Disuatu sore yang cerah tampak seorang gadis kecil berusia tujuh tahun duduk termenung disebuah bangku taman. Gadis itu tengah menunggu seseorang yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Sesekali dia menyibak poninya yang tertiup oleh angin. Pandangan matanya tak lepas menatap kearah jalan berharap seseorang itu lekas datang.
Senyumnya merekah begitu melihat sebuah mobil mercedez hitam berhenti tak jauh dari tempat dia duduk. Azura langsung berdiri menyambut kedatangan Tristan yang berjalan perlahan menggunakan tongkat.
"Aku disini Tan!!" seru Azura memberi arahan pada Tristan.
Mendengar suara seseorang yang di kenalnya Tristan langsung berjalan menghampiri Azura dengan bantuan tongkat di tangannya. Meskipun tidak bisa melihat tapi Tristan sudah hapal seluk beluk taman ini. Pertemanannya dengan Azura beberapa bulan terakhir, membuat Tristan memiliki harapan untuk bisa segera melihat.
"Duduklah!!" Azura membantu Tristan untuk duduk di bangku taman.
"Maaf merepotkan mu." ucap Tristan merasa sungkan. Karena setiap kali bertemu, Azura selalu melakukan hal yang sama.
"Tidak sama sekali. Oh ya dimana pak Damar?" Azura bertanya mengenai pengawal Tristan yang selalu menemani kemana pun Tristan pergi.
"Pak Damar menunggu di mobil, ada apa kamu menanyakan pak Damar? Kangen?"
Tiba-tiba Azura tertawa mendengar ucapan Tristan.
"Pak Damar itu udah aku anggap seperti ayahku sendiri." gadis berponi itu merenggut kesal dengan bibir yang mengerucut. Tapi dia lupa jika Tristan tidak akan melihat itu semua.
"Aku seneng mendengar suara tawa kamu."
"Kenapa bisa begitu?" Azura melihat raut wajah Tristan yang berubah.
"Mungkin kedepannya aku gak akan mendengar suara tawa kamu lagi." ucap Tristan dengan pandangan lurus kedepan.
Azura terlihat mengerutkan dahinya mendengar ucapan Tristan "maksudnya?"
Tristan hanya terdiam dengan wajah murungnya, Azura bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada temannya itu.
"Mungkin ini pertemuan terakhir kita, besok aku akan pindah ke Jerman untuk menjalani pengobatan mata. Bagaimana pun juga aku ingin seperti orang-orang yang bisa melihat indahnya dunia."
Azura cukup tersentak mendengar ucapan Tristan.
"Kamu mau ninggalin aku?"
"Aku minta maaf kuharap kamu akan mengerti."
"Jika kamu pergi siapa yang akan mau berteman dengan aku?" Azura terisak membayangkan perpisahan yang akan terjadi dengan Tristan. Disaat dia merasa cocok berteman dengan seseorang tapi orang itu malah akan pergi jauh.
Azura yang mempunyai sifat pendiam, senang menyendiri tidak terlalu mempunyai banyak teman. Bahkan dia tidak pernah akur bersama dengan saudara kembarnya Alvero. Hanya Tristan yang membuat Azura nyaman.
"Jangan menangis!! Aku janji saat aku melihat nanti aku akan mencari kamu, bahkan jika aku kembali ke Jakarta kamu orang pertama yang akan ku cari."
"Berapa lama kamu tinggal diluar negeri?"
"Aku tidak tahu Zura..keluargaku semua akan pindah kesana sampai pengobatanku berhasil."
"Aku doakan semoga kamu bisa cepat sembuh, biar kita bisa melihat pesta kembang api bersama."
"Iya Ra..selain itu aku juga ingin melihat wajah kamu."
Azura tersenyum mendengar ucapan Tristan "aku jelek Tan, nanti kamu nyesel lagi berteman sama aku."
"Aku gak peduli mau kamu cantik atau jelek yang pasti kamu wanita pertama yang masuk dalam kehidupan aku."
"Kenapa omongan kamu seperti orang dewasa?" cebik Azura.
"Masa sih? Aku ngomong biasa aja kok." tiba-tiba Tristan merogoh saku celananya dan memberi sesuatu untuk Azura.
"Ini apa?"
"Itu buat kamu anggaplah kenang-kenangan dari aku. Maaf gak bisa ngasih yang bagus tapi barang ini sangat berharga buat aku."
Azura menatap sebuah kalung berliontin bulan sabit.
"Meskipun aku tidak bisa melihat tapi aku tahu liontin itu berbentuk bulan sabit, dan aku mempunyai satu yang sama denganmu jika di jadiin satu maka liontin itu akan berbentuk bulan yang sempurna."
"Makasih Tan, aku pasti akan menjaga kalung ini." Azura menggenggam kalung itu dengan erat.
"Bolehkah aku meminta satu hal sama kamu?"
"Apa itu?" tanya Azura.
"Ijinkan aku meraba wajah kamu untuk yang pertama dan terakhir kalinya." ucap Tristan ragu-ragu.
Azura mengangguk cepat dan meraih tangan Tristan "kamu boleh pegang wajah aku sepuasnya!!"
Tristan menelusuri wajah Azura dengan tangannya, dia mulai memegang pipi beralih ke dahi turun ke mata, hidung dan berakhir di depan bibirnya.
Bruuukkk!!!
Suara seseorang yang terjatuh dari atas tempat tidur membuat seorang gadis tersadar dari tidurnya.
"Ahh..Shit..!! mimpi itu lagi." gumam Azura, dia langsung terbangun dan mengelus-elus pant*atnya yang sakit. Azura mendudukan dirinya diatas tempat tidur memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri.
"Kenapa mimpi itu terus berulang? seperti nyata dan aku pernah ada di sana. Tapi aku lupa itu seperti kejadian beberapa tahun silam. Oh my god...kenapa cara kerja otakku lambat sekali. Please kasih petunjuk!!" Azura mengerjapkan matanya keatas dan pandangannya beralih pada jam dinding yang sudah menunjukan angka tujuh.
"Ya ampuun telat lagi...!!"
🍂🍂🍂
Haiii aku balik lagee🙋🙋ini karya kedua ku ya gaes..semoga masih ada yang mau baca. Setelah karya pertama tamat aku memutuskan untuk kembali menulis. Wedding Disaster ini bukan sequel dari Twins boy ya ceritanya berbeda dari novel pertama meskipun beberapa tokoh masih ikut ke novel ini. Jadi jika ada readers yang baru mampir bisa langsung baca disini.
Tapi jika ada yang penasaran dengan kisah orangtuanya Azura bisa cap cus ke novel Twins Boy😄
Like, Vote dan Komentnya jangan lupa makasih!!😍🙏
Setelah melihat jarum jam yang sudah menunjukan angka tujuh Azura buru-buru masuk kedalam kamar mandi. Hanya sepuluh menit Azura selesai melakukan ritual mandinya. Dia langsung mengenakan pakaian kerjanya dan memoles wajah dengan seadanya. Meskipun begitu Azura tetap terlihat cantik dengan makeup yang tipis.
Menuruni anak tangga rumahnya, Azura langsung menuju ruang makan disana sudah ada kedua orangtuanya dan Alvero kembarannya.
"Mah, pah Azura pamit dulu!!" menyalimi papah Jupiter dan mamah Theolla bergantian dengan terburu-buru.
"Heh!! Sama gue gak salim?" Alvero mengangkat tangannya menjahili Azura. Tapi Azura tidak menggubris ucapan Alvero. Matanya sibuk menatap layar smartphonenya.
"Kamu gak sarapan dulu sayang?" tanya mamah Theolla heran, melihat anak gadisnya yang buru-buru.
"Aku sarapan di kantor aja mah, udah telat soalnya." sahut Azura.
"Kalau telat bareng sama papah aja sayang." tawar papa Jupiter.
Azura menggeleng "gak perlu pah aku udah pesen ojek online, sepertinya udah di depan. Aku berangkat ya." Azura lalu mencium kedua orangtuanya sekilas setelah itu dia berlari keluar.
Papah Jupiter hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak gadisnya yang sudah beranjak dewasa. Sepertinya baru kemarin dia menggendong anak-anaknya tapi kini Azura dan Alvero sudah tumbuh dewasa. Bahkan Alvero beberapa bulan lagi akan menikah.
"Mama kok gak tega ya pah lihat Zura seperti itu, tiap hari dia pulang pergi naik ojek padahal mobil ada yang nganggur."
"Sudahlah mah itu kan sudah jadi keputusan Zura, anak itu terlalu mandiri sehingga tidak mau tergantung dengan kita. Biarkanlah dia memilih jalan hidupnya sendiri." papah Jupiter mengelus tangan mamah Theolla untuk menenangkannya.
"Terlalu mandiri apa terlalu naif pah? Di kasih jabatan enak di perusahaan, malah memilih jadi karyawan biasa-biasa saja di sebuah perusahaan kecil. Susah dia sendiri yang bikin." Alvero menyahuti obrolan kedua orangtuanya.
"Al kamu gak boleh ngomong gitu sayang, bagaimana pun Zura adalah adik kamu. Harusnya kamu bangga karena dia memilih merintis karirnya dari bawah."
"Dia kalau langsung jadi direktur otaknya gak bakal nyampe mah, ya bagus donk dia belajar dari bawah dulu."
"Hey sudah-sudah kenapa jadi bahas Azura, ayo Al kita berangkat!! pagi ini kita akan bertemu dengan clien penting." papah Jupiter mencoba menengahi pembicaraan istri dan anaknya.
"Ya udah pah aku juga udah selesai sarapannya."
"Baiklah papah berangkat ke kantor dulu ya mah!!" mamah Theolla langsung mengantar suami dan anaknya menuju depan pintu.
Setelah papah Jupiter dan Alvero masuk kedalam mobilnya masing-masing, mamah Theolla lalu kembali masuk kedalam rumahnya.
🍂🍂🍂
Azura Kalingga Wijaya, umur 27 tahun putri satu-satunya dari seorang pengusaha kontraktor sukses Jupiter Alexandro Wijaya. Azura berbeda dengan kebanyakan gadis seusianya. Sedari kecil Azura lebih senang menyendiri, sifatnya yang introvert membuat Azura tidak memiliki banyak teman.
Pergaulannya sangat berbeda dengan Alvero Sailendra Wijaya, saudara kembarnya yang tidak pernah akur sedari kecil. Jika Alvero melanjutkan kuliahnya di luar negeri maka Azura memilih di dalam negeri. Alvero yang pintar dan selalu jadi juara satu berbeda dengan Azura yang mempunyai otak yang pas-pasan. Bahkan setelah lima tahun Alvero tinggal di luar negeri kedua saudara kembar itu kembali melanjutkan perang dinginnya.
Jika setelah lulus kuliah Alvero langsung mengisi jabatan sebagai direktur, tidak dengan Azura meskipun dia di tawari jabatan yang sama menggiurkannya di perusahaan papahnya tapi Azura memilih jalannya sendiri. Dia lebih memilih melamar ke berbagai perusahaan yang cocok dengan kemampuannya. Dan sudah tiga tahun ini Azura bekerja di sebuah perusahaan industri sebagai staff dibagian keuangan.
Empat tahun yang lalu merupakan masa yang kelam bagi Azura. Bagaimana tidak di saat hari membahagiakan itu sudah ada didepan mata, semuanya hancur dalam sekejap. Pernikahan Azura dan Denis batal sehari menjelang hari H. Denis membatalkan pernikahannya karena dia lebih memilih kembali bersama cinta pertamanya. Azura dan keluarganya harus menahan malu atas kebodohan Denis.
Semenjak saat itu Azura bertekad tidak akan menikah seumur hidupnya. Baginya pernikahan itu merupakan suatu malapetaka. Azura pun menutup pintu hatinya dari makhluk berjenis kelamin pria dan lebih memilih menyendiri.
"Sudah sampai neng." suara tukang ojek memecah lamunan Azura. Dia langsung tersadar dan buru-buru turun dari motor. Setelah mengembalikan helm dan membayar ongkosnya Azura langsung masuk menuju gedung perusahan tempatnya bekerja.
Dengan langkah cepat Azura menaiki tangga darurat menuju lantai dua dimana ruangannya berada. Disana semua teman satu divisinya sudah berada di mejanya masing-masing. Azura memang sudah telat sekitar setengah jam.
Tatapan tajam teman-temannya membuat Azura bergidik ngeri. Mereka seakan ingin menerkam Azura hidup-hidup.
"Ra kenapa bisa telat lagi?" Putri yang duduk di sebelah Azura berbisik pelan.
"Nanti aku jelasin." bisik Azura tak kalah pelan.
Azura mulai menyalakan layar komputer di hadapannya. Dia mulai berkutat dengan angka-angka yang berderet panjang. Satu jam kemudian tiba-tiba kepala divisi meminta Azura menghadap keruangannya.
"Ada apa ya pak?" tanya Azura was-was karena tidak biasanya Azura di panggil secara pribadi oleh kepala divisinya.
"Ini ada surat dari bagian HRD untuk kamu Azura." pak Eko menyerahkan sebuah amplop putih pada Azura.
Dengan penuh tanda tanya Azura membuka isi dari amplop itu, ternyata surat itu isinya adalah pemecatan terhadap dirinya.
"Saya di pecat pak?" tanya Azura kaget.
"Maafkan saya Azura saya tidak bisa banyak membantu, kamu karyawan yang ada dalam sorotan kami karena seringnya terlambat dan dalam sebulan ini kamu sudah telat lima kali. Bahkan surat peringatan yang kami berikan padamu tidak membuat kamu jera. Ini sudah jadi keputusan dari pihak kantor, untuk gaji bulan ini serta pesangon akan di transfer secepatnya ke rekening kamu." ujar pak Eko panjang lebar Azura hanya menunduk menyadari kesalahannya.
"Apa tidak ada kesempatan untuk saya pak? saya kan karyawan lama disini."
"Justru karena kamu karyawan lama tapi kinerja kamu tidak ada perubahan di tambah dengan kedisplinan kamu yang kurang membuat perusahaan mengambil keputusan ini."
Azura nampak pasrah mendengar ucapan pak Eko atasannya dari bagian keuangan.
"Baiklah pak saya terima semua ini. Karena ini kesalahan saya juga."
"Senang bekerjasama dengamu Azura!" Pak Eko mengulurkan tangannya menjabat tangan Azura.
Setelah mendapat surat pemecatan terhadap dirinya, Azura langsung meninggalkan kantor yang selama tiga tahun ini menjadi tempatnya mencari ilmu dan pengalaman. Azura tidak habis pikir keinginannya untuk mandiri malah berujung pada pemecatan dirinya. Dia hanya bisa pasrah jika nanti Alvero akan menertawakan dirinya.
Tidak ingin lama-lama meratapi kesedihannya Azura kembali keruangannya dan berpamitan pada teman satu divisinya. Setelah itu dia memutuskan untuk kembali kerumah.
bersambung...
🍂🍂🍂
......Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, vote dan komentar. Dukungan kalian sangat berharga untuk author. Makasih😍🙏......
Siang hari yang terik di langit ibukota, tidak menyurutkan seorang pria muda untuk mendatangi tempat yang beberapa tahun silam menyimpan banyak kenangan untuk dirinya. Ditemani seorang pria paruh baya yang sudah lama mengabdi pada keluarganya, Tristan Marvino mengedarkan pandangannya pada sebuah minimarket, cafe dan pusat pertokoan yang berdiri kokoh di hadapannya.
"Bapak yakin ini tempatnya?aku minta antar ke taman teratai loh bukan pusat perbelanjaan pak."
Pria paruh baya yang duduk di kursi kemudi mengangguk menatap anak majikannya yang sedang memandang heran kearah luar.
"Betul tuan muda, dulu sebelum pusat perbelanjaan ini di bangun memang lahan ini pernah menjadi sebuah taman. Tapi beberapa tahun yang silam pemerintah daerah memutuskan untuk membangun taman ini menjadi sebuah pusat perbelanjaan." pak Damar menjelaskan semuanya secara detail.
"Dua puluh tahun sudah berlalu tuan, banyak perubahan yang terjadi saat tuan kembali kesini."
"Apa bapak ingat gadis kecil yang dulu selalu bertemu dengan ku ditaman ini?"
"Tentu saya ingat tuan."
"Apa bapak sering melihatnya saat aku sudah pergi ke Jerman?"
"Setelah tuan muda pindah ke Jerman saya sudah tidak pernah datang ke taman itu lagi, dan sore itu pertemuan terakhir kita dengan gadis itu."
"Bahkan aku tidak tahu seperti apa wajahnya, apa sekarang dia masih mengingatku atau tidak? aku terlalu lama pergi dan mengingkari janjiku sendiri." gumam Tristan tapi masih terdengar oleh pak Damar.
"Tuan muda tidak perlu berkecil hati, kita bisa mencarinya sama-sama. Semoga saja dia masih tinggal di daerah sekitar sini."
"Tapi aku tidak punya petunjuk apapun pak untuk bertemu gadis itu, bagaimana bisa mencari seseorang yang sudah puluhan tahun tidak bertemu. Kita kembali kerumah saja pak!!" Tristan akhirnya memutuskan untuk kembali kerumah, rasa lelah setelah melakukan perjalanan panjang dari Jerman ke Indonesia membuat dia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya.
"Maafkan aku Zura karena terlalu lama kembali." ucap Tristan dalam hati. Tristan lalu memejamkan matanya sejenak mengistirahatkan hati dan pikirannya.
🍂🍂🍂
"Kamu pergi ke luar negerinya gak akan lama kan?" tanya gadis kecil berponi dengan rambut di ikat ekor kuda.
"Setelah mataku sembuh aku janji akan kembali ke Jakarta dan aku langsung nemuin kamu." ucap Tristan pasti.
"Bener ya?" Azura menyodorkan kelingkingnya di hadapan Tristan, lalu Azura meraih tangan Tristan dan menautkan kelingking mereka menjadi satu.
"Janji ya Tristan?"
"Iya Zura aku janji." Tristan hanya bisa berucap tanpa bisa memandang wajah Azura.
Azura kecil tersenyum puas dia bertepuk tangan dengan gembira. Tiba-tiba Damar datang menemui Azura dan Tristan kecil.
"Sore nona..!!" sapa Damar dengan senyum khas di wajahnya. Pria berumur 35 tahun itu menunduk pada gadis kecil yang beberapa bulan ini akrab dengan anak dari majikannya.
"Sore juga pak!!" ucap Azura tak kalah ramah. Azura sudah menganggap Damar seperti keluarganya sendiri.
"Ada apa pak?" tanya Tristan begitu menyadari pengawal pribadinya mendekat.
"Tuan besar menyuruh saya untuk segera membawa anda pulang, karena hari sudah semakin sore."
"Baiklah pak tunggu sebentar lagi ya!"
Damar kembali memberi kesempatan untuk Azura dan Tristan berbicara.
"Aku gak bisa lama-lama, aku pulang dulu ya!"
"Baiklah, kamu hati-hati ya Tan aku pasti akan menjaga kalung pemberian kamu ini."
"Iya Zura makasih ya!!"
"Pak Damar tolong jagain Tristan ya saat dia diluar negeri." pinta Azura pada pak Damar.
"Baik nona saya akan menjaganya dengan baik. Kalau gitu kita pamit nona!!"
"Iya pak." Azura melambaikan tangannya menatap kepergian Tristan dan pak Damar. Tristan sempat menoleh sebentar lalu kemudian mereka melanjutkan kembali langkahnya.
"Kita sudah sampai tuan." suara pak Damar memecahkan lamunan Tristan tentang memori masa kecilnya saat di Jakarta.
Tristan turun dari mobil dan menatap bangunan megah di hadapannya. Jadi dulu saat kecil dia tinggal di rumah besar ini. Tristan melangkahkan kakinya menaiki teras rumahnya. Di depan pintu sudah berdiri Pramudya kakek dari Tristan yang masih terlihat sehat meskipun usianya sudah memasuki senja.
"Grandpa...!!" Tristan langsung menghambur kepelukan sang kakek yang sudah lama tidak di temuinya.
"Anak bandel! nyampe bandara bukannya langsung pulang kerumah ini malah kelayapan dulu!"
"Maaf opa..aku hanya muter-muter Jakarta aja kangen soalnya udah lama gak pulang."
"Jadi kamu tidak kangen dengan opamu ini?"
"Tentu saja aku kangen opa.."
"Ya sudah ayo kita masuk dan ngobrol di dalam."
Setelah sampai di ruang keluarga Tristan dan Pramudya duduk untuk saling melepas rindu.
"Jadi Opa tinggal di rumah besar ini sendirian?" tanya Tristan.
"Ya setelah oma mu meninggal opa hanya tinggal sendiri disini bersama para pengawal dan asisten rumah tangga."
"Jadi waktu kecil aku tinggal di rumah ini?"
"Tentu saja. Kamu, adikmu, mami dan papi mu juga tinggal disini sebelum kalian memutuskan pindah ke Jerman."
"Maaf ya opa.. seharusnya tahun lalu aku kembali ke Jakarta tapi aku harus menyelesaikan urusanku dulu disana."
"Tidak apa-apa cucuku, yang penting sekarang kamu sudah berada disini. Opa sudah tidak sanggup jika harus mengurus perusahaan, makanya itu opa ingin kamu mengambil alih semua ini. Kamu cucuku satu-satunya yang kuharapkan. Mana bisa opa mengharapkan Anggara."
"Maafin papi ya opa! papi bukannya tidak ingin kembali kesini, tapi saat ini perusahaan papi di Jerman juga membutuhkannya."
"Anggara memang anak durhaka, opa menyuruh dia kembali ke Jakarta malah kamu yang di kirim kesini." Pramudya nampak geram jika mengingat anak satu-satunya yang sangat betah tinggal di Jerman. Tristan mengelus punggung sang opa untuk menenangkannya.
"Adikmu Clarisa apa kabarnya?"
"Clarisa sedang menyelesaikan kuliahnya di Paris opa."
"Mami kamu itu selalu saja memanjakan Clarisa, di suruh kuliah bisnis malah kuliah jurusan fashion."
"Namanya juga wanita opa urusannya gak jauh-jauh sama dunia fashion."
"Terserah mereka sajalah."
Obrolan mereka terhenti ketika Damar datang menghampiri Tristan dan Pramudya.
"Ada apa Damar?"
"Maaf tuan besar menganggu, ada urusan mendesak yang harus segera di selesaikan di perusahaan."
"Siapkan mobil!! saya akan berangkat ke kantor sekarang juga!"
"Aku ikut opa!!"
Bersambung...
🍂🍂🍂🍂
...Makasih untuk para readers dan kakak author yang sudah mampir🙏😍 Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, vote, komentar dan masukan juga ke daftar favoritnya😊...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!