NovelToon NovelToon

Tentangku & Hatiku

Prolog.

Oktober, 2013.

Aku akan menceritakan tentang masa laluku di mana aku pernah menikah dengan seorang pria asal Malaysia. Tapi sebelum itu aku ingin memperkenalkan diri.

Namaku He Karin yang waktu itu masih berusia 17 tahun. Di mana di waktu umurku masih terbilang sangat muda harus merantau ke negeri Jiran, karena masalah ekonomi.

Aku yang dulunya terbilang memiliki sifat dingin, hanya memakai isyarat mengangguk-anggukkan kepala saja pada orang lain, yang mengakibatkan banyak tetangga yang tidak menyukaiku. Lain halnya jika bersama dengan keluarga.

Di dalam anggota keluarga ku terdiri dari 6 orang yang memiliki perbedaan sifat yakni bapak, ketiga kakak, aku dan keponakan.

...

Bapakku bernama H. Hasyim Subli. Dia adalah orang Dayak asal Sampit, Kalimantan Tengah. Ia merupakan seorang bapak yang tegas dan juga penyayang terhadap anak-anaknya.

...

Saudara pertamaku bernama H. Wenah Kalawa. Dia adalah wanita yang cantik, tegas dan ketat dalam hal ibadah.

...

Saudara keduaku bernama H. Kamila Lamiang. Dia adalah wanita yang cantik, penyayang, dan penurut. Dia akan melakukan apa saja yang menurutnya baik.

...

Saudara ketigaku bernama H. Danum Purok. Dia adalah laki-laki yang pendiam, cuek, penyayang dan tidak banyak tingkah. Ia hanya akan berbaur dengan orang yang menurutnya nyaman. menyayangi keluarganya termasuk adiknya.

...

Dan terakhir aku yang memiliki sifat pendiam dan baik. Aku sendiri hanya akan menampilkan sifat banyak omong pada orang yang menurutku bisa di percaya.

...****...

Drttt ... drttt ... drttt ...

Ponselku berbunyi di samping kasur, aku yang sedang tidur siang itu pun segera meraih ponsel tersebut. "Halo ...."

"Dek ... kamu ada di mana?"

"Kamar, kenapa mbak ...?" jawab dengan mata masih tertutup.

"Besok jam 7 pagi kamu harus bersiap-siap!" ucapnya di seberang sana.

Aku yang masih tidak mengerti hanya terus bertanya. "Jam 7 pagi ...? Memangnya aku harus kemana?"

"Besok akan ada tekong (tekong merupakan orang yang mengurus pemberangkatan keluar negeri) kesana, untuk menjemputmu karena mbak ingin kau berangkat ke Malaysia," terangnya.

Aku yang mendengar itu langsung membuka mata lebar-lebar, tidak percaya pada apa yang di katakan oleh saudaraku. "Hah?! Kenapa tiba-tiba Mbak?"

"Sudah! Kamu jangan banyak tanya, cepat! Kau beres-beres pakaianmu yang akan kamu pakai di perjalanan nanti. Ingat!! Jangan terlalu banyak membawa pakaian! Di sini mbak sudah mempersiapkan segala keperluanmu," ucapnya panjang lebar.

Tut ... tut ... Sambungan telepon pun terputus.

"Haaaah ... apa apaan itu? kenapa tiba-tiba sekali," gerutuku. Aku pun bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ke arah di mana biasanya bapakku duduk.

"Pak ...?" panggil ku saat menemukan bapak di teras rumah.

"Ada apa?" sahutnya.

"Barusan mbak menelfon, dia bilang aku harus mengurus paspor keberangkatanku besok," ucapku.

Bapak hanya mengangguk kecil lalu berkata. "Pergilah ... selagi itu bisa membuatmu tidak kesusahan di sini."

"Bapak bicara apa sih pak? Aku tidak kesusahan! Kan aku kerja pak," balasku dengan wajah sedikit kesal. Aku tau meskipun waktu itu aku bekerja di warung nasi goreng temanku. Aku belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

Aku pun hanya mengangguk kecil karena aku tau aku hanya menjadi beban keluarga kala itu. Aku berdiri dan pergi meninggalkan bapak yang mungkin telah menatap kepergian ku.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore di mana aku harus bekerja. Aku hanya membutuhkan waktu 3 menit untuk sampai ke tempat kerja. Karena tempat kerjaku hanya berada di sebelah barat rumah.

"Hmm ... tumben awal rin? Biasanya kau selalu datang telat," ucap Erma anak dari sang pemilik warung.

"Iya, hanya ingin datang tepat waktu saja," balasku seraya tersenyum dan memulai dengan pekerjaan ku.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam di mana warung sudah tutup. Aku yang sudah selesai beberes langsung menuju ke arah bibi Rus (pemilik toko) untuk mengambil gaji karena aku memang di gaji harian.

"Karin ini gaji mu nak," ucap bibi Rus sembari menyodorkan uang sebesar dua puluh ribu.

"Makasih bi ...," ucapku.

"Iya sama-sama."

"Bibi ...?" panggilku lagi.

"Iya, ada apa nak?"

"Bi ... aku hanya ingin bilang bahwa hari ini aku mau berhenti."

Bibi Rus yang sedang menghitung hasil jualannya langsung menghentikannya sejenak, lalu mendongakkan kepalanya. "Loh kenapa nak? Gajimu tidak cukup ya? Bibi tambahkan lagi jika kamu mau."

Aku pun menggeleng. "Tidak bibi ... gaji yang bibi berikan sudah cukup."

"Lalu kenapa kau ingin berhenti?" bibi Rus memegang tangan ku seraya menggenggamnya.

"Mbak ku menyuruhku untuk menyusulnya bibi."

Bibi Rus pun melepaskan tangannya sambil mengangguk. "Ah, ternyata begitu. Yasudah kalau begitu bibi doakan semoga berjalan dengan lancar ya nak," ucapnya lalu merogoh kantong plastik yang terdapat uang dari hasil jualannya, ia mengeluarkan uang seratus ribu dan langsung memberikannya kepada ku, " Ambil ini ...! Gunakan uang ini waktu kamu ingin makan di saat mengurus pasport mu," sambungnya lagi.

"Tap-tapi bi ini."

"Sudah kau ambil saja! Anggap saja ini hadiah dari bibi untukmu."

Aku pun akhirnya mengambil uang dari pemberian bibi Rus dan mengucapkan terima kasih lalu pamit untuk pulang.

"Aku pulang ... Pak? Aku pulang," sahutku saat sampai di rumah tapi tidak ada sahutan terdengar dari bapak. Aku masuk ke dalam rumah dan ternyata bapakku tengah terlelap di sofa depan tv. Aku menghampirinya dan membenarkan selimut yang terjatuh ke lantai.

Di rumah hanya ada kami bertiga karena mbak Wenah dan Bang Danum berada di Malaysia sedangkan mbak Kamila ikut suaminya ke Sampang kota.

Aku pun menuju kamar dan langsung membersihkan diri lalu segera beranjak untuk tidur.

...****...

Keesokan harinya aku sudah bersiap-siap dan menunggu kedatangan orang yang aku menjemputku mengurus persiapan keberangkatan. Tepat jam 8 orang yang di tunggu akhirnya datang dan tanpa menuju lama kami pun berangkat ke Surabaya.

Di perjalanan ... Aku bisa merasa bahwa orang di samping yang menjemput ku tengah memerhatikan ku. Aku yang risih akan hal itu pun menoleh "Anda sedang melihat apa?"

Yang terciduk pun hanya tersenyum. "Tidak aku hanya heran saja, apa benar kau ingin bekerja?"

"Iya."

"Kau masih terlalu muda untuk merantau ke negeri orang."

"Tidak masalah selagi itu bisa di buat makan," ucapku yang sudah menatap pemandangan luar dari arah kaca mobil.

Tidak ada pembicaraan lagi yang keluar dari mulut orang itu. Aku pun dengan terus memandangi pemandangan luar tanpa berniat mengalihkannya ke arah lain.

Beberapa jam kemudian ...

Kami pun telah sampai dan segera mengambil tiket antrian. Di sana aku tidak sendiri karena ada dua orang yang juga melakukan pengurusan dokumen.

Mengurus Dokumen.

Setelah seharian mengurus berbagai surat-surat yang harus dilakukan, akhirnya selesai juga. Aku pun langsung mencari makanan karena merasa perutku begitu sangat lapar sebelum diantar pulang oleh seorang yang tadi menjemputku.

Selesai makan aku pun menuju mobil. Di dalam mobil masih tetap sama yaitu tetap berdua dengan orang itu, karena dua orang yang juga mengurus dokumen tadi telah ikut orang yang menjemputnya.

Mobil pun melaju meninggalkan area cop jari tersebut (Aku lupa nama gedungnya apa, maafkan daku).

Aku melirik ke arah pemuda yang menjadi tekong ku itu. Dia begitu sangat muda, tadi awalnya aku mengira dia hanyalah anak tekong yang sengaja menjemput ku. Tapi ternyata aku salah. Ia justru tekong yang mengurus keberangkatanku.

"Kenapa di pandangi terus bak ...? Ganteng ya?"

Ucapan itu sukses membuatku berpaling karena terciduk meliriknya, sungguh aku malu sekali waktu itu. Bukan karena aku tertarik padanya tapi melainkan karena aku hanya penasaran saja, karena dia begitu sangat muda tapi sudah hebat dalam hal ini. Mungkin bisa di pastikan pemuda di samping ku ini berusia dua puluh dua tahun.

Aku kembali memfokuskan perhatian ku pada luar jendela. Ini baru kali pertama ku memasuki area kota Surabaya, ternyata pemandangan kota dengan desa sangatlah berbeda jauh. maklum aku anak desa.

...****...

Tepat jam tujuh malam akhirnya aku sampai di rumah, tekong tadi mengantarkan ku hanya di depan jalan raya saja, karena rumah ku dengan jalan raya berjarak lima puluh meter. Jadi tekong itu tidak bisa mengantarkan ku langsung sampai depan rumah.

Saat aku ingin keluar tekong tadi menahan tanganku, aku membalikkan badan dan menatapnya dengan tatapan tanya. Pemuda di samping ku hanya tersenyum lalu berkata. "Nanti saat paspor mu telah jadi aku akan menelfon, untuk memberitahu kapan keberangkatanmu."

Aku yang mendengar hanya menganggukkan kepala. lalu keluar dengan menarik tanganku yang masih di genggam oleh pemuda itu. tanpa berniat mengucapkan terima kasih ataupun selamat malam kepadanya, sungguh aku dulu seperti anak tidak tau sopan santun.

"Pak, aku pulang ...," ucapku saat sudah di depan rumah dengan suara sedikit di naikkan.

Bapak pun keluar dari kamarnya dengan koran yang ia pegang. "Sudah pulang ...? Cepatlah bersihkan tubuhmu lalu pergi tidur."

Aku mengangguk, lalu meninggalkan bapakku yang telah terduduk di deras depan. Aku membaringkan tubuhku sejenak karena merasa sedikit capek.

"Haaaah ... haruskah aku meninggalkan bapak sendiri di sini?" gumam ku pada diri sendiri. lalu bangkit dan menuju kamar mandi.

Dua puluh menit kemudian ...

Aku selesai membersihkan diri. Lalu menuju ke arah luar karena ingin memastikan bapakku ada di mana, saat sampai di depan pintu aku melihat bapak masih dengan koran yang ia baca. Aku pun menghampirinya.

"Pak ...?"

Bapakku menoleh ke arah ku seraya berkata. "Belum tidur?"

Aku menggeleng pelan. "Belum ... sebentar lagi aku masuk kok pak, emmm bapak sudah makan?"

"Sudah tadi bapak beli nasi di warung bibi Rus mu itu." ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya pada koran itu.

Aku mengangguk kecil. "Pak ...?"

"Hmm ...? Kenapa rin?" sahutnya.

"Kalau aku berangkat nanti, siapa yang akan mengurus bapak di sini? Bak Kamila tidak akan mau pulang untuk mengurus bapak."

Bapak menghentikan acara membacanya, lalu menghadap ke arah ku sambil menepuk pundak ku pelan.

"Kamu jangan khawatir ya, bapak kan bisa ke rumah nenekmu jika bapak mau makan," ucapnya menenangkan ku yang sudah mengeluarkan air mata.

Aku mengusap air mataku yang sudah mengalir. "Jika bapak tidak ingin aku berangkat, aku bisa membatalkannya kok pak."

Bapak menggeleng. "Heiii ... ingat mbak mu sudah mengeluarkan banyak uang untuk keberadaanmu," ucapnya, "Karin, tidak apa-apa kamu berangkat saja, bapak di sini baik-baik saja lagipula kan ada Agus," imbuhnya menerangkan.

"Bapak yakin ...?"

"Bapak yakin nak, justru bapak ingin kamu sukses di masa depan. Tidak merasa kesusahan lagi karena bapak tidak mampu memberikan anak-anak bapak yang kalian inginkan," ucapnya seraya menghela nafas panjang.

"Pak, kami tidak mengharapkan apa-apa kepada bapak. Justru aku, bang danum dan mbak-mbak ku yang lain sangat beruntung bisa mendapatkan seorang ayah seperti bapak," ucapku seraya tersenyum pada sosok pahlawan yang berada di hadapanku.

"Sudah! Sudah! Cepatlah kau tidur kamu pasti lelah. Cepatlah ke kamarmu," pinta bapak lalu mendorong pelan agar aku menjauh. Aku hanya tersenyum melihat tingkah bapakku, aku tahu bapak berusaha menahan air matanya karena aku masih ada di sampingnya.

Aku pun membalikkan badan menuju kamar seraya meninggalkan bapak di teras rumah.

Dua minggu kemudian ... ponselku berdering nyaring di atas ranjang kamarku, aku yang berada di ruang tengah segera berlari menuju kamar untuk mengambil ponselku yang berbunyi.

"Nomor tidak di kenal?" ucapku, aku pun mengangkatnya, "Halo ...?"

"Halo ... apa betul ini Karin?"

"Iya."

"Ini saya mbak, mas tekong yang mengurus dokumen mbak Karin," ucapnya di seberang sana.

"Oh, iya. Kenapa mas?" ucapku.

"Begini bak, mbak berangkatnya besok malam nanti saya jemput jam empat sore ya."

DEG!!!

'Kenapa harus mendadak begini.' batinku.

"Kenapa harus mendadak begini mas? Saya kan belum menyiapkan barang-barang," tanyaku sedikit kesal.

"Iya, mbak karena di bandara ada aturan ketat jadi mbaknya agar bisa lolos di bandara harus berangkat tengah malam besok," ucapnya menerangkan.

Aku mengusap wajah seraya memijat pelipis ku yang terasa pusing tiba-tiba. "Baiklah, kalau begitu."

Aku pun langsung memutuskan hubungan ponsel. Aku terduduk di ranjang memikirkan apa yang harus kukatakan pada bapakku. Aku pun keluar untuk menghampiri bapak.

"Pak ...," panggilku saat melihat bapak sedang makan.

"Karin, sini ... kamu mau makan?" sahutnya seraya menyodorkan piring ke arah ku.

"Aku masih kenyang pak. Emm pak ...? Tadi tekongku menelpon, dia bilang bahwa keberangkatanku besok malam dan dia akan menjemputku jam empat sore," terang ku pada bapak.

"Baik dong itu nak, biar kamu secepatnya bertemu dengan kakak-kakak mu," ucapnya.

"Tapi pak-" belum selesai bicara bapak telah memotongnya.

"Bapak tidak apa-apa rin," ucapnya lalu kembali berkata, "Sekarang kamu beres-beres pakaian yang ingin kamu bawa sana! Nanti bapak bantu tapi bapak ingin selesaikan makanan bapak dulu."

...****...

Selesai semua dengan barang yang di bawa. Aku menidurkan diri dengan menatap langit-langit kamar ku yang tak lain adalah genting berwarna oren dengan kayu sebagai penahanannya.

Tanpa memikirkan apa-apa lagi aku pun tertidur karena rasa lelah menyerang.

Paginya aku bangun untuk membeli sarapan karena aku tidak bisa memasak. Inilah mengapa aku mengatakan bahwa aku hanya beban keluarga karena tidak bisa memasakkan makanan untuk bapak sendiri.

Mereka Berdua.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore di mana aku sudah siap dengan berbagai bawaan yang aku bawa ke negeri Jiran (Malaysia).

Aku menunggu tekongku yang katanya hampir sampai. Aku melirik ke arah jam tangan yang ku kenakan, jam sudah menunjukkan jam setengah lima namun tekong tersebut belum datang juga. Aku terus menunggu dengan bapak dan keponakan ku yang menemani ku. Aku melirik ke arah mereka berdua tanpa berniat untuk mengucapkan selamat tinggal pada orang yang sangat berharga dalam hidupku.

Hingga suara klakson mobil pun terdengar. Aku mengalihkan pandanganku pada suara tersebut dan rupanya itu adalah mobil tekong yang mengurus keberangkatanku.

"Sudah siap mbak ...?" ucapnya sembari memberi salam pada bapak dan keponakan ku.

Aku hanya mengangguk kecil tanpa bersuara. Aku hanya terfokus pada bapak dan keponakan ku. Lalu tanpa menunggu lama lagi, aku segera menghampiri keduanya dan memeluk erat tubuh mereka tanpa berniat ingin melepaskan pelukanku. Aku pun menumpahkan air mataku pada kerah baju keponakan ku.

Keponakan ku hanya menepuk-nepuk bahuku seraya berkata. "Sudahlah, Karin untuk apa kamu menangis? Toh kamu hanya pergi untuk membahagiakan kami, 'kan? Sudah! Jangan menangis lagi. Bajuku sudah basah ini," gerutunya seraya memanggil ku dengan nama tanpa embel-embel Bibik ataupun Tante.

Aku pun memukul kepala keponakan ku dengan keras. "Anak kurang ajar! Berani sekali kamu sama yang lebih tua."

Bapak pun akhirnya melepaskan pelukan ku dan berkata. "Pergilah! Hati-hati di jalan."

Aku yang tadinya telah menghapus air mataku, tanpa sengaja malah menumpahkan kembali air mata yang sempat ku lap. "Bapak juga ... jaga kesehatan bapak! Jangan sakit-sakit dan jangan mendengarkan apa yang tetangga itu katakan, itu bisa membuat bapak sakit hati."

Bapak hanya mengangguk dan tersenyum saat melihat ku sudah sesegukan. "Iya ... bapak janji."

Aku pun masuk ke dalam mobil yang telah di bukakan oleh tekong. Dan kami pun meninggalkan tempat tersebut di mana bapak dan keponakan ku berdiri. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan bapakku baik-baik saja. Aku mengusap air mataku yang sudah tumpah sedari tadi, aku tidak ingin terlihat lemah di samping orang yang tidak ku kenal.

"Tidak apa-apa mbak, aku tau perasaan mbak Karin seperti apa. Aku juga pernah merasakan hal yang sama kok mbak, jadi mbak Karin jangan malu." ucapnya sembari memberi ku tissue.

Aku pun meraih tissue tersebut tanpa mengucapkan terima kasih kepada orang di samping ku itu. Perjalanan demi perjalanan akhirnya aku pun sampai di penampungan sementara. Aku memasuki area tersebut mengikuti langkah sang tekong. Di sana aku bertemu dengan kedua orang yang sebelumnya pernah ku temui di tempat cop jari beberapa minggu yang lalu.

Mereka menyapaku dan menghampiri ku lalu menarik tangan ku untuk duduk di salah satu kursi yang mereka juga duduk. Aku pun hanya mengikuti mereka dan meletakkan barang-barang ku di samping bawah kursi yang ku duduki.

"Hei ... sepertinya umurmu tidak jauh beda dengan umur kita." ucap satu orang yang menyeret tangan ku tadi.

"Hooh, sepertinya begitu," sahut satunya lagi.

Aku hanya menatap arah meja tanpa melihat ke arah mereka.

"Hei ...?" ucap orang itu dengan menepuk lenganku pelan.

Aku pun menoleh ke arahnya. "Kalau boleh tau, umurmu berapa, hah?" ucapnya penasaran dengan usiaku.

"Tujuh belas," balasku singkat.

"Hah, tujuh belas? Kamu yakin? Kukira umur kita tidak beda jauh, tapi ternyata sangat jauh sekali" ucap orang itu kaget dengan apa yang ku ucapkan.

"Hei ... kenapa kau diam saja? Apa kamu canggung pada kami?"

"Tidak."

"Lalu ... kenapa kamu hanya diam saja?"

"Aku tidak suka bicara, apalagi dengan orang yang tidak aku kenal," ucapku. Dan membuat kedua orang di samping ku tak lagi bersuara.

...

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Di mana aku berpindah tempat dan memilih untuk duduk di teras penampungan itu. Suasana di sekitar lokasi itu lumayan sedikit lebih ramai ketimbang di desa ku yang terlihat sunyi saat malam hari. Aku sebenarnya yang sedikit risih dengan keramaian mencoba untuk tetap menikmati suasana itu. Karena pada dasarnya aku hanya ingin menghindari kedua orang yang tadi duduk bersama ku. Entah kenapa aku tidak menyukai keberadaan mereka yang terlalu dekat.

Tepat jam sepuluh malam kedua orang itu datang menghampiri ku yang sedang menatap langit-langit malam.

"Dek ...?" panggilnya.

Aku menoleh ke arah mereka berdua dengan tatapan tanya.

Mereka berdua yang peka akan tatapan ku langsung berkata. "Ayo masuk, kita solat isya bareng."

Aku yang faham hanya menatap mereka dengan senyuman kecil. "Aku tidak seperti kalian."

Mereka berdua saling pandang, lalu beberapa saat mereka berdua pergi meninggalkan ku yang masih menatap kepergian mereka. Lalu kembali menatap bintang-bintang menikmati suasana malam.

"SEMUANYA ... AYO MASUK DULU!!" teriak seseorang yang bisa ku tebak itu adalah suara tekongku. Tanpa menunggu lama aku pun masuk ke dalam dan duduk di kursi yang tadi sempat ku duduki.

Aku dapat melihat kedua orang tadi masih tetap memilih duduk bersama dengan ku. Aku melirik ke arah mereka dan mereka pun hanya menunjukkan senyuman mereka.

"Baik, karena sebentar lagi kita akan menuju bandara. Mari kita baca doain agar kalian bisa lolos dari bandara dan lolos dari imigrasi Malaysia," ucapnya seraya mengangkat kedua tangannya dan mulai berdoa.

Aku yang melihat itu langsung menundukkan kepala dengan kedua tangan yang ku genggam erat dan mulai berdoa mengikuti mereka.

...

Kami pun berangkat dan tak butuh waktu lama akhirnya kami sampai di bandara Surabaya karena jarak bandara dan penampungan tadi tidaklah jauh. Beberapa orang yang juga ingin berangkat ke Malaysia itu bukan hanya aku dan kedua orang tadi, melainkan masih ada tiga belas orang lagi yang aku tidak tau dari mana asal mereka.

Kami pun di bentuk empat Tim, dari masing-masing Tim berisikan empat orang. Dan aku di bagian Tim pertama dimana aku dan ketiga orang lainnya masuk terlebih dahulu ke dalam imigras. Setelah proses tatap menatap dengan orang imigrasi bandara akhirnya aku lolos dan langsung di tunjukkan ke arah di mana aku harus menuju ke arah tempat selanjutnya. Di sana aku bertemu kembali dengan tekongku, dia menampilkan senyumannya.

"Selamat kau lolos mbak," ucapnya.

Aku pun langsung bertanya kepada orang di hadapanku. "Mas ... umurku kan tujuh belas tahun, kenapa di paspor ku tertera dua puluh dua tahun?"

Tekongku malah menertawakan pertanyaanku. "Jika aku tidak mengelabui umurmu di paspor itu, bagaimana mungkin kamu bisa lolos dari imigrasi sini mbak."

Aku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah kata lagi karena aku merasa aku sedikit malu akan perkataan ku sendiri.

Aku pun duduk di kursi tunggu. Beberapa lama kemudian kedua orang tadi datang menghampiri. "Kamu sudah lama menunggu kami?"

Aku menggeleng kecil. "Tidak, aku juga baru saja masuk."

"Heiii dek, apakah tadi ada pertanyaan yang orang imigrasi tanyakan kepadamu?" tanyanya penasaran.

"Tidak. Dia hanya menanyakan aku ke negeri Jiran untuk apa," ucapku.

"Lalu ... kau menjawab apa?"

"Liburan."

Terdengar suara tepukan tangan dari kedua orang itu. "Huaaaa ... aku kira kamu tidak akan mengatakan itu dek, aku takut sekali kau akan kena tolak."

Aku mengabaikan kedua orang tersebut, dan mengambil buku cerita yang sengaja ku bawa dari rumah sambil menunggu jam keberangkatanku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!