Setelah 6 tahun berlalu, Rasya sudah terbiasa dengan hidupnya saat ini yang tanpa seorang istri menemaninya.
Buah hati yang ia rawat sedari bayi saat ini sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang begitu mirip dengan ibunya. Aishi Qianadira gadis berumur 6 tahun itu menjelma bidadari yang menyerupai sang ibu. Matanya, hidungnya, bibirnya bahkan hampir semua kebiasaan yang ada padanya pun sama dengan Aisya. Apakah ini yang dinamakan buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya ?
Apa yang ada pada Aisya, kini berpindah pada sang anak.
Ici yang tengah memakai sepatu sekolahnya begitu bersemangat, karna ini adalah hari pertamanya ia bersekolah.
"Masyaallah, cucu nenek jadi tambah cantik. Belajar yang rajin ya nak !" Puji umi Bila begitu pangling melihat penampilan cucunya yang telah memakai seragam sekolah.
"Iya nek, insyaallah Ici akan semangat untuk belajar. Kata Abi Ici harus buat umi bangga sama Ici," jawabnya seraya tersenyum.
Hati umi Bila merasa tersentuh ketika cucunya mengatakan ingin membuat ibunya merasa bangga. Sudah 6 tahun berlalu setelah kepergian menantunya, Rasya begitu sulit untuk mencari pengganti Aisya. Bukannya tidak ada yang mau, tetapi Rasya yang selalu menolak setiap kali uminya meminta untuk segera menikah. Dengan alasan tidak tega melihat Aishi yang begitu membutuhkan sosok seorang jibu.
"Iya sayang, abi kamu bener. Ici bukan cuma harus buat umi bangga, tapi Ici juga harus buat abi, nenek, semua orang yang sayang sama Ici merasa kagum dengan Ici yang sangat semangat belajarnya."
"Na'am nenek. Ici berangkat sekolah dulu, asalammualaikum."
"Waalaikumsalam wr wb," jawab umi Bila seraya menatap lekat punggung cucunya yang mulai menjauh.
'Kamu sangat mirip dengan ibumu, yang selalu bersemangat dalam hal apapun termasuk membuat orang disekelilingnya merasa bangga' Bathin umi Bila.
"Asalammualaikum umi," sapanya.
"Waalaikumsalam, kamu dari mana Sya ?"
"Afwan, Rasya ada keperluan sebentar barusan. Apa Ici sudah berangkat ?"
"Na'am, baru saja berangkat. Ici sangat bersemangat sekali tadi, sama seperti ibunya dulu," ucap umi antusias menceritakan bagaimana cucunya yang tidak sabar untuk segera masuk kedalam kelas barunya.
"Umi bener, apa yang ada pada Aisya kini berpindah ke Aishi. Semuanya begitu mirip," jawab Rasya menerawang kedepan seraya tersenyum.
"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Siap-siaplah, sudah waktunya mengajar !" Ucap umi Bila seraya menepuk pundak anaknya kemudian berlalu pergi.
'Tidak semudah itu untuk melupakan semua kenangan dengan orang yang kita cintai umi. Walau sampai kapanpun, tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Aisya. Cintaku telah terpaut dalam untukmu istriku'
Rasya pergi menuju pesantren dengan menenteng beberapa buku keperluan mengajarnya.
Walaupun usianya sudah berkepala 3 bahkan lebih, tapi pesona seorang gus satu ini tidak pernah luntur atau bahkan berkurang.
Santriwati yang mengidolakannya, semakin tidak ingin membuang kesempatan dengan status Rasya saat ini. Masih banyak santriwati yang gencar mengejarnya dan bahkan mengirimi gus Rasya surat cinta beberapa kali.
"Eh, tuh lihat gus Rasya lewat. MasyaAllah, calon imam makin hari makin gas'ah aja," ucap santriwati bernama Nur dengan antusias.
"Yee, mau sampai kapan kamu berkhayal ? Gus Rasya gak akan pernah bisa berpaling dari ning Aisya, ya walaupun saat ini ning Aisya udah almarhum," jawab yang lainnya.
"Iya tuh, ngayal aja teross !"
"Hu...........!" Sorak teman-temannya meledek.
"Asalammualaikum."
"Eh, ada gus Rasya. Waalaikumsalam gus."
"Ada apa ribut-ribut ? Kenapa masih berkeliaran di luar, cepat masuk kelas !" Titahnya pada mereka.
"Afwan gus, asalammualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Gara-gara kamu sih Nur," ucap santriwati bernama Lulu itu menyalahkan temannya yang mengajaknya keluar kelas hanya untuk melihat gus Rasya lewat.
"Apaan kok aku, udah ayok buruan masuk kelas !"
Setelah melihat para santrinya memasuki kelas, Rasya tidak langsung beranjak dari tempatnya. Ia masih menatap sekeliling mengingat memory beberapa tahun silam di saat Aisya berpura-pura sebagai Putri.
Air matanya menetes seketika, dada Rasya berdegub dengan kencang bukan karna ia tengah merasakan jatuh cinta saat ini. Tapi hatinya tengah merasakan dentuman keras yang membuatnya merasa sesak dan sakit.
'Mas merindukanmu sayang, sangat-sangat rindu ! Aisya, saat ini mas berdiri di tempat di saat kamu pertama kali masuk pesantren dengan wajah kebingungan. Sayang, apa kamu melihatnya di sana, mas rindu kamu dek, bahkan Aishi juga sangat merindukanmu. Tahukah kamu sayang, anak kita sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang sama seperti ibunya. Kita mengolahnya bersama, tapi sayangnya Ici tidak ada yang mirip sama mas, semuanya mirip kamu. Tapi mas bahagia sayang, melihat anak kita mas merasa sangat dekat dengan istri cantik mas yang saat ini berpindah ke buah hati kita. Surga Allah bersamamu istriku' Bathin Rasya seraya menyeka air matanya kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya.
***
"Hei, anak abi kok murung gitu pulang sekolah, kenapa ?"
"Umi kapan pulang bi ? Ici rindu umi," ucap bocah kecil itu dengan mata yang berkaca-kaca.
Deg...
"Dengar sayang, tugas Ici cuma mendoakan umi supaya urusan umi cepet selesai dan umi cepet pulang kumpul bareng kita lagi," jelas Rasya mencoba menenangkan anaknya untuk lebih sabar lagi menunggu.
Rasya begitu tidak tega memberitahu kan yang sebenarnya pada Aishi. Saat umur Aishi 4 tahun, pernah ia sakit hebat karna begitu merindukan ibunya. Sempat Rasya menjelaskan perlahan jika ibunya tidak akan pernah kembali sebelum mereka menyusulnya nanti. Tapi sayangnya, naluri seorang anak mengatakan tidak percaya jika ibunya sudah meninggal. Di umur 4 tahun Aishi sudah begitu memahami arti meninggal dan hidup. Setelah kejadian itu Rasya tidak lagi ingin mengungkit masalah Aisya yang sebenarnya, terlebih lagi pada sang anak.
"Tapi kapan bi ? Umi pergi lama sekali, bahkan umi tidak tau kalau Ici sekarang sudah sekolah. Hu hu hu, Ici pengen ketemu umi bi, bawa Ici ke umi bi ! Ici rindu..."
Rasya tidak kuat menyembunyikan air matanya. Ia menangis tanpa suara seraya memeluk sang anak.
'Ya Allah, entah sampai kapan aku menyembunyikan kebenarannya. Ici sayang, mungkin umi kamu saat ini sudah ada di surga nak. Kita tidak akan pernah bisa bertemu sebelum waktu dan takdir yang akan mempertemukan kita dengan umimu'
Di balik pintu, seseorang ikut menitikan air matanya melihat anak kecil itu menangis merindukan sosok ibunya yang sebenarnya sudah lama meninggal.
'Segera beri kebahagiaan untuk mereka ya Allah !'
Aisya meninggal gak sih ?
Sabar, belum saatnya menjelaskan flashback !
💕💕💕Tinggalkan
Vote
like
komen kalian ya
Happy reading guys
Bersambung💕💕💕
"Asalammualaikum," sapa seseorang yang sempat menghentikan langkahnya menyaksikan drama haru antara anak dan ayah.
Rasya menyeka sisa air yang masih menggenang di pelupuk matanya."Waalaikumsalam," jawabnya seraya melihat ke arah pintu.
"Afwan kak, bisa Zahra mengajak Ici main sebentar ?"
Ya, seseorang yang mengintip mereka dari balik pintu tak lain adalah Zahra.
Peran Zahra sedikit membantu Rasya, karna selama ini Ici juga sangat dekat dengan Zahra. Hal itu sedikit mengurangi ingatan dan pertanyaan Ici tentang uminya. Sampai saat ini, Zahra masih begitu betah dengan statusnya yang masih lajang, entah karna apa, tapi yang pasti dekat dengan Aishi cukup membuat hidupnya menjadi lengkap.
Rasya mengangguk, ia melirik sekilas ke arah anaknya yang ternyata masih menangis itu.
"Ici mau main sama tante Zahra ?"
Ici tidak menjawab, tapi melihatnya menganggukkan kepala sudah dipastikan ia mau bermain dengan Zahra.
"Anak pinter. Ayok main sama tante !" Ajak Zahra kemudian menggendong tubuh mungil berumur 6 tahun itu.
"Sya..!" Panggil abi Aqil yang menghampirinya kemudian duduk di dekat sang anak.
"Zahra sangat dekat dengan Ici Sya, apa tidak sebaiknya kamu jadikan Zahra istri ?"
Pertanyaan dari abinya berhasil memfokuskan tatapan mata Rasya pada seseorang yang duduk di dekatnya.
"Tidak bi. Sampai kapanpun Rasya tidak akan pernah bisa mengkhianati Aisya bi. Untuk masalah Ici, sampai saat ini Rasya masih bisa menanganinya, abi tidak perlu khawatir !"
"Bukan cuma dengan Ici Sya, tapi juga kamu. Sudah 6 tahun kamu hidup seperti ini, abi sedih Sya, anak abi satu-satunya merasa terpuruk sepanjang hidupnya."
"Rasya tidak terpuruk akan keadaan dan takdir bi, Rasya hanya ingin menjaga cinta kami sampai Allah mempertemukan Rasya dengan Aisya. Walaupun Rasya harus menunggu puluhan tahun kedepan," jawab Rasya tetap bertahan pada pendiriannya.
"Baiklah, terserah kamu saja. Abi pergi dulu ada urusan sebentar, asalammualaikum."
"Waalaikumsalam wr wb."
***
Zahra mengajak Aishi berkeliling pesantren, namun kali ini ia membawanya ketempat yang biasa Aisya datangi di saat tengah memikirkan banyak hal.
"Kenapa kita ketempat ini tante ?" Tanya Ici dengan raut wajah bingungnya.
"Duduk dulu !" Ajak Zahra pada Aishi untuk duduk di dekatnya.
Ici pun mengangguk, ia kemudian duduk di samping Zahra seraya menatap tenangnya air dengan banyaknya bunga teratai bermekaran.
Udara yang sejuk seketika mengharumkan wangi bunga teratai yang tersebar kemana-mana.
"Ici tau gak, ini adalah tempat yang selalu umi Ici datangi untuk menenangkan diri," ucap Zahra memberitahu gadis cantik itu.
"Masyaallah, apa bener tante ? Umi selalu dateng kesini ?" Tanyanya sekali kali untuk memastikan.
Zahra mengangguk seraya tersenyum."Bener, tempat ini adalah tempat kesukaan uminya Ici."
"Kenapa abi gak pernah kesini tante ?"
"Siapa bilang ? Abi Ici sering kesini kok, mungkin Icinya aja yang gak tau."
Tanpa disadari, Aishi telah menitikan air matanya seraya menatap bunga teratai yang paling cerah warnanya.
Ya Allah, apa Ici boleh meminta satu hal ? Ici hanya ingin bertemu Umi. Kapan Ici akan bertemu dengan Umi, ya Allah...Ici rindu umi.
"Ici, hei, kok nangis ? Apa cerita tante sedih, sampe Ici nangis gini ?" Tanya Zahra seraya mengusap air mata di pipi cantik Aishi.
"Ici rindu sama umi, tante. Allah kenapa tega sama Ici menjauhkan Ici dari umi, hu hu hu..Ici pengen peluk umi, tante !"
"Shutt sayang," Zahra langsung menarik Aishi kedalam pelukannya.
"Ici percaya gak, apa yang ada dalam diri Ici itu ada Umi Aisya ? Kebiasaan Ici, wajah Ici bahkan semuanya mirip dengan umi Aisya. Ici hanya perlu sabar sebentar lagi, insyaallah uminya Ici akan pulang di waktu yang tepat nanti," Zahra terus berusaha menenangkan Aishi dari rasa rindunya pada sang ibu.
"Tapi kapan tante ? Kapan Ici bisa bertemu dengan umi, memeluk umi, tidur bareng umi, di suapin umi, dan di bangunkan sama umi. Ici pengen kayak Ara yang selalu diantar uminya sekolah," celoteh Aishi begitu berharap akan keinginannya segera terkabul.
Zahra tersenyum menanggapi celotehan Aishi, ia mengangkat tubuh mungil itu dan mendudukkannya di pangkuan saling berhadapan."Ici beneran mau diantar setiap berangkat sekolah ?"
Ici mengangguk.
"Baiklah, mulai besok tante yang akan anter Ici ke sekolah. Gimana, apa Ici mau ?"
"Yey, Ici mau tante, mau. Tapi...."
"Tapi apa ? Apa Ici gak mau dianter sama tante ?"
"Bukan itu tante. Tante kan bukan uminya Ici, walaupun tante bakalan anter Ici kesekolah, tapi tante gak bisa bangunin Ici setiap pagi, tidur bareng Ici juga," ucapnya dengan tatapan sendu.
Kamu bener Ici, walau sampai kapanpun, tante gak akan pernah bisa mengantikan posisi umimu, terlebih lagi posisinya di hati abimu. Itu sangat mustahil. Bathin Zahra.
"Kan ada abi, sayang. Memangnya abi Ici gak bangunin Ici setiap pagi ?"
"Abi selalu bangunin, tante. Tapi Ici juga pengen di bangunin sama umi. Ici belum pernah ngerasain," jawabnya membuat hati nurani Zahra tergerak seketika.
"Kita pulang yuk !" Ajak Zahra dan Ici pun langsung menganggukinya.
Zahra dan Aishi pergi meninggalkan tempat sejarah Aisya dahulu. Keduanya berjalan dengan bergandengan tangan layaknya seorang ibu dan anak. Andai saja semua ini adalah nyata, mungkin hanya akulah orang yang paling bahagia di dunia ini.
Tapi sayangnya, sosok Rasya seperti pasir. Tidak mudah digenggam, sekalinya dapat perlahan akan lepas dari genggaman.
"Asalammualaikum," ucap keduanya saat ingin memasuki rumah.
"Waalaikumsalam."
"Anak abi dari mana ? Apa permainannya seru ?" Tanya Rasya setelah menggendong Aishi
"Ici marah sama abi !" Ucapnya dengan cemberut.
"Pulang-pulang kok ngambek, abi salah apa sayang ?"
"Kenapa abi gak ngajak Ici ketempat yang sering umi datangi ?"
Mendengar penjelasan dari anaknya, seketika tatapan Rasya beralih pada Zahra yang sedari tadi menunduk.
"Afwan kak, Zahra rasa gak ada salahnya mengajak Ici ke tempat favorit Aisya," ucap Zahra yang memahami arti tatapan Rasya.
Rasya memang sering mendatangi danau belakang pesantren. Ketika ia rindu pada Aisya, tempat itulah yang paling tenang untuk menyendiri dan mengingat memory manis bersama istri tercinta.
Bukan tidak ingin mengenalkan tempat itu pada Aishi, namun Rasya begitu takut Ici akan datang ketempat itu sendirian, mengingat danau belakang pesantren cukup dalam dan sangat berbahaya untuk seorang anak berumur 6 tahun berada sendirian di sana.
"Jangan marahin tante Zahra ! Abi yang salah gak ngenalin tempat kesukaan umi ke Ici," ucap Ici dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Terlihat dari wajahnya yang saat ini tengah cemberut. Rasya semakin gemas mwlihat tingkah anaknya yang begitu mirip dengan ibunya ketika ngambek.
"Siapa yang mau marahin tante Zahra, abi gak marah sayang. Tapi inget, Ici gak boleh pergi kesana sendirian, harus ajak abi, nenek, atau tante Zahra ! Mengerti ?"
Ici mengangguk."Tapi Ici seneng deh, akhirnya mulai besok ada yang anterin Ici ke sekolah setiap hari," ucapnya dengan raut wajah penuh senyum.
"Tapi sayangnya, dia gak bisa tidur bareng Ici dan bangungin Ici setiap pagi," tambah Ici dengan suara lesunya.
"Memangnya siapa yang mau anter Ici ke sekolah ?"
Rasya Zahra atau Rasya Aisya ??
**Tinggalkan
Vote
Like
Komen kalian yak
Happy Reading guys**
"Memangnya siapa yang mau anter Ici ke sekolah ?" Tanya Rasya seraya menoel dagu mungil anaknya.
"Tante Zahra."
Rasya kembali melirik Zahra yang masih terus menunduk. Tidak salah jika Zahra membantunya dalam hal mengurus Ici, tapi sampai kapan ? Rasya merasa sangat tidak enak hati dengan Zahra yang selalu membantunya dari Ici masih bayi. Sebagai seorang lelaki, ia paham betul dengan tatapan dan prilaku Zahra yang menaruh hati padanya. Tapi sampai kapanpun, Rasya akan tetap yakin dengan cintanya pada sang istri. Walau ia ikhlas menjalani hidupnya yang sekarang ini, tetapi sungguh, hati kecilnya masih yakin dengan Aisya yang masih hidup hingga samai saat ini.
"Ici bisa masuk ke dalam sebentar nak ?! Abi mau bicara sebentar dengan tante Zahra," ucap Rasya seraya menurunkan Ici dari gendongannya.
"Boleh Ici disini saja bi ?"
Rasya menggelengkan kepalanya."Ini urusan orang dewasa sayang, kamu belum saatnya mendengarkan. Ici masuk ya !"
Ici pun mengangguk, ia melangkahkan kakinya meninggalkan abinya yang ingin membicarakan hal serius.
"Silahkan duduk Ra !" Pinta Rasya pada Zahra.
Zahra tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil dan sedikit berjalan untuk sampai ke tempat duduk.
"Afwan kak, kak Rasya mau bicara apa sama Zahra ?"
"Sampai kapan kamu mau mendekati Ici Ra ?Maksudku mendekati dengan lebih dan berperan sebagai seorang ibu untuknya," Tanya Rasya dengan tatapan seriusnya.
"Afwan kak, bukan maksud Zahra mengambil alih posisi Aisya, Zahra cuma kasihan sama Ici yang hampir setiap saat menangis merindukan uminya. Apa salah kalau Zahra membantu menenangkan Ici ?"
"Aku tau kamu sayang sama Ici Ra, tapi tolong bersikaplah biasa saja ! Aku gak mau Ici beranggapan kalau dia gak punya ibu dan harus menganggap orang lain sebagai ibunya. Ici punya Aisya Ra, sampai kapanpun gak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisinya !"
"Aisya sudah meninggal kak, mau sampai kapan kak Rasya menutupi kenyataan ini dari Ici, hah ? Oke fine, aku memang gak akan pernah bisa berada di posisi Aisya, terlebih lagi merebut hatimu darinya. Tapi demi Allah aku sayang sama Ici bukan karna ingin mendapatkan simpati dan perhatian dari siapapun, aku sayang sama Ici tulus dari hati kak !" Jelas Zahra dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Za-zahra, maafkan aku ! Aku gak bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, aku hanya tidak ingin posisi Aisya di gantikan oleh siapapun," ucap Rasya merasa bersalah, terlebih lagi ucapannya membuat Zahra menangis.
Zahra tidak lagi berkata atau menjawab kalimat maaf dari Rasya. Ia beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan rumah Rasya dengan isak tangisnya.
Rasya menyesal, menyadari jika ucapannya itu keterlaluan. Terlebih lagi Zahra adalah seorang wanita, yang secara tidak langsung Rasya telah menyakiti hati kaum ibunya.
Rasya sadar dengan perasaan Zahra padanya, meskipun ia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa membalas perasaan itu, tapi tidak seharusnya ia menyakiti hati perempuan itu dengan kata-katanya.
"Astagfirullah, maafkan aku yang telah menyakiti mu Ra," gumam Rasya dengan penuh sesal seraya mengusap kasar wajahnya.
***
Hari demi hari telah berganti menjadi bulan, baru saja Ici di sambang oleh kakek dan neneknya dari jakarta, namun hari ini ia harus berpisah kembali dengan mereka.
Bunda Elsa dan Ayah Rama memang sering datang ke pesantren melihat cucunya. Bahkan oleh-oleh yang mereka bawa untuk Ici pun tidak tanggung-tanggung.
"Hu hu hu Ici mau ikut oma, Ici mau ikut !" Ici menangis seraya menarik-narik baju bunda Elsa, yang tak lain adalah orang tua Aisya.
"Sya, apa gak bisa libur beberapa hari ? Bunda gak tega lihat Ici yang terus-terusan merengek," ucap bunda Elsa pada Rasya.
Rasya memperhatikan anaknya yang terus saja menangis sedari tadi meminta untuk ikut omanya ke jakarta. Merasa tidak tega, Rasya menghela nafasnya kemudian mengangguk.
Bunda Elsa tersenyum setelah melihat Rasya mengangguk, ia berjongkok sejajar dengan tinggi bocah imut yang masih menangis itu.
"Ici sayang, iya Ici boleh ikut oma. Coba Ici bilang sama abi !" Ucap bunda Elsa seraya mengusap pipi cucunya.
Ici menghadap abinya, ia menatap lekat dengan tatapan penuh harap jika abinya akan mengizinkan ia untuk ikut kejakarta. Selama 6 tahun ini, Ici belum pernah datang ke rumah kakek dan neneknya di jakarta. Rasya selalu melarangnya dengan alasan Ici masih terlalu kecil untuk bisa jauh dari darinya.
Rasya mengerti tatapan anak gadisnya itu, ia mengangguk seraya berkata,"Iya. Ici boleh ikut oma sama opa ke jakarta, tapi abi juga harus ikut ! Gimana ?"
"Yey, abi juga ikut. Ici sayang sama abi !" Bocah itu berlari memeluk abinya kemudian mencium pipi kanan dan kiri sang ayah setelah ia berada dalam gendongannya.
Rasya menyiapkan keperluannya juga keperluan sang anak dan memasukannya dalam koper berukuran kecil.
Ingatannya melayang ketika ia membantu Aisya menyiapkan keperluannya saat ingin pergi ke jakarta.
Dimana saat Rasya selalu mengganggu sang istri dengan terus mengajaknya bicara hingga persiapan mereka tak kunjung selesai.
Menjahilinya dengan melayangkan beberapa ciuman di wajah Aisya, memeluknya dari belakang kemudian dilanjutkan dengan saling memadu kasih.
Rasya tersenyum perih mengingat masa itu adalah masa kebahagiaan yang pada akhirnya harus di renggut paksa oleh sang takdir.
Cairan bening tak bersalah itu keluar dari pelupuk matanya, Rasya memejamkan mata dengan memeluk foto istrinya.
Rasa rindunya kian memuncak, sesak di dadanya semakin terasa. Tapi ia harus apa ? Bahkan memohon dan bersujud pun Aisya tidak akan pernah kembali ke pelukannya.
'Sudah 2.280 hari kamu pergi sayang, tidak pernah walau sehari bahkan sedetik pun mas tidak merindukanmu, tidak lagi mencintaimu, dan tidak lagi berharap kau akan kembali. Sampai saat dan detik ini semua itu masih mas rasakan Aisya, mas sangat-sangat merindukanmu, sangat-sangat mencintaimu, dan sangat-sangat berharap kalau kamu sebenarnya masih hidup. Sejujurnya mas rapuh sayang, mas tidak kuat menjalani hidup seperti ini, mas hanya pura-pura tegar demi anak kita, demi orang tua kita. Hiks hiks, mas rindu Aisya, sangattttttttttt rindu !'
"Abi.....!"
Buru-buru Rasya menyeka air matanya, kemudian menoleh sekilas ke sumber suara.
Ici menghampiri abinya, ia mengusap air mata yang masih tersisa di sudut mata Rasya.
Rasya semakin tidak tahan untuk lebih lama lagi menyembunyikan air matanya saat tengah bersitatap dengan putri cantiknya itu.
Ici mengangguk, kemudian ia mengecup kening abinya cukup lama. Rasya meneteskan lagi air matanya, mencoba memalingkan wajahnya supaya anaknya tidak melihat bahwa abinya saat ini tengah rapuh.
Tapi Aishi anak yang pintar, ia mulai memahami sedikit demi sedikit kisah para orang orang tuanya. Ici menatap lekat Rasya, tatapannya itu seolah memberitahu kalau ia baik-baik saja walau tanpa seorang ibu di sampingnya. Ya, walaupun seringkali Ici juga merasakan rindu dan tidak tahan untuk segera bertemu dengn uminya, tetapi abinya sudah pasti akan lebih merindukannya.
"Ici gak papa gak ada umi yang menemani Ici dari kecil sampai umur Ici 6 tahun abi. Tapi Ici semakin sedih kalau abi nangis, Ici gak masalah harus jauh dan menunggu umi lebih lama lagi, tapi Ici gak mau jauh dari abi sekarang ini. Umi udah punya kebahagiaan sendiri kan bi ?"
Kebahagiaan sendiri ? Apa itu artinya....
Ya Allah, aku yakin aku pasti akan bertemu dengan Aisya suatu saat nanti.
Tugasku menunggumu, dan tugas takdir membawamu kembali padaku !
😭😭
**Vote kalau tembus 50, hari ini Author bakalan double up.
Jadi jangan pelit buat VOTE yak🤗🤗🤗**
Happy Reading guys
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!