Berlian Sighania, seorang gadis cupu berusia dua puluh satu tahun. Berdarah campuran Indonesia-India, sehingga membuatnya terlahir dengan paras yang cantik jelita. Berlian juga memiliki kulit putih bening, sebening namanya. Mata tajam dan hidung bangir juga merupakan anugrah terindah yang Tuhan titipkan untuk menyempurnakan perawakannya.
Ayahnya seorang Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit asli Kalimantan Barat. Namanya Pak Khatulistiwa, panggil saja Pak Iwa. Sementara Ibunya juga berkiprah dalam bidang bisnis, beliau berprofesi sebagai Pengusaha Perkebunan Karet. Namanya Ibu Manila Sighania, panggil saja Ibu Nila. Seorang wanita keturunan asli Hindustan yang sudah lama menjadi warga tetap Negara Indonesia.
Sebagai pelaku bisnis yang sangat sukses, tentu saja Pak Iwa menginginkan putrinya agar menjadi penerus tunggal usaha keluarga. Namun tidak untuk Berlian.
Gadis itu mempunyai mimpi kecil yang bertolak belakang dari apa yang diinginkan oleh Ayahnya.
Sebagai lulusan Sarjana Sastra Bahasa Indonesia, Berlian ingin sekali mewujudkan impiannya menjadi seorang penulis profesional dan populer di masa yang akan datang. Bukan hanya karena menyandang gelar dari pendidikan terakhirnya, melainkan karena hal itu sudah menjadi cita-citanya sejak kecil.
Sedari kecil, Berlian memang sudah dikenal dengan julukan 'kutu buku' di kalangan teman-temannya. Dan julukan tersebut terus naik level hingga ia menyongsong pendidikan di Perguruan Tinggi. Saking tergila-gilanya dengan buku, sampai-sampai ia tidak bisa mengukir jarak sedikitpun dari benda pipih yang dikenal dengan julukan jendela dunia itu.
Namun, Ayahnya sangat tidak setuju dengan cita-citanya tersebut. Menurut Pak Iwa, menulis bukanlah profesi yang menghasilkan. Masih banyak profesi lain yang bisa digandrungi oleh Berlian, sehingga bisa menghasilkan nominal yang sangat fantastis.
Diktator sekali!
Tetapi sejauh ini Berlian tidak pernah melawan. Menurutnya, percuma saja banyak bicara, karena Ayahnya tetap saja tidak mau mengalah. Sehingga hubungan yang terjalin di antara mereka sangatlah renggang. Bahkan tergolong tidak sehat untuk ukuran ayah dan anak.
Berbeda dengan Sang Ibu. Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun itu, tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada Sang Putri. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa membantah titah suaminya yang selalu saja mengedepankan emosi dalam setiap pembicaraan.
Hal itu juga yang mengubah Berlian menjadi pribadi yang introvert. Jika sedang berada di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya sendirian di dalam kamar. Ya ... sekedar hanya menonton film favoritnya atau ... menulis.
Nah, berbicara soal introvert. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan introvert? Apakah seorang introvert sama dengan seorang yang pemalu?
Dikutif dari very well mind, introvert merupakan seseorang yang memiliki kepribadian introvertion. Mereka biasanya dikenal sebagai pribadi yang lebih fokus pada pikiran, perasaan, dan suasana hati dalam dirinya sendiri.
Orang sering menyalah artikan bahwa para introvert itu tidak suka bergaul, sehingga tidak memiliki teman dekat. Tentu saja anggapan itu tidak benar, karena saat memiliki kepribadian introvertion, seseorang tetap saja berinteraksi dengan orang lain, namun dengan batas yang menurutnya nyaman untuk di jalani. Sehingga seseorang dengan kepribadian ini cenderung memiliki sedikit teman, namun pertemanan yang berkualitas.
Pemaparan singkat ini khusus sebagai selingan untuk meluruskan pemahaman yang salah tentang kata introvert, karena banyak orang yang beranggapan bahwa seorang introvert sama dengan pemalu. Padahal hal itu sangatlah berbeda.
Lanjut!
Kembali ke Berlian!
Berhubung Berlian termasuk tipe gadis yang tertutup dan tidak mudah didekati, itu sebabnya ia tidak mempunyai banyak teman. Namun bukan berarti ia tidak memilikinya.
Ada satu sosok yang merupakan sahabat tempel Berlian. Selalu bersama di kala susah maupun senang. Perangai baik dan sifat S.K.S.D gadis itu, menjadi zona nyaman bagi Berlian untuk tetap bersamanya.
Siapa lagi kalau bukan ... Gempita.
Sesuai dengan namanya, gadis ini selalu tampak ceria. Tetapi ada hal yang kadang membuat Berlian merasa sedikit geli dengan sifat centil dan sok cantiknya.
BRAAAK
Berlian tersentak, lalu mendongakkan wajahnya malas. Akibat kelelahan menulis, membuatnya terlelap berpangku dagu di atas meja sebuah kafe. Ia mengucek kedua mata di balik gagang kacamatanya, lalu terdiam sesaat.
Siapakah yang menjadi sumber dari keributan di meja tempatnya bersantai ria?
Sungguh menyebalkan!
Bersama sebuah lappy kesayangannya, gadis cupu itu baru saja selesai menulis naskah novel terbaru miliknya.
(Lappy adalah plesetan bahasa dari laptop)
"Pelan-pelan dong, Gem," kesal Berlian dengan suara khas orang bangun tidur, ketika Gempita muncul tiba-tiba dan meletakkan ransel kecilnya dengan kasar.
"Maaf, Er. Habisnya inyong buru-buru banget tadi. Huuuh..."
(Er adalah panggilan sayang Gempita untuk Berlian. Er disadur dari kata Erli (B-ERLI-AN).
Gempita berkata dengan nafas yang tersengal-sengal dan logat medok-nya yang mendarah daging. Tanpa peduli, ia menenggak minuman yang duduk anteng di atas meja hingga tandas.
"Eh, itu minumanku, Gem." Berlian bersungut kesal menepuk sekilas bahu Gempita. Gadis itu terkekeh dengan wajah cengengesan tanpa merasa berdosa.
"Abisnya inyong haus banget, Er."
"Emangnya kamu abis ngapain sih?"
"Inyong dikejar-kejar anjing. Duh, hampir copot nih jantung inyong."
Gempita memang seperti itu. Logat medok khas Ngapak-nya selalu saja tidak bisa dikondisikan. Namun hal itulah yang terkadang menjadi hiburan tambahan bagi Berlian.
"Ya udah, aku duluan ya, Gem." Berlian melipat lappy-nya, menyampirkan tas selempangnya pada pundak, dan berlalu dari sana.
"Inyong baru dateng ini. Eh, kamu malah pergi, kepriben sih, Er?" teriak Gempita seraya bersungut kesal.
"Pulang," tutur Berlian sedikit berteriak tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Apa yang kamu harapkan dari menulis, hah? Berapa emangnya penghasilanmu dari pekerjaan unfaedah itu?" Suara Bariton Pak Iwa menggema seantero meja makan.
Sudah bukan hal yang baru lagi. Ayah Berlian selalu saja meremehkan profesi gadis cupu itu.
Menulis Fiksi!
Itulah hobi sekaligus profesi seorang Berlian Sighania.
Mungkin bagi sebagian orang, menulis fiksi bukanlah sebuah pekerjaan yang berkelas. Namun bagi Berlian, menulis merupakan investasi masa depan.
Menulis bisa membuatnya berbagi pengalaman, menuangkan semua ide dalam sebuah wadah yang tepat, serta menyampaikan pesan moral melalui bait demi bait kalimat dengan versi bahasa yang enak dibaca. Bukankah hal itu merupakan sebuah budaya yang sangat romantis?
Tentu saja, menulis juga termasuk dalam salah satu jenis budaya, yaitu budaya berbagi. Berbagi pengalaman dan ide cemerlang tanpa harus merasa paling pintar.
Baiklah, cukup!
Kembali ke meja makan!
Seperti biasa, Berlian tidak pernah merespon. Ia segera menyudahi ritual pengisian energinya, lalu bangkit dari peraduan.
Ketika gadis itu hendak berlalu dari sana, suara Pak Iwa terdengar semakin menggelegar.
BRAAAK
"Papah belum selesai bicara, Berlian. Lancang sekali kamu!" Pak Iwa menggebrak meja makan itu sekuat tenaga.
"Pah..." Ibu Nila menyentuh pergelangan tangan suaminya, berusaha menenangkan.
Mendengar hal itu, Berlian sontak memutar tubuhnya setengah rotasi dan berkata, "Papah tidak akan pernah mengerti Aku."
Kalimat Berlian membuat Pak Iwa tercekat. Tidak bisa berkata-kata lagi.
Selama ini, pria yang berusia hampir setengah abad itu, memang hanya mengagung-agungkan kehendaknya, tanpa memahami keinginan Sang Putri. Ia terus saja mendoktrin Berlian agar mau menapaki jalan yang sama persis dengan jejaknya. Padahal Berlian sama sekali tidak menyukai profesi tersebut.
Gadis cupu itu merasa sangat terpukul. Ia juga merasa muak, karena Sang Ayah selalu saja melecehkan profesinya saat ini.
Berlian menyeka sekilas sudut matanya, lalu bergegas menuju kamar. Dalam kondisi seperti ini, menyendiri adalah cara terbaik baginya untuk menetralkan emosi.
JEDDAAAR
Tanpa peduli, Berlian membanting pintu kamarnya sekuat tenaga. Berusaha menghempaskan kekecewaannya bersamaan dengan kibasan daun pintu.
Ia duduk di atas kursi belajarnya dengan berbantal lengan dan menangis sejadi-jadinya.
"Kenapa semuanya harus diukur dengan nominal? Hiks... Hiks..." Sekujur tubuh Berlian nampak bergetar hebat. Kesabarannya kali ini tidak bisa lagi diajak berkompromi.
Sikap Sang Ayah yang selalu saja menganggap remeh profesinya, sungguh tak bisa lagi ia maklumi.
"Kapan Papah bisa memahami keinginanku?" Mendongakkan wajahnya frustasi. "Apakah profesi yang menjanjikan itu hanya menjadi seorang pelaku bisnis? Tidak 'kan? Hiks... Hiks..." Berlian terus meluapkan perasaannya yang berkecamuk. Hingga tidak terasa, ia terlelap karena kelelahan menangis.
...💎💎💎...
"Halloowww ...." Terdengar suara bergema di telinga Berlian. Ia terperanjat, merasakan sebuah energi negatif mendekatinya.
"Siapa? Siapa itu?" Pandangan Berlian menyapu seluruh ruangan. Ekor matanya terlihat ke sana ke mari, berusaha menemukan sumber suara.
"Aku di belakangmu, hihihihihihihi ...."
Lagi, suara seorang wanita yang sedang tertawa agak fals tertangkap oleh indera pendengaran Berlian. Ia bergidik ngeri sembari memeluk tubuhnya sendiri. Memutar rotasi kepalanya seratus delapan puluh derajat, memastikan keberadaan sosok tersebut. Namun nihil, tidak ada siapa-siapa.
Apakah ... yang tadi itu kuntilanak?
Sekelebat bayangan putih tertangkap ekor mata Berlian. Ia memutar kembali wajahnya ke depan lalu mundur beberapa langkah, sehingga membuat tubuh jenjangnya menempel sempurna pada tembok.
"Bagaimana aku bisa berada di sini?" Kembali menelisik seluruh sudut ruangan. "Dimana aku sekarang? Papah ... Mamah ...," teriaknya sekuat mungkin.
Namun percuma saja. Teriakannya tidak akan bisa didengar oleh siapapun.
"Pah ... Mah ... tolong aku ... huhuhu ...," lirih Berlian, lalu melorotkan tubuhnya ke lantai sambil menangis tersedu.
"Jangan menangis, Nona Manis. Ngehehehe ...." Suara itu sukses membuat Berlian mendongakkan wajahnya. Terdengar sangat dekat dengan telinganya. Apalagi hembusan angin yang menerpanya sekilas, berhasil membuat sebagian rambutnya menari-nari.
Namun anehnya, tidak ada satu sosok pun yang bisa tertangkap manik matanya.
"Siapa kalian? Jangan ganggu aku ...!" Teriak Berlian sembari menutup kedua telinganya rapat-rapat.
"Hihihihihi ...."
"Ngahahaha ...."
"Kikikikikikikik ...."
...💎💎💎...
"Mamah ...." Berlian berteriak seraya terlonjak dari posisinya.
"Ya, Tuhan ...."
Gadis cantik berkaca mata itu, menyeka keringat yang membanjiri pelipisnya dengan punggung tangan.
"Mimpi itu lagi? Heh ...." Berlian menghela nafas berat. Ia merasa sangat lelah. Kali ini, bunga tidurnya terasa begitu nyata.
Ini untuk ketiga kalinya, Berlian dihantui oleh mimpi yang sama.
Aneh sekali!
Kenapa bisa demikian?
Sejak mengunduh salah satu aplikasi menulis dan membaca online yang baru-baru ini ia kenal, Berlian selalu saja mengalami kejadian menakutkan. Mimpi itu, misalnya. Aneh bukan? Tetapi ... itulah kenyataannya.
CEKLEK (Daun pintu tersibak)
"Ada apa, Sayang? Kamu mimpi lagi?"
1
2
3
"Aaaaaaaa ...."
Berlian menjerit ketakutan melihat sosok berbaju putih yang tiba-tiba memasuki kamarnya. Namun pada saat yang bersamaan sosok itu juga berteriak ketakutan.
"Aaaaaaaa ...."
Karena mengenali suara itu, Berlian menghentikan teriakannya.
"Mamah ... bikin kaget aja." Berlian baru menyadari bahwa sosok putih yang sempat ia pikir sebagai penampakan makhluk ghaib, ternyata ... Ibunya sendiri.
Bagaimana tidak? Ibu Nila yang sedang menggunakan gaun panjang berwarna putih, berlumurkan masker wajah yang berwarna senada dengan pakaiannya. Rambut panjangnya dibiarkan bergerai begitu saja, menutupi sebagian wajahnya. Untuk ukuran orang yang baru saja terbangun dari mimpi horor, tentu saja itu sangat mengejutkan.
Ibu Nila mendekati Berlian, lalu memeluk putri semata wayangnya, yang masih memegang dada karena terkejut hebat.
"Kamu mimpi itu lagi?" Tanyanya sembari merangkum wajah Sang Putri dengan kedua tangannya.
"Iya, Mah. Mimpi yang sama." Berlian tersenyum manja. Menampakkan wajah imutnya yang semakin terlihat menyejukkan.
Walaupun ber-label gadis cupu, namun sebenarnya paras Berlian sangatlah cocok menggandrungi predikat cantik. Hanya saja, ia lebih nyaman dengan penampilannya saat ini. Semua itu juga membuatnya lebih aman dari godaan para lelaki hidung zebra. Eh, maksudnya ... hidung belang.
"Ya sudah. Kamu tidur di kasur ya, Jangan tidur di meja gitu. Ntar mimpi aneh lagi loh." Ibu Nila mengelus lembut pipi Berlian. "Kamu habis nangis ya, Sayang?" Lanjutnya sembari mengernyitkan dahi. Menatap kedua manik mata putrinya lekat-lekat.
"Enggak kok, Mah. Tadi aku habis nulis, makanya mataku sembab," tepis Berlian menutupi sisi rapuhnya.
"Kamu gak bisa bohongin Mamah, Sayang," tutur Ibu Nila, menelisik kedua manik coklat keemasan milik Sang Putri.
"A--aku gak bohong, Mah." Lagi-lagi Berlian tertunduk menutupi perasaannya.
"Baiklah, kalo begitu. Mamah tinggal, ya. Tidur nyenyak, Sayang." Mengecup pucuk kepala putrinya, lalu melenggang keluar dan menghilang di telan daun pintu.
"Huuh..." Berlian menghela nafas berat, melepaskan kacamatanya, lalu beranjak dari kursi.
Namun ketika ingin berbalik arah, pandangannya tertuju pada sebuah monitor yang menyala di atas meja.
Pada monitor benda pipih yang berukuran dua belas inci tersebut, tampak sebuah aplikasi berwarna dasar biru langit, dengan icon senyuman berwarna putih di bawah namanya. Aplikasi itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya tanpa Berlian sentuh.
Aplikasi apakah itu?
Mengapa terlihat menyeramkan sekali?
Ya, benar. Aplikasi N.O.V.E.L.T.O.O.N. Sebuah aplikasi menulis dan membaca online yang akhir-akhir ini menjadi sangat populer bagi para pecinta halu.
Tiba-tiba saja bulu kuduk Berlian meremang ria. Suhu tubuhnya terasa panas dingin karena kedua netranya menangkap beberapa makhluk aneh yang menyembul keluar dari dalam aplikasi tersebut.
Berlian bergidik ngeri. Ia bergegas menuju tempat tidur dan membungkus tubuhnya ke dalam buntalan selimut.
"Hihihihihi ...." Suara itu terdengar sangat nyata di telinga Berlian. Ia semakin mengetatkan selimutnya agar tidak terbuka.
Makhluk apakah mereka?
Apakah bunga tidurnya berubah menjadi nyata?
"Ah, dasar Kunti Tangsel. Niat banget sih lu jadi jurik." Tutur salah satu dari makhluk itu.
"Lah, peran kita emang jadi jurik kok di mari, ngahahaha ...." Sahut makhluk aneh lainnya.
"Buruan kamvreeet, gue mau rekaman nih." Sela makhluk aneh lainnya dengan wajah dingin.
"Rekaman mulu' lu, Yang ...." Makhluk aneh lainnya menimpali.
"Pan gua udah dapat misi baru, nupel sendiri lagi ...." Makhluk aneh itu menegaskan.
"Lagi ghibahin apa sih, apa sih? Roti sobek bukan?" Makhluk aneh yang terlihat paling centil menginterupsi percakapan para seniornya.
"Roti sobek? Mana roti sobek?" Sambar makhluk aneh lain yang perawakannya tampak paling subur. Sepertinya pikiran makhluk itu hanya berisi tentang makanan saja.
"Cukup woi, buruan! Gua mau narik nih." Keluar sosok terakhir berambut panjang dari sela-sela makhluk itu.
"Udah kelar manggul, Kang?" Tanya mereka serentak.
"Udah, makanya sekarang gua mau narik," tutur makhluk terakhir dengan wajah santai.
"Narik apaan sih? Sok sibuk banget lu," tanya makhluk aneh yang wajahnya mirip seperti kentang. Tampak sangat bulat ... tetapi lonjong. Tampak lonjong ... tetapi tidak panjang.
Ahhh, gaje!
"Narik pacar dong ...." Jawab makhluk aneh terakhir sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
"Cie, cie ...," sorak makhluk-makhluk aneh itu bersamaan. Suara mereka terdengar membahana seantero kamar. Namun anehnya, hanya Berlian saja yang bisa mendengarnya.
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Berlian hanya terdiam sembari menghitung jumlah makhluk aneh itu berdasarkan warna suaranya. Alih-alih merasa takut, gadis cupu itu malah tertawa kecil akibat menyimak percakapan kocak mereka. Namun ia masih belum berani keluar dari dalam selimutnya.
...Satu...
...Dua...
...Tiga...
...Empat...
...Lima...
...Enam...
...Tujuh...
Berlian hanya terdiam sembari menghitung jumlah makhluk aneh itu berdasarkan warna suaranya. Alih-alih merasa takut, gadis cupu itu malah tertawa kecil akibat menyimak percakapan kocak mereka. Namun ia masih belum berani keluar dari dalam selimutnya.
Beberapa saat kemudian, Berlian kembali bergidik ngeri ketika ia menyadari bahwa suasana di dalam kamarnya mendadak senyap.
Kemana perginya makhluk-makhluk itu?
Berlian bertanya-tanya di dalam benaknya. Bengan sisa keberanian yang hanya sepuluh persen, ia mengintip sedikit dari lubang kecil yang ia ciptakan sendiri pada sisi kiri selimut.
Tet ... Tot ....
Anda belum beruntung!
Kosong melompong. Tidak ada sebiji makhluk pun yang tampak eksis di sana.
Dengan gerak lamban Berlian menyingkap selimutnya. Namun sayang, dalam hitungan sepersekian detik, makhluk-makhluk itu melesat bersamaan mengitari Berlian dengan ekspresi wajah kamvret mereka, yang tentu saja sangat mengerikan bagi Berlian.
Gadis itu mematung dengan mulut ternganga seperti yang tertera pada cover novel ini. Tidak ada tanda-tanda sedikitpun yang menunjukkan bahwa ia sedang terkejut.
Mungkinkah ia sedang terpesona?
Tidak mungkin, karena beberapa detik kemudian ... teriakannya terdengar membahana.
"Hantu Ceboool ...," pekik Berlian sembari berlari menuju kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat. Tubuhnya tampak bergetar hebat karena merasakan bulu kuduknya yang menari-nari ke sana ke mari.
"Apa katanya tadi? Kita 'Hantu Cebol'?" Koreksi salah satu makhluk aneh yang perawakannya paling subur.
"Elah ... bentuk lu makmur dan semampai begitu, pake kaga terima lagi dijulukin Cebol, ngaca woi, ngahahaha ...," ejek makhluk aneh lainnya yang terlihat paling kamvret.
"Apa sih lu, Rambut Jagung?" Cebik makhluk aneh yang tampak paling subur tadi.
Seketika itu juga semua pandangan tertuju pada makhluk aneh yang biasa dijuluki 'Rambut Jagung' itu.
"Sesama Cebol gak boleh saling hujat tau, dasar Cebol," kelakar makhluk aneh lainnya secara bersamaan.
"Udah, udah. Misi kita belum kelar nih," seru salah satu makhluk aneh yang aura negatifnya paling kuat. Makhluk yang satu ini memang paling disegani oleh makhluk-makhluk yang lainnya.
"Emangnya misi kita apaan sih? Aku udah gak sabar nih mau ngomik cabul," tutur makhluk aneh yang paling pendek.
"Dasar Hantu *****, roti sobek ... aja yang ada di pikiran lu. Ntar kalo muntah roti sobek baru tau rasa lu," sinis makhluk aneh lain yang bentuk wajahnya seperti kentang.
"Yak yok, gue ikutan ngomik juga kalo gitu," timpal makhluk aneh yang paling subur.
"Bisa fokus gak lu pada? Kita ke sini bukan mau bacotin hal yang gak penting tau. Buang-buang waktu aja, ngarti?"
Kedua makhluk aneh penggemar roti sobek itu nampak merunduk sembari menggerutu tidak jelas, ketika makhluk aneh berambut panjang itu menginterupsi percakapan mereka.
"Ok, yok balik ke misi awal kita," seru makhluk aneh lainnya yang terlihat memakai mahkota di pucuk kepalanya.
Lalu makhluk aneh berambut panjang itu melayang ke arah kamar mandi dan diekori oleh makhluk-makhluk yang lainnya. Mereka semua berjejer di depan pintu kamar mandi, sembari menunggu Berlian meredam rasa takutnya.
Beberapa Menit Kemudian
Berlian menyembulkan kepalanya sebagian, mengekori setiap sudut ruangan. Sayangnya gadis itu tidak memakai kacamata, sehingga ia tidak menyadari bahwa makhluk-makhluk yang tidak ada bagus-bagusnya itu sedang berterbangan hilir mudik di langit-langit kamarnya.
Nah, sebenarnya ada satu lagi makhluk aneh yang gak ada bagusnya sama sekali. Bahkan melebihi makhluk aneh yang saat ini hobi sekali menghantui Berlian.
Siapakah dia?
Yaelah, pake noleh kanan-kiri lagi.
Itu Kamu woi...! Iya Kamu ....
Kamu yang suka bilang 'like' tapi sebenarnya gak baca sama sekali ...!
GUBRAAAK
Lanjut!
Dengan gerakan ragu, ia keluar dari kamar mandi, lalu berlari pontang-panting keluar kamar.
...💎💎💎...
"Kamu kenapa sih, Er? Inyong perhatiin akhir-akhir ini kamu sering banget ngelamun," tanya Gempita sembari mengoleskan Lip Tint pada sepasang bibir tebalnya. Sementara tangan yang satu lagi memegang erat cermin bulat setara dengan wajahnya yang berbentuk sama bulatnya.
"Entahlah, Gem. Akhir-akhir ini aku sering mengalami kejadian aneh," tutur Berlian yang masih memeluk novel kesayangannya, berbaring lurus di atas sofa yang terletak di sudut kamar sahabatnya itu.
Mendengar hal itu, Gempita yang tadinya sedang duduk di atas tempat tidur, tiba-tiba melompat dan melesat mendekati Berlian.
"Aneh kepriben sih, Er? Hati kamu jedak-jeduk gitu gak? Cogan mana yang bikin kamu kesemsem, hah?" Cerocos Gadis Ngapak itu seperti kereta api.
"Hem ...." Berlian mendesah pelan seraya memutar kedua bola matanya malas. Pembicaraan seperti ini sudah sering terjadi di antara mereka.
Karakter centil Gempita membuat ia tidak bisa berhenti membicarakan pria-pria tampan yang sebenarnya tidak penting sama sekali bagi Berlian.
Bukan berarti Berlian tidak tertarik kepada lawan jenis. Hanya saja, menghabiskan waktu dengan membicarakan tentang pria-pria yang berkeliaran di luaran sana, sungguh terasa begitu membosankan baginya.
"Kamu tuh ya, pikirannya cowok aja. Aku tuh serius tau, Gem." Berlian berdecak kesal.
"Hehehe, iya, iya, maaf. Yo wis, cerita, cerita. Iyong udah gak sabar nih pingin dengerin." Duduk lesehan di lantai marmer, bertopang dagu di tepian sofa, dan menatap lurus ke arah Berlian.
"Ngomong-ngomong aplikasi N.O.V.E.L.T.O.O.N di lappy-mu, gimana kabarnya?" Berlian memulai misinya.
"Kenapa kamu jadi nanyain kabar N.O.V.E.L.T.O.O.N punya inyong sih? Emangnya aplikasi N.OV.E.L.T.O.O.N punya kamu pernah masuk rumah sakit?" Kelakar Gempita sembari menaikkan sebelah alisnya. Sebenarnya ia sedang menahan tawa, namun karena melihat ekspresi serius dari wajah Berlian, ia tidak ingin mencari gara-gara.
"Aku paling tidak suka mengulangi kalimatku, Gem." Berlian menatap lurus ke arah Gempita.
Gempita terkekeh kecil. "Iya, iya, Sayang. Aplikasi N.O.V.E.L.T.O.O.N inyong baik-baik aja, terus?"
"Yakin nih gak ada yang aneh?"
"Yakin seribu persen." Gempita menyatukan ujung jari telunjuk dan jempol kanannya, seraya mengedipkan sebelah mata meyakinkan.
"Emangnya kenapa sih, Er?" Tanyanya lagi semakin penasaran.
Berlian bangkit dari peraduan, lalu duduk tegak menghadap Gempita sembari melipat kedua kakinya. "Aku pernah cerita kan ... kalo aku beberapa kali dihantui mimpi horor?"
Gempita tampak manggut-manggut seperti seorang babu yang sedang mendengarkan majikannya berbicara.
"Nah, tadi malam, sosok itu muncul di hadapanku, Gem." Gempita menelan salivanya dengan susah payah. Antara percaya atau tidak. Namun dia tetap mendengarkan.
"Dan yang paling aneh adalah ...." Berlian menjeda kalimatnya sembari mengingat-ingat kembali seperti apa wujud makhluk aneh yang telah membuatnya tidur di sofa ruang tamu tadi malam.
Gempita masih serius mendengarkan, bahkan bulu kuduknya mulai meremang ketika melihat ekspresi wajah Berlian yang sedang bergidik ngeri.
"Makhluk-makhluk itu ... muncul dari aplikasi N.O.V.E.L.T.O.O.N, Gem ...," sambung Berlian kembali menatap Gempita yang tiba-tiba tergelak karena penuturannya.
"Wakakak ... " Gempita tidak menyangka bahwa seorang Berlian Sighania, memiliki selera humor yang cukup tinggi. Selama ini Berlian selalu saja terlihat kaku dan serius.
"Er ... Er ... sejak kapan N.O.V.E.L.T.O.O.N melihara setan? Hahaha, inyong benar-benar terhibur nih. Lagian mana ada setan lahir dari Aplikasi, Er." Sambil terus terbahak-bahak, Gempita bangkit, lalu berjalan sempoyongan menuju tempat tidurnya. "Haduuuh ...."
"Jadi, kamu gak percaya sama aku?" Berlian menyusul Gempita dengan wajah serius.
Gempita sontak membungkam mulutnya dan menatap Berlian dengan wajah kikuk. "Begini, Er ...," jedanya membenarkan posisi menghadap Berlian. "Bukannya inyong gak percaya sama kamu, yak. Tapi ... semua orang juga gak akan percaya, kalo ada setan yang muncul dari sebuah Aplikasi online."
Berlian terdiam. Berpikir sejenak, meresapi setiap bait kalimat yang dituturkan oleh sahabatnya itu.
Setelah dipikir-pikir ... benar juga yang dikatakan oleh Gempita. Berlian tidak bisa menepisnya. Lalu ... bagaimana dengan kejadian tadi malam?
Apakah itu hanya halusinasi semata?
"Tidak, tidak. Aku tidak mungkin berhalusinasi." Berlian bergumam sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Melihat hal itu Gempita memicingkan kedua matanya, keheranan. "Er ...." Gadis Cirebon itu menyentuh pundak Berlian dan mengguncangnya. Namun Berlian masih saja bergeming.
"Erli ...." Suara cempreng Gempita yang terdengar memekakkan telinga, membuat Berlian terlonjak dari lamunannya.
"Iya, iya ... kenapa?" Berlian nampak gelagapan.
Gempita mendesah pelan. Merasa prihatin dengan kondisi psikis sahabatnya itu. "Apa mungkin karena tekanan dari Ayahnya, Berlian menjadi seperti ini?" Gempita bergumam di dalam hati.
"Gini aja, Er. Ntar malem inyong nginep di rumah kamu yak, gimana? Inyong juga pingin kenalan sama setan-setan yang kamu ceritain tadi."
Mendengar hal itu Berlian mengangguk penuh semangat dan memeluk Gempita dengan riang.
...💎💎💎...
Waktu mengukir senja. Berlian baru saja keluar dari kamar mandi setelah ritual pembersihan diri.
Dengan berlilitkan handuk kecil di pucuk kepalanya, Berlian duduk di atas kasur menatap monitor lappy yang sedari tadi sudah ia nyalakan.
Pandangannya fokus pada satu arah. Jari tengahnya tampak ragu namun tetap saja bergerak mengarahkan kursor pada sebuah Aplikasi yang akhir-akhir ini terasa sangat horor baginya.
Setelah melewati masa loading, akhirnya monitor menampilkan halaman beranda dari Aplikasi tersebut.
...Satu detik...
...Dua detik...
...Tiga detik...
...Empat detik...
...Lima detik...
Tidak terjadi apa-apa di sana. Semua terlihat normal. Lalu Berlian menarik nafasnya kasar. Ia terngiang-ngiang perkataan Gempita tadi siang.
"Mungkin memang benar, kalau tadi malam ... aku cuma berhalusinasi." Berlian beranjak dari duduknya, hendak menuju lemari pakaian.
Namun, saat ia masih berdiri di tepian ranjang, tiba-tiba muncul gumpalan asap hitam dari dalam monitor itu.
Berlian mundur beberapa langkah. Tatapannya fokus pada satu titik. Keringat dingin pun mulai membasahi pelipisnya. Saat ini, ia hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri yang masih berbalut handuk kimono.
"Kali ini, aku pasti tidak sedang berhalusinasi," gumamnya pelan.
Secepat mungkin ia bergegas kabur dari sana. Namun naas, gumpalan asap hitam itu melesat mengitari dan mengerangkeng tubuhnya hingga tidak bisa bergerak.
Berlian berteriak sekuat tenaga, namun suaranya seolah tercekat. Seperti orang kelu pada umumnya, mulut Berlian bergerak namun tidak ada secuil suara pun yang tercipta.
Ia masih terus berontak untuk melepaskan diri. Namun sayang, kekuatan gumpalan asap hitam itu melebihi tenaganya yang hanya seujung kuku.
Di saat Berlian sedang berperang dengan gumpalan asap hitam itu, tiba-tiba Gempita muncul dari balik pintu kamar.
"Erli ...." pekik Gadis Cirebon itu seraya melotot ke arah Berlian.
Berlian tersentak. Ia mengangkat wajahnya dan memberi isyarat seolah sedang minta pertolongan.
"Kamu ngapain goyang-goyang kayak gitu, sih? Lagi latihan balet yak?" Gempita menambah langkah, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dengan santainya.
Berlian melongo. Ia tidak habis pikir dengan tingkah sahabatnya itu.
Bagaimana bisa Gempita tidak peduli dengan kondisinya saat ini?
Gadis Cirebon itu lantas tak bergeming, "mau sampai kapan kamu meliuk-liuk kayak gitu, Er? Sini bobo syantik sama iyong." Gempita menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
Untuk sesaat, Berlian merasa kesal. Namun ia sontak menyadari bahwa Gempita tidak bisa melihat gumpalan asap hitam yang sedang melilitnya saat ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!