NovelToon NovelToon

A Special Girl

Chapter 01

• Party Invitations •

08:34 a.m.

Los Angeles, California - USA.

Seorang gadis perkiraan umur 20 tahun tengah berlari menyusuri koridor kampus. Rambutnya yang bergelombang meliuk-liuk mengikuti irama derap kakinya. Tak lama kemudian, langkahnya terhenti tepat di depan pintu bercat putih dengan palang di atasnya yang bertuliskan Lab. Sejenak mengatur napas, tangannya terulur memutar kenop pintu.

Begitu matanya menangkap sosok pria tua di kejauhan sana, ia menelan ludah susah payah. Sementara pria yang diketahui bernama Profesor Bara itu tampak asyik menarikan jemarinya di papan tulis.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan itu, ia bergegas menuju bangkunya. Tetapi baru beberapa langkah, pergerakan harus kembali terhentikan manakala nama marga keluarganya disebutkan.

Shit!

Dengan berat hati, gadis itu memutar tubuhnya menghadap ke arah sang pria tua. "Pagi, Profesor!" sapanya, bersikap seramah mungkin.

"Tidak perlu basa basi. Cepat kemari!" perintah Prof. Bara dengan nada tegas.

Ia menggigit bibir bawahnya, gugup. Pasalnya, Prof. Bara itu orang yang sukar mempan rayuan. Jadi, dapat dipastikan setelah ini nilai skripsinya akan mendapat nilai rendah atau mungkin namanya terdapat dalam catatan absensi hari ini. Bagi mahasiswi rajin dan cerdas sepertinya, hal itu akan menjadi sesuatu yang sangat memalukan.

"Ms. Johnson!"

"Eh! Iya, Prof." Allena bergegas mendekati Prof. Bara.

Prof. Bara mengatur letak kacamata minusnya yang berbentuk bulat. Sorot tajam beliau lemparkan, membuat gadis di depannya meremas ujung kaus, cemas. "Apa kau tahu, di mana letak kesalahanmu?"

"Iya, Prof."

"Apa kau juga tahu, apa hukuman untuk kesalahan yang telah kau perbuat itu?"

"Iya, Prof."

"KALAU BEGITU, TUNGGU APA LAGI?!" bentak Prof. Bara, menggebu-gebu.

Seisi ruangan tersentak memegangi dadanya masing-masing. Tanpa terkecuali Allena yang berdiri di dekat Prof. Bara. Suara tua yang hebatnya masih nyaring itu sudah pasti masuk semua ke gendang pendengarannya.

"Masih kurang jelas?"

Allena menggeleng cepat dengan mengulum bibir ketakutan. Begitu Prof. Bara membuka mulut hendak bersuara kembali, sesegera mungkin ia berlalu keluar ruangan sambil merutuk dalam hati atas segala kebodohannya karena datang terlambat.

•••

"Huweek ..."

Sudah keberkian kali Allena mual-mual. Isi perutnya serasa dikocok, minta dikeluarkan. Bahkan sedari tadi tangannya tak henti-henti berkibas di depan hidung, memandang jijik sekitar. Sebenarnya wajar saja, hukumannya juga harus membersihkan 12 toilet wanita. Bau pesing menyeruak di seantero ruangan. Begitu pula lantai maupun dinding yang kotor bagai sengaja dilumuri tanah, membuat matanya menyipit enggan melihat. Ia ingij menyumpah, jika seperti ini caranya lebih baik pembersih kampus dipecat saja, makan gaji buta!

Hushhff....

Bulu kuduknya seketika meremang. Batang pel terlepas begitu saja dari genggaman Allena, akibat perhatian yang telah teralihkan pada hembusan angin dingin yang baru saja menerpa kepala belakangnya.

Bayangan berkelebat di dalam benak Allena mengenai hantu penjaga toilet wanita yang sering menjadi bahan gosip para mahasiswi sekelas atau mungkin hampir seantero kampus. Seberusaha mungkin ia tidak percaya, namun entah mengapa aura di sini membuatnya harus mengakui kebenaran berita burung itu.

Bersamaan dengan senandungan kecil yang dialunkan, Allena melangkah perlahan menuju pintu keluar dengan kaki gemetaran. Sampai akhirnya pekikan menggema dan ia langsung melesat meninggalkan area toilet.

•••

Di setiap langkahnya, bibir Allena menolak berhenti mengoceh. Ia masih kesal dengan Prof. Bara. Dampak menerima hukuman itu, jiwa ketakutannya menjadi bangun. Bayangkan saja, Primadona kampus yang dikenal sebagai gadis pemberani dan tahan banting, sekarang mulai mempercayai hal-hal berbau mistis yang notabene bertolak belakang dengan logika?

"Oh Tuhanku! Alangkah baiknya jika Engkau mengistirahatkan Profesor Bara secepat mungkin. Ini demi ketenangan bersama. Beliau juga sepertinya sudah lelah menghadapi urusan dunia. Aku memohon pada-Mu ... jangan menyiksanya terus dengan memberi kepanjangan umur. Engkau pasti mengerti maksud muliaku ini," cerocosnya dengan pandangan lurus ke arah langit dan kedua tangan mengatup, memasang raut memelas. Berharap doanya segera dikabulkan.

"Allena!" Sebuah suara memanggil namanya.

Allena celingak-celinguk, mencari gerangan pemanggil. Lantas tertangkaplah sosok gadis berambut blonde di kejauhan sana tengah melambaikan tangan heboh ke arahnya.

Tentu saja Allena mengenal baik siapa sosok itu. Begitu gadis tersebut telah berada di hadapannya, ia pun menyapa. "Hai, Hetty!"

Hetty Scott, salah satu teman dekatnya. Meski satu Universitas, mereka berbeda fakultas. Allena, fakultas kedokteran--sementara gadis pirang itu, fakultas bisnis. Gambaran wajah mereka yang sama-sama manis dan selalu terlihat bersama dalam waktu-waktu tertentu membuat setiap orang yang melihat beranggapan keduanya bersaudari. Yeah, namun pada kenyataannya juga mereka sudah saling menganggap seperti saudari kandung sendiri.

"Eh, kau tidak ikut kelas lab?" tanya Hetty dengan kedua alis terangkat.

Hetty tahu pasti sekarang ini adalah waktu di mana kelas Allena berlangsung. Bukan sebuah kebiasaan melihat teman cerdasnya masih asyik berkeliaran di luar ruangan. Jadi, kalau bukan ada sesuatu yang terjadi, apalagi?

Allena mendengkus. "Diusir."

"Astaga! Bagaimana bisa?"

"Terlambat datang."

"Tidak biasanya."

"Semalam aku menonton drama action hingga larut."

Hetty memutar bola mata malas seraya berdecak mengerti. "Pantas."

"Ah sudahlah, abaikan saja. Ayo duduk dulu, tidak enak mengobrol sambil berdiri."

Allena dan Hetty menjatuhkan bokong di bangku besi yang ada di sekitarnya. Saking asyiknya mengobrol, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dilihat dari arloji, sudah menunjukkan pukul 11:25 a.m.

"Oh ya! Hampir saja aku lupa." Hetty menepuk kening, kemudian merogoh sesuatu dari dalam tas selempangnya.

Allena mengernyit heran saat Hetty memberikannya sebuah benda pipih persegi panjang berwarna marun.

"Pesta ulang tahunku!" ujar Hetty, antusias menjawab kebingungan Allena.

"Eh, maaf... aku tidak ingat kalau hari ini ulang tahunmu." Allena merasa tidak enak hati.

Hetty terkekeh. "Tidak apa-apa. Sekarang kan kau sudah tahu. Nah, aku hanya berharap nanti malam kau ikut memeriahkan pestaku."

"Pasti." Allena menjawab mantap. Tetapi setelah membaca surat undangan itu, keraguan mulai merayapi hati. "Sungguh, acaranya di klub malam?"

"Yup. Sejak dulu ulang tahunku selalu dirayakan di mansion. Bosan kalau terus-menerus di sana, maka tahun ini aku mau mencobanya di sebuah klub malam terkenal. Sepertinya seru!"

Allena tersenyum kecut. Sejujurnya ia kurang suka dengan klub malam. Menurutnya tempat itu menakutkan. Bukan berarti horor, tapi karena risih dengan perkumpulan pria penggoda di sana, ditambah adanya minuman keras yang meracuni kejernihan otak manusia, membuatnya membenci tempat terlarang itu.

Tapi karena sudah terlanjur berkata pasti, mana tega dirinya menolak hadir? Bisa-bisa Hetty salah paham dan menganggap dirinya suka memberi harapan palsu.

"Oke. Selam–"

"Tunggu!" Hetty menyela cepat. "Jangan sekarang. Aku ingin kau mengatakannya nanti malam," lanjutnya dengan memamerkan puppy eyes.

"Ouh. Baiklah."

•••

"Pakai yang mana, ya?" Allena mengacak rambutnya, frustasi memilih pakaian mana yang cocok dipakai untuk ke pesta.

Maklum, pakaian rata-ratanya hanya kaus dan jins. Tiada satu pun gaun menawan yang ia miliki. Bukan tomboy, hanya saja Allena lebih suka berpenampilan sederhana. Selain nyaman dipandang, juga ringan pergerakan.

"Tuhan, tolong aku..." gumamnya sembari merebahkan diri ke atas tempat tidur. Pupil cokelatnya memandang kosong langit-langit kamar. Untuk sesaat beban pikiran melayang, sebelum suara besar seorang wanita membuyarkan lamunannya.

"Ya Tuhan, Allena... mengapa pakaianmu berantakan seperti ini?" Melly memunguti satu per satu pakaian putrinya yang berserakan di lantai.

Allena bangkit dari posisi berbaringnya sambil cengengesan garing. "Maaf, Bu. Ya habisnya kesal. Nanti malam aku mau ke pesta ulang tahun Hetty, tapi tidak ada pakaian yang cocok. Tidak apa-apa kali ya kalau aku pakai pakaian kasual?"

"Jangan!" Ibunya menghela napas, lalu mulai mengulum senyum. "Mengapa tidak bilang dari awal? Di sini kan ada Ibu, orang yang paling tepat membantumu!"

Allena terkekeh. "Ya, tapi-"

"Sudahlah, kalau ada apa-apa tidak usah sungkan bercerita. Serahkan semuanya pada Ibu, tahu-tahu semuanya sudah beres."

Allena tersenyum tipis.

"Tunggu sebentar," ucap Melly sebelum melenggang pergi.

Selang beberapa menit, wanita itu kembali dengan sebuah gaun melilit di tangan kirinya. "Pakailah!" Ia menyerahkan gaun bernuansa merah marun kepada Allena.

Allena menerima dengan senang hati. Dibuat takjub oleh pakaian tersebut, sangat cocok dengan dirinya yang tidak suka pakaian kurang bahan.

"Jujur, Ibu terpaksa memberimu gaun itu. Tapi karena kau suka yang sederhana, Ibu bisa apa? Percuma, kau akan menolak gaun seksi yang memperlihatkan lekukan tubuh seseorang," ujar Melly, mengerti akan prinsip yang dipegang putrinya.

Seulas senyum tercetak di bibir Allena, ia langsung menghambur memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih..."

Melly mengurai dekapan lebih dulu. "Ya sudah, ayo kemari!"

Sesuai dengan intruksi ibunya, Allena bergegas duduk di kursi yang menghadap cermin serta meja rias.

Sebenarnya bukan hanya gaun, Melly juga membawa beberapa perlengkapan make up, karena ia tahu di kamar putrinya benda-benda seperti itu tidak akan ada.

"Allena... bersiaplah untuk menunjukkan pesonamu," gumam Melly sembari mengembangkan senyum kepuasan. Sebab, malam ini adalah kesempatan emas untuknya bia merubah penampilan Allena menjadi lebih menakjubkan.

•••

Chapter 02

• Someone Mysterious •

Begitu turun dari taksi, Allena mendengkus sebal. Bagaimana tidak? Penampilannya malam ini belum sepenuhnya keinginannya. Gaun memang sudah cocok, tetapi tidak dengan make up dan high heels.

Memakai make up berlebihan bukan berarti tambah cantik, melainkan lebih mirip badut. Apalagi high heels, selain mengganggu pergerakan bebas kakinya, benda itu juga membuat tubuhnya yang semula tinggi menjadi lebih tinggi lagi. Tidak lucu jika orang-orang menyebutnya tower berjalan.

Ibunya benar-benar keterlaluan. Tega, memberi siksaan pada putrinya sendiri. Tetapi sepanjang apapun dirinya mengoceh, percuma, tidak akan mengubah penampilannya ke zona nyaman. Yang bisa dilakukannya kini hanya pasrah.

Jalanan tengah sepi, Allena segera mengayunkan kakinya agak sempoyongan, menuju bangunan bernuansa gelap di seberang sana.

"Malam, Nona..." sapa seorang pria berkaus hitam yang berdiri di ambang pintu klub sambil tersenyum menggoda.

Allena tidak menghiraukan dan langsung memberi sang penjaga pintu itu dengan surat undangan pesta.

"Pesta ulang tahun, ya? Ada di lantai dua. Mau ku antar-"

"Tidak. Terima kasih," interupsi Allena, cepat.

"Hm ... Baiklah. Silakan masuk, Nona!" Pria itu sempat mengedipkan sebelah mata, sebelum memberikan jalan untuk Allena masuk dengan leluasa.

Detik setelah pintu itu terbuka, ruangan luas pun langsung di dapatinya. Klub malam ini benar-benar di luar dugaan. Nuansa yang gelap sama sekali tidak membuat Allena takut. Bagaimana tidak? Dekorasinya juga maskulin. Cukup dengan interior yang mengombinasikan warna hitam, putih, serta biru laut membuat klub ini tampak menawan dalam pandangan. Beberapa poster DJ populer seperti Marshmello, Alan Walker, Martin Garrix, dan lainnya menempel di dinding-dinding penjuru klub menambah nilai plus.

Meski banyak orang yang berlalu lalang, namun hal itu tidak mengganggu penglihatan Allena. Semua orang di sini tampak teratur. Tidak seperti di klub malam lain yang hanya membuat sakit mata dan dentuman lagu disko yang memekakkan telinga saja.

Baiklah. Sepertinya malam ini Allena akan mengkhianati dirinya sendiri.

Tidak ingin mengundur waktu lagi, ia melanjutkan langkahnya, menelusuri lebih dalam lagi area klub.

"Perfect!" kagum Allena dengan mata yang terus mengedar ke sana kemari.

Klub malam ini memiliki tiga lantai dan masing-masing mempunyai ballroom sehingga pengunjung yang menari tidak terlalu berdesakan. Di sini juga tidak terlihat pria-pria berpenampilan preman, mungkin sudah dikhususkan penghuninya adalah orang-orang yang berkelas atas. Ia jadi merasa cukup aman akan hal itu.

"Cantik! Sendirian saja, mau kutemani?" Tiba-tiba seorang pria asing datang dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Allena.

Menerima sentuhan tidak senonoh, Allena refleks menghempaskan tangan pria itu lalu mundur dua langkah.

"Aish, tidak perlu canggung begitu," ucap pria itu lagi seraya tersenyum miring. "Uhm, mau minuman?" tawarnya kemudian, menyodorkan segelas anggur di tangannya ke Allena.

Allena memeluk tubuhnya, bermaksud melindungi.

Tak disangka, sebuah tangan kekar kembali menyentuh tubuhnya dari belakang, membuat Allena terperanjat kaget, bereaksi sama seperti sebelumnya.

"Jauhkan tangan kotor kalian dariku," ujar Allena penuh penekanan sembari mendelik tajam pada pria di kedua sampingnya. Penampilan mereka memang menawan sudah pasti masuk ke golongan orang kaya raya, sayangnya mesum.

"Ouch! Tingkahmu ini... seperti gadis perawan saja."

Mendengar itu, tubuh Allena mendadak tegang. Ia menelan ludahnya susah payah. Perubahan ekspresi yang begitu cepat membuat kedua pria asing itu menemukan titik keberanaran.

"Wah! Suatu kejadian yang langka ada gadis perawan masuk ke klub ini," seru pria pertama disertai tepukan tangan meriahnya. "Ah, entahlah... tapi selama ini para pengunjung wanita yang kutiduri sudah hilang kehormatan."

Sialnya, kalimat itu berhasil menarik perhatian para pengunjung klub.

"Mendapatkan gadis perawan seksi secara percuma? Sesuatu yang tak kan pernah kulupakan seumur hidup," ujar pria satunya lagi.

Sekarang Allena benar-benar menjadi pusat perhatian. Inilah yang ditakutinya sejak awal. Sesuatu yang paling berharga dalam dirinya akan direnggut.

Tidak. Itu tidak boleh terjadi!

Sejurus kemudian, hembusan angin kencang menghuyungkan tubuhnya ke belakang. Sebelum tubuh ramping itu benar-benar mencium lantai, sepasang tangan kokoh telah lebih dulu menahannya.

Saat itu pula jantung Allena berdebar kencang. Ya, bertepatan saat di mana mata cokelat miliknya bertemu dengan sepasang hazel terang yang asing.

Hidung mancung, rahang kokoh, kulit putih pucat, alis tebal, dan ... ah, sudahlah! Menyebutkan ciri-cirinya membuat tungkai kaki lemas saja.

Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang membuatnya merinding dan paranoid. Yeah, aura misterius pria itu.

Setelah beberapa menit saling tatap, seruan pengunjung klub membuat keduanya langsung menegakkan tubuh kembali.

"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya pria itu.

Suara seksinya membuat jantung Allena bergemuruh. Ia pun menggeleng sambil mengulas senyuman tipis yang mengartikan dirinya baik-baik saja.

Pria itu mulai mengalihkan pandangannya ke depan, menatap tajam kedua pria pengganggu tadi. Saking berasa tajamnya, tatapan itu seolah bisa membunuh siapa saja yang melihatnya.

So Scary!

Di detik berikutnya, kedua pria pengganggu itu melenggang pergi, membuat Allena heran bukan kepalang. Ia pikir kedua pria itu akan menyerang sang penolong seperti apa yang dilihatnya dalam film action - romance, akan tetapi semua yang terjadi sungguh di luar dugaan.

Allena menoleh pada malaikat penolongnya. Belum sempat ia mengucapkan terima kasih, pria itu sudah bicara mendahuluinya.

"Apa imbalannya?"

Allena tercengang. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ia pikir pria itu menolongnya dengan sepenuh hati, namun ternyata ada maksud lain.

Dasar pamrih!

"Maaf Tuan, tapi aku tidak-"

"Panggil aku Albern," selanya, tegas.

"B-baiklah. Maaf... Al-bern, aku tidak punya apa-apa," ujar Allena. Jika tahu ia akan seperti ini, sedari awal dirinya pasti akan menolak ditolong.

"Jika tidak ada aku. Mungkin kau sudah menjadi santapan malam kedua pria tadi."

Allena bergidik ngeri mendengar kata santapan malam yang dilontarkan mulut pria di depannya "Ya sudah, sekarang apa maumu?"

Satu detik.

Sepuluh detik.

Satu menit.

Tetap tidak ada jawaban.

Allena mengetuk-etuk ujung sepatunya ke lantai, menunggu jawaban Albern dengan bosan.

"Dirimu," jawab Albern pada akhirnya yang langsung membuat Allena membeku.

"Gilaaa!" Allena memekik tertahan. "Kau sama saja dengan dua pria tadi. Berengsek!" umpatnya.

"Benar sekali," balas Albern santai, lalu mencekal lengan dan menyeret Allena untuk mengikutinya.

"Tidak! Lepp ... pash ..." Allena memberontak sekuat tenaga, tapi sayangnya tidak menghasilkan apapun. Seolah terbuat dari baja, tubuh pria itu keras untuk ditandingi.

Dan bodohnya, mengapa semua pengunjung klub diam saja? Apa mereka tega membiarkan seorang gadis dilecehkan?

Sejenak Albern menghentikan langkahnya, tak disangja ia mengangkut tubuh Allena bagai karung beras. Untuk kedua kalinya Allena memekik kaget. Tangan gadis itu terus memukuli punggung Albern, minta dilepaskan.

Tidak bisa dielak lagi, mereka berdua benar-benar menjadi pusat perhatian.

Allena sendiri merasa takut. Takut jika Albern menjahatinya, menghancurkan masa depan cerahnya. Seharusnya ia ingat itu ; menilai orang bukan hanya dari luar, melainkan dari dalamnya juga.

Iblis berwajah malaikat!

Allena memaki-maki. Marah besar dengan perlakuan kurang ajar Albern. Entah kemana Albern mau membawanya pergi.

Allena sadar-sadar telah dihadapkan dengan sebuah pintu. Albern menendang pintu tersebut hingga Allena dapat melihat suasana dalam ruangan itu begitu pintu terbuka. Sepertinya ruang VVIP.

Albern melangkah masuk. Tidak lupa, senyum smirk menghiasi bibirnya yang menurut Allena bukan membuat seksi melainkan menyeramkan.

"TUHAN, SIAPAPUN, TOLONG AKU!!!" teriak Allena. Albern hanya terkekeh.

Allena tidak berhenti memberontak, cemas saat Albern merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.

"Please, lepaskan aku..." lirih Allena disertai raut memelas. Ia berusaha menegakkan tubuhnya, berniat untuk melarikan diri, namun tangan Albern menahan bahunya.

"Long time no see, my beautiful girl," ucap Albern. "Aku tidak akan membiarkanmu lolos lagi," lanjutnya tegas.

Allena mengernyit bingung. "Apa maksudmu?"

Albern menekan bahu Allena, menyatukan punggung gadis itu dengan kasur. Ia juga menindih tubuh Allena, mempersempit jarak mereka. "Intinya, kau akan menjadi milikku."

"Apa? Tidak, kau tidak berhak memutuskan itu... aku bukan milik siapapun," sanggah Allena, napasnya sedikit tercekat.

Di detik berikutnya, Albern mengunci kedua lengan Allena dengan mencekal dan menaruhnya di atas kepala. Ia mencium bibir merah menggoda itu. Tubuh mereka serasa tersengat saat itu juga. Entah dari mana asalnya, yang jelas Allena merasa seperti asa ribuan kupu-kupu menggelitiki perutnya.

Hanya kecupan lama, namun efek yang dihasilkan luar biasa.

Allena yang terkejut mendapat serangan mendadak, kembali memberontak. Berusaha memalingkan wajahnya, melepaskan tautan bibir mereka, tapi tidak berdaya.

"Diam ... dan dengarkan!" Meski pelan, tetapi ketegasannya sukses membuat Allena tidak berani berkutik.

"Ingat. Sejauh apapun kau berlari menghindariku, ujung-ujungnya kau tetap akan jatuh ke pelukanku."

•••

TBC...

Chapter 03

• Start Afraid •

Allena menggeliatkan tubuhnya dengan mengerjapkan mata beberapa kali, menyesuaikan pencahayaan yang datang menyambut iris cokelatnya. Sambil berusaha bangun, pandangannya ia edarkan ke seisi ruangan. Yang ditemukan tetap sama, masih tempat semalam.

Allena mengusap wajahnya gusar. Saat itu pula, bayangan tentang adegan beberapa waktu lalu berputar di memori otaknya, layaknya kaset rusak.

*Allena menatap manik pria itu dalam-dalam. Seringaian tipis terukir di bibir Albern, membuat ia merengkuh tubuhnya, ketakutan. Albern mencekal kuat kedua lengan Allena, hingga ringisan kecil keluar dari bibirnya, lantas menyerah untuk melawan lagi.

Seperti yang dirasakannya pertama kali, sentuhan pria itu terasa seperti es.

Ibu... Tolong aku!

Allena mulai memejamkan mata. Setetes cairan bening menitik dari sudut matanya. Perlahan namun kemungkinan pasti, malam ini, masa kegadisannya akan berakhir.

Tetapi tidak berapa lama, Albern menghentikan kegiatannya di mana ketika mendengar isakan kecil. Ia mengangkat kepala untuk melihat wajah manis gadis di bawahnya.

"Ssstt..." Albern mengulurkan ibu jarinya, menyeka air mata Allena. Allena menatapnya heran masih dengan napas yang memburu. "Calm down. I will not hurt you," sambungnya, tanpa nada*.

Jantung Allena berdenyut, terperangah tidak percaya. Ia melirik sekilas tubuhnya hingga dapat bernapas lega begitu melihat pakaiannya masih melekat lengkap. Itu cukup membuktikan bahwa kehormatannya masih utuh.

Tanpa menunggu waktu lagi, Allena bangkit dan sesegera mungkin meninggalkan tempat terkutuk itu.

•••

"Astaga, Allena... Apa yang terjadi denganmu!?" Baru saja pintu rumah terbuka, nada keterkejutan Melly menyemburnya.

"Aku tidak apa-apa, Bu," balas Allena, acuh tak acuh.

"Tidak apa-apa, bagaimana? Lihatlah penampilanmu sekarang. Lebih mirip *******. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama pesta?"

Allena menghela napas lelah. Terkadang, ibunya suka cerewet dan mulai protektif jika sudah melihat keadaan terburuk dirinya. Bukan kemungkinan baik jika ia menceritakan semua kejadian semalam pada wanita tersebut. Tetapi, daripada disembur oleh pertanyaan, mau tidak mau kebohongan pun ia lontarkan.

"Semalam aku sedikit minum. Mungkin efek dari itu, aku tidak ingat melakukan apa saja. Tapi tenang, Bu, semuanya masih terkendali."

Sejenak wanita paruh baya itu memincingkan mata, kurang yakin. Tetapi akhirnya ia pun mengangguk paham. "Baiklah. Sekarang bersihkan dirimu, lalu makan. Ibu tahu, karena terlalu asyik bersenang-senang semalaman, perutmu pasti belum diisi asupan apapun."

Allena mangut menurut.

"Oh ya, seandainya ada pesta lagi. Sebaiknya kau tidak usah minum. Ibu tidak mau melihat penampilan berantakanmu yang seperti zombie ini lagi, membuat sakit mata," lanjut ibunya disertai gelengan miris.

Mencebik kesal, Allena pun mengangguk juga.

"Satu lagi. Ibu mau pergi keluar sebentar. Kau jaga rumah, ya? Jangan pergi kemana-mana tanpa memberitahu Ibu, apalagi mengizinkan orang asing masuk," pesan Melly kemudian.

Allena menyahut malas. "Oke."

•••

Setelah penampilannya kembali segar, Allena duduk di kursi santai balkon kamar. Sambil bersandar, matanya asyik menatap jalanan ramai di bawah sana. Rintikan hujan mulai turun membasahi bumi. Meski tinggal di perkotaan, namun kesejukan udara pagi masih bisa ia rasakan. Dan kebetulan hari ini sedang tidak ada kelas, jadi ia bisa menikmati waktu santai sepuasnya.

Di sela-sela kegiatan rileksasi, ponselnya bergetar menandakan panggilan masuk.

***Hetty

Calling You***...

Allena menggigit bibir bawahnya, suatu kebiasaan ketika dirinya merasa cemas. Mengingat ia mengingkari janji untuk menghadiri pesta itu, setelah ini Hetty pasti marah besar dan berakhir tidak mau berteman dengannya lagi.

"Tidak. Ini tak akan terjadi." Allena mengatur napas dengan cepat, lantas menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Halo, Allena? Apa kau baik-baik saja?" tanya Hetty di seberang sana, mendengar dari nada suara, sepertinya ia sedang khawatir.

"Untuk sekarang ini... sudah lebih baik."

"Allena, maaf... semua ini salahku," lirih Hetty, suaranya tersirat penyesalan.

"Apa maksudmu?"

"Yeah, karenaku, kau jadi diganggu pria-pria nakal klub. Bodohnya aku malah asyik berpesta dengan teman-temanku di lantai atas. Sekali lagi, aku minta maaf..."

Allena refleks menggeleng, meski pada kenyatannya Hetty tidak dapat melihat itu. "Ini sama sekali bukan salahmu. Lagi pula aku sudah melupakan kejadian semalam. Sudahlah yang lalu biarlah berlalu."

"Ah, Al... kau baik sekali. Omong-omong apa benar semalam kau ditolong oleh Albern?" tanya Hetty lagi, kali ini nadanya terdengar menggoda.

"Tidak!" elak Allena, cepat. Ia cukup trauma dengan kejadian semalam. Mendengar namanya saja ia sudah gemetaran.

"Oh, Allena... jawab yang jujur, aku butuh kepastian. Apa benar yang dibicarakan orang-orang kampus?" desak Hetty.

Allena memutar mata, lelah. Ternyata orang-orang kampus ada yang sempat melihatnya. "Yeah begitulah..."

Seketika pekikan dari ponsel menggetarkan gendang telinga Allena.

"Hetty.... kau mau membuatku tuli, heh?" omel Allena.

"Hehe, maaf..." Hetty berdeham. "Seandainya aku melihat adegan itu langsung. Ouch ... betapa romantisnya kalian..."

Allena termangu.

*Romantis dari mananya?

Yang ada mau menangis*...

"Allena, kau beruntung bisa merasakan sentuhan Albern. Pasti jantungmu lari maraton, kan?"

"Bicara apa kau ini? Tidaklah," sanggah Allena. "Aish, sebenarnya Albern itu siapa sih? Semalam kuperhatikan orang-orang melihatnya dengan tatapan takjub. Yeah, aku akui dia memang rupawan, tapi tidak segitunya juga mereka mengagumi, seperti tidak ada pria tampan lain saja."

Hetty terkekeh geli. "Makanya jangan bergaul dengan novel dan film action terus, jadi ketinggalan kabar, kan?" ledeknya yang langsung membuat bibir Allena mengerucut. "Dia DJ. Masih baru, tapi kepopulerannya sudah berkembang pesat di New York. Jadi, aku mengundangnya karena namanya sedang trending topic. Seandainya malam itu kau masih ada. Pasti kau akan berteriak kagum oleh aksi bermainnya."

Allena berdecih dalam hati. Jangan sampai terjadi. Aku tidak akan sudi mengagumi pria macam itu!

Muak membahas Albern lagi, Allena pun mengalihkan pembicaraan. "Oh ya! Selamat ulang tahun yang ke 23, Hetty. Semoga Tuhan memberkatimu. Maaf, aku tidak jadi mengucapkannya malam itu."

"Terima kasih. Ah, tidak masalah. Yang penting itu keadaanmu. Aku tidak mau dicap sebagai teman yang jahat karena memaksa teman sendiri menghadiri pesta begitu tahu beberapa pria telah menggodanya."

"Hm. Terima kasih sudah mengerti diriku. Kau memang teman terbaikku."

Hetty terkekeh. "You more."

"Baiklah. Sudah dulu, ya, aku harus menyelesaikan beberapa tugas kampus yang sempat tertunda."

"Selesaikanlah. Aku juga mau melanjutkan pestaku bersama keluarga."

"Terima kasih. Bye..."

"Hm. Bye..."

Setelah itu sambungan telepon terputus.

Allena mengembuskan napasnya lega dengan posisi tubuh menghadap cermin. Untunglah Hetty tidak marah.

Sesaat terdengar suara gemuruh. Ia baru ingat, sedari tadi perutnya belum diisi asupan apapun. Dikarenakan sibuk memikirkan kejadian semalam, hampir saja ia lupa akan kebutuhan pokoknya sendiri.

Allena mengusap perutnya yang rata. "Oh cacing-cacingku... bersabarlah, aku segera berangkat."

•••

Saat ini Allena telah duduk manis di kursi ujung meja makan. Ia menyantap fried chicken yang dibeli ibunya kemarin. Tidak basi. Cukup dihangatkan dan ... cukup nikmatlah.

Saat sedang asyik-asyiknya menikmati hidangan, suara gebrakan pintu yang dibantingkan membuatnya terlonjak kaget.

Apa itu?

Allena sontak berdiri. Setelah beberapa menit merenung, ia putuskan untuk ke depan, melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Allena mengintip di balik tembok yang menghubungkan ruang tamu dengan dapur. Dari kejauhan terlihat jelas pintu utama rumahnya terbuka lebar. Ia melangkah mendekati pintu tersebut, lalu menengok ke sana kemari mencari siapa gerangan yang telah membuka pintu rumahnya. Tapi nihil, matanya tidak menemukan apapun.

Ah, mungkin itu hembusan angin besar, pikirnya.

Setelah menutup pintu, Allena kembali menuju meja makan dan melanjutkan acara santap menyantapnya lagi. Namun tidak sampai satu menit dirinya duduk, pintu utama rumah kembali terbuka, Allena terperanjat, lalu mengembuskan napas lega saat melihat sosok ibunya berdiri di sana.

"Ibu sudah pulang?" Ia berusaha menyembunyikan raut kekagetannya dengan pertanyaan.

"Ah, ya. Kau sudah makan?" tanya Melly seraya melangkah, menghampirinya.

"Ini, sedikit lagi habis."

"Hmm... kau mau buah?" Ibunya menyodorkan keranjang berisi berbagai jenis buah segar.

Allena mengangguk. Selepas mencuci tangan, ia pun mengambil apel.

"Girty bilang, kemarin kau terlambat."

Allena mengangguk lagi, membenarkan.

Girty adalah tetangga Allena yang kebetulan satu fakultas dengannya. Jika ada apa-apa mengenai Allena, Girty selalu memberitahu Melly semuanya. Jadi, jangan heran jika ibunya tahu banyak mengenai kegiatan Allena di kampus. Sebab yang menjadi cctv-nya ya si gadis itu, Girty.

"Tidak ikut kelas dan ... dihukum?"

Allena mengangguk di sela-sela gigitannya pada apel.

"Al... kalau di hatimu ada niat mau kuliah, semua itu tidak akan pernah terjadi."

Allena memandang ibunya, masih dengan bibir bergoyang asyik mengunyah. "Jadi menurut Ibu aku tidak berniat, begitu?"

Ibunya mengedikkan bahu. "Mungkin. Buktinya kau sengaja bergadang demi menonton film action, sedangkan kau tahu sendiri besok ada kelas."

Allena menjeda kunyahannya. "I-Ibu tahu dari mana?"

"Itu tidak penting. Jadi benar, kan, dugaan Ibu?"

Allena kembali mengunyah potongan apel di mulutnya. "Salahkan saja waktu, berjalan begitu cepat. Lagi pula ini telatku yang pertama, mengapa harus khawatir?"

"Ck, kau ini... bukannya menyesal, malah acuh tak acuh."

Allena menaruh apelnya yang tinggal setengah itu ke atas meja, kemudian bangkit dari kursi. "Aku mau mengerjakan tugas skripsi dulu."

"Tunggu!" seru Melly sebelum putrinya berlalu. "Oh kalau diberi nasehat kau selalu saja menghindar. Baiklah, kebetulan hari ini kau sedang tidak ada kelas. Ibu minta kau jaga rumah, karena pukul delapan Ibu mau pergi ke butik."

Jaga rumah? Memangnya aku satpam!? gertak Allena dalam hati, tapi pada akhirnya ia mengangguk juga walau malas.

Melly Johnson merupakan seorang desainer terkenal di kota California. Hasil rancangannya selalu terpakai oleh semua orang, bahkan beberapa selebriti Hollywood pun ikut mengenakannya.

Ia berharap putrinya memakai gaun atau pakaian hasil rancangannya juga, namun sayangnya Allena tidak tertarik dengan dunia fashion. Sehari-harinya saja gadis itu memakai pakaian santai, mana mau disuruh pakai rok atau gaun yang sedikit terbuka?

Jika ditanya apa Melly kecewa, sudah pasti. Padahal jika Allena bersedia, dalam satu kedipan penampilannya dapat dipastikan mampu menyihir mata yang melihatnya. Bentuk tubuhnya saja paling mendukung.

Ia mempunyai kepribadian yang cuek dan tidak terlalu memedulikan sekitar. Dari satu sisi Melly merasa bangga memiliki putri sepertinya. Tampil sederhana dan apa adanya.

"Ada apa?" tanya Melly saat menyadari perubahan raut wajah putrinya.

"Tidak ada. Ya sudah, aku ingin istirahat dulu, lelah." Setelah berkata demikian, Allena mengangkat kakinya, menaiki anak tangga yang mengantarkan menuju kamarnya.

•••

Yang baca rekomendasikan juga dong ke teman-temannya. Biar tambah rame🎉😆

Now...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!