NovelToon NovelToon

Cinta Dokter (Dokter Cinta Season 2)

#Prolog

Lia melangkah cepat begitu mengetahui mobil suaminya memasuki pekarangan rumah mereka. Ia membukakan pintu utama rumah itu dan menunggu di depan pintu untuk menyambut kedatangan suaminya.

"Selamat datang, suamiku!" sapanya manja begitu dokter Adi berdiri di hadapannya. Dokter Adi mencium mesra bibir mungil istrinya dan membelai rambut panjangnya dengan lembut.

"Tadi seseorang mengirimiku ini!" ungkap Lia sambil menunjukkan sebuah video di ponselnya yang ternyata adalah video suaminya sedang membujuk pasiennya untuk tidak jatuh cinta padanya. Lia tertawa terbahak-bahak melihat video itu.

"Orang itu benar-benar! Besok aku akan melarangnya membawa handphone ketika sedang bertugas!" gerutu dokter Adi.

"Jangan begitu! Aku yang menyuruhnya untuk melaporkan semua yang kamu kerjakan! Aku takut kamu akan berselingkuh!" ungkap Lia.

"Kamu ini ya!" ucap dokter Adi sambil mengacak rambut lurus istrinya, ia kembali mencium mesra bibir mungil Lia.

"Aku punya sebuah hadiah untukmu!" ucap Lia tiba-tiba.

"Oh ya?!" seru dokter Adi tak percaya.

"Bisakah kamu menunggu di tempat favorit kita?" tanya Lia.

"Kenapa harus di sana?" ucap dokter Adi balik bertanya.

"Kita memulai semuanya di tempat itu dan aku mau memberikan hadiah itu di tempat yang paling berkesan untuk kita itu!" terang Lia.

"Kenapa tidak di kamar saja? Akan lebih romantis kalau di dalam kamar!" tawar dokter Adi, ia tersenyum genit pada Lia. Ekspresi wajah Lia berubah, ia cemberut pada suaminya itu.

"Kalau kamu tidak mau menuruti perkataanku, aku tidak akan memberikan hadiah itu!" seru Lia. Dokter Adi tertawa kecil melihat sikap Lia itu.

"Baiklah!" ucapnya sambil berjalan menuju halaman belakang rumahnya, tempat favorit mereka.

Lia bergegas ke kamarnya, mengambil sesuatu, dan menghampiri suaminya yang sudah menunggunya di dalam ayunan. Ia duduk tepat di samping suaminya dan tersenyum manis pada suaminya itu.

"Hmm! Sampai sekarang aku masih terus menyukai eye smile ini!" aku dokter Adi, ia mencium kedua mata Lia yang membentuk eye smile itu.

"Mana hadiah untukku?" tanya dokter Adi bingung karena melihat Lia seperti tidak membawa apapun. Lia merogoh kantung celana pendeknya dan mengeluarkan sebuah benda kecil dari sana.

"Ini!" ucap Lia pelan sambil menyerahkan sebuah test pack kepada suaminya, seketika dokter Adi tersentak melihat test pack yang menunjukkan 2 garis berwarna merah di salah satu sisinya.

"I.. ini!" ucap dokter Adi terbata-bata. Lia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. Dokter Adi kembali memandangi test pack yang ada di tangannya itu, perlahan matanya tampak berkaca-kaca.

Lia meraih tangan kanan dokter Adi dan menaruh telapak tangan dokter Adi itu di perutnya. Sejenak ia hanya tersenyum manis pada suaminya.

"Tuhan memberikan anugerah yang sangat indah untuk kita!" bisik Lia.

"Sekarang, di dalam sini sudah ada buah cinta kita!" tambahnya. Dokter Adi meneteskan air mata harunya, ia memandangi wajah cantik istrinya itu sejenak dan kemudian memeluknya dengan erat.

"Terima kasih!" ucapnya. Ia menciumi kepala istrinya beberapa kali. Lia pun memeluk suaminya itu dengan mesra.

"Ayo kita hidup bahagia bersama selamanya!" bisik Lia. Dokter Adi menganggukkan kepalanya dan mempererat pelukannya di tubuh wanita kesayangannya itu.

...

"Tunggu saja sampai aku pulang, nanti kita belanja keperluan bayi bersama!" ucap dokter Adi sambil memeluk tubuh istrinya itu dari belakang. Lia menggelengkan kepalanya pelan.

"Kalau menunggumu pulang, aku tidak bisa puas melihat-lihat!" tukas Lia.

"Memangnya apa yang mau kamu lihat?" tanya dokter Adi.

"Semuanya! Aku mau memilihkan yang terbaik untuk anakku ini!" jawabnya sambil membelai perutnya lembut.

"Hei! Itu juga anakku!" tegur dokter Adi. Lia tertawa kecil dan kemudian membalikkan tubuhnya menghadap suaminya yang sangat tampan itu.

"Biarkan aku pergi sendiri ke toko itu ya, suamiku? Nanti setelah kamu pulang dari rumah sakit, kamu jemput aku di sana!" pinta Lia. Ia tersenyum lebar hingga matanya membentuk eye smile khasnya. Senyuman itu selalu menjadi senjatanya untuk membujuk suaminya.

"Baiklah!" ucap dokter Adi akhirnya.

"Yeaayy!!!" seru Lia kegirangan.

"Kamu selalu bisa membujukku dan aku selalu kalah dengan eye smile kesukaanku ini!" ungkap dokter Adi, ia menciumi kedua mata istrinya itu dengan lembut. Lia tertawa kecil.

Lia mengantarkan suaminya yang akan berangkat kerja itu sampai ke mobilnya. Dokter Adi masuk ke dalam mobil dan setelah menutup pintu mobilnya, ia segera membuka jendela mobilnya itu.

"Kamu harus berhati-hati ya! Aku akan menjemputmu secepatnya setelah jam kerjaku berakhir!" pesan dokter Adi. Lia menganggukkan kepalanya pelan.

"Hati-hati di jalan!" ucap Lia pada dokter Adi. Dokter Adi mengeluarkan kepalanya melalui jendela mobil dan dengan tangan kanannya ia menarik kepala Lia dengan lembut lalu mengecup mesra bibir mungil istrinya itu.

"Aku mencintaimu!" bisiknya lembut.

"Aku juga sangat sangat sangat mencintai suamiku yang tampan ini!" seru Lia sambil membelai rambut dokter Adi.

"Sudah sana pergi, nanti kamu terlambat!" ucap Lia. Dokter Adi menganggukkan kepalanya.

"Aku pergi ya sayang!" pamitnya sambil melambaikan tangannya pada Lia. Lia membalas lambaian tangan suaminya itu sambil tersenyum manis.

...

Lia tersenyum sambil mengusap perutnya dengan lembut, kemudian ia mengangkat kepalanya untuk memperhatikan lampu lalu lintas bagi penyebrang jalan yang ada di hadapannya, ia menunggu sampai lampu berwarna hijau menyala, dan setelah lampu hijau menyala, ia bersama beberapa orang yang hendak menyebrang juga akhirnya bisa melangkahkan kaki mereka untuk menyebrangi jalan yang cukup padat itu. Lia terlihat sudah tidak sabar untuk bisa segera sampai ke toko yang menjual perlengkapan bayi itu, ia melangkah dengan cepat.

"AWAAAASSS!!!" Tiba-tiba seseorang dari pinggir jalan berteriak untuk memperingati orang-orang yang sedang menyebrang di jalan itu. Sebuah minibus melaju dengan kecepatan tinggi ke arah para penyebrang jalan.

"Tiiiiiinnnn!!!!" Supir minibus tersebut mencoba memperingatkan para penyebrang jalan untuk segera menyingkir dari jalan itu karena ia kehilangan kendali dari kendaraan yang dikendarainya. Lia dan beberapa penyebrang jalan itu mencoba berlari untuk menghindari kendaraan itu, namun naas!

"BRAAAKK!" Terdengar suara hantaman yang sangat keras. Lia dan 2 orang penyebrang jalan lainnya tidak dapat menghindari kendaraan itu. Minibus itu menghantam tubuh mereka dengan sangat kuat hingga tubuh mereka terpental sejauh 7 meter, selain menabrak tubuh para penyebrang jalan, minibus itu juga menghantam beberapa kendaraan lain yang ada di sekitarnya, berputar-putar dan akhirnya berhenti di tengah jalan. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu histeris.

"Aargh!" Lia mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Tubuhnya terkulai lemah di pinggir jalan, ia merasakan sakit pada seluruh tubuhnya terutama bagian perutnya yang terbentur badan mobil dengan sangat kuat dan terhempas ke aspal jalan. Orang-orang mulai berdatangan untuk menolong Lia. Tubuh Lia penuh dengan luka dan darah.

"Da.. darah!" ucap salah satu pria yang hendak mengangkat tubuh Lia kepada pria lainnya dengan suara berbisik agar Lia tidak mendengarnya, tapi Lia mendengarnya. Air matanya pun mengalir membasahi pipinya dan jantungnya berdebar kencang, ia merasa sangat takut kalau terjadi sesuatu pada bayinya.

"To.. tolong!" rintihnya, ia meraih tangan salah satu pria itu dan memegangnya dengan erat.

"Tolong selamatkan bayiku!" ucapnya dengan suara lirih dan sesaat kemudian ia tidak sadarkan diri.

...

#Satu

"Sreekk!" Dokter Adi tidak sengaja menjatuhkan berkas-berkas pasien yang dibawanya.

"Dokter ini kenapa sih? Ini sudah kelima kalinya dokter bertindak ceroboh seperti ini!" gerutu suster Indah.

"Wah kamu sampai menghitungnya ya!" seru dokter Adi sambil tertawa kecil.

"Ya dong! Kapan lagi aku bisa melihat dokter yang super teliti bertindak ceroboh seperti saat ini, jadi aku harus mengingatnya!" canda suster Indah.

"Kamu bukan hanya mengingat tapi juga menghitung dan memarahiku!" gerutu dokter Adi. Suster Indah tertawa kecil sambil membantu dokter Adi memunguti berkas-berkas pasien itu dan membereskannya.

"Tapi kenapa ya dokter bisa seceroboh ini sepanjang hari?" tanya suster Indah tiba-tiba.

"Kamu tidak perlu memikirkannya, aku saja tudak memikirkannya!" tukas dokter Adi. Suster Indah menatap dokter Adi sejenak.

"Dok..." panggilnya pelan. Dokter Adi mengangkat kepalanya menghadap suster Indah.

"Apa?" tanyanya ketus.

"Perasaanku tidak enak!" ungkap suster indah pelan. Dokter Adi terdiam menatap suster Indah, tapi sesaat kemudian tawa suster Indah pecah. Ia terbahak-bahak melihat ekspresi wajah dokter Adi yang terlihat tegang.

"Kurang ajar!" maki dokter Adi sambil menyentil kening suster Indah yang masih terlihat sangat senang karena berhasil menipu dokter Adi.

"Aah iya! Dokter kan belum makan siang, mungkin karena itu makanya dokter ceroboh seperti ini!" seru suster Indah tiba-tiba.

"Kamu mengingatkanku dengan makan siang, cacing di perutku langsung meraung-raung!" gerutu dokter Adi.

"Sudah sana dokter makan siang dulu, biar saya saja yang membawa berkas-berkas ini ke ruangan dokter!" ucap suster Indah.

"Oke! Terima kasih ya!" seru dokter Adi sambil berlalu dari hadapan asistennya itu.

Dokter Adi berjalan perlahan menuju kantin rumah sakit, untuk menuju ke kantin rumah sakit itu dokter Adi harus melalui kamar 108, kamar tempat ia merawat istrinya dulu itu, kini kamar itu sudah beberapa kali berganti pemilik sejak Lia meninggalkannya. Tempat itu masih memiliki kenangan yang sangat mengesankan bagi dokter Adi, ia mengawali cintanya di sana.

"Hai bu!" sapa dokter Adi pada ibu pengelola kantin rumah sakit itu.

"Pak dokter!" sahut bu Sulis.

"Pak dokter baru mau makan siang jam segini?" tanya bu Sulis. Dokter Adi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Dokter Adi mengambil sepiring nasi dan beberapa potong lauk serta beberapa sendok sayur untuk disantapnya siang ini. Ia mengambil posisi meja di sudut ruangan kantin, tepat di samping jendela. Makanan yang ada di hadapannya itu terlihat lezat, aromanya pun sangat harum, tapi entah mengapa siang itu ia merasa tidak selera untuk menyantap makanan lezat itu. Perasannya terasa tidak karuan tapi ia tidak mengerti mengapa.

"Hash!" Dokter Adi mencoba untuk menyingkirkan semua pikiran buruk dari otaknya dan mulai menyantap makanannya perlahan-lahan.

...

"Berita terkini, sebuah kecelakaan terjadi di jalan simpang pusat pertokoan siang ini. Sebuah minibus menabrak sejumlah penyebrang jalan dan beberapa kendaraan. Kecelakaan terjadi karena minibus mengalami rem blong sehingga menyebabkan pengemudi hilang kendali. Hingga berita ini diturunkan, korban yang tercatat akibat kecelakaan tersebut berjumlah 1 orang korban meninggal dunia, 2 orang luka parah, serta 3 orang luka ringan. Para korban kini sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat..."

"Astaga!" seru suster Tia prihatin.

"Kenapa Ya?" tanya suster Indah yang baru saja masuk ke ruang perawat.

"Itu, ada kecelakaan di pusat pertokoan di kota!" terang suster Tia sambil menunjuk ke arah televisi yang tergantung di salah satu dinding ruang perawat. Suster Indah ikut memperhatikan berita yang ditampilkan di layar televisi itu.

"Jam segini biasanya pusat pertokoan pasti sedang ramai-ramainya!" ucap suster Tia.

"Iya benar!" timpal suster Indah.

"Wah kalian malah asyik-asyikan menonton televisi di sini!" celetuk dokter Adi yang tiba-tiba masuk ke ruang perawat.

"Dokter!!" seru suster Tia dan suster Indah bersamaan, mereka terkejut karena kehadiran dokter Adi yang sangat tiba-tiba itu.

"Lihat dok, ada berita kecelakaan!" seru suster Indah antusias.

"Aku tidak punya waktu untuk menonton berita itu!" tukas dokter Adi.

"Ish dokter ini!" gerutu suster Indah.

"Emm.. Ndah! Coba kamu hubungi ponsel Lia! Aku meneleponnya dari tadi tapi dia tidak menjawabnya!" ucap dokter Adi.

"Mungkin dia sedang bersama laki-laki lain dok!" canda suster Indah sambil mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi ponsel Lia, ia mengaktifkan loudspeaker ponselnya agar dokter Adi bisa mendengar percakapannya dengan Lia nanti. Dokter Adi menatap suster Indah dengan tatapan tajam.

"Memangnya Lia tidak sedang di rumah dok?" tanya suster Tia. Dokter Adi menggelengkan kepalanya pelan.

"Tadi pagi dia bilang, siang ini mau ke pusat pertokoan untuk membeli perlengkapan bayi!" terang dokter Adi.

"Pusat pertokoan?" gumam suster Tia. Suster Indah dan suster Tia saling bertukar pandang.

"Halo!" Terdengar suara seorang pria menerima panggilan telepon dari suster Indah.

"Halo!" sahut suster Indah.

"Ini ponselnya Lia kan?!" tanya suster Indah bingung.

"Apa ibu hamil ini bernama Lia?" ucap pria itu dari seberang sana.

"Ya.. ya.. ya!" seru suster Indah membenarkan perkataan pria itu.

"Maaf bu, ibu hamil yang ibu cari ini mengalami kecelakaan di simpang pusat pertokoan!" terang pria itu. Suster Indah dan suster Tia tersentak. Mendengar perkataan pria itu, dokter Adi langsung meraih ponsel suster Indah.

"Kecelakaan bagaimana? Sekarang dia di mana?" cecar dokter Adi. Ia terlihat sangat cemas dengan keadaan istrinya itu.

"Dok!" panggil suster Indah pelan sambil menepuk lengan dokter Adi, kemudian suster Indah dan suster Tia menunjuk ke arah televisi yang sedang menyiarkan berita kecelakaan di simpang pusat pertokoan. Seketika jantung dokter Adi terasa seperti berhenti berdetak.

"Bapak suaminya?" tanya pria dari seberang sana.

"Ya, saya suaminya!" jawab dokter Adi tegas.

"Bapak bisa segera ke rumah sakit ini untuk melihat kondisi istri bapak?" tanya pria itu lagi.

"Saya akan segera ke sana!" seru dokter Adi. Pria di ponsel Lia itu memberi tahu dokter Adi di rumah sakit mana Lia akan di bawa.

Dokter Adi berlari sekencang-kencangnya menuju pelataran parkir tempat ia menaruh mobilnya dan dengan cepat ia pergi menuju ke rumah sakit yang telah diberi tahukan sebelumnya itu. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang dan rasa takut memenuhi hati dan pikirannya. Rumah sakit yang ditujunya itu berjarak 45 menit perjalanan dari rumah sakit tempat kerjanya tapi hari ini dokter Adi hanya memerlukan waktu kurang dari 30 menit untuk bisa sampai di rumah sakit tempat Lia berada.

Dokter Adi segera berlari ke ruang gawat darurat rumah sakit tersebut, ia menemui perawat yang bertugas di bagian administrasi ruang gawat darurat untuk menanyakan di mana keberadaan istrinya.

"Istri bapak saat ini berada di ruang operasi karena dokter perlu segera melakukan tindakan, mari saya antarkan ke ruang operasi!" terang perawat itu lembut. Dokter Adi mengikuti langkah perawat itu hingga tiba di depan pintu ruang operasi.

"Bapak tunggu di sini sebentar, saya akan memberi tahu dokter yang menangani istri bapak!" ucap perawat itu. Dokter Adi menganggukkan kepalanya dan menunggu perawat itu kembali menemuinya untuk mengetahui keadaan istrinya saat ini.

Tak lama kemudian perawat itu keluar dari ruang operasi, dokter Adi segera mendekati perawat itu.

"Bagaimana sus?" tanya dokter Adi yang terlihat sudah tidak sabar untuk mendengar kabar mengenai istrinya dan juga calon anaknya.

"Dokter menyuruh bapak untuk masuk ke ruang tunggu operasi karena dokter perlu berbicara dengan bapak!" terang perawat itu. Debaran jantung dokter Adi bertambah kuat bahkan hingga membuat dadanya terasa sesak. Ia menangkap sebuah firasat buruk.

"Mari, pak!" ajak perawat itu.

Perawat itu memberikan sebuah baju steril pada dokter Adi sebelum dokter Adi masuk ke ruang tunggu operasi dan setelah itu dokter Adi masuk ke ruang tunggu operasi untuk menemui salah satu dokter yang menangani istrinya.

"Selamat sore, pak!" sapa dokter yang menangani Lia itu sambil menjabat tangan dokter Adi.

"Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanya dokter Adi to the point.

"Maaf saya harus menyampaikan kabar buruk ini pada bapak." ucap dokter itu pelan.

"Kabar buruk?" gumam dokter Adi pelan, dadanya terasa semakin sesak.

"Kami masih mengupayakan yang terbaik untuk menyelamatkan istri bapak, tapi kami memohon maaf karena tidak sempat menyelamatkan putra bapak!" terang dokter itu. Dokter Adi tersentak, seketika jantungnya terasa seperti berhenti berdetak.

Seorang perawat yang membantu proses operasi, keluar dari ruang operasi sambil menggendong seorang bayi laki-laki yang tubuhnya dibalut dengan kain berwarna biru muda. Perawat itu menyerahkan bayi laki-laki yang sudah tidak bernyawa itu ke dokter Adi.

"Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya pada bapak karena tidak sempat menyelamatkan putra bapak. Benturan yang sangat kuat membuat putra bapak meninggal sebelum sempat kami lakukan pertolongan." terang dokter yang menangani Lia. Dokter Adi terdiam memandangi wajah putra pertamanya yang kini berada dalam gendongannya itu, wajahnya terlihat sangat mirip dengan Lia.

Untuk beberapa saat dokter Adi masih terdiam, ia terlihat sangat shock dengan apa yang baru saja dialaminya, wajahnya terlihat sangat pucat. Ia benar-benar tidak menyangka kalau hal buruk itu terjadi pada keluarga kecilnya. Ia terduduk di lantai ruang tunggu operasi itu. Sesaat kemudian dokter Adi tersadar, nafasnya mulai terdengar menderu. Dipeluknya putra pertamanyanya yang sudah tidak bernyawa itu dengan erat dan akhirnya ia tidak bisa menahan perasaannya lagi, tangisnya pun pecah.

...

#Dua

Dokter Adi duduk tepat di samping peti tempat jenazah putra pertamanya itu terbaring, kedua tangannya bertumpu di peti itu, matanya menatap ke arah sudut dalam peti tapi pandangannya terlihat kosong. Ia terlihat sangat lesu, beberapa kali ia menghela nafasnya.

"Dokter..." sapa suster Indah yang baru saja tiba di rumah duka bersama dengan Dimas dan Rio. Dokter Adi tidak merespon sapaan rekan kerjanya itu, ia terus saja terdiam.

"Nak!" sapa bu Elisa lembut dari belakang mereka.

"Tante!" sahut suster Indah, Dimas, dan Rio bersamaan.

"Maaf ya nak, Adi sepertinya masih sangat terpukul dengan kejadian ini." ungkap bu Elisa.

"Dia terus seperti itu dari kemarin! Jangan tersinggung dengan sikapnya ya!" pintanya.

"Iya tante, tidak apa-apa! Kami mengerti keadaan dokter!" ucap Dimas.

"Ayo, kalian duduk di sana! Tante ingin berbincang-bincang dengan kalian!" ajak bu Elisa sambil merangkul pundak suster Indah. Suster Indah, Dimas, dan Rio mengikuti langkah bu Elisa.

Sementara itu, dokter Adi menyandarkan kepalanya ke salah satu sisi peti jenazah putranya itu dan perlahan air matanya mengalir dari sudut matanya. Wajahnya terlihat sangat pucat.

"Bug!" Pak Dony menepuk pundak putra semata wayangnya itu dengan cukup kuat hingga membuat dokter Adi tersadar dari lamunanya. Pak Dony duduk di samping dokter Adi.

"Kamu belum makan dari semalam, makanlah dulu!" bujuk pak Dony. Dokter Adi menggelengkan kepalanya.

"Aku belum lapar, pa!" ucapnya pelan.

"Kalau seperti ini terus kamu bisa sakit!" tukas pak Dony sambil memijat lengan putranya itu.

"Istri dan anakku merasakan sakit yang lebih parah dariku, pa!" ucap dokter Adi. Air matanya kembali mengalir ke pipinya.

"Lalu kamu juga mau sakit seperti mereka?" tanya pak Dony. Dokter Adi terdiam, ia kembali menatap kosong ke sudut peti jenazah putranya itu.

"Kalau kamu sakit lalu siapa yang akan memakamkan putramu ini dan merawat istrimu?" tanya pak Dony lagi. Nafas dokter Adi mulai terdengar menderu, air matanya pun lama kelamaan semakin deras mengalir.

"Istrimu belum meninggal, Di!" ucap pak Dony. Dokter Adi tersentak, ditatapnya wajah ayahnya itu.

"Papa tahu kamu merasa sangat kehilangan, papa dan keluarga lainnya juga merasa sangat kehilangan!" lanjut pak Dony.

"Tapi kita tidak bisa terus terpuruk dalam kesedihan ini! Masih ada yang membutuhkan semangat dan kekuatan dari kita!" tambahnya. Pak Dony meraih pundak putranya itu dan merangkulnya.

"Yang sudah pergi, biarkan pergi! Toh dia pergi ke tempat yang jauh lebih baik dari ini!" ucap pak Dony pelan, suaranya terdengar bergetar.

"Tuhan selalu mempunyai rancangan yang terbaik! Putramu... cucu papa ini sudah bahagia di surga sana!" Pak Dony mencoba memberi semangat kepada putra satu-satunya itu, meskipun dirinya sendiri merasa sangat kehilangan.

"Anakmu ini bukan lagi tanggung jawabmu karena dia sudah kembali ke Penciptanya..." lanjut pak Dony.

"Tapi Lia, dia masih hidup! Dia masih di sini bersama kamu dan dia masih milikmu! Kamu harus bisa bangkit demi istrimu itu!" ucap pak Dony. Tangis dokter Adi perlahan pecah, ia menyandarkan kepalanya di pundak ayahnya itu.

"Lia sangat membutuhkanmu! Kamu harus kuat dan papa yakin kamu pasti kuat!" bisik pak Dony. Dipeluknya putra semata wayangnya itu dengan erat dan dengan lembut ia menepuk-nepuk punggung anaknya untuk menenangkannya.

...

Dokter Adi menaburkan bunga di makam putra pertamanya itu, sesekali air mata masih mengalir dari matanya, tapi kini ia sudah bisa diajak bicara oleh orang lain.

"Dokter!" sapa Dimas. Dokter Adi menoleh ke arah Dimas, Rio, dan suster Indah yang mendekatinya.

"Kalian sudah datang sejak tadi ya?" tanya dokter Adi, ia berusaha tersenyum menyambut rekan-rekan kerjanya itu.

"Ya dok!" jawab suster Indah.

"Maafkan saya ya!" ucap dokter Adi. Suaranya terdengar berat dan bergetar.

"Tidak.. tidak apa-apa dok!" tukas Dimas. Dokter Adi memeluk Dimas, Rio, dan menjabat tangan suster Indah.

"Tetap semangat ya dok!" ucap Rio menyemangati dokter Adi. Dokter Adi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Terima kasih untuk perhatian kalian!" ucapnya.

...

Setelah selesai memakamkan putra pertamanya itu, dokter Adi kembali ke rumah sakit untuk menemani istrinya yang kemarin baru saja selesai menjalani operasinya. Saat ini, Lia masih dirawat di ruang ICU karena ia masih berada dalam masa kritisnya dan belum sadarkan diri, keadaan Lia pun masih belum stabil. Berbagai alat medis masih menempel di tubuh Lia untuk bisa terus memantau keadaannya.

Dokter Adi duduk di kursi yang ada di samping ranjang tempat Lia terbaring. Diraihnya tangan istrinya itu dan digenggamnya dengan sangat erat. Matanya memandangi wajah cantik istrinya itu, meskipun ada beberapa bekas luka di wajanya tapi bagi dokter Adi, wajah Lia tetaplah wajah yang paling cantik. Dokter Adi membelai lembut tangan Lia yang berada dalam genggamannya itu dan menciumi jari-jarinya.

"Rasanya pasti sangat sakit ya sayang?" bisiknya pelan. Perlahan air mata mengalir dari sudut matanya.

"Aku tahu kamu pasti merasa sangat sakit!" lamjutnya.

"Tapi aku berharap kamu mau berjuang untuk tetap hidup!" ungkap dokter Adi. Ia menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan tangan istrinya itu.

"Kamu harus berjuang, Lia! Harus!" Ucapan dokter Adi itu terdengar seperti sebuah paksaan.

"Aku tidak akan bisa hidup tanpamu! Aku sudah sangat hancur kehilangan putra kita, aku tidak akan sanggup kalau harus kehilangan dirimu lagi!" akunya. Ia mengangkat kepalanya dan memandangi wajah istrinya yang masih terlelap dalam tidur panjangnya itu.

"Kalau kamu mau pergi, ajak aku juga!" bisiknya. Tangisnya kembali pecah di samping tubuh istrinya.

"Aku tidak akan sanggup untuk menjalani hidup sendiri tanpa kalian!" akunya di sela-sela tangisnya. Dokter Adi membenamkan wajahnya pada ranjang Lia.

"Kamu harus bangun, Lia! Harus!" serunya.

"Tit.. tit.. tiiit.. tiiiiit" Tiba-tiba saja alat monitor pasien yang ada di ruangan tempat Lia terbaring itu berbunyi dengan cukup keras hingga membuat dokter Adi tersentak. Ia berlari ke luar ruangan itu dan memanggil perawat yang sedang bertugas saat itu untuk memeriksakan keadaan istrinya.

Beberapa perawat dan seorang dokter segera melakukan pemeriksaan pada Lia, sementara itu dokter Adi menunggu di luar ruangan. Ia terlihat sangat cemas dengan keadaan Lia, ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya pada Lia. Tak lama kemudian seorang perawat keluar dari ruangan tempat Lia dirawat.

"Bapak, silahkan masuk kembali!" ucap perawat itu. Dokter Adi terdiam sejenak menatap perawat itu, raut wajah perawat itu terlihat cerah ketika mengajak dirinya untuk masuk.

"Apakah sesuatu yang baik terjadi?" batin dokter Adi.

Ketika dokter Adi masuk kembali ke dalam ruangan itu, ia melihat seorang perawat sedang menyelimuti tubuh Lia dan perawat lainnya membereskan beberapa peralatan medis yang semula menempel di tubuh Lia. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang.

...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!