NovelToon NovelToon

Pelangi Tanpa Warna

Ranum untuk Arya

Ranum, dulu aku pernah sangat tertarik kepada gadis itu. Pada parasnya yang cantik, dan senyumnya yang ceria. Aku melihatnya setiap hari. Dia lewat di hadapanku meskipun hanya seperti sebuah hembusan angin yang berlalu begitu saja bagiku.

Namun, pada akhirnya dia melihatku. Menatap dengan matanya yang indah.

Aku sadar dan sangat tahu, jika saat itu kami masih terlalu muda untuk dapat memaknai sebuah rasa. Namun, kehadirannya dalam hari-hariku, telah menjadi suatu cerita tersendiri. Sebuah kisah yang tidak akan pernah aku lupakan.

Dia adalah gadis yang selalu dielu-elukan. Sementara aku? Aku hanyalah seseorang yang selalu berkutat dengan deretan abjad yang membentuk sebuah kata. Sebuah kalimat panjang yang mengandung makna.

Bagaimana bisa seorang Ranum duduk di jok belakang motorku? Sesuatu yang telah membuat mereka menatap pemuda ini dengan mata penuh rasa iri. Sementara aku tidaklah mengerti dengan hal itu.

Namun, kini setelah sekian lama waktu berlalu. Tuhan pun akhirnya mempertemukan kami kembali dalam rupa yang berbeda, tapi dengan hati yang sama. Ya, hatiku masih tetap sama. Entah dengan hatinya.

......................

Ranum, jika kamu menganggapku sebagai seorang teman bicara, maka salahkah aku saat kukatakan bahwa aku jatuh cinta lagi padamu? Sudah dapat aku pastikan, bahwa perasaanku kali ini adalah sebuah perasaan yang jauh lebih dari sekadar kekaguman yang dirasakan oleh seorang anak ingusan. Ini adalah perasaan Arya yang sudah dewasa, dan telah mengetahui serta dapat memaknai segala rasa. Ini adalah Arya, yang sudah dapat membedakan antara cinta dan ketertarikan fisik semata.

Akan kuyakinkan padamu, jika rasa ini bukanlah rasa yang main-main. Bukan hanya dilandasi oleh ketertarikan semata, tapi ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan lebih indah, daripada semua warna pelangi ataupun langit senja. Aku begitu kesulitan untuk membendung perasaan sendiri.

Kenapa aku bisa seperti ini? Tentu saja karena dirimu, Ranum. Bukan hanya karena kecantikan ataupun sebuah senyuman, dan bukan hanya karena sebuah hasrat yang besar padamu.

Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa masih ada hati yang terbuka lebar untuk dapat kamu masuki. Aku hanya ingin kamu memyadari, bahwa masa depan yang lebih indah akan segera menyambutmu.

Ranum, lepaskanlah masa lalumu. Simpanlah menjadi kenangan saja, dan jangan terus kamu bawa ke manapun kamu pergi. Lepaskan cinta semu dalam hati dan sambutlah kenyataan yang jauh lebih berwarna.

Aku ingin sekali menaburimu dengan sejuta warna pelangi, dan beribu keindahan bunga-bunga di dunia ini. Maaf jika aku terlalu lancang.

Namun, sudah cukup dirimu terpenjara dalam cinta semu yang tidak nyata.

Sudah cukup kamu menyendiri dan menyiksa diri dalam sepi. Bukalah hati dan pikiranmu. Lihatlah dunia, dan mentari itu akan bersinar cerah untuk kita.

Ranum, nama yang terlalu indah jika hanya diucapkan sekali saja. Namun, seribu kali pun tak akan pernah dapat mewakili betapa indahnya dirimu.

Ranum, satu nama dengan sejuta cerita. Namun, tiada satu kiasan pun yang dapat melukiskan tentang seberapa cantiknya dirimu.

Ranum, setiap kali aku menyebut nama itu, maka aku akan merasa seperti tengah berada di sebuah padang luas dengan hamparan rumput yang menghijau, diiringi belaian angin yang lembut.

Ranum, kamu memang bukan rembulan dalam gelapnya malam. Kamu bukan pula mentari pada teriknya siang. Dirimu lebih dari sekadar bintang-bintang penghias langit malam.

Ranum, kamu seperti hujan yang menyegarkan. Kamu ibarat embun yang menyejukan. Kamu adalah langit biru yang cerah, dan langit senja yang indah. Kamu seperti sebuah lengkungan sempurna dari pelangi.

Namun, apakah yang membuatmu takut? Apakah yang selama ini menjadi beban berat bagimu? Apakah cinta dalam hidupmu itu terlalu menyakitkan? Aku tak akan meminta sesuatu yang terlalu muluk-muluk. Aku tak akan berharap terlalu banyak atas dirimu.

Aku ingin tatapan matamu untukku, meskipun hanya sekejap saja.

Aku menginginkan senyuman di bibirmu, meskipun hanya sebuah lengkungan kecil saja. Apakah itu terlalu berlebihan?

Aku sadar, aku bukanlah seorang pilot yang dapat membawamu terbang tinggi membelah awan di angkasa luas. Aku bukanlah seorang pria dengan sepatu mengkilap, ataupun sebuah arloji mahal di tangan sebagai hiasan. Aku hanyalah seorang pria biasa yang hanya bermodalkan kata, tetapi pasti penuh makna. Aku hanyalah seorang Arya yang datang padamu hanya dengan membawa satu kata, yaitu cinta.

Jika kamu menginginkannya, maka aku siap menjadi pilar yang kuat lagi kokoh dan akan selalu melindungimu dari segala hal yang akan membuat dirimu merasa tersakiti.

Seandainya kamu mau, maka aku akan menjadi sebuah perisai tak terkalahkan. Aku akan menahan segala hentakan yang tertuju padamu dan dapat mengguncang ketenangan jiwamu yang damai.

Tataplah aku sebentar saja. Izinkanlah aku masuk dalam kehampaan hatimu. Maka aku berjanji, tidak akan ada tempat yang paling kamu sukai, selain pundak seorang Arya.

Tidak akan ada cinta yang lebih indah dari cinta seorang Arya.

Kenapa Tuhan harus mempertemukan kita lagi setelah sekian lama? Karena Dia pasti punya rencana. Sungguh tiada rencana yang paling sempurna selain dari rencana Yang Maha Kuasa. Kamu adalah keindahan yang tiada duanya. Kamu merupakan sebuah lengkungan pelangi, meskipun sudah tanpa warna. Jika semua warna pelangi itu telah pergi, maka biarkan aku yang membawanya kembali. Akan kupersembahkan dengan penuh sukacita, agar kamu bahagia.

Kenapa aku sangat percaya diri untuk menyatakan perasaan cintaku padamu? Karena aku memiliki keyakinan penuh, bahwa Ranum hanya tercipta untuk Arya seorang. Genggamlah tanganku, dan ikutlah melangkah bersama pria ini.

Temani aku melaju ke depan dan meninggalkan semua masa lalu di belakang.

Yakinlah kita pasti bisa.

⚘⚘⚘

Meskipun bayangan Vincent selalu mengikutinya ke manapun dia melangkah, sehingga sangat sulit bagi Ranum untuk dapat melepaskan diri dari ikatan kuat yang menjeratnya. Akan tetapi, nyatanya cinta dan kehangatan Arya mampu membuat Ranum terbuai dan melupakan segalanya.

Harus diakui, bahwa memang masih ada rasa cinta yang besar dan kepuasan yang belum sepenuhnya terlampiaskan. Sesuatu yang telah mengurung kehidupan Ranum selama ini. Dia terpenjara dalam kisah masa lalu yang terlalu indah untuk dihilangkannya dengan begitu saja. Dia terkurung dalam sebuah pelukan khayalan yang telah membuat dirinya menutup rapat-rapat pintu hati dari semua pria. Pesona seorang Vincent terlalu berharga jika harus disandingkan dengan pria manapun, meskipun nyatanya kini pria itu telah berada dalam pelukan Yang Maha Kuasa.

Dalam pandangan mata seorang Ranum, tidak ada seorang pria yang akan mampu meluluhkan hatinya. Dia tidak berniat mengenal siapapun juga. Ranum sudah merasa cukup dengan cinta semu yang dia jalani saat ini. Entah sampai kapan dia akan membiarkan dirinya dalam sepi.

Akan tetapi, siapa sangka jika pada akhirnya pesona Arya dapat membuat Ranum melupakan kehidupan masa lalunya. Cinta pria itu telah berhasil merobohkan tembok pembatas yang telah dia bangun selama empat tahun lamanya. Lalu, Ranum kembali jatuh cinta pada pria itu.

Hai .... readers yang baik hati, bertemu kembali dengan ceuceu.

Setelah selesai dengan Ryanthi ( Manisnya Kue, Pahitnya Kenyataan ) hayu kita lanjut dengan kisah cinta Ranum dan Arya.

Maafkan jika tulisannya masih acak-acakan. Semoga readers suka dengan ceritanya yang ringan.

Selamat membaca😊😉

Note. Jangan lupa untuk menyiapkan tisue yang banyak!

Chapter 1~ Tentang Ranum

Empat tahun sudah Ranum menjalani hari-harinya sebagai seorang janda muda setelah kepergian suami tercintanya, Vincent H. Pranata.

Pria yang berprofesi sebagai pilot pesawat itu, telah dinyatakan meninggal dunia akibat pesawat yang dikemudikannya tiba-tiba hilang kontak dan diketahui jatuh di tengah laut.

Sedih dan terpukul, apa lagi Ranum baru menjalani biduk rumah tangganya selama kurang lebih satu tahun saja.

Ranum sempat mengalami depresi. Namun berkat dukungan dari seluruh keluarganya, maka ia dapat kembali pulih dan menjalani hari-harinya sebagaimana biasanya, meskipun ia tidak lagi seperti Ranum yang dulu.

Ranum, wanita berusia dua puluh lima tahun. Ia adalah seorang wiraswasta. Kesehariannya ia habiskan sebagai seorang pengusaha butik dan salon, yang telah memiliki banyak pelanggan dari kalangan atas. Sedangkan kini, Ranum mulai melebarkan sayap kariernya dalam bidang kuliner. Ia membuka beberapa kedai makanan yang sudah memiliki sekitar 5 buah cabang, meskipun masih dalam satu kota.

Ada satu menu yang paling terkenal dari kedai makannya ialah, ikan bakar dengan sambal tomatnya yang khas.

Adalah resep dari sang ibu, Nurmaida.

Wanita berusia lebih dari setengah abad itu memang sangat suka memasak. Terlebih lagi, dahulu ia pernah bekerja di sebuah hotel bintang lima sebagai asisten koki.

Siang itu, Ranum berniat untuk pergi mengunjungi butiknya yang telah empat hari ia tinggalkan. Alasannya karena selama dua hari ke belakang ia merasa tidak enak badan, dan dua hari berikutnya ia harus mengurusi 'sambal tomat' yang baru.

Menuruni beberapa undakan anak tangga, tidaklah membuat Ranum merasa ketakutan meskipun ia memakai high heels setinggi 10 cm.

Penampilannya semakin cantik dengan dress one shoulder yang berwarna hitam. Dress dengan panjang selutut itu tampak sangat nyaman menempel di tubuh Ranum yang memiliki tinggi 168 cm.

Ranum juga membiarkan rambut layer panjangnya tergerai begitu saja. Sebagian dari mereka menjuntai indah di pundak sebelah kirinya, dan sebagian lagi masih tergerai menutupi leher hingga punggungnya.

Ranum memang memiliki rambut panjang yang indah dan sangat terawat, terlebih karena ia adalah pemilik salon kecantikan. Sudah sepantasnya ia harus selalu tampil maksimal dalam segala suasana.

Kali ini janda muda itu tidak memakai riasan yang terlalu mencolok. Ia hanya tampil dengan sapuan bedak tipis dan blush on, dengan polesan lisptick warna peach. Itu pun sudah membuat wajah cantiknya terlihat semakin cantik. Tidak lupa, sebuah hand bag kulit berwarna cokelat pun ikut mempercantik penampilannya kali ini.

Namun, satu hal yang selalu menjadi ciri khas Ranum setelah ia menjanda selama empat tahun, yakni ia tidak pernah lagi memakai pakaian dengan warna lain selain hitam. Ranum kini seperti sebuah pelangi yang telah kehilangan warnanya.

"Mau kemana, Ran?" Terdengar pertanyaan dari Nurmaida yang saat itu kebetulan tengah membaca, di kursi kayu khas Jepara yang berada di dekat tangga. Ia pun membetulkan posisi kaca matanya yang menggantung di atas batang hidungnya.

"Aku mau ke butik sebentar. Sudah beberapa hari ini aku tidak kesana," jawab Ranum seraya menghampiri ibunya kemudian mencium kening wanita itu dengan lembut.

"Memangnya kamu sudah benar-benar sehat?" Tanya Nurmaida lagi.

Ranum menoleh dan tersenyum. Ia pun mengangguk pelan. "Bukannya Ibu yang selalu mengatakan agar aku tidak sakit terlalu lama?" Jawab Ranum lagi tanpa melepas senyumannya.

Nurmaida menutup bukunya dan melepas kaca matanya. Ia meletakan kedua benda itu disebelahnya. "Ayo duduklah!" Ajaknya kepada Ranum. Ia beringsut sedikit dan menyisakan tempat untuk putri bungsunya itu.

Ranum menurut saja. Ia segera duduk di sebelah Nurmaida dan menatap lekat wanita yang sudah mulai beruban itu. "Ada apa, Bu?" Tanya Ranum dengan lembut.

Nurmaida menatap balik putrinya. Ada rasa iba bercampur bangga dalam hatinya. Iba, karena Ranum harus menjadi janda dalam usianya yang masih sangat muda. Bangga, karena Ranum berhasil bangkit dari keterpurukannya hingga kini dapat membangun kembali kehidupannya. Ia bahkan jauh lebih baik. Nurmaida sendiri tidak pernah menyangka jika Ranum dapat melangkah sejauh itu.

Semua pundi-pundi rupiah yang ia hasilkan selama ini sudah jauh lebih dari cukup. Ranum bahkan sudah berhasil memberangkatkannya untuk melaksanakan ibadah ke Tanah Suci meskipun Ranum tidak ikut serta waktu itu.

Perlahan Nurmaida memegang punggung tangan Ranum. "Jika ada waktu luang, Ibu ingin bicara denganmu," ucapnya lembut.

Ranum tertegun untuk sejenak. Sepertinya ia sudah dapat menebak tentang apa yang akan dibahas oleh Nurmaida dengannya. Namun saat ini, ia sedang tidak ingin berdebat.

"Iya," jawab Ranum sambil menarik sisa rambut yang menutupi punggungnya, sehingga kini seluruh rambutnya terkumpul sempurna di atas pundak sebelah kirinya.

"Aku berangkat dulu," Ranum kemudian menempelkan pipinya ke pipi Nurmaida. Setelah itu, ia beranjak dari duduknya dan meninggalkan Nurmaida sendiri.

Melarikan diri, itulah yang Ranum lakukan ketika ia malas untuk meladeni ocehan Nurmaida tentang hal yang paling tidak ia sukai. Masalah apa lagi kalau bukan tentang pasangan hidup.

Bagi Nurmaida, Ranum masih sangat layak untuk kembali membina rumah tangga. Ia masih muda dan sangat cantik. Akan tetapi, jangankan memikirkan untuk menikah lagi, Ranum bahkan tidak pernah terlihat membawa seorang pria pun untuk dikenalkan kepadanya.

Setiap kali Nurmaida membahas masalah itu dengannya, maka itu hanya akan menjadi perdebatan antara dirinya dan Ranum.

Salah satu contohnya adalah dalam perbincangan beberapa hari yang lalu.

"Ibu hanya ingin agar kamu dapat melanjutkan kembali hidupmu. Memurut orang-orang kebanyakan namanya move on," ucap Nurmaida sambil terus memperhatikan putri bungsunya yang tengah asik memainkan layar ponselnya. Ia tahu bahwa Ranum tidak suka dengan topik pembicaraan yang satu ini. Karena itu, mungkin ia berpura-pura tidak menyimak semua yang ia katakan.

"Kamu masih muda, cantik, pasti banyak yang bersedia menjadi pasanganmu. Tidak mungkin kalau selama empat tahun ini tidak ada satu pun pria yang tidak tertarik padamu," lanjut Nurmaida berharap Ranum mendengarnya. Akan tetapi, nyatanya Ranum tidak menyahut sama sekali.

Nurmaida hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap Ranum. "Kamu tidak mendengar Ibu?" Tanyanya dengan nada sedikit jengkel. Mendengar nada bicara Nurmaida yang mulai berbeda, barulah Ranum menoleh.

"Yang mau mungkin ada. Akan tetapi ... aku tidak yakin apakah mereka akan cocok denganku atau tidak. Hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk hal seperti itu. Aku takut jika nantinya aku hanya akan melukai hati dan mengecewakan mereka," jawab Ranum. Ia yang paling mengtahui apa yang ada di dalam hatinya selama ini.

"Ya, bagaimana kamu bisa mengetahui jika mereka cocok atau tidak denganmu, jika kamu langsung menutup pintu hatimu untuk setiap pria yang mencoba mendekatimu. Ibu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiranmu sampai-sampai kamu bisa bersikap seperti itu. Ingat! Kamu sudah menjanda selama empat tahun. Ibu rasa Vincent pun tidak ada masalah jika seandainya kamu mencari pengganti dirinya."

Mendengar Nurmaida menyebut nama Vincent, seketika wajah Ranum berubah muram.

"Kenapa Ibu harus membawa-bawa nama Vincent? Dia suamiku, Bu! Aku sangat mencintainya!" Tegas Ranum.

"Akan tetapi, kamu harus ingat jika Vincent sudah meninggal. Mau kamu tunggu sampai kapanpun, dia tidak akan pernah kembali. Ibu mohon, Ranum! Kamu harus melanjutkan hidupmu! Perjalananmu masih panjang!" Nurmaida tetap pada keinginannya agar Ranum segera mencari pasangan baru. Ia sangat menyayangkan sikap Ranum yang seolah-olah tidak memikirkan masa depannya sendiri.

"Sudahlah, Bu! Aku lelah dengan pembicaraan seperti ini! Sama halnya seperti Ibu yang memilih untuk tidak menikah lagi setelah ayah tiada, maka aku pun berhak untuk melakukan hal yang sama seperti yang Ibu lakukan. Ini hidupku! Aku yang memilih serta menentukan jalan hidupku sendiri! Aku yang mengatur kemana arah hidupku!" Ranum mulai berkata dengan nada keras terhadap Nurmaida.

Sesaat kemudian ia lalu berdiri dan berlalu meninggalkan Nurmaida sendiri. Akan tetapi, Nurmaida segera mengikutinya dari belakang.

"Pastinya merupakan dua hal yang sangat berbeda antara Ibu dan kamu. Ibu menjadi janda pada usia empat puluh tujuh tahun, dan Ibu sudah memiliki kamu dan kakakmu Rania. Sementara kamu? Bagaimana mungkin kamu bisa menyamakan kedua hal itu," sanggah Nurmaida dengan tak kalah keras.

Ranum menghentikan langkahnya dan menoleh kepada sang ibu. "Aku tahu dan sangat paham dengan hal itu. Akan tetapi, setidaknya tolong hargai perasaanku. Aku masih sangat mencintai suamiku dan aku belum berniat untuk menggantikannya dengan siapapun!" Tegas Ranum yang kini sudah mulai merasa malas untuk meladeni perbincangannya dengan Nurmaida.

"Aku juga tahu jika Ibu berniat menjodohkanku dengan putranya bu Aisyah, kan?" Lanjut wanita dua puluh lima tahun itu. Ranum menatap tajam ibunya yang kini tampak sedikit kikuk, karena ternyata Ranum sudah mengetahui rencana yang telah ia buat bersama Aisyah. Aisyah merupakan temannya di pengajian.

"Dari mana kamu tahu tentang hal itu?" Nurmaida bertanya dengan penuh penasaran.

Mendengar Nurmaida bertanya seperti itu kepadanya, Ranum hanya menyunggingkan sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya yang berwarna peach. "Jadi itu benar?" Tanyanya. Ia mencoba meyakinkan dirinya. Ia lalu manggut-manggut dan mulai memahami semuanya.

"Farhan pria yang baik. Dia juga kebetulan sedang mencari calon istri. Ibu rasa dia pria yang cocok untukmu," jawab Nurmaida dengan lebih tenang. Ia berharap agar Ranum dapat segera luluh.

Selamat datang di kisahnya Ranum dan Arya.

Semoga suka. Jangan lupa 👍❤

Chapter 2~ Mengalah

Ranum tertawa pelan mendengar ucapan Nurmaida barusan. Ia tidak mengerti kenapa ibunya ingin sekali menjodohkannya dengan setiap anak dari teman-temannya di pengajian.

Seingat Ranum, ini bukanlah kali pertama Nurmaida melakukan hal seperti itu. Sebelumnya juga, Ranum pernah akan dikenalkan kepada putra seorang teman Nurmaida yang berusia dua tahun lebih muda dari Ranum. Jelas saja Ranum menolak hal itu mentah-mentah. Lalu sekarang, hal seperti itu terulang kembali.

Ranum masih menatap Nurmaida dengan intens. Ia tahu dirinya akan sangat berdosa karena sudah melakukan hal seperti itu. Akan tetapi, ia merasa jika Nurmaida sudah sangat keterlaluan.

"Kenapa Ibu sangat ingin agar aku menikah lagi?" Tanya Ranum dengan pembawaan yang lebih tenang. Ia tidak ingin terus-menerus berdebat dengan ibunya sendiri.

"Ibu hanya ingin melihatmu bahagia dengan seseorang yang akan menjagamu nanti. Untuk saat ini masih ada Ibu yang menemanimu, tapi nanti setelah Ibu tiada, siapa yang akan menemanimu disini? Selain itu, Ibu juga ingin sekali dapat menimang cucu darimu."

"Rania sudah memberikan Ibu dua orang cucu yang lucu, dan Ibu ingin kamu juga bisa seperti itu," ungkap Nurmaida dengan lirih.

Ranum mengeluh pendek mendengar curahan isi hati Nurmaida. Cucu? Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Ia bahkan tidak pernah membayangkannya sama sekali, terlebih sekarang ia selalu sibuk dengan bisnis dan berbagai acara sosial yang ia ikuti.

Ranum tertawa pelan. Tanpa bermaksud menyepelekan keinginan Nurmaida. Akan tetapi, Ranum merasa itu adalah permintaan yang lucu dari sang ibu.

"Cucu? Kenapa tiba-tiba Ibu memikirkan hal itu? Aku saja bahkan sama sekali tidak pernah ... ah, aku mohon, Bu! Berilah aku waktu untuk dapat menata hatiku kembali!" Pintq Ranum.

"Ibu tahu seberapa besar aku mencintai Vincent. Aku bahkan rela meninggalkan bangku kuliah hanya untuk menerima lamarannya dan menjadi istrinya yang baik," Ranum kemudian mencari tempat untuk duduk, karena ia takut jika dirinya tidak akan kuat berdiri jika sudah membahas tentang mendiang suaminya, Vincent.

"Sebelum berangkat hari itu ... ia berkata kepadaku jika ia ingin segera memiliki seorang anak, yang akan berlari dan menyambut kedatangannya ketika pulang ke rumah. Aku setuju dan tentu saja aku juga menginginkan hal itu," Ranum terdiam sejenak. Ia kemudian menggigit bibirnya demi menahan rasa getir dalam hatinya. "Akan tetapi ia tidak kembali," lanjutnya.

Ranum mencoba menahan bulir-bulir lembut yang sudah memaksa untuk menerobos keluar dari sudut matanya.

"Sudahlah! Aku ... aku ... tidak ingin membicarakan hal ini!" Ranum kemudian beranjak menaiki anak tangga yang menuju kamarnya. Ia tidak ingin mengobral kesedihan dan air matanya di depan Nurmaida. Ia lebih memilih untuk menyendiri di dalam kamarnya dan mulai merenung.

Adalah sesuatu yang sangat menyakitkan ketika ia harus mengenang kembali mendiang Vincent yang sangat dia cintai. Sejujurnya, memang cintanya terhadap pria yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya itu sangatlah besar. Hingga saat ini pun, ia masih merasa seperti terpenjara dalam cinta semu itu.

Vincent adalah pria yang tampan dan gagah, terlebih ketika sedang memakai seragam pilotnya. Hal itulah yang pertama kali membuat Ranum merasa sangat jatuh cinta kepada pria berkulit sawo matang itu.

Masih sangat jelas dalam ingatan Ranum tentang hari itu. Hari di mana ia pertama kalinya bertemu dengan pria yang kini mengurung dirinya dengan cintanya.

Saat itu Ranum baru pulang setelah melakoni perjalanannya dari Bali bersama beberapa orang temannya. Satu kebetulan karena ia berada satu pesawat dengan Vincent yang juga baru pulang dari sana.

Duduk di kursi yang bersebelahan, membuat mereka asyik berbincang hangat. Vincent yang ramah dan murah senyum juga memiliki tatapan mata yang sangat lembut, telah membuat Ranum terpikat olehnya.

Siapa sangka jika obrolan mereka pun berlanjut di sambungan telepon, hingga akhirnya mereka mengikrarkan cinta mereka dihadapan dunia.

Satu setengah tahun menjalin hubungan, telah membuat hati mereka yakin untuk melanjutkan kisah cinta mereka di pelaminan. Hal itu berlangsung hingga kurang lebih satu tahun, sebelum akhirnya kecelakaan itu terjadi dan memisahkan mereka untuk selamanya.

Rasa cinta yang masih hangat dan belum tersalurkan sepenuhnya, telah membuat Ranum menjadi berhalusinasi akan keberadaan pria itu.

Ia melihat Vincent ada di mana-mana. Tentu saja, hal itu membuatnya sangat tersiksa. Ia pun mengalami depresi hingga berbulan-bulan.

Namun beruntunglah Ranum, karena saat ini ia sudah kembali normal, meskipun bayangan Vincent masih selalu ada dan seakan melarangnya untuk berdekatan dengan pria lain.

Ranum pun tidak kuasa melawan hal itu, karenanya ia selalu menutup pintu hatinya rapat-rapat dari semua pria yang mencoba untuk mendekati dan berusaha meraih cintanya.

...⚘⚘⚘...

Pagi itu, Ranum terbangun dengan kepala yang agak berat. Perbincangannya kemarin sore dengan Nurmaida, telah membuatnya menangis semalaman. Ia yakin jika matanya kini pasti terlihat seperti beras di dalam karung.

Ranum belum ingin beranjak dari tempat tidurnya. Ia hanya duduk di kepala tempat tidur itu dan bersandar. Selimut abu-abu itu pun masih menutupi sebagian tubuhnya. Sesaat kemudian, ia dikejutkan oleh dering ponselnya sebanyak dua kali. Ia lalu segera meraih benda tipis itu.

Sebuah pesan dari seorang temannya yang bernama Taraa. Gadis itu memberitahu Ranum tentang acara reuni kecil-kecilan yang sudah mereka rencanakan sejak lama.

Tara mengatakan, jika teman-temannya setuju untuk mengadakan acara reuni itu di kedai ikan bakar milik Ranum, benar-benar pintar ya Ranum.

Tentu saja ia sangat-sangat setuju.

Selesai berkirim pesan selama beberapa kali, Ranum mulai beranjak dari tempat tidurnya. Melangkah dengan gontai menuju kamar mandi, ia mulai menyalakan shower. Pagi ini ia ingin mandi dengan menggunakan air hangat.

Perlahan dirabanya seluruh tubuhnya. Empat tahun sudah tubuh itu tidak terjamah oleh siapa pun. Ranum merasa jika dirinya kini adalah seorang gadis muda yang baru akan belajar lagi mengenal cinta.

Ia tahu keresahan hati Nurmaida akan dirinya, ia pun sangat mengerti dengan hal itu. Namun, entah kenapa sulit sekali melepaskan sikap egois dalam dirinya yang membuatnya terkurung selama ini.

Ia tahu, Vincent sudah tenang di sana. Mendiang suaminya itu pasti tidak akan melarangnya jika nyatanya ia ditakdirkan untuk jatuh cinta lagi. Kembali membina biduk rumah tangga, entah dengan siapa, tapi yang pastinya adalah seorang pria.

Dalam guyuran air hangat yang mengucur deras dari dalam shower itu, Ranum terus berpikir keras. Haruskah ia menerima apa yang akan dilakukan Nurmaida dengan hidupnya?

Ibunya pasti sangat tahu dengan semua yang terbaik untuknya. Namun, jika sampai ia menerima begitu saja, maka ia akan seperti merasa kehilangan jati dirinya.

Ranum bukanlah seorang penurut, ia tidak semudah itu mengaku kalah. Akan tetapi, ini bukan tentang sebuah pertarungan tentunya.

Apakah ia harus melawan harapan baik dari seorang ibu untuk putrinya sendiri?

Tidak mungkin. Ia tahu jika Nurmaida hanya mengharapkan agar ia dapat hidup bahagia. Menjalani kehidupan yang normal tentunya.

Baiklah, tidak ada salahnya ia coba. Kita lihat seperti apa sosok pria yang akan Nurmaida jodohkan untuknya. Apakah ia akan setampan Vincent? Sehebat Vincent?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!