NovelToon NovelToon

I Heart You, Dr. Amaya

When We First Meet

Tuhan telah menitipkan separuh hati kita pada diri seseorang, suatu saat nanti hati yang terpisah itu akan menyatu. Mempertemukan dua insan yang masing-masing membawa bagiannya. Menjadikan mereka utuh, dalam satu kesatuan bernama, "Jodoh".

Namun bagaimana, jika belum sempat bertemu dengan belahan lainnya itu. Hati kita malah membiru, mengeras, dan membusuk akibat penyakit.

Tubuh Nicholas Diovano Marcell terbaring lemah di sebuah tempat tidur rumah sakit. Kedua matanya tampak menguning, badannya kurus, serta perutnya sedikit membuncit.

Sudah beberapa bulan terakhir ini, anak laki-laki berusia 11 tahun keturunan Korea-Indonesia tersebut harus bolak-balik ke rumah sakit secara intens. Hanya demi mengharap datangnya kesembuhan.

Karena penyakit sirosis yang ia derita sejak kecil, telah sampai kepada tahap yang cukup parah. Membuat seluruh keceriaannya hilang, hari-harinya yang penuh bermain dan belajar pun akhirnya terampas.

Sudah segala cara dilakukan, bahkan kedua orang tuanya pun telah berusaha semaksimal mungkin. Mulai dari pengobatan medis sampai alternatif. Nicholas juga harus mengkonsumsi obat setiap hari, ia tak bisa seaktif teman sebayanya yang lain.

Namun hari ini dihadapan ruang operasi, Nicho begitu ia kerap disapa tampak sangat bahagia.

Semua doa dari orang-orang yang menyayanginya, mungkin akan segera terkabul. Meski tak dapat dipungkiri, wajahnya menyiratkan sebuah ketakutan.

"Takut, Nic?"

Seorang gadis cantik yang terbaring disebelah tempat tidurnya, mencoba menggoda Nicholas.  Dengan memberikan pertanyaan, yang semua orang juga sudah tau jawabannya. Gadis itu adalah teman akrab sekaligus pendonor, yang akan memberikan sebagian hatinya untuk Nicholas.

"Yeelah May, operasi doang. Apalah arti coba."

Nicholas menjawab dengan gaya sok santai, lalu berusaha nyengir lebar sampai kuping. Meskipun semua tau ia tengah menahan rasa sakit.

"Beneran nih, nggak bohong?. Demi apa?”

Gadis itu kembali menggodanya. Namun kali ini Nicholas balas memandang wajah gadis itu, dengan tatapan nakal.

"Biasanya yang banyak nanya itulah, yang penakut." ujar Nicholas kemudian.

"Yeee sa ae , pinggiran meja." ujar gadis itu sengit.

"Sa ae tutup knalpot." balas Nicholas tak kalah sengit.

"Biji duren."

"Kolak basi."

Gadis itu menoyor kepala Nicholas dan disambut tawa renyah, seraya menahan sakit oleh anak itu.

"Aku nggak takut koq." Amaya begitu namanya sering dipanggil, berusaha terlihat tegar.

"Beneran?. Demi apa?"

Kali ini Nicholas balas menggoda Amaya. Gadis itu refleks ingin kembali menoyor kepala Nicholas, namun anak laki-laki itu berusaha menghindarkan kepalanya dari tangan Amaya.

"Tuh kan noyor-noyor. Temen mu ini sakit May.” rengeknya Kemudian.

"Holoh-holo, utuk -utuk tayang Nicho. Nggak jadi deh di toyor, tayang-tayang acu."

Amaya mengusap-usap kepala Nicholas, lalu Nicholas pun memalingkan wajahnya kearah lain sambil tersenyum. Ada rasa damai yang tiba-tiba menyeruak di hatinya.

"May, makasih ya." Ia berkata sambil kembali menoleh ke arah Amaya.

Gadis itu menghela nafas lalu mengangguk, tampak bulir-bulir bening merebak di pelupuk matanya. Namun gadis itu berusaha menahan agar tak segera jatuh ke pipi. Perlahan pikirannya pun melayang pada peristiwa 2 tahun yang lalu, saat itu dirinya masih kelas 3 SMP.

Hari itu, ia mengikuti les bahasa Inggris seperti biasa. Namun tiba-tiba sang tutor mengumumkan bahwa ada peserta kursus pindahan, yang akan ikut belajar dikelasnya.

"Anak-anak, ini teman baru kalian.”

Tampak dua orang anak perempuan sebaya Amaya masuk ke kelas.

"Mereka ini pindahan dari lembaga kursus First Word."

Amaya melihat ke arah dua anak tersebut, namun tiba-tiba tanpa sengaja ia menjatuhkan pulpen miliknya. Ia Ialu menunduk untuk mengambil pulpen itu, sementara sang tutor mulai memperkenalkan nama teman barunya tersebut.

"Ini Iska Permata Sari, ini Rania Salma, dan satu lagi mana?"

Sang tutor bertanya pada Iska dan Rania, keduanya tampak menoleh ke arah pintu. Tak lama kemudian seorang anak laki-laki masuk dengan tergesa-gesa, agaknya dia habis berlari menuju tempat ini.

"Ini Nicholas Diovano Marcell.”

Amaya yang baru saja berhasil mendapatkan kembali pulpennya tersebut, tampak terkejut melihat seseorang lagi yang baru saja masuk ke dalam kelasnya. Awalnya ia mengira hanya ada dua orang saja. Dan kali ini ia sempat tertegun beberapa saat, lalu tersenyum. Ia memandang wajah anak laki-laki yang polos dan manis itu, seolah melihat sesuatu yang menggemaskan.

"Nah kebetulan ada 3 lagi tempat duduk yang kosong, kalian bebas pilih yang mana.”

Ketiga anak tersebut pun memilih tempat duduk masing-masing. Iska dan Rania duduk persis di sebelah kanan Amaya, sementara Nicholas memilih duduk didepan kedua perempuan itu.

Amaya tersenyum pada Iska dan Rania, lalu ia pun memperhatikan Nicholas yang tampak fokus menatap ke arah tutor. Tak lama Amaya pun kembali tersenyum, lalu ia kembali memperhatikan tutornya yang sibuk menjelaskan.

"Amaya, kamu rumahnya di jalan Berlian nomor 149 kan." tanya Iska, setelah mereka selesai belajar dan duduk di taman sambil menikmati jajanan.

Awalnya Amaya hanya diam sendirian di taman, sambil makan es krim. Sampai kemudian Iska dan Rania menghampiri dan mengajaknya berkenalan.

"Koq kamu tau sih?" tanya Amaya heran.

"Aku sering liat kamu, kalau lagi ke tokonya tante Ani."

"Tante Ani yang orang Makassar itu kan?. Yang depan rumah aku?" tanya Amaya lagi.

"Iya, aku sering ke toko itu. Sering disuruh mamaku belanja dan aku sering banget ngeliat kamu. Tadinya aku pikir kamu sombong loh, orangnya. Soalnya kalau ketemu orang, muka kamu judes gitu."

Amaya pun tersenyum, dia tidak menyangka kalau Iska sering melihatnya.

"Aku nggak sombong koq. Cuma kalau ketemu orang yang nggak aku kenal, ya aku cuek aja. Lagian muka aku, emang udah cetakannya begini."

Mereka pun lalu sama-sama tertawa.

"Oh ya, besok boleh nggak kita main kerumah kamu?" tanya Iska lagi.

"Kalian mau main kerumah aku?" Amaya balik bertanya dengan penuh semangat

"Iya, boleh kan?"

"Iya boleh tapi, sama anak ini juga kan?"

Amaya memperhatikan Nicholas yang tampak cuek dan sedang memperhatikan anak anak lain, sambil mengemut permen berbentuk kaki.

"Iya, dia mah kemana aku sama Rania juga pasti ngintil. Iya kan Ran?"

"Iya, bener banget." Rania menimpali.

"Dia itu nggak punya temen di deket rumah, anak -anak cowok disitu masih pada bayi semua. Ada sih teman sekolahnya, tapi agak jauh. Kalau main jauh-jauh, mama dan papanya suka marah. Makanya kemana kakak-kakak sepupunya pergi, dia ngikut." tambah Rania kemudian.

"Oh, jadi kalian saudara seupupu gitu?" tanya Amaya.

"Iya."

Iska dan Rania serentak tersenyum, Amaya pun ikut terseyum.

"Nicholas kelas berapa?" tanya nya pada Nicholas.

"Kelas 4 SD.” jawab Nicholas.

Sesaat kemudian ia melangkah pergi ke dekat abang-abang yang kebetulan lewat, sambil membawa dagangan berupa ikan hias.

Amaya, Iska dan Rania hanya tertawa melihat Nicholas. Mereka kemudian melanjutkan perbincangan, menghabiskan makanan lalu pulang kerumah bersama-sama.

Keesokan harinya sesaat setelah selesai kursus, Iska memenuhi janjinya untuk mampir kerumah Amaya. Tak lupa ia mengajak kedua sepupunya yakni Rania dan juga Nicholas.

Amaya sendiri tampak antusias, ia mengajak ketiga teman barunya itu untuk melihat sekeliling rumah. Di kediaman orang tuanya yang lumayan luas tersebut, terdapat sebuah danau kecil yang ditumbuhi teratai. Rumput hijau terhampar, beberapa ekor kelinci tampak berlarian kesana kemari.

Amaya, Iska dan Rania tampak bercengkrama dengan kelinci-kelinci tersebut. Namun tak lama kemudian, Nicholas menghampiri mereka. Dengan membawa ulat besar yang ia dapatkan dari sebatang pohon pisang, yang berada tak jauh dari mereka semua. Amaya, Iska, dan Rania berlari kocar-kacir. Sementara kini Nicholas tertawa terpingkal-pingkal melihat mereka ketakutan.

Namun tak lama kemudian seekor angsa milik Amaya yang memang sengaja di lepaskan, berlari kearah Nicholas dan mencoba mematuknya. Kali ini anak laki-laki jahil itu mendapat karma, dia pun berlari pontang-panting. Membuat Amaya, Iska dan Rania balas menertawakannya.

Hari-hari berikutnya, mereka jadi lebih sering bersama di setiap keadaan. Kadang Iska, Rania dan Nicholas bermain dirumah Amaya. Kadang pula Amaya sengaja main kerumah salah satu dari mereka. Begitulah semuanya terjadi, sampai suatu hari, Amaya, Rania dan Iska lulus dari sekolah menengah pertama masing-masing.

Amaya masuk ke sebuah SMA favorit, Iska dan Rania masuk ke SMA lain. Saat itu Amaya mendapatkan kelas pagi, sementara Iska dan Rania mendapat kelas siang. Dengan adanya perubahan jadwal tersebut, maka jadwal kursus mereka pun berubah.

Amaya pun lebih aktif di sekolah barunya. Karena sedang dalam masa peralihan dari remaja menjelang dewasa, maka ia pun lebih sering menghabiskan waktu disekolah ketimbang kursus. Amaya lebih memilih aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler atau les tambahan di sekolah, guna persiapan untuk ujian masuk ke universitas. Ia, Iska, Rania, dan Nicholas pun jadi semakin jarang bertemu.

Pernah sesekali ia masuk kursus, namun tak menemukan siapa pun dari mereka termasuk Nicholas. Lama kelamaan dirinya merasa rindu pada teman-temannya itu. Dan suatu hari di minggu pagi, tiba-tiba Amaya dikejutkan dengan kedatangan ketiga temannya tersebut. Amaya tampak kaget sekaligus senang, mendapati mereka kini ada dirumahnya.

"Ya ampun, kalian kemana aja sih?"

Amaya menginterogasi ketiga anak tersebut.

"Maaf, May. Aku sama Rania sekarang masuk siang sekolahnya."

"Oh gitu, kamu sama Rania masuk SMA mana?"

"SMA 35 , kalau kamu?"

"SMA 20."

"Widih SMA favorit nih." goda Rania.

Karena memang SMA 20 tempat dimana Amaya kini bersekolah, sudah terkenal sebagai SMA yang mampu melahirkan alumni-alumni hebat dan berkompeten dalam bidang apapun. Lulusan dari SMA ini selalu bisa tembus ke berbagai universitas bergengsi, baik di dalam maupun luar negri.

"Biasa aja sih, untung aja nilainya cukup. Kalau nggak mama sama papaku bisa marah besar, seandainya sampe aku nggak masuk ke situ. Aku sih sebenernya mau masuk SMA mana aja, yang penting sekolah. Tapi mama sama papa maunya aku kesitu.”

"Enak loh, SMA terkenal." ujar Iska memuji, dibarengi nada sedikit menggoda.

"Alah, biasa aja koq kalau kamu masuk kesana. Anak-anaknya juga biasa banget, adalah beberapa yang caper dan sok pinter gitu. Tapi ya kita mah cuek aja sama anak model begitu, nggak penting juga. Oh ya, Nicho naik kelas 5 dong ya?"

Kali ini Amaya bertanya pada Nicholas. Anak yang selalu setia mengemut permen berbentuk kaki tersebut, hanya mengangguk.

"Oh ya, kalian mau minum apa?" tanya Amaya kemudian.

"Apa aja , May." jawab Iska dan Rania diwaktu yang nyaris bersamaan.

"Ya udah, aku ambilkan dulu ya."

Amaya membuatkan minuman dingin untuk ketiga temannya tersebut. Dan ketika ia akhirnya kembali keruang tamu dengan membawa minuman itu, tiba-tiba ia mendapati ketiga temannya tersebut tampak tengah berbisik-bisik sambil tersenyum.

"Loh kalian kenapa?" tanya Amaya heran.

"Koq senyum-senyum gitu sih?" lanjutnya lagi.

Iska dan Rania saling menatap lalu kembali tersenyum. Sementara Nicholas tampak memalingkan wajah ke arah lain, sambil menginjak kaki Iska beberapa kali. Seolah tengah memberikan kode.

"Ih, pasti ada rahasia deh. Ngomongin apa sih?" tanya Amaya ingin tau.

"Kata Nicho, kamu itu cantik."

Amaya terperangah dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Iska. Ia refleks memperhatikan Nicholas, yang tampak membuang muka ke arah lain sambil tersenyum. Seketika dirinya merasa malu, kikuk dan tak tau harus berkata apa.

Sampai ketika teman-temannya itu sudah pulang, dirinya pun terus mematut diri di depan kaca sambil tak henti-hentinya tersenyum.

"Jadi, aku ini cantik ya?" gumamnya dalam hati.

"Pantes, dulu pas awal aku masuk SMP. Waktu pembagian kelas, banyak banget yang ngeliatin aku. Terus dalam beberapa hari, banyak coklat gaib di laci meja kelasku. Dan tiba-tiba aja banyak anak-anak cowok yang suka banget bikin aku kesel. Gangguin aku terus tiap hari dan, di SMA ini terulang lagi seperti itu. Ternyata aku ini cantik ya?"

Amaya kembali tersenyum dan sejak saat itu dirinya jadi lebih percaya diri saat pergi ke sekolah. Dia mulai sering berganti gaya ikatan rambut, menggunakan skincare dan makeup minimalis. Mulai berjalan dengan langkah yang tegak, menebar senyum kesana kemari. Terkadang sedikit angkuh seperti adegan tokoh antagonis dalam sinetron. Namun dari semua itu, satu hal yang terus terngiang ditelinga dan ingatannya. Yakni orang yang pertama kali mengatakan bahwa dirinya cantik.

Ya, Nicholas. Meskipun disampaikan oleh Iska, namun ucapannya tersebut sangat membekas di hati Amaya. Sejak hari itu pula, dirinya kembali aktif mengikuti kelas kursus bahasa Inggris. Meski tanpa Iska dan Rania, namun dirinya sangat antusias. Karena Nicholas masih ada bersamanya.

Hari itu, di suatu pagi minggu yang cerah. Amaya, Nicholas, dan beberapa peserta kursus bahasa inggris lainya tiba di sebuah stasiun radio, yang cukup terkenal dikalangan anak-anak dan remaja. Stasiun radio tersebut merupakan stasiun radio yang banyak menyajikan lagu-lagu dan informasi masa kini.

Namun tak hanya itu, stasiun radio tersebut juga memiliki berbagai macam acara yang sifatnya mengedukasi. Salah satunya adalah pelajaran bahasa inggris dasar atau yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Kebetulan hari itu adalah giliran tempat kursus Amaya dan Nicholas yang mengisi acaranya. Banyak kakak tingkat mereka yang juga mengisi acara tersebut. Amaya dan Nicholas sendiri mendapat tugas untuk mengartikan beberapa kata yang disebutkan dalam bahasa inggris, kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia.

Pagi itu semua acaranya berjalan lancar. Hingga ketika siaran sudah selesai, tiba-tiba Nicholas terduduk lemas di sebuah kursi. Wajah anak itu mendadak pucat. Amaya yang saat itu berada tak jauh darinya pun akhirnya bertanya, perihal apa yang dialami anak laki-laki itu.

"Nic, kamu koq pucat gitu?" tanya Amaya penuh rasa khawatir.

"Sakit?" tanyanya lagi.

"Nggak apa-apa, May.” jawab Nicholas.

"Tadi kamu makan nggak sebelum kesini?"

Nicholas mengangguk lalu memegang dadanya, tampaknya ia tengah merasakan sesuatu.

"Kamu beneran nggak apa-apa?" kekhawatiran Amaya mulai bertambah.

"Tadi itu diruang siaran, dingin banget May."

"Iya sih, aku juga ngerasa gitu. AC empat semua menyala. Ruangannya aja kecil, gimana nggak dingin.”

Nicholas terus menunduk sambil memegang dadanya. Sementara Amaya terus memperhatikan anak itu dan, tiba-tiba saja ia melihat tetes demi tetes darah mulai jatuh kelantai. Amaya yang terkejut sontak memegang wajah Nicholas dan berusaha menengadahkannya. Tampak darah tersebut menetes dari hidung anak itu.

"Nic, kamu kenapa?" Amaya mengambil tissue dari dalam tasnya dan mencoba membersihkan darah tersebut.

"Aku panggilkan pak Toni ya?" ujarnya kemudian

"Jangan May, please jangan..!”

Nicholas menarik lengan Amaya yang berusaha memberitahu tutor mereka, tentang apa yang terjadi pada Nicholas.

"Loh kenapa?. Kamu kan sakit, jadi pak Toni mesti dikasih tau. Kalau kamu pingsan gimana?"

"May, aku cuma mimisan. Aku nggak tahan dingin. Kalau kamu kasih tau pak Toni, nanti kalau dia bilang ke orang tua aku gimana?"

"Ya bagus dong, biar orang tua kamu tau kondisi kesehatan kamu. Kan bisa bawa kamu ke dokter. Aku kasih tau pak Toni sekarang ya, biar ada tindakan.”

"May, May. Jangan, jangan...!" Lagi-lagi Nicholas menahannya

"Aku pernah lebih parah dari ini, May. Aku mimisan di depan kak Iska, dia ngadu ke papa dan mama. Akibatnya sekarang aku dilarang main jauh-jauh atau terlalu lama main sama temen. Pasti disuruh pulang dan dimarahin, kemana-mana aku harus diawasin kak Iska atau Rania. Kamu pikir aku sengaja ngintilin mereka kesana-sini, itu karena aku nggak boleh main kalau nggak sama mereka."

Amaya terdiam.

"Aku anak laki-laki, May. Aku nggak mau diperlakukan seperti itu terus."

Melihat wajah Nicholas yang begitu serius meminta pertolongannya untuk tidak mengadu pada pak Toni, Amaya pun akhirnya luluh.

"Ya udah. kalau ada apa-apa atau misalkan kamu merasakan apa, kamu bilang ke aku."

"Oke."

Amaya berjalan ke luar. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa air mineral, lalu memberikannya pada Nicholas. Sejak saat itu entah mengapa Amaya jadi merasa selalu khawatir pada anak itu. Setiap kali ia melihat Nicholas bermain bersama teman-teman sebayanya ditempat kursus, maka ia akan senantiasa memperhatikan anak itu dan berusaha mengingatkannya agar tidak kelelahan.

Beberapa kali ia mendapati Nicholas mimisan. Setelah anak itu bermain sepak bola atau sekedar bercanda dan berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Dan setiap kali itu pula, dirinya menjadi semakin khawatir dan semakin ingin melindungi anak itu.

Sementara itu, melihat perubahan sikap Amaya yang seolah memproteksi dirinya. Nicholas menjadi sedikit risih. Namun meski begitu, anak laki-laki tersebut tak pernah menghalangi Amaya untuk bertindak sesuai keinginannya. Bahkan terkadang ia balas menjaga Amaya. Ketika gadis itu di ganggu oleh anak laki-laki hingga menangis, maka Nicholas akan tampil untuk memberinya perlindungan. Meski kadang lawannya adalah anak yang usianya jauh diatasnya.

Begitulah persahabatan mereka terjalin. Hingga suatu ketika, Saat Amaya telah naik ke kelas 2 SMA. Serta Nicholas yang sudah duduk di bangku kelas 6 SD. Saat itu Amaya terlambat mengikuti kursus. Ia tiba 10 menit setelah pelajaran dimulai. Dan ketika ia masuk ke kelas tersebut, tak ada Nicholas disana. Ia bertanya pada seisi kelas tapi tidak ada yang tau.

Sebuah Kenyataan

Empat hari telah berlalu, namun Nicholas tak jua menampakkan batang hidungnya. Amaya mencoba menelpon kerumah anak itu, namun tak ada yang mengangkat. Akhirnya ia pun memberanikan diri untuk datang ke rumah Nicholas.

Saat itu keadaan rumah Nicholas sepi, lalu ia berlari kerumah Iska yang tak jauh dari sana. Di tempat itu pun sama, tak ada siapa-siapa. Mendadak ia menjadi bingung dan tak tau harus bagaimana, namun tak lama kemudian Iska pun muncul.

"Loh, May. Kamu disini?" tanya Iska heran.

"Iya, Is. Aku sebenarnya mau cari Nicho, udah empat hari ini dia ga masuk les. kamu dari mana?"

Iska duduk di samping Amaya, wajahnya tampak sedih dan bingung.

"Aku dari menjenguk Nicho, May.” ujar Iska.

"Menjenguk Nicho maksudnya?"

"Nicho sakit."

"Sakit?. Sakit apa?"

Amaya sangat terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Pantas saja beberapa hari ini, ia tidak menemukan Nicholas.

"Nicho terkena sirosis."

"Sirosis?"

"Iya, hatinya nggak berfungsi dengan baik sejak lahir. Dan sekarang sudah dalam tahap yang parah, seperti itulah yang aku dengar dari mama."

"Degghh."

Hati Amaya terasa seperti dipukul benda keras.

"Lalu?" tanya nya khawatir.

"Kata mama, dokter bilang kalau Nicho harus mendapatkan donor hati dengan segera. Kalau nggak....” Kata-kata Iska tercekat di tenggorokan.

"Apa, Is?”

"Kalau nggak, Nicho." Iska menarik nafas.

"A, akan meninggal.”

Kali ini hati Amaya benar-benar seperti tersengat listrik jutaan Volt, keringat dingin dan gelisah kini bercampur jadi satu. Ia benar-benar tak menyangka kalau kejadiannya akan seperti ini.

Air mata gadis itu mengalir deras, ketika akhirnya ia pergi ke rumah sakit dan menatap Nicholas dari kaca ruang ICU. Sahabat kecilnya itu tampak terbaring lemah, dengan oksigen dan selang infus di tangannya. Hati Amaya mendadak hancur, ia merasa dirinya harus berbuat sesuatu.

Sepulang dari tempat itu, Amaya menyatakan keinginannya kepada sang ayah dan juga sang ibu. Bahwasannya ia ingin mendonorkan separuh organ hatinya untuk Nicholas. Tentu saja hal ini mendapatkan penolakan keras dari kedua orang tuanya.

Karena mereka khawatir akan terjadi apa-apa pada diri Amaya. Namun gadis itu tak berhenti sampai disitu, ia terus berjuang agar bisa menyelamatkan sahabatnya. Sampai kemudian kedua orang tua Amaya pun luluh, dan mengiyakan permintaan anak mereka tersebut.

Ketika menjalani serangkaian pemeriksaan, hati Amaya memang menjadi satu-satunya hati yang cocok dengan Nicholas. Dibandingkan dengan calon-calon pendonor lain. Lalu hari ini mereka berdua akan menjalani operasi pengangkatan, dan pencangkokan secara bersamaan. Ada dua tim dokter yang menangani mereka.

"May, Will You Marry Me?"

Nicholas memperlihatkan sebuah cincin pada Amaya. Ayah-ibu Nicholas, orang tua Amaya, dan kerabat dekat yang mengantar mereka ke ruang operasi tampak menyeka air mata.

Ini semua adalah permintaan terakhir Nicholas, ia ingin melakukan hal ini untuk berjaga-jaga. Seandainya ia tak selamat dalam operasi nanti, ia ingin merasakan bagaimana rasanya melamar seorang gadis. Seperti yang pernah ia lihat dalam film televisi.

Amaya pun lalu mengangguk sambil menyeka air matanya. Karena baginya Nicholas adalah teman sekaligus adik kecil, yang sangat ia sayangi. Amaya juga takut jika terjadi apa-apa terhadap anak itu.

"Kalau nanti operasinya berhasil, dan kita berdua bisa hidup normal. Kamu harus mau menikah beneran sama aku, kalau aku udah gede nanti."

Amaya kembali mengangguk lalu tersenyum, seraya masih menyeka air mata. Nicholas pun memasangkan cincin tersebut di jari Amaya. Suasana riuh sejenak, mereka semua memberikan tepuk tangan dan ekspresi yang bahagia.

Lalu tak lama kemudian, pintu ruang operasi pun terbuka. Nicholas dan Amaya dibawa masuk ke ruangan tersebut, diiringi air mata serta doa dari seluruh keluarga yang ikut mendampingi hari itu.

***

Beberapa jam telah berlalu, akhirnya pintu ruangan operasi tersebut kembali dibuka. Dokter keluar dengan membawa kabar bahagia. Keduanya selamat, operasinya berjalan lancar. Seluruh keluarga tampak bersuka cita dan tak henti-hentinya berucap syukur.

Hari demi hari pun berlalu, separuh hati Amaya yang ada di dalam diri Nicholas tumbuh dan berkembang dengan baik. Begitu juga dengan Amaya, hatinya kembali tumbuh dan berkembang dengan baik. Hingga beberapa minggu kemudian, dokter mengatakan bahwa mereka sudah boleh pulang dan beraktivitas seperti biasa. Walaupun agak sedikit dibatasi, mengingat kondisi mereka yang belum pulih total.

"Seneng ya, Nic. Akhirnya kita boleh pulang sekarang.” ujar Amaya, ketika mereka semua sudah ada di lobi rumah sakit.

Beberapa orang anggota keluarga berkumpul untuk menjemput mereka. Dan tim dokter serta perawat yang menangani mereka selama ini pun, turut melepas kepergian mereka.

"Nah Nicho, Amaya. Kalian jaga kesehatan dan banyak beristirahat ya?" ujar salah seorang dokter yang ada di sana sambil tersenyum.

"Iya, om dokter." ujar Nicho dan Amaya di waktu yang hampir bersamaan.

Semua yang ada disitu pun ikut tersenyum, namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Karena secara tiba-tiba, seorang lelaki datang menghampiri dan langsung menyeret Amaya dengan kasar.

"Sini kamu...!"

"Hei..!”

Edward ayah Amaya yang menyaksikan kejadian tersebut kaget, dan secara spontan langsung menarik kembali puterinya. Ia lalu  mendorong laki-laki itu. Laki-laki itu balas mendorong tubuh Edward, namun ditengahi oleh Marcell ayah Nicholas.

"Siapa kamu?" tanya Edward penuh kemarahan.

Namun lelaki itu kini malah menarik Nicholas dan menjatuhkannya ke arah tangga lobi. Beruntung salah seorang perawat, menangkap Nicholas hingga anak tersebut selamat.

Melihat kejadian itu, tanpa basa-basi lagi Marcell langsung menghajarnya. Ketika laki-laki itu hendak membalas kepada Marcell, Edward memberikan pukulan ke wajah laki-laki itu. Suasana seketika riuh, para dokter berusaha memisahkan. Begitupun dengan security yang tengah berjaga.

"Pak Edward, pak Marcell, sabar."

Salah seorang dokter mencoba menenangkan mereka. Sementara Amaya dan Nicholas tampak ketakutan dan memeluk ibu mereka masing-masing, yang berdiri di sisi para perawat.

"Apa maksud kamu berlaku kasar kepada anak-anak kami?. Kamu siapa?" tanya Marcell masih dengan emosi yang memuncak.

"Saya akan bunuh Amaya. Dan kalau tidak bisa, saya akan bunuh anak laki-laki ini.”

Semua orang yang ada disana terkejut mendengar perkataan pria tersebut, namun mereka sendiri bingung apa maksudnya. Security pun mengamankan pria tersebut. Namun pria itu terus berteriak, meski dirinya telah dipaksa pergi.

"Saya akan bunuh kamu Amaya, karena kamu anak saya mati. Saya berjanji kamu akan jadi teman anak saya di alam sana, kamu ingat itu...!"

Amaya memeluk ibunya, ia syok sekali dengan semua kejadian ini. Detak jantungnya masih tak teratur.

"Dokter, apa kalian tau ini sebenarnya ada apa. Dia itu tadi siapa?" tanya Edward dengan cemas.

"Itu tadi pak Raymond, beberapa minggu yang lalu dia kehilangan anaknya. Anaknya menderita sakit yang sama seperti Nicholas.

Suasana mendadak hening.

"Kami sudah berusaha mencarikan donor hati untuk anaknya. Namun dari sekian banyak calon pendonor, tidak satupun yang memenuhi kriteria dan cocok dengan anaknya tersebut. Hanya satu orang lagi yang belum kami cocokkan dengan anaknya, yakni hati Amaya."

Kedua orang tua Amaya dan orang tua Nicholas saling beradu tatap.

"Pak Raymond memaksa kami mencocokkannya, saat dia tau kalau kami sudah menemukan hati yang cocok untuk Nicholas. Tapi Amaya sudah sepakat untuk mendonorkan hatinya untuk Nicholas, dan hal tersebut tidak bisa kami ganti untuk orang lain secara sepihak. Maka dari itu pak Raymond menjadi sangat marah sekali. Apalagi puterinya itu akhirnya meninggal dunia dan Nicho sendiri selamat. Pak Raymond merasa gagal menyelamatkan puteri semata wayangnya. Padahal almarhumah istrinya sudah berpesan agar pak Raymond menjaga anak mereka.”

Marcell dan Edward terdiam, begitupun dengan semua orang yang ada disitu. Air mata Amaya menetes. Biar bagaimanapun kasarnya orang itu tadi, namun orang tua tetaplah orang tua. Mereka selalu ingin melakukan hal terbaik untuk anak-anak mereka. Namun apalah daya, separuh hati Amaya kini telah ada ditubuh Nicholas. Ia tak bisa menggembirakan pria itu tadi. Ia tak bisa menyelamatkan nyawa anaknya, yang bahkan tidak ia kenal sama sekali.

Edward mengusap bahu Amaya dan menenangkannya. Acara perpisahan yang seharusnya penuh kegembiraan itu malah sedikit ternodai. Usai mengucapkan terima kasih serta salam perpisahan kepada tim dokter dan perawat, Nicho dan Amaya pun pulang kerumah masing-masing.

Tak sampai disitu saja kesedihan Amaya. Ketika dirinya mulai masuk sekolah kembali, ia mendapati salah satu sahabatnya tidak ada dikelas. Mereka berteman bertiga, dirinya, Marsha dan juga Diana. Mereka bersahabat sejak masih SMP dan masuk di SMA yang sama serta kelas yang sama pula. Ia tidak tau mengapa sikap Marsha jadi berubah dingin dan kasar padanya.

Saat ia menanyakan perihal Diana, Marsha malah menunjukkan wajah yang benci pada Amaya. Usut punya usut ternyata Diana meninggal dunia, dan orang tua yang marah padanya dirumah sakit tempo hari adalah ayah Diana.

Selama ini Amaya memang tidak pernah bertemu dengan orang tua Diana secara langsung. Karena Diana mengatakan kalau ayahnya itu bekerja diluar kota, sedangkan ibunya telah lama meninggal dunia.

Hati Amaya hancur, ia tidak bersalah dalam hal ini. Namun ia terjebak dalam keadaan yang memaksanya untuk merasa sangat bersalah. Cukup lama ia menyesali itu, namun semua sudah terjadi. Ia benar-benar tidak tau jika Diana selama ini menderita penyakit yang sama dengan Nicholas. Karena dalam kesehariannya, gadis itu tampak seperti gadis yang sehat pada umumnya.

Hari demi hari pun kembali berlalu, Amaya mulai bangkit. Ia dan Nicholas pun kembali ceria seperti sediakala, namun mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman mereka masing-masing. Apalagi kini Amaya sudah menginjak kelas 3 SMA dan Nicholas sendiri sudah masuk SMP.

Meski mereka berada dalam satu yayasan yang sama, hanya saat pergi dan pulang sekolah saja mereka selalu bersama. Selebihnya, mereka lebih banyak melakukan kegiatan dengan teman sebaya masing-masing.

Namun meski begitu, kerapkali Nicholas menyambangi kelas Amaya. Sekedar untuk memberinya sebatang coklat atau sebungkus gorengan. Begitupula Amaya, ketika Nicholas sedang sibuk bermain bersama temannya atau menggoda anak-anak perempuan seusianya. Maka Amaya akan sengaja lewat dan memukul kepala anak itu dengan buku.

Amaya selalu mengawasi gerak-gerik Nicholas dan mengingatkan anak itu ketika ia bermain terlalu lelah. Ia selalu mengingatkan Nicholas untuk tidak lupa beristirahat.

Nicholas pun selalu menjaga Amaya. Meski masih tergolong muda, namun keberaniannya sangat tinggi. Pernah suatu kali Amaya diganggu dan dilecehkan secara verbal oleh kakak kelasnya hingga Amaya menangis. Nicholas tampil sebagai pelindung, bahkan ia mengajak si pengganggu itu berkelahi one by one.

Kadang Nicholas kerumah Amaya, sekedar untuk dibuatkan PR oleh gadis itu. Kadang Amaya yang kerumah Nicholas, menyuruh anak itu untuk mencatat pelajaran yang malas ia kerjakan.

Begitulah seterusnya, sampai pada suatu pagi yang dingin, tiba-tiba saja Amaya sudah berada di depan pintu rumah Nicholas. Dengan wajah lusuh, tanpa gairah, dan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. Nicholas sendiri heran, tak biasanya pagi buta Amaya sudah kemari. Kalaupun untuk pergi ke sekolah, Nicholas lah yang biasa menjemput ke rumahnya.

"May, koq pagi banget udah disini. Kamu kan kebo, koq udah bangun." canda Nicholas dengan nada heran.

Gadis itu menunduk, tak ada sedikitpun senyum di bibirnya. Nicholas sendiri menjadi bertambah heran sekaligus takut.

"Kamu dimarahin mama sama papa kamu?" tanya nya kemudian, Amaya menggeleng.

"Kita berangkat sekarang." ujarnya lirih.

"May, aku tau kamu lagi sedih. Kamu kenapa, ada masalah apa?" tanya Nicholas lagi.

"Kita pergi sekarang." ujarnya setengah terisak.

"Ok, ok. Aku ambil tas sama sepatu dulu, tunggu disini...!"

Sesaat kemudian, mereka pun berjalan bersama. Disepanjang jalan menuju sekolah, Amaya terus diam. Tak seperti biasanya gadis itu kini tampak murung.

"May, kamu kenapa sih hari ini?" tanya Nicholas masih dengan nada heran, Amaya tetap tak menjawab.

"Aku ada salah sama kamu?. Gara-gara tempo hari aku pulang sekolah nggak bareng kamu dan malah bareng sama Tiara, temen sekelas aku?"

"Bukan itu, Nic."

"Tenang aja, kamu masih pake cincin itu kan? Itu artinya, aku tetap akan nikahin kamu kalau aku udah gede nanti.”

"Bukan itu, Nic."

"Terus apa?. Kamu kenapa diem begini?. Atau jangan-jangan.?” Nicholas menghentikan langkahnya.

"Kamu lagi jatuh cinta ya, May?" goda Nicholas kemudian.

"Bukan Nic, aku nggak lagi jatuh cinta sama siapapun."

"Alah bohong, di sekolah kamu kan banyak yang cakep. Kamu juga kayaknya dekat sama beberapa orang. Aku nggak apa-apa koq, kalau saat ini kamu jatuh cinta sama orang lain. Yang penting nanti nikahnya sama aku."

"Nggak ada Nic, nggak ada satu pun dari mereka yang aku suka."

"Kak Rian si ketua osis kalian?" tanya Nicholas lagi.

"Nggak."

"Kak Benny kapten tim basket?"

"Nggak juga."

"Primus yang jago matematika?" Amaya menghela nafas.

"Primus perasaan guru deh, bukan siswa.” ujar Amaya sewot, sementara Nicholas terkekeh. Trik nya untuk membuat Amaya bicara tampaknya berhasil.

"Kalau Dino yang jago puisi?"

"Itu mah temen kamu." Amaya makin sewot.

"Ya kali aja seorang Sasi Kirana Amaya, menyukai dedek gemes dari SMP semacam Dino. Kalau aku kan, kamu udah liat tiap hari. Kali aja muak, hehe."

"Nggak usah ngaco deh, aku juga liat Dino tiap hari. Orang dia maennya sama kamu.”

Nicholas nyengir.

"Apalagi kalau bukan masalah kayak gitu?"

"Nicho...."

Kali ini Amaya menghentikan langkahnya dan menatap dalam ke wajah Nicholas. Remaja itu tak bergeming, ia menangkap suatu kekhawatiran dan kecemasan di mata Amaya.

"Oke, May. Aku nggak akan bercanda lagi."

"Aku, aku mau pindah Nic."

Dunia Nicholas seakan runtuh. Tiba-tiba saja kata-kata itu melumpuhkan seluruh persendiannya, hingga tubuhnya kini terasa lemas. Namun ia berusaha menetralkan perasaannya.

"May, aku belum ulang tahun deh perasaan. Jangan bikin aku kena saerangan jantung mendadak, nggak usah nge-prank murahan."

"Aku serius, Nic. Aku nggak sedang ngerjain kamu."

Nicholas menatap mata Amaya, dan gadis itu memang tidak sedang bercanda seperti yang sering ia lihat selama ini.

"Ke, kenapa harus pindah?" suara Nicholas mulai gemetar.

"Orang tuaku akan pindah tugas, dan aku harus ikut." suara Amaya terbata-bata, bercampur isak tangis yang tertahan.

"Kemana?"

"Ke..., Belanda." jawabnya lirih.

"Kapan?"

"7 hari lagi."

Tubuh Nicholas seakan tak memiliki tenaga lagi, pikirannya seketika kacau. Ia melangkah gontai tanpa berbicara sepatah pun. Hari itu tak ada matahari, langit mendung seharian. Seolah mewakili perasaan keduanya yang diliputi kegalauan. Dari kelasnya Nicholas bisa memperhatikan Amaya, yang duduk dibawah sebuah pohon dengan wajah lusuh dan sedih.

Ia membiarkan rintik hujan membasahi tubuhnya, sejak hari itu keduanya tak lagi berkomunikasi. Nicholas memilih pergi dan pulang bersama teman-temannya yang lain, bahkan ia terkesan tak peduli. Amaya pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali merelakan semua, yang telah dan akan terjadi nanti.

Sampai hari perpisahan itu tiba, semua teman dekat Amaya hadir mengucapkan salam perpisahan dan saling memberikan kenang-kenangan. Begitupula dengan Iska dan Rania, hanya Nicholas yang tak tampak batang hidungnya sejak tadi. Amaya terus melihat ke suatu arah, berharap Nicholas akan datang.

Karena di hubungi via telpon pun, anak itu tak mengangkat.

***

"Nicho, papa sama mama mau ke rumah Amaya. Kamu beneran nggak mau ikut?" tanya ibunya. Sementara Nicholas hanya diam dan terus bermain play station.

"Iya, Nicho. Papa malu sama orang tua Amaya kalau sampai kamu nggak ikut, dia sudah sangat baik sama kita. Kamu bisa sehat seperti sekarang ini juga, berkat bantuan dari Amaya."

Nicholas masih diam dan terus bermain.

"Ya sudah, mama akan bilang kalau kamu sakit. Kami pergi dulu."

Kedua orang tua Nicholas pun pergi. Dan ketika mendengar suara pintu depan yang tertutup, Nicholas melempar stick play stationnya dengan keras. Ia kemudian membenamkan wajah pada kedua kaki dan mengusap kepalanya sambil menarik nafas dalam. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa sedihnya.

Sementara tak lama setelah itu, Amaya telah bersiap masuk ke mobil. Namun ia masih terus menoleh ke belakang. Berharap melihat seseorang yang sangat ia sayangi untuk terakhir kalinya.

"Amaya, tadi Nicho titip salam." ujar ibu Nicholas menghibur. Amaya menunduk, ia mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam mobil. Namun tiba-tiba,

"May..."

Nicholas datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa basa basi Amaya pun menghampiri dan memeluk anak itu sambil menangis.

"Jangan nangis May, this isn't goodbye."

Keduanya berpelukan dengan erat, Amaya lalu mengusap air matanya dan menatap Nicholas. Ia lalu memegang dada anak itu dan berkata,

"Jaga hatiku ya, Nic. Kamu harus selalu sehat. Kalau kamu sudah besar nanti, usahakan jangan merokok. Aku akan sering telpon atau kirim email buat kamu."

Nicholas mengangguk lalu tersenyum, sesaat kemudian Amaya masuk ke mobil. Dan mobil itu bergerak menjauh seiring menghilangnya lambaian tangan Amaya, itulah terakhir kalinya Nicholas melihat Amaya. Sejak saat itu mereka lebih banyak berkomunikasi lewat telpon, chat dan email.

Bulan-bulan pertama berlalu penuh cerita. Meski tinggal berjauhan, namun mereka merasa sangat dekat. Tapi itu hanya berlangsung selama beberapa bulan saja, selanjutnya tak ada kabar lagi dari Amaya. Bahkan setiap chat dan email yang Nicholas kirimkan tak ada jawaban sama sekali. Sampai akhirnya Nicholas memutuskan untuk menulis email dan chat terakhirnya, dengan isi yang sama.

"May, aku nggak tau apa yang terjadi sama kamu. Aku harap kamu baik-baik aja disana. Sampai hari ini aku masih menunggu balasan surat dari kamu, dan sepertinya akan selalu menunggu. Mungkin waktu menyimpan jawabannya. Dan aku akan selalu menunggu, sampai waktu itu tiba. - Nicholas."

Lalu orang tua Nicholas pun dipindah tugaskan ke kota lain. Mereka pindah sebelum Nicholas menyelesaikan semester terakhirnya di kelas 1.

Dan waktu pun terus berjalan, hingga tanpa terasa 5 tahun telah berlalu.

Waktu yang Bergulir

Pagi itu di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Seorang siswi berpenampilan ala pelajar Korea kesasar, tampak tengah mengkoordinir sejumlah teman sekelasnya.

Gadis yang rambutnya di cat warna coklat serta selalu menggunakan softlens warna biru terang tersebut, ngoceh-ngoceh sambil berkacak pinggang di depan kelas.

"Buruan-buruan, sebelum si culun lembek dateng." ujarnya kepada sejumlah siswa, yang tampak sibuk menumpahkan lem pada gagang sapu, pengepel, dan serbet kelas.

"Dena, ini cukup segini?"

Seorang pemuda tampan dengan mimik angkuh bertanya padanya, sambil memperlihatkan gagang sapu yang telah di beri lem.

"Aduh, Prince. Segitu mana bisa lengket, tambahin atuh...!" perintahnya kemudian.

"Sedikit lagi?"

"Bila perlu sekebon."

Pemuda bernama Prince itu kembali menambahkan lem pada gagang sapu dan meletakkannya di pojok kelas. Sementara yang lain melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang berkutat dengan serbet, ada juga yang mengurusi pengepel. Namun semuanya sama, sama-sama diberi lem.

"Denaaa."

Seorang siswi masuk ke kelas dengan terburu-buru dan nafas yang tersengal-sengal. Ia menghampiri gadis yang tengah memerintah itu, lalu memegang tangannya.

"Den."

Gadis itu mengguncang-guncang tangan Dena.

"Apaan sih, Tania?. Dateng-dateng teriak kayak di kejer satpol PP." ujar Dena heran.

"I, itu." Tania menunjuk ke arah pintu.

"Itu apa?"

"I, itu Karlita si culun lembek udah menuju kesini."

"What?"

Mata Dena terbelalak tak percaya dan detik berikutnya,

"Buruan, buruan...!"

Dena memerintahkan teman-temannya untuk bergerak cepat dan kembali kemeja masing-masing.

"Gubrak, gubrak, gubrak."

Para siswa pun berlarian dan duduk di bangku masing-masing. Beberapa orang pura-pura bermain handphone dan sebagian lainnya berselfie, bahkan membuat video tiktok. Tak lama kemudian anak perempuan bernama Karlita itupun masuk ke kelas, tanpa menaruh curiga sedikitpun.

"Piket, tapi dateng siang mulu."

Dena melihat sinis ke arah Karlita, sambil melontarkan kata-kata yang bernada singgungan. Sementara gadis itu hanya menunduk dan berjalan ke arah bangkunya.

"Situ princess, bu?" sindirnya lagi.

Kali ini Karlita berjalan ke depan. Setelah meletakkan tasnya, ia hendak mengambil sapu untuk menunaikan tugas piket kelasnya hari itu.

Namun baru saja tangannya hendak meraih gagang sapu tiba-tiba, seorang pemuda tampan berwajah khas campuran Korea masuk ke kelas itu dan langsung menyambar sapu tersebut. Karlita terkejut, begitupun dengan seisi kelas.

"Nicholas." teriak Dena tak percaya.

Nicholas tetap berdiri di depan Karlita, dan gadis itu kini hendak meraih serbet. Namun lagi-lagi Nicholas mendahuluinya.

"Stop Karlita, jangan menyentuh apapun. Semua peralatan ini sudah disabotase."

Nicholas memperlihatkan tangannya yang lengket karena lem, Karlita terkejut lalu mundur. Namun tiba-tiba Prince maju dan mendorong Nicholas.

"Lo ikut-ikutan aja, mau cari muka lo?. Hah?"

Prince mencoba memukul Nicholas namun pemuda itu menghindar, ia lalu menendang tubuh Prince dengan kuat.

"Brengsek."

Nicholas menghajar Prince tanpa ampun, seisi kelas gaduh. Dena berlarian ke arah keduanya dan mencoba memisahkan mereka.

"Prince udah, Nicho udaaah...!"

Pertarungan berakhir dengan jatuhnya Prince, lengkap dengan bibirnya yang berdarah akibat tonjokan tangan Nicholas. Tak lama kemudian, dua orang siswa laki-laki datang dengan tergesa-gesa dan langsung menghampiri Nicholas.

"Nic, lo nggak apa-apa?" tanya salah seorang dari mereka, mata keduanya memperhatikan Prince yang sudah berdarah.

"Gue nggak apa-apa." Nicholas memberikan jawaban kepada kedua siswa tersebut, lalu kembali menatap seisi kelas yang mulai terdiam dan ketakutan.

"Awas, Kalau kalian semua ada yang masih mengganggu Karlita. Kalian akan berurusan dengan gue."

Nicholas berlalu meninggalkan kelas tersebut, diikuti kedua temannya itu. Ia membersihkan tangannya yang lengket karena lem dan juga darah Prince.

Pada saat jam istirahat, dua orang siswa lainnya tiba-tiba datang dan menghampiri Nicholas. Dengan nafas yang juga tersengal-sengal, sama seperti kejadian di kelas sebelumnya.

Mereka adalah Jason dan Kevin yang merupakan anak SMA, sementara Nicholas dan kedua temannya yang lain adalah siswa SMK. Namun sekolah mereka berada dalam satu lingkungan dan yayasan yang sama, yakni yayasan Bina Mulia 12. Antara SMK dan SMA nya hanya berbeda gedung saja.

"Nic, lo nggak apa-apa kan?" tanya Kevin khawatir.

"Nggak apa-apa." jawab Nicholas santai.

"Sorry Nic, tadi gue sama Mpin dateng telat dan nggak dengar kabar sama sekali kalo lo berantem sama si Prince." ujar Jason menimpali.

"Udah santai aja, gue nggak apa-apa koq."

"Emangnya ada apaan sih?" tanya Kevin lagi.

"Noh kembaran lo si Prince, cari masalah." Miko yang sejak tadi duduk disisi Nicholas, mulai bersuara.

"Enak aja kembaran, males banget kembaran sama anak papa."

Kevin menoleh ke suatu arah, tempat dimana Prince dan teman-temannya sedang berjalan dengan angkuhnya. Meski tadi wajahnya sudah bonyok akibat ditonjok oleh Nicholas.

"Sengak banget tuh anak." ujar Dirly yang sejak tadi berada di dekat Miko.

"Tapi ngomong-ngomong, lo mirip deh Mpin sama si Prince." Dirly memperhatikan wajah Kevin, lalu melihat ke arah Prince.

"Iya mirip, mirip banget." ujar Jason sambil nyengir, membuat Kevin makin sewot.

"Nggak usah diliatin." ujar Kevin.

"Ntar dilaporin lo sama bapaknya yang bisa beli hukum itu." lanjutnya kemudian.

"Widih, kembarannya hafal nih."

Miko kembali menggoda Kevin, dan pemuda itupun lagi-lagi memasang wajah sewot. Membuat Nicholas dan yang lainnya tak henti-hentinya tertawa.

"Honey baby Nicho."

Tiba-tiba seorang gadis cantik berambut gelombang badai, lengkap dengan dua orang dayang-dayangnya. Datang menghampiri Nicholas dan teman-temannya.

"Raline, my baby honey munyu-munyu."

Teman-teman Nicholas menggoda Raline diwaktu yang nyaris bersamaan. Membuat gadis itu jadi sewot setengah mati.

"Apaan sih, sebel deh."

Raline melempar lirikan kesal ke arah teman-teman Nicholas, lalu kembali memperhatikan Nicholas dengan tatapan manja berkaca-kaca.

"Honey baby Nicho, tadi kenapa?. Kata anak-anak kamu berantem sama Prince, bener?"

Raline memegang lengan Nicholas dan memperhatikan wajah serta sekujur tubuhnya. Ia takut kalau Nicholas mendapatkan luka atau memar, karena diisukan bertengkar dengan Prince.

"Nggak Raline, gue nggak apa-apa koq." jawab Nicholas lalu tersenyum.

"Beneran Honey baby?"

Nicholas kembali tersenyum dan mengangguk.

"Aaakh." Miko memegang dadanya dan meringis kesakitan.

"Baby Raline, Miko sakit disini nih?" Miko menggoda Raline yang berakhir dengan penolakan.

"Ih, Miko apaan sih?. Kamu kan pacarnya Rebecca, dan Rebecca itu kenal sama Raline. Raline nggak mau ya, sampe di cap pelakor."

Kali ini Raline benar-benar merajuk, wajahnya ditekuk dan bibirnya tampak manyun. Sementara teman-teman Nicholas hanya tertawa.

"Honey baby Nicho, Raline mau ke kantin nih. Mau ikut nggak?"

Raline bertanya pada Nicholas dengan mata yang sengaja di besar-besarkan, agar terlihat imut bak gadis-gadis Korea yang manja. Namun Nicholas melihatnya lebih mirip seperti lemur Madagaskar.

"Mmm?" Nicholas seolah berfikir lalu melihat ke arah teman-temannya.

"Ooo, tidak bisa."

Teman-teman Nicholas kompak untuk tidak menyetujui keinginan Raline.

"Kalau baby Raline mau ngajak honey bunny Nicho ke kantin. Honey Mpin, honey Miko, honey Jason, honey Dirly mesti ikut." ujar Kevin menegaskan.

Sementara kini Miko, Dirly, dan Jason menyilangkan tangan di dada dan memasang wajah sombong.

"Ih, kepedean banget sih kalian. Males ah, Raline nggak usah ngajak siapa-siapa aja. Permisi."

Raline dan kedua dayangnya kemudian berlalu. Detik berikutnya Nicholas dan yang lain pun tertawa riang.

"Udah ah, kantin yuk...!" ajak Jason kemudian, kelimanya pun menuju ke kantin.

"Nic, koq lo nggak mau sih sama Raline?"

Kevin membuka pembicaraan, ketika mereka semua tengah lahap memakan bakso di kantin sekolah. Raline berada cukup jauh dari mereka,  ia dan kedua temannya duduk di kursi paling pojok di kantin tersebut. Nicholas pun tertawa kecil demi mendengar pertanyaan itu.

"Tau lo, Raline kan cantik." ujar Dirly menimpali.

"Kalau lo mau, pacarin aja." jawab Nicholas santai.

"Woaaa, jangan Nic. Jangan suruh Dirly." seloroh Miko.

"Dia mah penjahat wanita." lanjutnya kemudian.

"Elu tuh pelahap tante-tante. Gue kasih tau Rebecca lo." Dirly membalas Miko dengan ancaman, sementara yang lain kini tertawa renyah.

"Ngomong-ngomong, lo masih mencari cinta pertama lo itu Nic?" tanya Kevin kemudian.

Semua mata kini tertuju pada Nicholas dan, pemuda yang sedang fokus pada makanannya itu merasa terusik. Ia menghentikan makan lalu menatap keempat temannya itu. Dan tak lama kemudian,

"Koq kita jadi tatap-tatapan gini ya?" tanya Nicholas.

Detik berikutnya mereka berlima pun bergidik ngeri dan merasa geli satu sama lain.

"Iiihhh."

"Nich lo nggak cinta sama gue kan?" seloroh Kevin. Nicholas menoyor kepala temannya itu.

"Kalau pun gue homo, gue juga milih-milih bangsat." candanya kemudian. Lagi-lagi mereka sama-sama tertawa, lalu melanjutkan makan.

"Tapi gue heran, Nic. Setelah sekian lama, lo masih aja inget sama cinta pertama lo itu. Gue penasaran rupanya seperti apa tuh cewek sekarang." ujar Jason dengan mulut penuh bakso.

"Dia itu sederhana, tapi istimewa." ujar Nicholas sambil menjatuhkan pandangan jauh ke depan. Detik kemudian, ia kembali melanjutkan makan.

"Maksudnya?" tanya Miko tak mengerti.

"Ya, kalau cantik. Definisi cantik itu kan luas. Kayak Raline, Dena, Karlita, mereka itu cantik. Tapi Amaya, dia itu bisa membuat gue selalu merasa damai setiap saat. Ada dan nggak ada dia, di manapun ketika gue inget dia, gue akan otomatis merasa tenang dan dekat. Karena separuh hatinya ada sama gue."

"Gua penasaran dah sama si Amaya itu." ujar Dirly dengan mata menatap Nicholas, namun tangannya menyendok di mangkuk Jason.

"Nggak nyendok bakso gua juga kali." Jason menepis tangan Dirly, yang mulai gerayangan di mangkuknya.

"Tapi, Nic. Lo sama Amaya itu beda usia sekitar lima tahunan kan?. Dia juga udah pindah ke Belanda, lo juga udah pindah dari kota lo yang dulu. Kata lo nomornya udah nggak aktif dari lama, udah nggak ada komunikasi lagi. Kalau sekarang dia udah nikah gimana?"

Pertanyaan Kevin tersebut, sukses membuat Nicholas terdiam cukup lama.

"Hati gue bilang, dia nggak mungkin menikah secepat itu. Kalaupun sekarang dia sudah menikah, gue akan tunggu jandanya."

"Hahaha." kelima sahabat ini pun kembali tertawa.

"Pelakor, eh pebinor dong lo." seloroh Kevin.

"Nggak apa-apa, gue ikhlas ngurus anak-anaknya."

Nicholas memperpanjang candaannya, namun tiba-tiba sesosok perempuan berdiri di hadapan mereka semua. Nicholas dan teman-temannya sontak terdiam.

"Dena?"

"Nic, gue mau bicara sama lo."

Dena berkata dengan suara rendah, namun seperti ada sebuah ketakutan yang ia pendam. Nicholas pun menghentikan makan, lalu menghabiskan segelas air putih. Ia kemudian mengeluarkan uang seratus ribu rupiah dari dalam dompetnya dan meletakkan uang tersebut di meja.

"Ntar bayarin ya, sekalian sama punya lo pada. Kalo kurang, tambahin pake duit Mpin."

"Lah koq gue?" tanya Kevin heran.

Nicholas hanya tertawa kecil. Diantara mereka, Kevin lah yang usianya paling muda dan paling sering dibuat sewot oleh teman-temannya. Karena mereka selalu suka melihat ekspresi Kevin yang masih seperti anak kecil.

"Nich, bakso lo buat gua ya." ujar Dirly kemudian.

"Ya, gue tinggal dulu ya."

"Sip." jawab mereka semua.

Nicholas dan Dena mulai meninggalkan tempat itu.

"Banyak-banyak ngucap, Nic." goda Kevin setengah berteriak, ketika Nicholas akhirnya berjalan disisi Dena

"Kalo dah jengah, usir pake sapu lidi." sambung Miko.

"Sssttt, lo kata si Dena kuntilanak." ujar Kevin kemudian.

"Dia mah bukan kuntilanak lagi." jawab Dirly.

"Dedengkotnya kuntilanak." lanjutnya kemudian, yang diikuti gelak tawa yang lainnya.

"Jangankan Nicho, gua aja nggak mau sama cewek kayak gitu." Kevin menambahi.

"Tau tuh, emang sih cantik. Tapi ya gitu, jahat mulu sama orang." timpal Dirly.

"Udah-udah. Nyinyir aja lo pada, kayak admin lambe murah. Sekalian tsay, pake hengpong jadul biar makin greget." Jason sewot.

"Miko nih, admin lambe julita ulala." ujar Kevin kemudian.

"Elu, admin mak konah tonggek." balas Miko

***

"Jadi, lo udah minta maaf sama Karlita?" tanya Nicholas pada Dena, ketika akhirnya mereka memilih duduk di kursi taman belakang sekolah.

"Belum." jawab Dena sambil menunduk.

"Sepupu lo, Prince. Belum minta maaf juga?"

Dena menggeleng, kali ini Nicholas menghela nafas panjang.

"Den, gue itu nggak ada perasaan apapun sama Karlita."

Bagai mendapat durian runtuh, Dena langsung sumringah mendengar pernyataan tersebut.

"Jadi bener, lo nggak suka sama Karlita?. tanya nya bersemangat. Nicholas pun tersenyum lalu menggelengkan kepala.

"Bener." tukasnya kemudian.

"Ee, kenapa?. Bukannya kalian deket banget ya. Terus dia itu, cantik"

"Gue menganggap Karlita itu sebatas teman dan dia itu memang baik, tapi bukan berarti gue cinta. Gue selalu belain dia dari kalian, karena kalian memang sudah keterlaluan. Kalian kelewat batas kalau ngerjain dia. Kasihan tau, dia sering telat ke sekolah karena membantu ibunya jualan kue. Kalau malam, dia bantu bikin. Bapaknya Karlita itu nggak jelas ada dimana. Dari kecil dia sama ibunya itu, ditinggalin gitu aja sama bapaknya."

"Wah, kalau bukan Karlita terus siapa dong?. Jangan-jangan gue lagi yang ditaksir Nicho." gumam Dena dalam hati sambil tersenyum memperhatikan Nicholas.

"Ee, nggak. Bukan lo juga, Den." ujar Nicholas seakan tahu isi kepala Dena.

Hal tersebut langsung membuat Dena yang semula sudah melambung tinggi, menjadi seolah jatuh ke comberan.

"Gue nggak sedang berfikir, kalau lo suka sama gue koq." Dena mengelak.

"Barusan lo ngomong gitu." goda Nicholas kemudian.

"Ih, Nicho apaan sih?" Dena memukul tangan Nicholas dan Nicholas pun tertawa kecil.

"Sakit tau, ih."

"Oh ya. Kalau lo nggak suka sama Karlita, terus lo sukanya sama siapa dong?. Raline?"

Nicholas tersenyum lalu menggeleng.

"Gue suka sama seseorang yang sudah lama gue kenal. Dia cantik, baik dan selalu menenangkan hati. Dia juga lincah, manja, tapi sikapnya dewasa." Nicholas menatap jauh ke depan, sementara Dena memperhatikan wajah pemuda itu.

"Apa, dia juga ada disekolah ini?"

Lagi-lagi Nicholas menggeleng.

"Apa dia, cinta pertama lo?"

Kali ini Nicholas hanya diam, dijatuhkannya pandangan ke arah rerumputan. Ia lalu tersenyum menatap Dena. Meski tak berkata apa-apa lagi, namun itu semua sudah cukup untuk menyatakan pada Dena. Bahwa ada seseorang yang kini mengisi hatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!