NovelToon NovelToon

AKU DI USIR SUAMIKU

prolog

Fatimah Azzahra yang kerap kali dipanggil Fafa atau Fatimah oleh teman dekat maupun orang lain. Fatimah sudah 3 tahun membina rumah tangga bersama Hengki Affandi. Dari pernikahan itu mereka belum juga dikarunia seorang anak.

Hengki maupun Fatimah sudah pergi ke dokter untuk memeriksa kesuburan tubuh mereka. Dari sana mereka tau jika kesehatan mereka tak ada masalah sedikit pun. Saat itu mereka bahagia, karena di antara mereka tak ada yang mengalami sakit.

Hari demi hari sudah mereka lewati, tapi tak juga hadir nyawa dalam rahim Fatimah. Itu membuat Hengki meragukan tentang kesuburan Fatimah yang dibilang dokter beberapa bulan yang lalu. Hengki merasa Fatimah bukanlah wanita sempurna.

Hengki menginginkan tangisan seorang anak menghiasi rumah bak istana itu. Tapi apa? Hingga sekarang tidak juga ada. Ia muak dengan istrinya yang sudah ia perkirakan mandul itu. Rasa cinta yang dari dulu berkembang terus juga semakin memudar hanya karna belum juga mendapatkan anak dari istrinya.

"Bang, kamu nggak ke kantor?" tanya Fatimh lembut sambil mengelus tangan kekar Hangki.

Hengki tak menjawab pertanyaan Fatimah. Ia tetap diam di atas sofa kamar mereka. Jangankan untuk menjawab, melihat saja tidak dia kepada Fatimah.

"Kok nggak dijawab Bang?" Fatimah kembali melontarkan pertanyaan yang sama kepada Hengki. Namun Hengki tetap diam tanpa ada rasa ingin menjawab.

"Kenapa diam saja, Bang?" Lagi-lagi Fatimah bertanya.

"KAMU BERISIK SEKALI! NGGAK TAU APA INI GENDANG TELINGA SAYA SUDAH MAU PECAH?!" marah Hengki dengan meninggikan nada suaranya.

Fatimah terkejut dengan ucapan Suaminya. Tak pernah terfikir olehnya suaminya akan berkata sekeras itu dan juga suaminya bahkan menyebutnya dengan kata saya bukan aku lagi. Kenapa? Kenapa suaminya berubah juga? Tidak cukupkah sikap mertuanya saja yang berubah? Kenapa rasanya semakin sakit? Apa salahnya?

"M--mas kenapa kamu marah?" lirih Fatimah dengan suara tercekat.

Hengki menoleh sempurna kepada Fatimah. "Kamu tau? Aku benci sama wanita seperti kamu! Aku benci sama wanita yang tak bisa memberikanku keturunan! Aku benci!!" marah Hengki menggebu-gebu.

"Ta-tapi ap,"

"Lebih baik kita cerai saja! Aku nggak mau lagi bertahan sama kamu, kamu itu wanita mandul!! Wanita yang tidak akan bisa memberikanku seorang pewaris!! Hari ini juga kamu aku TALAK, dan pergi dari rumahku sekarang juga!!" hina Hengki sambil menunjuk pintu keluar dengan satu jari telunjuknya.

Baiklah, mungkin ini akhir dari hubungan rumah tangga mereka. Rumah tangga yang dulunya mereka impikan sirna seketika. Padahal masih ada waktu untuk mereka memiliki seorang anak di tengah-tengah mereka. Tapi ini apa? Orang yang Fatimah cintai sedari dulu malah mengusirnya dan mentalak dirinya. Sadis sekali nasib dirinya.

Fatimah bergegas ke arah lemari mengambil semua pakaiannya serta perhiasan yang pernah diberi Hengki selama mereka menikah. Tidak masalah bukan ia mengambil haknya sendiri.

Fatimah melangkah ke arah nakas lalu membuka laci itu dan meletakkan cincin pernikahannya disana. Setelahnya Fatimah melangkah ke arah Hengki sambil membendung air matanya.

"Bang, semoga kamu bahagia setelah ini. Maaf jika selama ini aku selalu membuatmu tertekan. Maaf selama ini aku membuatku menderita. Aku pergi Bang, selamat tinggal Bang," pamit Fatimah sambil menahan air matanya yang sedari tadi minta keluar.

Hengki tak menjawab, ia hanya diam. Sedangkan Fatimah terus melangkah menuju pintu keluar. Sebelum itu Fatimah kembali membalikkan tubuhnya menghadap Hengki.

'Bang, aku janji setelah ini aku nggak akan pernah nemuin kamu lagi, bagaimanapun keadaannya nanti. Aku janji aku nggak akan pernah kembali kepada kamu, Bang, meski kamu memintanya,' Janji Fatimah dalam hati, lalu kembali melanjutkan jalannya.

Bersambung

Pergi untuk waktu yang ditakdirkan Allah

Sekarang disinilah Fatimah berada, di sebuah kontrakan yang memiliki dua kamar, satu kamar mandi dan satu dapur. Kota Bandung adalah tempat yang dipilih Fatimah untuk kesehatan hatinya. Menurut Fatimah di kota inilah ia pasti akan dapat menyembuhkan lukanya.

Luka yang dibuat orang yang paling ia cintai selain ke-dua orang tuanya. Kota yang jauh dari dari kota tempat tinggal Hengki.

Disini Fatimah juga tidak sendiri. Sebelum ia mendapatkan kontrakan ini, ia bertemu dengan Ibu Hilda sang pemilik kontrakan. Ibu Hilda yang saat itu sedang melewati sebuah taman melihat Fatimah yang sedang menangis sambil melihat cerahnya langit.

Ibu Hilda menghampiri Fatimah dan bertanya kenapa Fatimah menangis sendirian dan sebuah tas besar disamping kanannya. Fatimah yang tak pernah menceritakan masalahnya pada siapapun, tapi beda saat Ibu Hilda bertanya dan dengan gampangnya Fatimah memberitahunya.

Ibu Hilda turut prihatin dengan kondisi Fatimah. Ibu Hilda pernah berada diposisi Fatimah beberapa tahun lalu. Ibu Hilda juga menawarkan Fatimah untuk tinggal di rumahnya. Fatimah dengan lantang menolak karena ia tak mau merepotkan orang lain. Dan berakhirlah ia tinggal di kontrakan milik Ibu Hilda.

Fatimah saat ini sedang membereskan semua barang-barangnya. Menyusun rapi pakaian ke dalam lemari.

"Assalamualaikum, Fatimah," salam Ibu Hilda sambil masuk ke dalam rumah.

"Ehh, wa'alaikumsalam Bu. Maaf Aku lagi beresin barang-barang Bu," balas Fatimah dengan senyum menghiasi bibirnya.

"Fatimah, ibu mau pergi ke pasar. Apa kamu mau iku?" beritahu Bu Hilda.

"Iya Bu, boleh. Fatimah juga mau jual perhiasan buat buka boutique," jawab Fatimah berlalu ke dalam kamar untuk mengambil perhiasan yang akan dijualnya.

***

Fatimah dan Bu Hilda sedang berada di sebuah tempat penjualan emas dan berlian. Fatimah memberikan emas yang ia bawa kepada sang penjual.

Emas itu terjual dengan harga yang sangat fantastis. Maklum, emas yang diberi Hengki bukanlah emas dengan harga sedikit.

'Alhamdulillah ya Allah, semoga dengan ini hamba bisa membuka boutique,' batin Fatimah sambil tersenyum tulus.

"Ayo Bu, kita beli belanjaan." ajak Fatimah sambil menarik tangan Ibu Hilda dengan lembut. Sedangkan Ibu Hilda tersenyum dengan apa yang dilakukan Fatimah. Setidaknya ia senang melihat senyuman yang terbit di wajah Fatimah.

Selesai membeli keperluan dapur, Ibu Hilda dan Fatimah langsung pulang menggunakan taxi yang lewat di depan mereka.

Sedangkan di tempat lain, seorang lelaki sedang duduk di kursi kebesarannya sambil menandatangani berkas-berkas yang menggunung di meja kerjanya.

"Ki, lo nggak nyesel ngusir Fatimah?" tanya sahabat serta sekretaris Hengki yang tak lain Reza Al-Hakim.

Hengki menghentikan pekerjaannya lalu menghadap Reza yang sedang duduk manis di sofa ruangannya. "Nggak lah, buat apa gue nyesel? Gue juga butuh keturunan kali Za. Mungkin kalau lo ada diposisi gue,gue yakin lo akan ngelakuin hal yang sama. Lo liat 'kan, sampai sekarang saja dia nggak bisa ngasih gue keturunan," jawab Hengki dengan nada biasa saja. Seakan tak ada beban yang ia hadapi.

'Yaa, semoga saja lo nggak akan nyesel Ki,' batin Reza sambil menganggukkan kepalanya.

"Ya, semoga saja,"

Tak ada lagi suara dalam ruangan itu. Hanya keheningan yang tercipta. Hengki kembali sibuk dengan berkas-berkas sedangkan Reza duduk sambil memainkan HPnya, setelah semua tugasnya selesai.

Waktu berjalan begitu cepat. Semua pekerjaan hengki akhirnya selesai juga ia tanda tangani tepat pukul 19:00 malam. Bunyi gawai disaku celana Hengki membuatnya menghentikan langkah kakinya dan mengambil gawai itu.

"Halo assalamualaikum, Ma,"

"Waalaikumsalam, Sayang. Kamu kenapa belum pulang, Nak?" Terdengar suara khwatir disebrang sana.

"Pekerjaan aku tadi banyak Ma, jadi baru selesai. Ini mau pulang." Hengki terus melangkah hingga sampai depan mobil kesayangannya.

"Yaudah Sayang, hati-hati. Mama khawatir kamu kenapa-napa Sayang. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam Ma,"

Pernikahan

Waktu terus berjalan. Sudah 1 bulan lamanya sejak keputusan sidang hakim yang memutuskan Fatimah dan Hengki dinyatakan resmi bercerai. Sejak saat itu tak ada lagi komunikasi diantara mereka.

Terlihat saat terakhir mereka bertemu wajah tegas itu penuh kebencian kepada Fatimah. Berbeda dengan Fatimah dengan raut sedih yang kentara. Rasa cintanya masih belum bisa hilang.

Hari ini merupakan hari kebahagiaan bagi keluarga Affandi. Dimana anak semata wayang mereka kembali menyandang status sebagai seorang suami. Raut kebahagiaan terlihat jelas pada wajah tegas tersebut.

Begitu pula dengan pengantin wanita. Senyum tak pernah pudar dari wajah nan tegas itu. Tak ada kata terpaksa dalam raut itu dalam menjalani pernikahan ini. Yang ada dipikirannya jika ia memang telah mencintai wanita itu.

Apakah secepat itu rasa cintanya hilang untuk Fatimah? Pasti jawaban jelas, karena rasa benci itu menutupi semuanya. Rasa cinta yang begitu besar hilang seketika.

"Selamat Sayang, akhirnya kamu sudah jadi suami lagi," ucap Mama, Hengki sambil memeluk anak dan bergantian pada menantunya.

"Terimakasih, Ma," balas mereka barengan.

"Selamat Bro, akhirnya lo nikah lagi." Rendi sepupu Hengki maju dan menjabat tangan serta berpelukan ala lelaki.

"Thanks," jawab Hengki dengan senyum mengembang.

"Selamat Ki, semoga setelah ini tak akan lagi terjadi seperti sebelumnya," sindir Reza sambil tersenyum. Entah kenapa Reza bisa berbicara seperti itu. Mungkin karena tak ingin lagi bos serta sahabatnya itu kembali melakukan hal yang sama.

Raut tegas itu berubah datar menatap sahabatnya. "Thanks Za," jawabnya.

Tamu undangan terus bergantian memberikan selamat pada sepasang mempelai itu. Hingga tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Tepat pukul 11:00 malam acara itu selesai. Pengantin pria maupun perempuan sekarang sudah berada di kamar mereka untuk membersihkan diri.

"Mas, aku bahagia banget bisa nikah sama kamu." Senyum tulus itu terpencar dari bibir mungil wanita cantik itu. Tangannya terus mengenggam lengan kekar sang suami.

"Iya Sayang, mas juga senang bisa nikah sama kamu," jawabnya sambil mencium pucuk kepala sang istri.

Mereka terus berbicara hingga satu jam lamanya. Setelahnya mereka menjalankan kewajiban mereka masing-masing.

Pagi menyapa ke-dua pasangan yang sedang bergelung di dalam selimut tebal itu. Cahaya masuk melalui ventilasi kamar.

"Sayang ayo bangun. Mataharinya sudah mulai menyengat," Hengki berusaha membangunkan sang istri yang tampak tak terganggu dengan panas pagi ini.

Hengki terus mencoba dan akhirnya netra itu terbuka perlahan dan memperlihatkan senyum menghiasi wajah sang wanita. Semburat merah menghiasi wajah nan putih itu. Kala mengingat ia bagun setelah suaminya bangun.

"Maaf Mas, aku telat bangun," ujarnya dengan sedikit rasa sedih.

"Iya nggak apa-apa kok Sayang. Ayo bangun setelah itu mandi," suruhnya dengan lembut.

"Iya Mas,"

Sepasang pengantin baru berjalan sambil berpegangan tangan menuju meja makan. Di sana sudah berkumpul semua keluarga menanti mereka berdua.

"Ciahhh, yang pengantin baru. Ngapain aja lama amat keluarnya. Udah lapar banget nungguin dari tadi," sindir Rendi pada mereka.

"Apaan sih lo," hardik Hengki dengan ketus.

Mereka makan dengan tenang. Tak ada yang berbicara saat itu. Karna di keluarga Affandi dilarang berbicara saat makan. Katanya sudah tradisi turun-temurun. Berbeda dengan keluarga Jihan yang setiap makan pasti ada saja yang mereka omongin.

Setengah jam mereka makan bersama. Saat ini mereka berkumpul di ruang keluarga sambil berbincang-bincang dengan keluarga lainnya.

"Ki berapa lama kamu ambil cuti?" tanya Hendra, Papa Hengki.

"1 minggu Pa,"

"Kemana rencana pergi bulan madu?"

"Kayaknya nggak bisa Pa, pekerjaan aku banyak di kantor,"

Hendra hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon. "Apa kamu nggak apa-apa nggak pergi bulan madu Ji?" Hendra menghadap sang menantu yang tengah duduk di samping sang putra.

"Nggak apa-apa kok Pa," jawabnya dengan senyuman.

"baiklah," pasrah Hendra.

Setelah itu tak ada lagi pembicaraan diantara mereka. Hanya keheningan yang menyelimuti ruang tamu tersebut.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!