Apa aku salah mengartikan kalau kamu sebenarnya juga suka sama aku?" tanya Elvan yang memang merasa Marisa telah menyukainya.

"Aku belum bisa jawab sekarang Mas. Maaf," kata Marisa dengan tertunduk.

"Aku kasih waktu kamu satu bulan lagi Ris, aku akan tunggu jawaban kamu."

"Mas Elvan serius?"

"Aku bener bener serius Ris. Kakek udah lihat kamu. Aku akan minta restu dari kakek. Setelah itu aku akan melamar ke ayahmu," ucap Elvan serius.

"Baiklah bulan depan setelah lebaran aku akan memberi jawabanku Mas."

"Baiklah, semoga kamu memang tulang rusukku yang selama ini aku cari," kata Elvan

"Aamiin.. Yaudah Mas Elvan pulang sana belum sholat Isya belum sholat tarawih juga."

Eh.. Dia mengamini kata kataku. Berarti emang dia juga berharap menjadi tulang rusuk ku kan. Ya Allah semoga memang dia jodohku. Aamiin. Batin Elvan

"Aku pulang dulu ya, kamu juga langsung mandi terus sholat. Jangan tidur malem, biar nggak telat bangun sahurnya." Elvan lalu memakai kembali helm nya.

"Iya mas, jaketnya aku cuci dulu Mas. Makasih ya udah antar pulang sama makanannya," kata Marisa.

"Iya sama sama."

Emang itu tujuan aku kasih jaket Ris, biar ada alasan ketemu lagi. Elvan.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!