Awan hitam masih menyelimuti rumah Rania. Kemarin sore, Rania kehilangan kekasihnya. Orang yang sangat disayangi oleh Rania. Bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan. Tapi karena kecelakaan Randi, menghembuskan nafas terakhirnya. Iya, Randi adalah pacar Rania yang meninggal kemaren. Setelah kepergian Randi, Rania nampak sedih dan selalu murung.
Dia selalu menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja dia tak menyuruh Randi untuk menjemputnya. Pasti dia masih ada disisinya sekarang. Tapi takdir berkata lain. Cinta mereka pupus ditengah jalan. Tapi tidak ada yang harus disalahkan. Yang ada harusnya di ikhlaskan. Karena semua sudah ada yang mengatur. Ibu Rania pun sudah sering mengatakan untuk mengikhlaskan Randi. Tapi sangat sulit bagi Rania, karena Randi adalah sosok orang yang membuatnya bangkit kembali.
Ketika ia kehilangan Ayahnya. Rania sudah kehilangan Ayahnya. Dan untuk menyambung hidup Rania bekerja disalah satu perusahaan besar dikotanya. Ia bekerja sebagai asisten dan sekertaris di perusahaan tersebut. Setelah beberapa hari tidak bekerja. Hari ini Rania kembali kerutinitasnya. Berusaha mengikhlaskan kepergian Randi. Dengan motor maticnya, ia berangkat kekantor. Sampai dikantor, Rania sudah disambut dengan celotehan Dara. Sahabatnya dari SMA, yang bekerja ditempat yang sama.
"Selamat pagi Bebeb Rania." sapa Dara.
"Selamat pagi Ra,.." balas Rania ogah-ogahan.
"Semangat Nia, hari esok masih banyak tantangan yang harus kita lalui. Bahkan lebih berat dari hari ini." Dara memberi semangat Rania.
Rania berlalu menuju tempatnya yang ada disebelah Dara. Dia mengecek jadwal bosnya hari ini. Beruntung hari ini tidak ada meeting diluar. Bahkan free, tinggal dia menyalin data-data dan jadwal penting selanjutnya. Dia pun tak tahu kalau hari ini bakal ada pergantian direktur utama. Dara yang tadinya mau memberi info malah diacuhkan Rania. Tapi Dara tahu, kalau sahabatnya ini masih sangat kehilangan.
Tak lama pukul 8 pagi, semua karyawan disuruh untuk berbaris. Menyambut direktur yang baru. Rania terlihat begitu bingung. Tapi Dara buru-buru memberi tahu Rania. Akhirnya Rania ikut dibarisan dan berdiri dibarisan serapi mungkin. Semua karyawan memberi hormat kepada sosok Laki-laki gagah. Bertubuh kekar dan atletis. Wajahnya yang tampan mampu menghipnotis semua karyawan perempuan. Tapi tidak untuk Rania yang baru saja kehilangan.
"Rania, ikut ke ruangan saya." perintah direktur baru itu.
Rania pun menurut, karena sekarang bosnya sudah ganti. Dengan sigap Rania mengambil buku jurnalnya dan melangkah mengikuti big bosnya. Didalam ruangan yang begitu luas dan sangat rapi. Rania berdiri dengan tegap dan menatap bosnya.
"Apa hari ini ada jadwal?" tanya bos Rania.
"Tidak pak, hari ini free." jawab Rania.
"Kalau gitu jadwalkan saya, sibuk hari ini. Terserah kemana, karena saya tidak mau diganggu." jelas bosnya.
"Tapi pak, kalau sewaktu-waktu ada meeting dadakan bagaimana?" tanya Rania.
"Rania !!" betak bosnya.
"Baiklah pak." jawab Rania singkat dan pergi begitu saja.
Rania keluar ruangan bosnya dengan wajah yang lesu. Dara yang melihat itu langsung mendorong kursinya. Mendekati Rania yang sudah duduk termenung.
"Kenapa?" tanya Dara.
"Entahlah, sepertinya aku belum siap bekerja lagi. oh iya Ra, bos baru siapa namanya?" tanya Rania begitu tak bersemangat.
"Bara Wicaksana Hutomo, pewaris tunggal Hutomo group." jelas Dara.
Rania menghembuskan nafasnya kasar dan langsung kembali bekerja. Seharian full banyak yang ingin bertemu dengan Bara sekedar untuk berkenalan atau membahas hal yang tidak penting. Tapi sesuai permintaan bos Bara, Rania menolak dengan alasan Bara sedang sibuk. Menyiapkan berkas untuk meeting besok. Alasan yang sangat tidak masuk akal menurut Rania. Tapi apa boleh buat, dia hanyalah karyawan. Yang harus patuh perintah bosnya.
Setelah seharian bekerja, akhirnya jam pulang datang juga. Rania ingin sekali buru-buru pulang. Karena ia sudah merasa sangat lelah. Tapi lagi-lagi, Bara membuat Rania kesal. Bara tak mengijinkan Rania pulang dengan alasan ada pekerjaan yang menumpuk. Dan harus selesai hari ini juga. Sebenarnya itu hanya alasan Bara saja. Karena Bara sedikit banyak tahu tetang kisa hidup Rania.
Bara adalah sahabat dari Randi pacar Rania. Dan sebelum Randi meninggal ia berpesan kepada Bara. Agar dia menjaga Rania setelah kepergiannya. Bahkan Randi berpesan untuk menjadikan Rania istrinya. Tapi itu sangat mustahil buat Bara, karena Bara sendiri sudah memiliki kekasih hati. Yaitu Bianka, gadis yang menurit Bara sangat cantik dan baik hati.
Padahal Bianka hanya memanfaatkan Bara. Dan hal itu pun sudah diketahui oleh Randi. Randi pun sebelum meninggal sudah memberi tahu Bara. Namun Bara tidak percaya dengan kata-kata Randi.
"Rania, keruangan ku sekarang." perintah Bara.
Rania pun melangkah keruangan bosnya dengan langkah gontai. Tanpa semangat ia menuruti permintaan bosnya. Sampai diruangan Bara, Rania langsung duduk dan menunggu perintah selanjutnya. Bara menyuruh Rania, menyalin data-data dari awal bulan sampai bulan ini. Dan itu membuat Rania terheran-heran. Karena menurutnya itu tidak penting. Data sebelumnya sudah dikroscek dan sudah benar. Bahkan pak Hutama ayah Bara, waktu itu mengapresiasi kinerja Rania.
"Tapi pak, inikan datanya sudah benar semua. Kenapa harus disalin lagi?" tanya Rania tanpa rasa takut sedikitpun.
"Kenapa?! suka - suka aku dong. Disini bosnya aku bukan kamu!" bentak Bara.
Rania pun dengan sigap mengerjakan pekerjaannya. Karena dia tak mau lama-lama dengan bos yang angkuh. Sombong, sok berkuasa banget. Rania tidak suka dengan orang yang sikapnya seperti itu. Semena-mena seperti semua miliknya. Padahal semua yang kita miliki hanya titipan. Seperti orang yang kita sayangi hanyalah titipan. Rania jadi kembali mengingat sosok Randi.
Hampir meneteskan air mata,tapi dengan sigap ia menghapus air matanya. Dan hal itu dilihat oleh Bara, yang tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Bara hanya ingin membuat Rania lupa akan lukanya. Luka yang masih baru, setelah kehilangan orang terkasih. Bara sebenarnya iba melihat Rania yang begitu terpuruk dan terpukul. Tapi hanya itu yang bisa Bara lakukan untuk menghilangkan sedikit kesedihan Rania.
"Pak sudah selesai, boleh saya langsung pulang?"tanya Rania.
"Benar saja data sebanyak itu sudah selesai. Jangan asal-asalan kamu." kata Bara keras.
"Ini bapak cek dengan teliti. Kalau masih ada yang salah saya benarkan kembali pak." jelas Rania dengan yakin.
Bara pun denga sigap meneliti pekerjaan Rania. Dan benar saja Rania bekerja sangat rapi dan teliti. Tidak ada sedikit pun data yang terlewat. Dan sangat rapi pengetikannya. Randi memang benar-benar tidak salah mencintai gadis seperti Rania. Gumam Bara dalam hati.
"Kamu boleh pulang, dengan syarat aku yang mengantar mu." kata Bara dengan tegas.
"Saya bawa motor sendiri pak, pak Bara ndak usah repot mengantar saya. Permisi pak." ucap Rania dengan jelas sembari pergi.
"Kalau gitu jangan keluar dari ruangan saya!" tegas Bara.
Rania pun tak bisa menolak permintaan Bara. Akhirnya Rania pasrah diantar oleh Bara. Sedangkan supir Bara membawa motor Rania. Didalam mobil Rania hanya diam tak mengucap sepatah kata pun. Sedangkan Bara asik menggunakan headset nya untuk menelpon Bianka. Rania sangat kesal sekali hari ini. Bahkan dia merasa tidak ingin bekerja lagi. Tapi dia mengingat tanggung jawabnya.
Yang harus menghidupi ibunya. Dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tidak mungkin Rania berpangku tangan hanya menganggur dirumah saja.
Pagi ini sangat cerah, mentari bersinar begitu teriknya. Sejak pagi Rania sudah sibuk didapur membantu ibunya yang bejualan nasi uduk didepan rumah. Usai itu, ia beranjak pergi mandi untuk bersiap berangkat ke kantor. Sudah rapi Rania, sarapan lanjut memasukan bekal yang sudah ia siapkan tadi.
"Ibu, Rania berangkat assalamualaikum." pamit Rania.
"Walaikum salam nak, hati-hati jangan ngebut." balas ibu.
Tintin...
Klakson mobil yang berhenti didepan rumah membuat Rania kaget. Rania sudah hafal itu mobil Bara. Yang Rania heran kenapa pagi-pagi sudah ada dirumahnya. Bara turun dari mobil, dia berjalan mendekati Rania.
"Selamat pagi bu, saya Bara bos Rania yang baru." sapa Bara kepada ibu Rania.
"Selamat pagi nak eh ibu harus panggil apa ini?" jawab dan tanya ibu.
"Nak juga ndak papa bu, saya kan juga masih sebaya Rania. Anggap saja saya kawan Rania." jelas Bara dengan sopan.
Orang ini bisa sopan juga ternyata. Ucap Rania dalam hati. Rania belum mengucapkan sepatah katapun. Bara sudah berpamitan kepada Ibu Rania dan menggandeng Rania untuk masuk ke dalam mobilnya. Rania memandang tangan Bara yang masih menggandeng tangannya. Bara tersadar dan langsung melepaskannya. Menyuruh Rania masuk kedalam mobil.
"Tapi pak, saya kan biasa pakai motor sendiri." kata Rania.
"Mulai sekarang aku antar jemput kamu." jelas Bara singkat dan padat.
Rania mulai jengah dengan perlakuan Bara. Dia mulai tidak nyaman, kalau karyawan yang lain ada yang tidak suka dengan perlakuan Bara. Rania takut kalau mereka menganggap dia memanfaatkan Bara. Sudahlah dia membuyarkan lamunannya. Bara tidak langsung ke kantor, dia berhenti disebuah kedai bubur ayam. Kebiasaan Bara setiap pagi, sarapan bubur ayam.
"Ayo turun, mau disini saja !!" bentak Bara.
Rania pun hanya menurut, dia turun dan berjalan dibelakang Bara. Mereka duduk setelah Bara memesan dua mangkuk bubur ayam dan susu jahe hangat. Rania hanya diam dan tak bertanya atau protes dengan perilaku Bara saat ini. Karena saat ini, Rania tak ingin berdebat kalau hanya buang-buang tenaga saja. Pasti akan keluar ancaman dari mulut manis Bara.
Tak lama kemudian, pesanan pun datang. Rania hanya memandang bubur dan susu jahe hangat dihadapannya. Berbeda dengan Bara yang langsung lahap memakannya. Rania tidak suka bubur ayam apa lagi susu vanila. Sangat tidak suka dipaksa pun pasti perutnya akan bermasalah. Tapi Rania tidak tahu caranya untuk menolak.
"Ayuk sarapan, hari ini jadwal kita kan padat sekali." kata Bara.
"Maaf pak, saya sudah sarapan tadi. Dan maaf lagi, saya tidak suka bubur ayam atau susu vanila." jelas Rania dengan lantang.
"Terus siapa yang mau makan?" tanya Bara.
"Tapi pak, bener saya memang tidak biasa makan bubur ayam. Kalau susu memang pantang buat saya. Pasti kalau saya paksakan meminumnya perut saya akan bermasalah." jelas Rania panjang lebar.
"Alah dasar manja."
Mendengar kata-kata itu Rania merasa geram. dan dengan sigap dia langsung memakan bubur ayam dan meminum susunya. Seketika itu Bara tersenyum, karena dia sudah menjaga Rania sesuai pesan sahabatnya itu. Selesai sarapan, mereka langsung menuju hotel tempat meeting mereka. Diperjalanan Rania sudah merasa ada yang aneh pada dirinya. Perutnya terasa mual dan rasanya ingin muntah.
"Pak tolong minggir dulu,, saya mau muntah." pinta Rania.
Bara pun segera meminggirkan mobilnya. Dan benar saja semua isi perut Rania keluar. Bara merasa kasihan dengan keadaan Rania. Seharusnya dia percaya kalau Rania tidak suka dengan minum susu dan sarapan bubur ayam. Tapi dia tetap memaksa, malah dengan mengatai Rania manja. Padahal kata Randi, Rania anak yang mandiri dan sangat pekerja keras.
Setelah Rania merasa enakan, Bara kembali melajukan mobilnya. Sampai dihotel wajah Rania semakin terlihat pucat. Bara pun memesan satu kamar hotel untuk Rania. Dia menyuruh Rania istirahat, dan dia akan meeting sendiri. Karena sudah tidak tahan dan merasa lemas Rania pun mengiyakan perintah Bara. Rania,masuk ke kamar hotel yang dipesan oleh Bara. Dia membaringkan tubuhnya dan tak lama terlelap tidur.
Usai meeting, Bara ingin langsung ke kamar yang ia pesan. Tapi tak sengaja ia melihat Bianca dengan seorang laki-laki paruh baya seusia papanya. Mereka sedang cek-in hotel, Bara membuntuti mereka. Kamar yang mereka pesan tak jauh dari kamarnya. Bara tak berpikir panjang, ia langsung masuk ke kamar hotel. dimana Bianca pacarnya dan om-om itu singgah.
Mata Bara menatap nanar pemandangan dihadapannya. Bianca melayani laki-laki paruh baya itu. Tak habis pikir dengan kelakuan pacarnya itu.
"Bianca...!!!!" teriak Bara.
Bianca terbelalak kaget dan buru-buru merapikan bajunya. Bara langsung pergi meninggalkan Bianca. Yang disusul oleh Bianca, dia menarik tangan Bara mencoba menjelaskan.
"Sayang, baby,, tunggu dulu dong. Ini semua salah paham sayang." jelas Bianca.
Belum sempat Bara menjawab, tangan Bianca sudah ditarik oleh om-om yang menyewanya. Dengan sigap Bianca mengibaskan tangan om-om tersebut.
"Jangan macem-macem kamu Bi, om sudah transfer kamu 50juta." kata om tersebut dengan lantang.
"Silahkan bawa dia pergi dari hadapan saya... sebelum saya murka!!" kata Bara sedikit berteriak.
Mereka pun pergi dari hadapan Bara. Masuk kembali ke kamar hotel yang sudah mereka pesan. Dengan wajah Bianca yang begitu pasrah. Bara berjalan menuju kamar hotel yang ditempati Rania. Bara membaringkan tubuhnya disofa. Karena ranjang tempat tidur dipakai Rania yang masih terlelap tidur. Hati dan perasaan Bara begitu kacau hari ini.
Berulang kali almarhum Randi mengingatkannya. Kalau Bianca bukan wanita yang baik untuknya. Tapi Bara tak pernah mendengar bahkan sering kali bertengkar dengan Randi. Membela Bianca, didepan Randi. Dan hari ini, perkataan sahabatnya itu telah terbukti. Kalau Bianca memang bukan wanita yang baik. Tanpa sadar Bara meneteskan air mata mengingat Randi. Dalam hati ia berjanji akan menjaga dan membahagiakan Rania. Bahkan dia berniat menikahi Rania seperti permintaan terakhir Randi.
Rania terbangun dari tidurnya dan melihat jam ditangannya. Jam sudah menunjukan pukul empat sore. Rania bangun dan mencari keberadaan bosnya. Ternyata Bara tertidur disofa, Rania mendekat dan membangunkan bosnya. Tapi tak sengaja kakinya tersandung meja dan membuatnya terjatuh diatas tubuh Bara.
Bara yang sedang tidur seketika bangun. Jarak mereka berdua begitu dekat. Saling pandang yang membuat hati mereka berdebar. Bara kembali teringat pesan Randi. Rania buru-buru bersiri dan meminta maaf ke Bara.
"Maaf pak, saya tidak sengaja. Tadi niatnya mau bangunin bapak." jelas Rania.
"Hmm....aku mau mandi dulu, tolong pesankan kopi." perintah Bara sambil melenggang ke kamar mandi.
"Iya pak."
Rania pun segera telpon pelayan hotel untuk memesan kopi. Ia lanjut duduk dan memainkan handphonenya. Karena dia tidak tahu apa yang harus dia kerjakan. Tak lama kemudian pesanan kopi datang. Rania membuka pintu untuk mengambil kopi. Dan tanpa basa-basi Bianca masuk ke dalam kamar hotel Rania dan Bara.
Bersamaan dengan Bianca masuk Bara keluar dari kamar mandi. Dengan hanya menggunakan jubah mandi. Yang membuat Bianca marah dan salah paham. Bianca langsung menampar Rania. Dia berfikir Bara dan sekertarisnya sedang cek-in.
"Bianca !!! Apa-apan kamu?!" kata Bara sambil mendekat ke arah Rania.
"Kenapa?? pantas sekali wanita jalang ini dapat tamparan dari aku. Bisa-bisanya kamu cek-in sama dia." tutur kata Bianca yang tak beradab keluar.
"Keluar dari sini!! terserah aku mau cek-in sama siapa bukan urusan kamu, oh iya... kenalin dia Rania sekertaris aku. Dan sebentar lagi akan jadi istri ku." ujar Bara dengan jelas.
"Sayang, Bara jangan gitu dong..." rengek Bianca.
Bara tidak berpikir panjang dan dia langsung membawa Bianka keluar. Dia langsung mengunci kamar dan kembali menemui Rania. Rania masih memegangi pipinya. Dia juga masih bingung dan tak percaya dengan ucapan Bara. Pasti Bara hanya memper mainkan dirinya. Bara mendekat kearah Rania berdiri.
"Sakit?" tanya Bara.
"Lumayan, emb pak... kalau bapak masih lama disini. Boleh saya ijin untuk pulang lebih awal?" kata Rania ingin menghindari Bara.
"Tunggu bentar lagi, untuk masalah tadi lupakan saja jangan kepedean kamu." ucap Bara yang menyembunyikan rasa canggungnya.
"Bahkan saya sudah melupakannya pak. Tenang saja, saya cukup tahu diri siapa saya dan siapa bapak." jawab Rania dengan tegas.
Bara merasa kecewa dengan jawaban dari Rania. Tapi Bara pun tak tahu perasaan apa yang menggelayuti hatinya saat ini. Setelah berganti baju Bara dan Rania keluar dari hotel. Bara mengantarkan Rania pulang. Sampai di rumah Rania, Bara menahan Rania yang akan turun.
"Tunggu....besok aku jemput jam 9." kata Bara cepat.
"Dijemput jam 9? memang kantor jam kerjanya diubah ya pak? tanya Rania dengan polosnya.
"Udah pokoknya jam 9." ucap Bara lagi
Rania pun turun dari mobil Bara dengan lunglai. Bara melajukan mobilnya. Dengan perasaan yang tak tahu, sebelumnya dengan Bianca dia tak segugup bersama Rania. Sudah mulai muncul benih-benis cinta dihati Bara.
Pagi telah tiba, sejak subuh Rania sudah membantu ibunya. Sudah menjadi rutinitas Rania setelah bangun sholat subuh membantu ibunya. Memasak bahan yang akan dijual pagi ini. Hari ini dia terlihat agak santai karena bos Bara mau menjemput jam sembilan. Tanpa memberi tahu kenapa jam kantor dirubah. Rania hanya mengikuti keinginan bosnya sebagai karyawati yang baik.
Dari tadi telpon genggam Rania berdering terus. Itu adalah Dara yang kepo dengan Rania. Bertanya kemarin kemana. Dan banyak sekali, sampai hari ini Dara masih penasaran. Karena Rania tidak menanggapi Dara. Memang seperti itu Dara selalu dan selalu kepo kalau udah menyangkut sahabatnya. Dara sempat berfikir, kalau bosnya suka sama sahabatnya. Rania dengan sengaja mematikan telponnya.
Rania membantu ibunya kembali, setelah menghadapi kekepoan Dara. Rania membatu mengangkat nasi uduk dan bahan pelengkap lainnya. Baru sampai depan pintu, Rania sudah dibuat syok dengan kedatangan Bara. Padahal ini masih pukul enam pagi.
"Loh pak, bapak ganti jadwal ya?" tanya Rania sambil menaruh nasi dimeja jualan ibunya.
"Enggak, pengen cepet aja." jawab Bara santai.
"Ya sudah pak, saya siap-siap dulu. Atau bapak mau berangkat dulu nanti saya pakai motor sendiri? tanya Rania terbata.
"Enggak, udah santai aja. Aku emang sengaja kesini mau ketemu ibu kamu kok." kata Bara.
"Ketemu ibu saya?" tanya Rania.
"Iya, udah ada janji juga. Udah sana panggilin." suruh Bara.
Rania pun langsung masuk memanggil ibunya. Walau mulutnya sambil komat-kamit. Merasa ada yang disembunyikan oleh Bara dan ibunya. Setelah memanggil ibunya, Rania lanjut mandi. Takutnya Bara berubah pikiran dan merubah jadwal. Sedangkan diteras, Bara dan ibu Rania berbicara terlihat begitu serius.
"Bu, saya mau minta ijin mengajak Rania keluar kota, sekitar 3harian boleh?" Bara minta ijin.
"Jika untuk urusan kerjaan tidak masalah nak. Ibu bisa panggil keponakan ibu biar ada yang nemenin. Biasanya seperti itu." jawab ibu Rania.
"Sekalian saya mau minta ijin mendekati Rania bu. Mohon doa restunya." kata Bara sembari menjabat tangan ibu Rania.
"Kalau itu, hanya Rania yang bisa menjawab. Ibu akan bahagia jika Rania bahagia." jawaban ibu mantap.
Mereka diam seketika, saat Rania muncul dari balik pintu. Terlihat senyum yang begitu manis dari bibir Rania. Membuat hati Bara semakin ketar-ketir. Tapi Bara masih ingin mengenal Rania, karena hati Bara pun belum sembuh. Masih terasa sakit jika mengingat Bianka. Rania merasa ada gelagat aneh dari ibu dan bosnya.
"Nak sini, kamu siap-siap gih. Pak Bara ngajak kamu keluar kota tiga hari. Dia minta ijin sama ibu." kata ibu Rania.
"Keluar kota, memang ada jadwal keluar kota ya pak? kok di jurnal jadwal bapak tidak tercatat ya. Aku cek dulu ya pak." Rania terlihat panik.
"Memang ini jadwal dadakan, jadi tidak ada dijurnal kamu. Kamu siap-siap saya tunggu." jelas Bara.
Rania seketika langsung berlari ke dalam kamarnya. Memasukan beberapa baju, peralatan mandi dan make up nya. Tak lupa Rania membawa laptop dan power bank. Selesai Rania keluar dan menghampiri Bara. Mereka pun berpamitan kepada Ibu Rania. Diperjalanan tidak ada yang mengeluarkan suara. Rania merasa jengkel menghadapi sikap Bara. Yang tiba-tiba meeting, tiba-tiba keluar kota dan masih banyak syok terapinya.
Membuat Rania serasa tidak menjadi sekertaris yang berguna. Semua jadwal serba tiba-tiba, semenjak perusahaan Bara yang memimpin. Padahal dulu Rania santai, ketika Papa Bara yang memimpin perusahaan. Bara sendiri masih bingung, mau bilang apa kepada Rania. Karena memang tidak ada jadwal keluar kota. Tidak ada meeting atau pun urusan kerjaan. Bara hanya ingin mendekatkan diri kepada Rania. Ingin mengenal Rania, gadis yang selalu dibanggakan almarhum sahabatnya itu.
Dia ingin mencari kecocokan dirinya dengan diri Rania. Mereka pun, berada dalam lamunannya masing-masing. Perut Rania merasa lapar, karena pagi lupa sarapan. Dan dia juga lupa tidak membawa bekalnya. Mau bilang sama bos Bara dia tidak berani. Rania hanya memegangi perutnya yang keroncongan. Bara menyadari akan hal itu. Bara menyuruh supirnya berhenti di rest area untuk mencari makan.
"Turun, istirahat sarapan dulu." Kata Bara dingin.
Bak gayung disambut, Rania pun turun dengan semangat. Dia melihat begitu banyak penjual, karena mereka berhenti direst area yang menyuguhkan food corner. Ada berbagai masakan nusantara. Dan Bara tetap memilih bubur ayam sama susu jahe. Rania tidak jadi kegirangan, menu yang dipilih Bara adalah pantangan Rania.
Tenyata Bara sudah memesankan nasi goreng untuk Rania dan teh hangat. Rania menyambutnya dengan senyuman. Tanpa aba-aba ia langsung menyantap makanan dihadapannya. Bara melihat Rania yang begitu lahap makan. Merasa ada yang berbeda dari Rania. Tidak ada jaim-jaimnya, dia menjadi diri dia sendiri. Kebanyakan wanita selalu jaga image kalau dihadapan laki-laki. Seperti Bianka yang selalu menyek-menyek. Selalu pilih-pilih makanan. Harus direstauran mahal dan higienis tempatnya.
Bara jadi membandingkan Rania dengan Bianka. Yang jelas-jelas mereka dua orang yang berbeda. Latar belakang mereka pun jauh berbeda. Rania adalah perempuan berpendidikan dan beradab. Soal perilaku jauh lebih sopan Rania dibandingkan Bianka. Rania juga sosok wanita pekerja keras. Tidak ada sedikitpun pekerjaannya yang terbengkalai. Semua jadwal dan data-data tersusun dengan rapi. Sesuai dengan apa yang diceritakan Almarhum Randi.
Soal wajah, Rania tergolong cantik, manis dipandang. Usai makan mereka melanjutkan perjalanan. Bara membukakan pintu mobil untuk Rania. Rania hanya diam terpaku.
"Ayo masuk, mau ditinggal disini." kata Bara masih tetap dingin.
Rania masuk kedalam mobil sambil ngedumel. Dia bisa habis kesabaran jika menghadapi orang seperti Bara. Sama perempuan tidak ada manisnya. Dingin seperti es dikutup utara. Gerutu Rania dalam hatinya. Perjalanan masih dua jam lagi. Rania tak sengaja tertidur pulas dan menempel di pundak Bara. Bara membiarkan Rania tidur dipundaknya. Karena Bara pun mulai nyaman dengan kedekatan mereka. Hanya Rania yang masih belum membuka hati.
Rania masih selalu mengingat almarhum kekasihnya. Randi begitu berarti dalam hidup Rania. Dia yang selalu ada bagaimanapun keadaan Rania. Selalu mendukung apa pun keinginan dan harapan Rania. Bara pun berusaha memilih meluangkan waktu tiga hari untuk mendekati Rania. Setelah itu, rencananya baru akan dimulai mendekat lebih intens lagi.
Setelah perjalanan yang begitu melelahkan. mereka sampai disebuah apartemen mewah milik Bara. Bara pun tak membangunkan Rania. Dia turun tangan sendiri menggendong Rania sampai dikamar tempat tidur Rania selama di sini. Dalam apartemen Bara hanya ada dua kamar tidur. Satu untuk Bara dan satu untuk Rania. Supir Bara tinggal dihotel depan apartemen. Karena lelah Bara pun tak sadar kalau dia tertidur disamping Rania.
Bangun dari tidur, Rania berteriak sekuatnya. Untung saja ruangannya didesain kedap udara. Bara terbangun sambil mengerjapkan matanya. Rania berdiri dipinggir ranjang tempat tidur. Bara malah tersenyum melihat tingkah Rania. Otak jail Bara mulai beraksi.
"Bapak ngapain?" tanya Rania.
"Emang kamu nggak liat? kita baru saja lo tidur satu ranjang. Pakek peluk saya erat banget." kata Bara dengan santai.
"Enteng banget bapak jawabnya. Apa yang bapak lakuin? seumur-umur saya tidak pernah tidur dengan laki-laki. Bisa-bisanya bapak seenaknya ya. Udahlah saya pulang, terserah bapak mau pecat atau apa." kata-kata Rania penuh emosi.
Dengan sigap Bara menarik tangan Rania. Dan Rania pun jatuh dalam pelukan Bara. Rania berusaha melepaskan pelukan Bara. Bara tak menghiraukan malah mempererat pelukannya. Rania dengan tenaga penuh menginjak kaki Bara. Bara pun melepas pelukannya dan meringis kesakitan.
"Rasain...!!!" Rania keluar dari kamar.
Matanya terbelalak melihat perabotan dan furnitur mewah diapartemen Bara. Tapi cepat-cepat ingin keluar dari apartemen itu. Tetap saja tidak bisa karena kuncinya dipegang oleh Bara. Bara menyusul keluar kamar, dia acuh dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Rania menatap Bara penuh dengan kekesalan.
Bara tetap saja membiarkan Rania dengan salah paham yang terjadi. Karena Bara mulai nyaman dengan sikap Rania. Tak pernah takut jika dirinya benar. Mau itu sama atasannya atau pun sama rekannya bekerja. Dia juga bukan tipe perempuan gampangan. Bara duduk disofa ruang tv, sambil santai menonton tv.
"Yakin ingin keluar ndak mikirin ibumu yang dirumah capek-capek bekerja..." ucap Bara mantap.
Rania masih terdiam terpaku mengutuki Bara. Yang dengan santai malah menonton tv. Rania mulai jengah dan perlahan berjalan mendekati Bara. Duduk disofa tapi Rania menjaga jaraknya. Takut kalau Bara, tiba-tiba mendekat.
"Ibu saya pasti mendukung keputusan saya. (Jangan bapak pikir saya adalah perempuan gampangan. Saya juga punya harga diri!" Rania masih emosi.
"Lagian sadar ndak sih? yang peluk siapa yang kena marah siapa?"tanya Bara.
Rania diam seribu bahasa, dia berpikir keras. Dia sadar yang memeluk Bara dia. Dan terlihat pakaian Rania masih utuh. Tidak ada satu baju pun yang lepas dari tubuhnya.
"Saya tidak menyentuh mu sama sekali Rania. Bahkan saya yang menggendong mu, dari mobil sampai kesini lantai lima. Baikkan saya?" kata Bara sambil berjalan mendekat kearah Rania.
"Stop... bapak mau ngapain jangan deket-deket." ucap Rania sambil memundurkan tubuhnya.
Suasana hening, Bara semakin mendekat kearah Rania. Jarak mereka begitu dekat, hampir bersentuhan. Rania tak bisa apa-apa hanya bisa memejamkan mata. Berharap tidak akan terjadi apa-apa. Sambil berdoa dalam hati, agar Bara segera sadar. Sikap Bara membuat hati Rania menjerit memanggil nama Randi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!