Setelah semua perjalanan yang dilalui, dari godaan hidup hingga masa lalu. Kini, baik Audrey dan Ravin bisa hidup tenang dengan buah hati mereka, yaitu Lavina Aurora Mahavir(Nana).
-
-
-
Ravin tengah duduk di tepian ranjang seraya memangku tubuh mungil bayinya. Nana tidak mau berhenti menangis karena lapar, bayi mungil itu baru berumur empat hari saat dibawa pulang dari rumah sakit.
"Drey! Kok lama, kasihan Nana," ucap Ravin menimang bayinya turun dari ranjang
"Bentar Vin, ini nggak mau keluar!"
Ravin memicingkan mata, lantas menghampiri istrinya yang berdiri memunggungi dirinya. Ternyata Audrey sedang memompa Asi dengan alat khusus karena sejak melahirkan, asetnya belum bisa mengeluarkan setetes ASI sama sekali meski sudah dirangsang dengan tetap memberikan putiknya untuk disesap Nana.
"Eh ... ngapain lihat-lihat!" Audrey memicingkan mata seraya menutup asetnya, menyembunyikan dari mata suaminya.
"Dih ... lihat dikit doang, nyembunyiin-nya kayak gitu banget, emang aku orang lain!" protes Ravin tidak senang.
"Ya harus disembunyiin, kalau nggak nanti kamu kepengen, bahaya!" timpal Audrey yang memutar badan, kembali memunggungi suaminya.
Nana belum berhenti menangis, ia tampak begitu kelaparan. Sebelumnya Audrey sudah menyusui bayi itu, tapi karena tidak keluar Asi-nya, membuat bayi mungil itu menangis.
"Biasanya juga aku yang-." Ravin menghentikan ucapannya kemudian mengulum bibirnya.
Audrey memutar kepala, melirik suaminya yang mesum. Tak mau menggubris ucapan Ravin, Audrey kembali memompa putiknya, berharap agar ASI untuk Nana bisa keluar.
Ravin masih menimang Nana, wajah bayinya sudah memerah karena terus menangis.
"Drey! Masih lama apa? Kasihan Nana," ucap Ravin lagi menatap istrinya.
"Ntar, kok nggak keluar kenapa, ya?" Audrey bingung, padahal dokter bilang jika ASI akan automatis keluar sendiri kalau asetnya sering disesap oleh sang bayi.
"Aku bantu sini!" Ravin gemas sendiri karena putrinya tak kunjung berhenti menangis dan istrinya malah bingung.
"Bantu apa?" tanya Audrey masih tidak menoleh pada suaminya.
"Bantu nyedot!"
Audrey membeliakkan mata lebar, ia menutup asetnya lantas menatap suaminya yang terlihat menahan tawa.
"Cih ... dasar mesum! Kalau kamu yang sedot, yang ada ASI-nya lari ke kamu!" Audrey mencebik kesal.
Ravin tergelak, sungguh menyenangkan mengerjai istrinya yang sedang bingung.
"Drey, kenapa nggak dikasih susu formula?" tanya Ravin.
Audrey tercengang, ia baru sadar.
"Lah, ish ... kok nggak omong dari tadi sih!" gerutunya yang langsung menuju ke mini bar yang ada di kamar.
Ravin bingung sendiri sekarang, kenapa dia yang disalahkan.
Audrey membuatkan susu formula untuk Nana. Karena panik, membuat Audrey lupa jika dia sudah menyiapkan susu formula sebagai pilihan kedua untuk asupan gizi bayinya.
Setelah selesai, Audrey segera mengambil Nana dari gendongan suaminya, ia mendudukkan tubuhnya di tepian ranjang kemudian mulai memberikan susu formula dalam dot untuk putri mereka.
Ravin duduk di sebelah kanan Audrey, memperhatikan bayinya yang menyesap susu dari Dot-nya dengan begitu cepat, mungkin bayi mungil itu sangat lapar.
"Ya ampun, kasihannya kamu ya, Na! Gara-gara papahmu ini, nggak ngingetin mamah, jadi kelaparan deh kamu," celoteh Audrey yang membuat Ravin melotot.
"Lah, aku lagi yang salah," balas Ravin menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kamu tahu aku panik, tapi kamu malah diem. Pakai acara nggoda mau nyedot segala." Audrey tidak mau kalah dengan ucapan suaminya.
"'Kan aku menawarkan bantuan, Drey. Siapa tahu habis aku sesap terus bisa keluar, iya nggak!" goda Ravin seraya menarik turunkan kedua alisnya.
"Dih ... jangan ngimpi! Puasa dua tahun, jangan pernah coba-coba menjamah atau bermain sama aset gunung Sindoro dan Sumbing," tandas Audrey memberi peringatan level tertinggi.
Ravin gantian mencebik kesal, ia lantas mencolek pipi bayinya yang mulai berisi meski baru berumur beberapa hari.
"Serius itu dua tahun?" tanya Ravin memastikan.
Posisi wajahnya berada di hadapan wajah Audrey, begitu dekat hingga napas mereka terasa berembus di wajah.
"Iya," jawab Audrey singkat.
"Kalau lembahnya?" tanya Ravin lagi.
"Ya ampun, ini baru berapa hari kamu sudah membahas lembah!" Audrey melirik ke atas seraya menaikan dua sudut alisnya.
"Ya, memastikan aja gitu. Jangan sampai adik kecil dikarantina kelamaan," kelakar Ravin.
"Dih ... adik kecil dibawa-bawa. Lembahnya boleh dikunjungi kalau sudah masa nifas selesai, berarti sekitar empat puluh hari." Audrey menjelaskan.
"Berarti dikarantina empat puluh hari ini?"
"Vin! Dasar mecummmm!!!!"
Ravin tergelak, lantas ia mengecup sekilas bibir istrinya, baru kemudian mendaratkan kecupan di kening Nana yang sudah anteng karena kenyang.
Karena Nana sudah tidur dengan pulas, akhirnya Ravin dan Audrey bisa ikut beristirahat, waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Baru dua hari pulang dari rumah sakit, keduanya tampak repot mengurus si kecil Nana karena tidak ada orang tua yang membantu mereka.
Awalnya Audrey mau meminta Hana menginap, tapi mengingat jika suami mamahnya atau ayah tirinya juga tinggal sendiri, membuat istri Ravin tidak tega memintanya.
_
_
_
_
Nanti cerita ini akan lanjut ke cerita my Nananananana ya, tapi biar alami dan jelas, author kasih cerita dikit-dikit tentang Nana kecil hingga remaja dan dewasa, jadi sabar ya. terima kasih masih stay di karya aku🙏😗😗😗😗
Akhirnya setelah satu Minggu dan berkonsultasi dengan dokter, kini aset pribadi yang menjadi hak Nana bisa mengeluarkan ASI dengan lancar jaya bebas hambatan kaya jalan tol yang baru diresmikan.
Siang itu, Audrey sedang duduk di ruang keluarga seraya memangku Nana, karena dirinya masih ambil cuti, membuat Audrey ?bisa mengurus si kecil Nana.
"Mana Nana 'ku sayang!"
Suara lantang terdengar dari pintu utama, membuat Audrey yang baru saja menidurkan Nana di pangkuan terkejut, bayi itu juga terkejut.
Nana menangis, membuat Audrey harus berdiri dan menimangnya agar mau diam.
"OPS! Bunda terlalu keras, ya!"
Ternyata bunda Aashita yang datang, akhirnya wanita itu bisa kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan semua urusannya.
"Bunda," sapa Audreya dengan senyum bahagia, akhirnya wanita itu datang.
Aashita langsung mengambil Nana dari gendongan Audrey, menimangnya penuh kasih sayang dengan sesekali mengecupi pipi Nana yang berisi dan terlihat bulat menggemaskan.
"Ya ampun, bunda gemes sama dia," ucap Aashita menggesekkan hidung ke hidung Nana, membuat bayi mungil itu sedikit menggeliat.
Audrey tersenyum bahagia melihat jika putrinya banyak yang menyayangi, ia membiarkan Aashita menggendong Nana.
"Bunda, kenapa tidak menghubungi dulu, biar kami bisa jemput," kata Audrey menatap mertuanya yang sedang fokus dengan Nana.
Aashita menatap Audrey, kemudian terlihat mencebik kesal.
"Dasar punya anak kok durhaka, Bunda sudah omong Ravin dari dua hari yang lalu. Tapi ternyata tadi dia tidak menjemput di bandara, ck ...."
Audrey terkesiap, ia mengingat jika Ravin tidak pernah bilang jika Aashita akan pulang.
"Apa dia lupa?" Audrey bertanya-tanya dalam hati.
"Ya, sudahlah! Yang penting Bunda sudah di sini, dan mau bermain dengan Nana sepuasnya," ucap Aashita yang melupakan rasa kesalnya ketika melihat wajah lucu dan menggemaskan Nana.
Audrey tersenyum melihat mertuanya itu tidak marah, ternyata Nana bisa membuat Oma-nya tenang.
_
_
_
_
Ravin baru saja pulang, ia langsung masuk kamar dan tidak mendapati istri maupun bayinya di kamar.
"Drey!" panggil Ravin ketika mendengar suara gemericik air di kamar mandi.
"Iya Vin!" sahut Audrey.
Sedetik kemudian Audrey keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe.
"Baru pulang!" Audrey langsung menyambut suaminya dengan sebuah kecupan di bibir.
"Nana sama siapa?" tanya Ravin kemudian seraya membuka kancing kemejanya.
"Sama bunda," jawab Audrey dari dalam kamar ganti.
Mendengar kata 'bunda', membuat Ravin langsung membulatkan bola mata lebar.
"Astaga! Aku lupa kalau suruh jemput bunda." Ravin terlihat panik menoleh pada pintu kamar ganti.
Audrey keluar seraya mengancingkan piyamanya, lantas ia menghampiri suaminya yang panik.
"Iya, tadi bunda bilang katanya kamu nggak jemput," kata Audrey yang melihat ekspresi panik dan bingung suaminya.
"Bunda marah nggak?" tanyanya menyelidik.
"Tadinya marah, tapi habis lihat Nana, marahnya ilang," jelas Audrey kemudian.
Ravin menghela napas seraya mengusap dadanya. "Syukur, bisa pusing kalau bunda marah."
Audrey tertawa kecil melihat air muka suaminya, ia tahu jika Ravin sangat menurut pada Aashita. Bagi Ravin, Aashita adalah wanita yang akan selalu ia hormati dan takuti sampai kapanpun.
_
_
_
_
Saat makan malam, Aashita terus memicingkan mata pada Ravin, membuat pria itu salah tingkah.
Ravin sudah meminta maaf karena lupa, tapi sepertinya saat tidak ada Nana, Aashita kembali kesal dengan putranya itu.
"Bunda mau nikah lagi," ucap Aashita memecah keheningan.
Ravin yang sedang menyesap kuah sup langsung tersedak, Audrey tak kalah terkejut dan langsung menatap mertuanya itu.
"Ngapain Bunda? Bunda umur berapa mau nikah lagi?" Ravin melayangkan protes setelah mengelap permukaan bibirnya yang terkena cipratan kuah.
"Dih ... suka-suka Bundalah! Kamu aja nggak sayang Bunda, melupakan Bunda, ngapain nanya-nanya umur," cicit Aashita membuat Ravin serba salah.
"Memangnya Bunda mau nikah sama siapa?" tanya Audrey mencoba memahami perasaan dan keinginan wanita itu.
Aashita tidak langsung menjawab, ia melirik Ravin yang hanya diam.
"Nanti Bunda kenalkan," ucap wanita itu yang melanjutkan makannya.
Ravin melirik pada Audrey, jelas pria itu tidak mau punya ayah tiri.
_
_
_
_
Ravin terlihat mondar-mandir di kamar, membuat Audrey yang sedang menyusui Nana bingung sendiri.
"Vin! Kenapa sih?" tanya Audrey pada akhirnya.
"Masa kamu setuju kalau bunda mau nikah lagi?" Ravin menatap istrinya dengan raut wajah penuh kecemasan.
Audrey tersenyum tipis, ia lantas menaruh Nana yang sudah tidur di atas ranjang, ia kemudian berdiri lalu memeluk suaminya dari belakang, menyandarkan kepala di punggung prianya itu.
"Biarkan saja Vin," ucap Audrey yang membuat Ravin terkejut.
"Kok biarkan?" Ravin bertanya-tanya.
Audrey mengurai pelukannya, ia memutar badan hingga saling berhadapan dengan suaminya.
"Kamu nggak kasihan sama bunda? Dia udah hidup sendiri selama berapa tahun? Kalau dulu ada kamu yang bisa nemenin bunda ke mana-mana, tapi sekarang beda, kamu punya aku dan Nana, tentu saja membuat bunda kesepian karena dia ke sana-sini sendirian," ujar Audrey panjang lebar menjelaskan, jemarinya tampak mengusap lengan Ravin.
"Kalau bunda nikah, apa suaminya bisa membahagiakan dia? Bagaimana jika pria itu jahat dan cuman memanfaatkan bunda saja," timpal Ravin.
Dia hanya khawatir jika pria yang menikahi ibunya tidak mencintai Aashita sepenuh hati.
"Ya, kita lihat dulu. Kita nilai dan selidiki asal-usul dan sifat pria pilihan bunda, baru setelah itu kita putuskan setuju atau tidak."
Audrey memberi pengertian pada suaminya, ia hanya tidak ingin jika Ravin memutuskan secara sepihak tanpa mengerti perasaan ibunya.
"Kamu bijak banget," puji Ravin seraya menyematkan helaian rambut ke belakang telinga Audrey.
"Aku memang bijak," balas Audrey seraya melirik ke samping.
Ravin menangkup sisi wajah Audrey, mendaratkan bibirnya kemudian menyesap perlahan dan mengulum daging tak bertulang istrinya yang terlihat begitu menggoda.
"Duh ...." lirih Ravin setelah melepas tautan bibirnya.
"Kenapa?" tanya Audrey bingung melihat ekspresi Ravin yang tidak berani menatapnya.
"Adik kecil minta keluar dari karantina gara-gara cium kamu," ucap Ravin tanpa dosa seraya melirik istrinya.
"Hah!!" Audrey membulatkan bola mata lebar. "Vin! Jangan main-main, aku nggak ikut tanggung jawab. Siapa yang suruh cium segala!" protes Audrey seraya mundur dari tempat suaminya berdiri.
Ravin terkekeh geli melihat ekspresi wajah Audrey yang panik. Ia lantas menarik tangan istrinya yang sempat mundur menjauh darinya hingga kini berada di dekapan.
"Canda, Drey! Serius amat!" seloroh Ravin.
"Ck ... dasar ngeselin!" Audrey memukul dada bidang Ravin dengan mencebik kesal karena sering dikerjai.
Suaminya itu masih memeluk dengan tawa kecil, sedangkan Audrey tampak mempererat pelukannya seraya menghidu aroma maskulin dari tubuh Ravin.
_
_
_
_
Bantu Like komen ya, terima kasih🙏🤗
"Bunda mau cari suami apa anak?!!!!" Ravin menjerit dalam hati.
Seminggu setelah mengatakan jika dirinya menerima segala keputusan sang bunda. Akhirnya Aashita memperkenalkan pria yang ia maksud kepada putranya.
Audrey terlihat sesekali melirik suaminya, ia tahu jika si iblis tampannya itu marah, tapi ditahan karena Audrey sudah mengingatkan sebelumnya untuk tidak membuat masalah.
"Kenalin, Rav! Katanya pengen kenalan?" Aashita sudah duduk di sebelah pria yang dimaksud.
"Bun, bisa omong sebentar?" tanya Ravin pada Aashita.
Pria yang dimaksud Aashita, terlihat diam, anteng, tapi raut wajahnya begitu tegas dengan karisma yang kuat. Audrey saja mau mengajak bicara juga bingung.
Ravin mengajak Aashita ke kamar, wanita yang kini berumur lima puluh lebih itu pun tampak santai menanggapi putranya yang terlihat emosi.
Aashita duduk di tepian ranjang seraya menyilang 'kan kakinya, tangannya bersidekap menatap sang putra, menunggu apa yang ingin dibicarakan oleh Ravin.
"Mau omong apa?" tanya Aashita santai.
"Bun! Bunda ini mau nyari suami apa anak? Lihat dia, kenapa masih muda banget?" tanya juga protes Ravin pada Aashita.
"Dih ... suka-suka Bunda! Kamu aja sekarang sesuka hatimu, ya Bunda ikutan aja," timpal Aashita tak mau tahu tentang putranya yang tidak suka.
Ravin menghela napas, ia tahu jika dirinya sudah mengabaikan wanita yang melahirkannya itu. Selama ini dia tidak pernah menbantah, membentak atau marah pada Aashita, mengingat jika wanita itu sudah berkorban banyak dan merawatnya sepenuh hati dengan cinta dan kasih sayang tak terkira.
Ravin berjongkok di depan Aashita, menggenggam erat kedua telapak tangan yang tadinya bersidekap sekarang di atas lutut.
"Bunda boleh nikah, tapi ya yang seumuran sama Bunda. Aku nggak mau kalau Bunda cuman dimanfaatin. Setidaknya, carilah orang yang benar-benar bisa menyayangi Bunda dan tidak menuntut apapun dari Bunda," ujar Ravin panjang lebar. Ia lantas menjatuhkan kepala di pangkuan ibunya.
Aashita mengulum bibirnya dalam-dalam, melihat putranya sampai segitunya membuat Aashita ingin tertawa.
Di sisi lain, Audrey tampak canggung karena pria yang ada dihadapannya, sepertinya seumuran dengan sang suami. Lalu bagaimana bisa nantinya dia suruh memanggil dengan sebutan 'ayah'.
"Teh!" tawar Audrey memecah keheningan.
"Terima kasih," ucap pria itu tanpa senyum dan langsung menyeruput teh yang tersaji.
"Anda berasal dari mana?" tanya Audrey.
"Inggris," jawab pria itu singkat.
"Oh, Inggris. Jauh ya!" Audrey mencoba mengurai rasa canggung. "Siapa nama Anda, tadi Bunda lupa memperkenalkan?" tanya Audrey lagi.
"Emyr," jawab pria itu.
"Sesuai dengan asalnya," batin Audrey.
"Sepertinya Anda masih muda, ya! Seumuran dengan suamiku," ujar Audrey.
"Iya, umur saya dua puluh sembilan tahun," jawabnya yang kembali menyeruput tehnya.
"Kenapa Anda mau menikah dengan Bunda? Apa ada alasan khusus?" tanya Audrey blak-blakan, kalau tidak! Bukan Audrey namanya.
Mendengar kata 'menikah' membuat Emyr menyemburkan teh yang baru saja masuk ke rongga mulut, lantas menaruh cangkirnya dan mengambil selembar tissue untuk mengusap permukaan bibir.
"Siapa yang mau menikah?" tanya Emyr kebingungan.
"Lho, bukannya Bunda ngenalin Anda karena kalian mau menikah?" tanya Audrey balik yang sekarang bingung.
Emyr menahan tawa. Setelah duduk hampir satu jam, Audrey baru melihat pria itu mengeluarkan ekspresi selain wajah datarnya.
"Kalian di kerjai nyonya Aashita," ucap Emyr.
Audrey mengernyitkan dahi tidak mengerti, akhirnya Emyr mengatakan maksud kedatangannya di Indonesia. Pria single yang belum ada niat menikah itu, sebenarnya ingin mencari tahu tentang gadis yang disukai kembarannya. Namun, karena tidak mengenal siapapun di Indonesia, Emyr akhirnya meminta tolong Aashita untuk membantunya. Emyr sendiri mengenal Aashita sudah lebih dari dua tahun, itu berarti sebelum Aashita kembali ke Indonesia untuk bertemu Audrey. Mereka bertemu di Inggris, Aashita yang kena jambret, ditolong oleh Emyr dan mulai saat itu mereka akrab. Apalagi Aashita adalah wanita yang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Aashita menganggap Emyr seperti putranya mengingat jika umurnya dengan Ravin sama.
"Apa?" Audrey terkejut dengan mulut menganga, tak percaya jika mertuanya jahilnya melebihi sang suami.
"Astaga Bunda! Isengnya!" Audrey tergelak, sungguh tidak menyangka.
Di sisi lain, Ravin masih merayu-rayu Aashita agar mau membatalkan rencana nikah yang sebenarnya hanyalah keisengan wanita itu untuk mengerjai putranya agar merasa bersalah. Ia kesal karena Ravin melupakan dirinya, mentang-mentang sudah punya istri. Sebagai seorang ibu wajar jika cemburu, tapi masih di batas wajar, dan tidak sampai membabi buta tak jelas.
"Pokoknya Bunda mau nikah, titik tak pakai koma!" kekeh Aashita.
"Boleh Bun, Boleh. Tapi jangan sama dia, gantilah!" pinta Ravin memelas masih berlutut di depan Aashita.
Aashita menggelengkan kepala, ia tidak mau menuruti perkataan putranya, meski dalam hati ia ingin meledakkan tawa.
"Ganti siapa? Kalau bukan Shaheer Sheikh versi indianya atau Yang Yang versi cinanya, Bunda ogah!" tolak Aashita yang masih belum puas mengerjai.
"Ya ampun, Bun! Mana ada artis mau nikah sama Bunda! Bunda jangan aneh-aneh!" seru Ravin yang terlampau kesal dan takut.
"Ya sudah, terima Emyr. Toh dia tampan, heroik, muda lagi," ujar Aashita memuji-muji Emyr.
"BUNDA!!!!"
Ravin seperti anak kecil sekarang, dia menangis dengan kepala di pangkuan ibunya. Meski Ravin terkenal galak dan tegas, tapi jika bersama Aashita, ia akan berada di mode kalem dan manja.
"Apa sih, Rav! Kamu malu-maluin, masa iya udah punya anak satu malah nangis!" cibir Aashita masih mencoba menahan tawa.
"Biarin! Salah Bunda, pokoknya aku nggak mau punya ayah umurnya kayak aku," kekeh Ravin.
"Dah, ah! Bunda mau keluar, masa iya punya tamu kok ditinggal ngumpet!" cicit Aashita yang langsung berdiri dan keluar dari kamar.
Audrey yang melihat ekspresi mertuanya, sudah bisa menebak jika wanita itu berhasil mengerjai suaminya. Benar saja, Ravin keluar dengan wajah tertekuk, lantas mengekor pada ibunya.
Mereka duduk lagi di ruang tamu, Emyr menatap Aashita sudah bisa menebak juga. Ravin duduk di sebelah sang istri dengan wajah tertekuk.
"Tuh, Myr! Putraku nanya, kamu mau jadi suami apa anakku?" tanya Aashita pada Emyr.
"Anak saja, Nyonya Aashita," jawab Emyr.
Tentu saja jawaban Emyr membuat Ravin langsung melotot. Audrey membungkam mulutnya agar tawanya tidak meledak melihat ekspresi suaminya. Aashita tergelak keras karena sudah berhasil mengerjai putranya. Emyr yang memang memiliki wajah yang tegas dan dingin hanya tersenyum tipis.
"Bunda!!!!" seru Ravin yang sadar jika dikerjai.
_
_
_
_
Yang penasaran siapa itu Emyr? si seksi yang heroik, bisa baca cerita othor yang I Love My Uncle, dia figuran di sana. meski ga full, tapi ada bab di mana menceritakan tentang dirinya dan kembarannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!