(Jangan lupa Like,Vote dan komentarnya ya reader, Author Harsie menanti kalian, silahkan dibaca 😊😉😊)
"Selamat ya sayang kalian sebentar lagi akan menikah!" ucap seorang wanita paruh baya yang masih cantik dan elegan di usianya yang menginjak kepala lima.
"Thanks Mommy, semua karena restu Mommy!" ucap seorang wanita cantik dan seksi dengan rambut pendek dan tahi lalat di bawah bibirnya.
"Aku sangat mencintai Gama," ucap wanita itu sambil memandang ke arah seorang pria yang ikut tersenyum melihat kedekatan Ibu dan calon istrinya.
"Aku lebih mencintaimu Tiara," ucap Gama pria tampan berkarisma dan sangat sempurna.
Tiba-tiba seluruh ruangan gelap, tak ada cahaya yang terdengar hanya suara percakapan antara seorang wanita dengan pria yang sangat familiar di telinga Gama.
"Hahahaha biarkan mereka mati, Cinta? Aku tak pernah mencintainya, yang kucintai hanya uang dan hartanya, jika aku tak bisa mendapatkan hartanya maka ia harus mati, sayang kapan kau akan menikahiku hmm?" ucap Tiara yang kini sedang memeluk seorang pria di samping tubuh Gama yang tak bisa bergerak.
"Gelap, semuanya gelap Tiara? dengan siapa dia berbicara? apa maksudnya? dimana aku? kenapa kakiku tak bisa kugerakkan?" Batin Gama.
"Kita akan menikah secepatnya Tiara, setelah kupastikan calon suamimu itu hancur untuk selamanya!" ucap seorang pria.
"Alex! Dia Alex, kenapa? Apa yang terjadi kenapa mereka bersama? Bukankah Tiara mencintaiku? Argkkkhhh," batin Gama.
Perlahan-lahan Gama membuka matanya, ia mengedipkan matanya perlahan meneliti seluruh ruangan itu.
"Rumah Sakit!" kata itu yang terbersit saat Gama melihat ruangan serba putih dan bau obat itu, tubuhnya terasa kaku dan tak bisa digerakkan, mata tertuju pada dua manusia yang tengah bercumbu mesra di atas Sofa.
"Tiara!! Alex! Bajingan kalian!" Ingin rasanya Gama meneriakkan kata-kata itu, namun mulutnya seperti terkunci dan rasanya sakit sekali.
Tiara datang menghampiri Gama sambil membawa sebuah alat suntik yang sudah diisi cairan berwarna kuning, entah apa kandungan cairan itu.
Alex menyeringai di belakang wanita itu sambil tertawa terbahak-bahak melihat Gama yang tiba-tiba melemah ketika Tiara dengan senyuman jahatnya menyuntikkan cairan itu ke dalam cairan infus yang terpasang di tubuh lemah Gama.
"Tiara bukankah kau mencintaiku? Tidak tidak jangan! Apa yang kalian lakukan! Sakit! Jangan! Jangaannnnnn," teriak Gama.
"Tuan bangun tuan! Tuan!" Teriak seseorang sambil mengguncang tubuh Gama di atas tempat tidur.
"ergh arhhhh....hah...hah..hah," Gama bangun dari mimpi buruknya dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya basah karena keringat yang sangat banyak, ia berusaha menetralkan pikirannya, ternyata hanya mimpi buruk yang sama yang selalu menghampiri dirinya selama satu tahun ini.
"Anda bermimpi buruk lagi tuan," ucap seorang pria yang merupakan asisten pribadinya yang selalu setia menemani dirinya.
"Hmmm, air!" Titah Gama dengan suara berat dan lemah itu.
Asistennya mengambilkan segelas air putih lalu memberikannya pada Gama. Secepat kilat Gama meneguk air putih itu sampai habis tak bersisa.
"Siapkan pakaianku!" Titah Gama lagi, kemudian ia menarik kursi rodanya yang berada dekat dengan kasurnya. Posisi kasur Gama berada di atas lantai agar memudahkan pria itu menaiki kursi rodanya tanpa harus dibantu orang lain sebab ia benci disentuh oleh siapapun.
Gama naik dengan menjadikan dua penyangga yang didesain khusus sebagai alat bantu sebagai topangan tubuhnya agar bisa naik ke atas kursi roda.
Gama masuk ke kamar mandi dan melakukan aktivitas disana, seluruh isi kamar bahkan seluruh ruangan dalam rumah besar itu sudah disesuaikan dengan kebutuhan pria malang yang dinyatakan lumpuh sejak setahun yang lalu.
Kelumpuhan yang terjadi akibat kecelakaan yang menimpa dirinya dan keluarganya hingga menewaskan adik perempuannya yang masih berusia tiga belas tahun dan kedua orangtuanya.
Gama memakai pakaiannya, meskipun agak sulit namun ia sudah terbiasa dengan dirinya yang lumpuh itu sebab ia sadar tak ada yang mau merawat pria lumpuh seperti dirinya, kalau pun ada pasti mereka punya niat lain.
"Mark bagaimana? Sudah kau temukan?" Tanya Gama pada asistennya Mark yang menunggunya di dekat pintu keluar kamar itu.
"Sudah tuan, mereka sudah hidup bersama bahkan jauh sebelum bertunangan dengan tuan," jelas Mark.
"Sudah kuduga!" ujar Gama, ia mengeraskan rahangnya mengingat kejadian setahun lalu saat ia memergoki tunangannya tengah bercumbu dengan sekretarisnya di dalam ruang perawatannya setelah kecelakaan itu.
Gama melajukan kursi rodanya keluar dari kamar tepat setelah Mark membukakan pintu untuk tuannya itu.
"Aku akan pergi untuk sementara, Mark kutitip perusahaan padamu!" Ucapan Gama membuat Mark terkejut, bagaimana mungkin tuannya menitipkan perusahaan sebesar itu pada dirinya.
"Tu...tuan, perusahaan butuh tuan, Saya tak mungkin sanggup mengurus perusahaan ini!" tolak Mark.
"Tidak ada penolakan! Selama aku pergi jangan cari aku sebelum aku yang menghubungimu! Jika memang aku tak menghubungimu anggap saja aku sudah mati," ujar Gama lalu pergi keluar rumahnya dan masuk ke dalam mobil listrik yang biasa dipakai oleh penyandang disabilitas seperti dirinya.
"Tuan kumohon jangan pergi seperti ini," ucap Mark, namun tidak digubris oleh Gama. Sikap dingin, kasar dan datar tuannya itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya.
Mark masuk ke dalam rumah besar yang kini kosong dan sepi, ia melangkah menuju ruang kerjanya.
"Tuan bagaimana bisa aku membiarkanmu pergi? Aku akan mengawasimu tuan, aku akan membantu membalaskan dendam mu!" Ucap Mark sambil memandang foto keluarga yang dijadikannya wallpaper ponselnya.
Foto keluarga dimana ada dirinya yang dianggap seperti keluarga oleh mereka.
Sementara itu di pinggiran kota tampak seorang gadis sederhana dengan rambut biru tua panjang yang diikat tinggi ke atas, dengan kaos polos berwarna pink dan celana pendek berwarna hitam dengan girangnya berjalan menyusuri jembatan gantung yang menghubungkan rumahnya dengan kota.
Gadis yang biasa disapa Luna ini tengah membawa barang jualannya berupa aksesoris dan hiasan pajangan yang dibuatnya sendiri dari bahan-bahan alam dan barang bekas yang memiliki nilai seni tinggi bahkan banyak peminatnya.
Hanya rumahnya yang berada di seberang jembatan besi itu sebab tak ada warga desa yang mau tinggal di tempat menyeramkan yang dikelilingi oleh hutan itu.
Namun betapa beruntungnya gadis itu karena bisa tinggal gratis disana, pemilik rumah itu adalah sepasang kakek nenek yang tidak memiliki keturunan dan mereka sudah meninggal dua tahun yang lalu, sejak saat itulah Luna tinggal sendirian di rumah itu.
Kawasan kota yang sering ia kunjungi adalah kawasan pariwisata sehingga banyak orang asing dari mancanegara yang berkunjung ke tempat itu.
Luna sendiri mempunyai seorang sahabat yang saat ini sedang bekerja di sebuah panti jompo, terkadang sahabatnya itu berkunjung ke rumah Luna jika ada waktu libur dari panti.
Orang-orang di pasar sudah mengenali siapa Luna, seorang gadis yang tak tahu dari mana asal usulnya, ia ditemukan di jalanan oleh pasangan kakek nenek saat usianya tujuh tahun. Sejak saat itu hingga kini usianya menginjak dua puluh lima tahun gadis itu tinggal bersama kakek nenek itu.
Luna termasuk wanita incaran para pria, sudah banyak yang mengajaknya menikah namun semuanya ditolak dengan caranya sendiri.
"Eh sudah nyampe Eneng cantik?" Goda seorang pemuda yang biasa dipanggil Ferdi.
"Ya udahlah Fer, kalau belum aku gak bakal disini Ferdi genduttt," balas Luna sambil membentangkan kain hitam di atas meja yang biasa dia pakai untuk berjualan.
"Neng berani amat tinggal di gubuk itu sendirian? Gak takut hantu ya? Dengar-dengar ada banyak hantu di sekitar hutan itu!" Bisik Ferdi pada Luna yang tengah menyusun barang-barang jualannya.
Pletakkkk
Seseorang memukul kepala pria gendut itu dari belakang hingga membuatnya meringis kesakitan.
"Awhhh....sakit woy!" ucap Ferdi meringis kesakitan sambil menggosok kepalanya yang dipukul dengan benda keras oleh seseorang dari belakang.
"Andin!!" pekik Luna saat melihat sahabat baiknya berdiri di dekat lapak jualannya.
"Hay Luna, aku kangen banget!" Ucap Andin langsung menghamburkan pelukannya pada Luna sahabatnya.
"Aku juga kangen tau, kamu sibuk terus sampai gak punya waktu buat kunjungi aku, apa enaknya sih kerja di kota sampai lupa sahabat sendiri?" Gerutu Luna sbil memeluk sahabatnya itu.
"Maaf bebebku sayang, aku kerjanya emang lagi padat, sebisa mungkin aku bakal berkunjung kok," ucap Andin sambil menatap wajah sahabatnya yang sudah beberapa Minggu ini tak dilihatnya.
"Hmmm, tapi hari ini nginap kan?" tanya Lina melepas pelukannya.
"Maaf ya gak bisa Lun, aku cuma disuruh belanja, habis ini langsung balik deh ke panti," ujar Andin dengan wajah kecewa.
"Haissshhh....ya sudahlah gak apa-apa pokoknya kamu kerjanya yang benar ya, kalau ada apa-apa bilang sama aku siapa tahu aku bisa bantu!" Ucap Luna.
"Adik kecil kamu itu gimana kabarnya?" tanya Andin pada Luna.
"Ahh Yuna lagi pergi jualan bareng Bibi Inah dan Paman Budi, mungkin seminggu lagi baru pulang," ucap Luna.
"Ohh gitu ya," ucap Andin mengangguk paham dengan ucapan sahabatnya.
"Andin!" Panggil seseorang dari jauh.
"Eh aku udah dipanggil tuh, ya udah aku balik dulu ya Lun, bang Ferdi titip temen cantikku ini ya," ujar Andin berpamitan.
"Siap neng, akang Ferdi selalu siap sedia disini!" Seru Ferdi dengan tatapan genitnya.
"Jualan aja yang bener Fer, entar kuhancurkan semua barangmu tau rasa kamu!" ancam Luna dengan tatapan bermusuhan.
"ihk si Luna bar bar banget jadi perempuan, ya weslah lanjut jualannya, lihat tuh udah banyak turis yang datang!" Ujar Ferdi.
"Ayo bu kemari kemari aksesoris cantik buatan tangan asli dari alam silahkan dilihat-lihat, ini kak cantik loh apalagi kalau kakaknya yang pakai pasti cantik banget!" Ucap Luna mempromosikan barang dagangannya.
"Bang ini coba dulu pasti cocok buat Abang yang maskulin, keren loh!" Teriak Luna lagi.
Para pengunjung di pasar itu mulai berkerumun di sekitar lapak milik Luna, banyak yang berminat dengan semua aksesoris yang dijajakan oleh gadis cantik tapi bar bar itu.
Yang menarik tentu bukan hanya barang jualannya tapi penjualnya juga menarik hati semua pengunjung karena tingkahnya yang polos tapi sedikit bar bar.
Sementara itu di lapak lain, ada seorang gadis yang sangat tidak menyukai keberadaan Luna, sebab karena Luna barang dagangannya tidak laku sama sekali.
"Cindy lihat deh si Luna udah ngerebut konsumen kamu lagi, sok keganjenan banget sih tuh cewek, mana bang Andre bantuin lagi," ujar seorang gadis bernama Kiki sambil menunjuk Luna yang tengah kerepotan melayani pembeli, beruntung ada seorang pemuda tampan yang biasa datang membantu gadis itu.
"Lihat aja kamu ya Luna gak akan kubiarkan!" Kesal Cindy.
.
.
.
Thanks for reading
Gama melajukan mobilnya menuju sebuah kota pariwisata yang terkenal di negeri Indonesia, kota Bali dengan sejuta pesonanya.
Terdapat sebuah pemukiman khayalan di kota itu, gama mengendarai mobil matiknya, keterbatasan fisiknya tidak membuatnya menjadi pria lemah yang tidak bisa melakukan ini itu, hanya saja mentalnya kini sedang terpuruk akibat semua trauma dan kejadian pahit di masa lalu yang membuatnya menyerah dengan hidupnya.
"Arhkkk, Mommy, Daddy, Anna, Gama datang ke kota ini lagi, Gama rindu kalian, bukankah kalian berjanji akan pergi kesini lagi bersama denganku? tapi kenapa kalian meninggalkanku? arhhh, huhuhuhuhuhu," tangis Gama memandang kota itu, kota yang sangat disukai namun menyimpan banyak luka sebab disinilah keluarganya meninggalkannya untuk selamanya.
Gama melajukan mobilnya mencari alamat yang tertulis dalam sebuah pas photo, foto keluarganya saat mereka berlibur ke kota itu ketika Gama lulus kuliah enam tahun yang lalu. Tanpa berbekal GPS, Gama berusaha mencari dimana letak vila milik keluarganya itu.
Dengan putus asa ia menelusuri seluruh kota itu, namun nihil vila yang dimaksud tidak ditemukan, saat ia sampai ke alamat itu yang ada hanya sebuah rumah sederhana yang jauh dari pemukiman dan hanya ada satu akses jalan yaitu melalui sebuah jembatan besi yang cukup kokoh dan bisa dilalui oleh mobil, namun jembatannya cukup tinggi, di bawahnya ada sebuah sungai yang cukup lebar dan aliran airnya deras.
Gama melajukan mobilnya melewati jembatan besi itu, ia tidak takut jatuh sama sekali toh juga kalau ia mati semuanya akan berakhir dan ia bisa bertemu dengan orangtua dan adiknya itulah yang dipikirkan pria itu.
Gama berhenti di jembatan besi itu, ia menatap pemandangan indah yang disuguhkan oleh sang mentari, hari sudah sore dan matahari akan tenggelam.
Gama menikmati pemandangan indah itu seketika ia teringat dengan adik kecilnya yang sangat menyukai sunset air mata Gama kembali mengalir mengingat momen bersama adik kecilnya yang beranjak remaja itu, semua memori tentang adiknya kembali berputar di otak kecilnya.
"Anna, maafkan kakak nggak bisa jaga kamu, arghhh anna, hiks hiks," tangis Gama di dalam mobilnya sambil meremas foto keluarganya, air matanya membasahi pipinya, ia kembali teringat dengan mantan tunangan dan mantan sekretarisnya yang berlaku bejat di hadapannya yang kala itu sedang sakit.
"Arhkkk, aku tidak bisa hidup tanpa kalian Mom, Dad arhkkk, kenapa kalian tinggalkan aku sendirian di dunia yang jahat ini, Tiara dan Alex orang yang sangat kupercayai justru mengkhianatiku, jahat sekali arhhh," teriak gama disela-sela tangisannya.
Gama yang begitu terpuruk keluar dari mobilnya, ia menyeret tubuhnya lalu mengambil kursi rodanya yang diletakkan di samping tempat duduknya. Dengan menopang tubuhnya pada mobil ia berusaha menaiki kursi rodanya namun tiba-tiba ia terjatuh.
Brukk,
Gama terjatuh dari mobil sedangkan kursi rodanya malah menjauh dari jangkauannya karena sempat terdorong ke belakang.
"Sial, sialan arhhhkk kaki sialan hidup sialan!! lebih baik kau mati pria bodoh, arhhkkkk," teriak Gama sambil memukuli kakinya yang sudah mati rasa.
Gama menyeret tubuhnya mendekati pinggir jembatan, ia menatap jembatan itu ke bawah, airnya mengalir cukup deras dan sungainya lebar bahkan sedari tadi tidak ada orang yang melewati jembatan itu.
"Lebih baik kau mati Gama, arhhkkk," teriak Gama yang mulai menggeser tubuhnya kepinggir jembatan, dan kini kakinya sudah menggantung di pinggir jembatan itu.
Gama menangis, ia sangat terpuruk, ia menatap langit jingga yang sangat indah, sambil tersenyum ia berkata," Sampai jumpa lagi dunia yang fana, mungkin waktuku sampai disini saja, Mom, Dad, Anna aku datang,"
Gama bersiap untuk menjatuhkan tubuhnya, sambil menangis tersedu-sedu ia menggeser tubuh, ia menutup kedua matanya dan akhirnya ia melepaskan dirinya dari jembatan itu namun ia bingung kenapa tubuhnya tidak jatuh, apakah dia sudah berada di akhirat tapi tidak mungkin secepat itu.
Ia terkejut mendengar suara seorang gadis yang tampaknya lebih muda beberapa tahun darinya tengah menggerutu dan mengoceh tak jelas.
"Hey bodoh kau mau mati disini hah? kalau mau mati pilih tempat lain, sudah banyak arwah gentayangan disini aku tak ingin menambah stok arwah disekitar rumahku, dasar pria bodoh kemari kau!" omel seorang gadis berambut panjang yang tak lain adalah Luna yang baru selesai berjualan.
Luna memeluk tubuh pria malang itu lalu menariknya ke tengah jembatan wanti-wanti jika pria itu ingin terjun lagi.
"Kau pria bodoh ya, kau mau mati begitu saja hah? lalu kau meninggalkan semua barangmu itu disana? kau ingin warga menuduhku sudah membunuh seorang pria disini hah? dasar bodoh pria bodoh kau, kau sama saja dengan si Yuna haisshhh kenapa aku harus bertemu manusia seperti kalian, lemah tidak berpendirian," gerutu Luna yang sudah ngosngosan sebab ia tadi berlari sekuat tenaga saat melihat pria itu akan terjatuh.
Beberapa menit yang lalu Luna tengah berjalan dengan hati senang sambil menatap pemandangan indah di jembatan menuju rumahnya.
Hari ini cuacanya sangat bagus dan jualannya habis semua seperti biasa bahkan ia sudah mendapatkan banyak pesanan dari pelanggan setianya yang ingin dibuatkan berbagai macam souvenir sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang.
"Huahhhh hari ini indah sekali, jualanku juga habis semua bahkan banyak yang pesan lagi tadi, kalau begini terus aku bisa buka toko yang lebih besar di pasar dan Yuna nggak harus pergi ke luar kota lagi bersama Paman dan Bibi," ucap Luna sambil berjalan santai namun tiba-tiba matanya melihat sebuah mobil yang terparkir di pinggir jembatan besi itu serta sebuah kursi roda yang berada agak jauh dari mobil itu.
"Mobil siapa itu?" ucap Luna, matanya terbelalak melihat seorang pria yang kakinya sudah bergelantungan di atas jembatan, jika salah sedikit saja pria itu bisa jatuh ke bawah dan kehilangan nyawanya untuk selamanya.
"Hey bodoh ngapain kau disitu hah? mau cari tempat mati jangan disini kampret !" teriak Luna sambil berlari sekuat tenaga, benar saja pria itu hampir terjatuh dari jembatan yang tinggi itu, terlambat sedikit saja, pria itu hanya akan tinggal nama.
Luna memeluk tubuh pria itu dari belakang dan menariknya ke tengah. Wajah pria itu nampak terkejut saat melihat wajah Luna yang sangat kesal dan menatapnya dengan tatapan marah.
"Hei bodoh! mau apa kau disini hah? mau mati? cari tempat lain saja jika kau memang merasa hidupmu itu sudah tidak ada gunanya lagi !" ketus Luna.
"Kenapa kau menarikku tadi !" teriak Gama marah.
Luna membelalakkan matanya, ia sudah baik menolong pria itu malah ia dibentak seperti itu.
"Kau memang bodoh ya? kau tidak tahu kalau hidupmu itu masih berharga hah? dasar pria bodoh ! kemari kau!" teriak Luna kesal, ia bangkit berdiri menatap pria itu kesal.
"Itu milikmu kan?" ucap Luna sambil menunjuk kursi roda, namun tak ada jawaban dari pria itu, dengan sangat kesal Luna menarik kursi roda itu lalu memasukkannya ke dalam kursi penumpang.
"kemari kau pria bodoh ! apa kau bisu juga sehingga tidak mendengar ucapanku?" kesal Luna sambil menarik tubuh Gama lalu memasukkannya ke dalam mobil tepat di samping kursi pengemudi.
Gama tersentak kaget dengan gadis itu, ia bingung apa dengan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Gama di samping Luna.
"Aku menculikmu pria bodoh !" ketus Luna lalu menyalakan mesin mobil sambil membuka alat tambahan yang dipasang di mobil itu.
Luna melajukan mobil listrik itu menuju rumahnya di ujung jembatan itu. Gama tak bisa melakukan apa-apa, ia ingin bicara namun wajah menyeramkan dan marah Luna yang dihadapinya.
Sampai di rumah, Luna mengeluarkan kursi roda milik Gama lalu membantu pria itu naik ke kursi rodanya. Tak ada percakapan di antara mereka, Luna masih diam karena sangat kesal dengan pria yang menganggap hidup itu tidak berarti apa-apa.
Dengan lembut namun masih dengan wajah kesal Luna mengangkat tubuh Gama ke atas sofa yang ada di ruangan itu lalu menjauhkan segala benda tajam, bahkan kursi roda milik pria itu sengaja ia simpan jauh untuk mewanti-wanti jika pria itu nekat lagi melakukan bunuh diri.
.
.
like vote dan komen 😊
Dengan wajah kesal Luna mendudukkan pria itu di atas sofa rumahnya.
"Kau berat sekali, kebanyakan keluh kesah kali ya,"ledek Luna dengan wajah kesal.
"Apa maksudmu membawaku kesini?" ketus Gama, wajah Gama tampak acak-acakan, rambutnya panjang, kumis dan Jenggotnya juga sudah tumbuh lebat, tampak tidak terurus.
"epe meksedmu membawaku ke cini heh? nyenyenyenye..." ledek Luna sambil meniru ucapan Gama dengan wajah kesal dan bibir yang dimonyongkan.
"Cih gayamu banyak sekali, dasar pria bodoh! apa kau pikir aku akan membiarkanmu disana dan malah mati di tempat itu, hohoho tidak Bambang, kalau kau mau mati pergi jauh dari tempat damaiku ini!" kesal Luna.
Ia tak habis pikir dengan pria di depannya itu, namun ia juga kasihan sebenarnya melihat wajah sembab dan kondisi pria itu yang lumpuh dan tak bisa menggerakkan kakinya.
Bahkan saat ia mengangkat Gama tadi, dengan sengaja ia mencubit kaki pria itu dengan kuat namun tak direspon oleh Gama, hal ini justru membuktikan bahwa Gama memang lumpuh dan sedang terpuruk.
Gama hanya diam saja, wajahnya muram ia ingin marah pun tak bisa karena ucapan gadis itu benar adanya. Bagaiman mungkin ia membuat kacau kampung orang dengan berita kematiannya sungguh tidak etis bukan.
"Lihatlah pria bodoh ini, dia terdiam seperti anak kecil cih dasar, aku tidak tahu apa masalahmu sampai kau memilih mengakhiri hidupmu seperti itu, tapi satu yang perlu kau ketahui kau itu berharga, hidupmu itu berharga, umurmu masih muda, belum saatnya kau pergi meninggalkan dunia ini!" ucap Luna dengan pandangan mengejek ke arah Gama yang tengah menunduk.
"Siapa kau berani-beraninya menasehati ku hah?" balas Gama dengan wajah marah.
"Kau lihat sendiri kan bagaimana aku tidak berguna, lihat kakiku lumpuh, orang-orang yang memiliki tubuh sempurna seperti kalian tidak akan tahu betapa sakitnya mempunyai kaki yang lumpuh seperti ini!" teriak Gama sambil memukul-mukul kakinya.
"Semuanya memuakkan, aku lelah arghhh kalian tak akan mengerti," ucap Gama menuangkan semua perasaan yang disimpannya selama ini. Namun Luna tampak biasa-biasa saja bahkan tak ada mimik iba di wajah gadis itu.
"Bodoh!" ucap Luna.
Luna duduk di lantai tepat didepan Gama. Gama yang menangis menatap bingung ke arah gadis itu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Gama heran sambil mengusap air matanya yang mengalir.
"Lihat dan perhatikan ini pria bodoh!" ketus Luna sambil membuka kaos kaki panjang yang digunakannya. Luna mengeluarkan kakinya lalu
Klek
"Kau lihat ini pria bodoh?" ketus Luna sambil melemparkan sesuatu ke hadapan Gama yang membuat Gama sontak terkejut.
"Ka...kau!" ucap Gama terbelalak melihat kaki kiri gadis itu buntung, yang dipasang di kakinya adalah kaki palsu. Kaki kiri Luna putus dari bagian pergelangan kakinya sehingga menyebabkan gadis itu memakai kaki palsu.
"Apa yang mau kau katakan lagi hah? kau harus bersyukur kakimu masih lengkap, kau tidak lihat ini hah? buntung!" ucap Luna kesal lalu mengambil kembali kaki palsunya dan memasangnya di kakinya seperti semula.
Gama terdiam, ia tak bisa menjawab gadis bar bar itu lagi, baru kali ini ia mati kutu di hadapan seseorang, bahkan semua lawan bisnisnya tak bisa melawannya jika berdebat namun gadis ini dengan mudahnya membuatnya tak mampu membalas.
"Sekarang kau sudah tahu kan bahwa bukan hanya dirimu yang mengalami hal menyedihkan? bahkan banyak anak di luar sana yang tak bisa bergerak, berbicara pun susah, sedangkan dirimu? baru tidak bisa menggerakkan kaki saja kau sudah mau menyerah, dasar bodoh!" ketus Luna.
"Dengarkan aku, kau masih punya mulut dan otak untuk berpikir maka bersyukurlah dan jalani hidupmu dengan benar, cukup mengeluh dunia tidak akan berakhir hanya karena keluh kesah mu itu!" ucap Luna sambil berkancah pinggang di depan Gama.
Gama terdiam, benar apa yang diucapkan gadis itu seharusnya ia bersyukur masih mempunyai kesempatan untuk hidup dan membalaskan dendam orangtuanya, ia bahkan bisa mencaritahu siapa dalang penyebab kecelakaan keluarganya.
"Siapa namamu?" tanya Luna sambil duduk di depan televisi dan menyalakan benda itu.
"Gamaliel, namaku Gamaliel Park," ucap Gama memperkenalkan dirinya.
"Aku Luna Christina, panggil saja Luna," ucap Luna memperkenalkan dirinya.
"Baiklah, dan Maafkan aku sudah membentakmu tadi," ucap Gama dengan nada menyesal.
"Hmmm tak apa, dan maaf karena mengejek mu bodoh, aku terlalu emosi tadi," tukas Lina sambil memutar acara talk show yang sellau ditontonnya.
"Apa kau tinggal sendirian disini? dimana orangtuamu?" tanya Gama sambil menatap seluruh ruangan yang penuh dengan pernak-pernik cantik namun tersusun dengan rapi dan indah sehingga membuat mata nyaman di rumah sederhana berwarna putih bersih itu.
"Aku tak punya orangtua, dulu aku tinggal bersama sepasang kakek nenek, tetapi mereka sudah meninggal dunia dua tahun lalu, tapi aku punya seorang adik perempuan berusia 14 tahun, dia sedang ke luar kota," jelas Luna yang masih fokus dengan tontonannya.
"Lalu darimana kau belajar bawa mobil? kulihat skillmu cukup hebat sebagai seorang gadis yang tinggal jauh dari perkotaan seperti ini," tanya Gama penasaran.
"Ternyata kau banyak bicara ya baguslah setidaknya aku tidak merasa canggung, aku belajar bawa mobil dari turis yang sering berkunjung ke kota, terkadang aku menemani mereka sebagai guide tour dan mereka menawarkanku untuk belajar bawa mobil yah akhirnya aku bisa," jelas Luna.
Gama mengangguk paham.
"Kau darimana asalmu? kenapa kau malah nyasar ke tempat terpencil ini? apa tak ada tempat lain untuk mati?" ketus Luna tanpa menatap wajah Gama.
"Aku dari Jakarta, sebenarnya aku sedang mencari alamat hanya saja tak bisa kutemukan, bahkan aku sampai nyasar ke tempat ini, dan berakhir frustasi," ujar Gama dengan suara sedihnya.
"Ceritalah, apa masalahmu? tenang saja aku tak akan membeberkannya pada orang lain selama kau juga menjaga rahasiaku!" seru Luna sambil menunjuk kaki kirinya.
"Apa kau mau mendengar? aku belum pernah bercerita dengan orang lain," ujar Gama ragu.
"Ck...aku saja sudah membuka luka lamaku kenapa kau sekarang meragu bodoh! aku jadi tampak seperti seorang wanita penggoda, sial!" ketus Luna sambil mematikan televisinya lalu berbalik menatap Gama dengan wajah kesal.
"Baiklah maafkan aku Luna, sebenarnya aku dulu tidak lumpuh seperti ini, tetapi karena sebuah kecelakaan satu tahun lalu yang menewaskan kedua orangtuaku dan juga adikku akhirnya aku semakin drop dan dinyatakan lumpuh untuk sementara waktu," ujar Gama.
"Lalu apa yang membuatmu sampai ingin bunuh diri? jika kuamati pasti kau memiliki banyak orang disisimu, kekasih mungkin atau sahabat? apa mereka tidak mendampingi mu sampai kau memilih mengakhiri hidupmu?" tanya Luna to the point.
"Mereka semua mengkhianatiku, tunangan ku dan sahabatku bermain di belakangku, mereka menginginkan kematian ku karena aku tak mau memberikan apa yang diinginkan tunanganku, tepat dua hari sebelum pernikahan, kami sekeluarga mengalami kecelakaan dan ternyata mereka berdua sudah menantikan itu," ucap Gama.
"Setelah kuselidiki ternyata mereka memiliki hubungan dengan kecelakaan itu walaupun bukan murni perbuatan mereka," jelas Gama.
"Lalu kau dengan bodohnya ingin mengakhiri hidupmu sementara pembunuh keluargamu belum ditemukan? ck...ck...ck Gamaliel naif sekali dirimu!" ledek Luna.
"Kenapa kau selalu mengejekku," kesal Gama.
"Menyenangkan melihat wajah bodohmu itu kesal, lalu apa kata dokter tentang kakimu?" tanya Luna lagi.
"Hmmm, masih bisa disembuhkan selama melakukan terapi," ucap Gama.
"lalu apa rencanamu setelah ini? kau tidak mungkinkan tinggal disini terus?" ucap Luna.
"Apa aku diusir?" tanya Gama.
"Yah semacam itu, jika warga tahu aku membawa pria kesini maka habislah nasibku, mereka akan mengamuk, warga disini agak gila dan kolot," ucap Luna dengan suara pelan.
"Aku akan pulang ke Jakarta, tapi biarkan aku menginap disini malam ini, aku tak akan melakukan hal buruk padamu, kau tahu kondisiku kan?" ucap Gama sambil menunjuk kedua kakinya.
"Hmmm baiklah tapi hanya malam ini, dan ku harap saat kita bertemu suatu saat nanti kau masih hidup, sudahlah aku ke dapur dulu mau buat makanan, kau pasti lapar setelah menangis seperti anak kecil tadi," ledek Luna.
"Ck...aku bukan anak kecil Luna!" kesal Gama.
"Terserah padamu, aku akan buat nasi goreng kuharap kau suka, jika tak suka ya harus suka karena hanya itu yang ada aku belum belanja soalnya," ucap Luna sambil berjalan menuju dapur.
Gama menatap punggung Luna, sungguh hari ini ia beruntung bertemu gadis itu, jika tidak mungkin saja ia tinggal nama beberapa jam yang lalu. Gama tersenyum samar saat teringat dengan semua ocehan dan ledekan gadis itu, rasanya nyaman mendengar ocehan gadis itu.
.
.
.
Like vote dan komen 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!