Dekorasi pernikahan yang tampak elegan dengan selendang chiffon warna putih dan rangkaian mawar berwarna senada serta lampion kecil, membuat prosesi sakral di sebuah villa tersebut sebenarnya begitu sangat romantis.
Beberapa keluarga dekat, kawan maupun kolega tampak hadir yang tengah memenuhi kursi-kursi berjejer rapi di sana. Tak hanya itu, birunya langit serta hijaunya rumput dan pepohonan menjadi saksi kepedihan mendalam bagi mempelai wanita, ketika setelah sebelumnya seorang mempelai pria bernama Kayden Kim dan mempelai wanitanya bernama Gwen Sandriana melaksanakan prosesi janji suci pernikahan.
Bagi seorang wanita, bukankah menikah dengan pria yang dicintai dan sang pria mencintai wanita akan membuatnya bahagia? Sayangnya, hal seindah itu tak bisa Gwen rasakan. Di hari pernikahannya, ia hanya menampakkan seraut wajah muram tanpa sedikitpun garis senyum. Gwen sepenuhnya sadar bahwa saat ini ia sudah menikah dengan laki-laki yang menurutnya sangat salah dan tak terduga.
Empat puluh lima menit sebelumnya…
Di salah satu ruangan yaitu kamar khusus calon mempelai wanita yang sedang menanti dan siap menuju ke tempat upacara pernikahan, seketika ruangan itu langsung sunyi senyap setelah sebelumnya beberapa orang melemparkan canda tawa kepada calon mempelai wanita tersebut.
Gwen terduduk lemas di kursi terdekat. Wajahnya pucat pasi karena begitu shock. Tangannya terjepit di antara lutut dan setengah terkubur dalam lipatan lembut sutra putih dan renda halus. Dingin dan mati rasa, ia meremas surat yang baru saja diserahkan Kayden.
Gwen sayang …
Maafkan aku harus melakukan ini kepadamu.
Aku tak bisa melanjutkan pernikahan kita.
Rainer.
Begitulah isi surat tersebut. Singkat dan jelas, tapi menyakitkan. Tentunya akan ada luka batin yang Gwen dapatkan.
“Tega-teganya dia melakukan ini!” seruan paman Gwen yang bernama Joe Huang memecah keheningan yang mencekam. Suara pria paruh baya berumur lima puluh Sembilan tahun itu terdengar serak dan terpukul karena sangat bingung dengan masalah yang tiba-tiba saja menimpa keponakannya.
Ruangan itu kembali hening, tidak ada yang menjawab. Termasuk Gwen, bibinya dan juga sahabatnya yang bernama Lusia Zhang. Bahkan Kayden sendiri pun yang berdiri di dekat jendela ruangan tersebut hanya diam membisu.
Sedangkan di luar sana, di sebuah taman tempat acara janji suci pernikahan yang segera dilaksanakan sudah penuh dengan tamu undangan. Semua mengenakan pakaian terbaik, menunggu kedua mempelai yang tak kunjung muncul.
“Astaga … memangnya dia harus melakukannya semepet ini?” Paman Joe kembali terguncang amarah.
“Laki-laki itu tak tahu diri. Dia tak pantas disebut manusia. Dia tak mempunyai hati,” timpal Bibi Gwen yang bernama Meli Huang di sela-sela isak tangisnya. Wanita paruh baya berumur lima puluh enam tahun itu sungguh mencemaskan nasib keponakan malangnya.
Lusia yang tak tega melihat sahabatnya merasa sedih dan terpukul, dia lantas mendekatinya seraya mendaratkan tubuhnya duduk di kursi. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut punggung sahabatnya yang sangat rapuh.
Lusia pun membuka suara setelah sebelumnya suasana hening melanda selama lima menit. “Gwen, aku tahu hatimu pasti terluka. Dan maafkan aku harus mengatakan ini kepadamu.” Ia menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya, “tapi setidaknya, beri tahu kami keputusanmu selanjutnya.”
“Aku tidak ingin menemui siapa pun,” jawab Gwen lirih. Bibirnya masih gemetar. Mulutnya tampak kering begitu kering sampai-sampai semua terasa membelah segalanya. Tak hanya itu, jantungnya pun memompa dengan aneh. Bukan di dada, melainkan di perut karena denyut besar dan hebat membuatnya pusing serta mual.
“Ya Tuhan, Gwen …” kata Bibi Meli lirih. “Anakku yang malang …” Bibi Meli yang kesehariannya begitu tenang, lembut, dan penuh kasih sayang, serta jarang membiarkan apapun mengacaukan ketenangan hidup sang keponakan tersayangnya yaitu Gwen, saat itu juga hatinya benar-benar hancur, menangis tiada henti dan tak terkendali di kursi yang jaraknya tak jauh dari Gwen dan Lusia duduk.
Paman Joe yang mendengar istrinya terus-terusan menangis, ia kemudian menghampiri untuk menenangkannya. Sementara Kayden sendiri yang sedikit melirik ke arah Paman Joe dan Bibi Meli, ia memandangi mereka berdua sambil menaruh rasa kasihan.
Sedangkan Gwen, dia tak banyak bergerak. Manik cokelat gelapnya dalam keadaan normal di wajah pucatnya. Tatapannya begitu nanar melihat sepucuk surat yang berhasil menghancurkan hatinya dalam sekejap.
Apakah Kayden shock? Gwen bertanya-tanya. Ia menduga pastinya begitu. Lelaki itu jelas tampak pucat di balik kulit kuning langsatnya yang hangat, disaat dia mengenakan setelan jas hitam formal. Tak Mungkin dia menduga, bahwa adiknya sendiri Rainer Kim akan melakukan hal bodoh seperti ini.
“Sepertinya aku harus pergi dan memperingatkan semua orang malang yang menunggu di luar sana,” kata Paman Joe.
Lusia tersentak menoleh ke arah Paman Joe sambil mengernyitkan alisnya. “Apa maksud, Paman Joe?”
“Aku harus memberitahu mereka bahwa acara pernikahan ini dibatalkan.” Dengan berat hati Paman Joe menjawab demikian. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum berkata kembali, “tidak ada pilihan lain.”
“Tidak perlu.” Kayden menyahuti dengan wajah datarnya yang kemudian pria itu menegakkan tubuhnya menghadap Paman Joe. Ia menyadari, bahwa perkataannya yang begitu mendadak dan tidak membutuhkan waktu untuk berpikir terlalu lama, membuat semua orang yang berada di ruangan itu sontak terkejut.
“Apa maksudmu, hah?” seru Paman Joe yang menahan geram. “Ini semua gara-gara adikmu yang bodoh dan tak tahu diri itu. Seharusnya dia memberitahu kami jauh-jauh hari jika dia ingin membatalkan pernikahan dengan keponakan tersayang kami. Adikmu itu tak pantas disebut pria—”
“Aku akan menikahi keponakan tersayang, Paman dan Bibi,” sahut Kayden tegas. “Aku akan menikah dengan, Gwen Sandriana Decker.” Kayden berujar tanpa keraguan sedikitpun sehingga semua orang yang berada di dalam ruangan tersebut kembali terkejut. Terlebih lagi Gwen yang namanya disebut oleh Kayden, seketika ia menyorot tajam wajah pria itu.
“Jangan sinting, Mr. Kayden!” seru Lusia menahan geram. Untuk urusan yang satu ini, tentu dirinya akan membela sahabatnya. Rasa sopannya mendadak menghilang pada atasan tempat dirinya bekerja. “Mr. Kayden, jangan mempermainkan sahabatku ini dan—”
“Saat ini kondisiku waras dan aku tidak ada niatan mempermainkan sahabatmu, Nona Lusia.” Kayden tiba-tiba memotong kalimat Lusia yang belum terselesaikan sehingga wanita itu seketika mengatupkan bibirnya.
Kayden sejenak terdiam, lalu menengok dan menatap langsung ke arah Gwen. Manik hitamnya sangat waspada, tetapi tak tergoyahkan saat mengunci tatapan wanita itu.
“Sebagai ganti adikku, maukah kau menikah denganku, Gwen?” Kayden memintanya serius.
“Tolong tinggalkan aku dan Mr. Kayden,” pinta Gwen. “Aku ingin bicara empat mata dengannya.”
Bibi Meli yang duduk di kursi dan jaraknya tak terlalu jauh dari tempat duduk Gwen, ia lantas menatap wajah keponakannya kemudian bertanya, “Apa kau yakin, Nak? Apa sebaiknya biarkan kami di sini mendengarkan penjelasan dari … bosmu ini?” Wanita paruh baya itu menekankan ucapannya di akhir kalimatnya sambil memberi tatapan sinis kepada Kayden.
“Benar apa yang dikatakan Bibimu, Gwen.” Lusia menimpali untuk mencoba meyakinkan sahabatnya.
“Tolong, tinggalkan kami berdua dulu.” Kali ini Kayden menyahuti dengan suaranya yang tegas dan syarat kesungguhan. “Aku dan Gwen, kami perlu bicara empat mata. Maaf, bukannya aku tak tahu sopan santun.” Pria itu lantas menghela napas lelah. “Lebih cepat kalian ke luar sebentar saja dari ruangan ini, sangat baik untukku agar aku bisa menjelaskan kepadanya.”
“Baiklah,” sahut Paman Joe. Pada akhirnya ia memutuskan karena melihat kesungguhan dari Kayden. “Kami akan memberi ruang untukmu agar kau leluasa bicara pada keponakanku.”
“Tapi—”
“Ayolah, Sayang …” Paman Joe memotong kalimat Bibi Meli yang belum terselesaikan. “Biarkan mereka berdua bicara empat mata dulu.” Ia lalu memberi isyarat kepada Lusia supaya ke luar dari ruangan tersebut dan diangguki oleh gadis itu sebagai jawaban. Hingga beberapa detik kemudian, Paman Joe merangkul bahu istrinya untuk mengajaknya pergi dari rungan itu, setelah sebelumnya Lusia terlebih dahulu meninggalkan ruangan tersebut.
Dan saat ini, keheningan mulai menghantam. Kayden lantas berdiri di depan Gwen, lalu menatap kepala wanita itu. Butuh beberapa detik pandangan matanya turun ke bawah menatap pada sepucuk surat dari Rainer yang masih tergumpal di tangan Gwen, dan perlahan-lahan jatuh terlupakan ke lantai.
“Gwen, kau harus menikahiku!” Suara Kayden memecah keheningan diantara mereka berdua.
“Apa Anda sudah gila, Mr. Kayden!” kata Gwen menahan geram. Sikap sopan santunnya kepada bosnya mendadak hilang. “Astaga … Anda kan sangat membenciku!” serunya frustrasi.
“Itu tidak benar, Gwen,” sanggah Kayden.
Gwen tidak mendengarkan pria itu. Ia mencoba bangkit, tetapi kakinya tidak membiarkannya. Tubuhnya berubah menjadi batu runtuh, dan gelombang kejut selama beberapa menit yang menghancurkan mulai menciptakan retakan lebar dalam dirinya.
Kayden lantas berjongkok di depan Gwen yang masih terduduk dan memaksa wanita itu agar menatapnya. Kayden tampak tegang, tetapi penuh tekad. Gwen bergetar hebat sekarang, sampai-sampai kepalanya gemetar hingga napasnya memburu karena paru-parunya menyempit.
“Aku tahu aku bukan Rainer,” Kayden mengakui dengan muram. “Aku takkan pernah menjadi dirinya. Dia adik tiriku, dan sangat bertolak belakang denganku. Seperti Valerie denganmu.”
Valerie! Nama itu mulai menghantui Gwen. Wajah manis lembut berusia dua puluh empat tahun dengan mata hitam besar rapuh dikelilingi rambut gelap nan halus.
Sebulan lalu Kayden telah memperingatkan Gwen, bahwa pria itu takkan diam dan membiarkan Gwen menikahi adiknya. Sejak terakhir kali mereka bertemu di rumah Kayden yang mewah dan anggun, pria itu telah menghinanya karena Gwen tetap pada pendiriannya untuk menikah dengan Rainer. Sebuah penghinaan yang menggetarkan tembok pertahanan wanita tersebut ketika tatapan mereka bertemu.
Sampai saat itu, ia hanyalah Gwen Sandriana Decker, putri kesayangan mendiang Raul dan Tasya Decker yang sangat dirindukannya. Ia sangat bangga dengan darah campurannya, hingga manik hitam milik Kayden telah berani menilainya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Gwen mengalami apa rasanya penghinaan nyata yang hampir meremukkan hatinya. Kombinasi langka rambut lurus cokelat kehitaman, bermata indah, serta kulit putih bersih yang membuat orang-orang menoleh kagum sepanjang hidupnya, tiba-tiba menjadi sesuatu sangat sensitif baginya.
Dan sekarang, ia harus menguatkan diri untuk menerima uluran tangan Kayden, begitu instingnya berkata pria itu tidak ingin menyentuhnya atau bahkan berada di ruangan yang sama dengannya.
“Gwen, dengarkan aku.” Suara Kayden tiba-tiba terdengar parau. “Aku tahu kau takkan percaya. Tetapi aku tahu sejak awal Rainer bukan pria yang tepat untukmu. Aku lega dia akhirnya sadar sebelum segalanya terlambat. Tapi aku tidak bangga dengan waktu yang dia butuhkan untuk melakukannya. Aku juga takkan begitu saja memaafkan caranya menyakitimu hari ini. Tidak seorang pun!” ujarnya tegas.
“Ini semua salah Anda!” seru Gwen yang mulai meradang. “Terimakasih. Berkat Anda, sebentar lagi aku akan dipermalukan.”
“Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!” Kayden pun menyanggahnya. “Gwen, Valerie sangat tepat untuk Rainer karena mereka masih saling mencintai. Dan perlu kau ketahui, mereka berdua menjalin hubungan sejak remaja. Pasangan muda, sebelum kesalah pahaman konyol membuat Valerie terbang ke Paris untuk tinggal bersama ibunya dua tahun lalu.”
“Aku tidak ingin mendengar semua ini!” seru Gwen, mati-matian berjuang melawan awan hitam yang mengancam untuk benar-benar menguasainya.
“Baiklah!” kata Kayden serak, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya lagi. “Kalau begitu, dengarkan yang ini saja,” perintah Kayden berkeras. “Bukankah dua hari lagi paman dan bibimu akan berlibur ke Cina selama dua bulan?”
Gwen seketika mengerutkan dahinya dalam. “Bagaimana Anda tahu?”
“Beberapa hari yang lalu, Rainer sempat memberi tahuku tentang rencana liburan paman dan bibimu. Sebagai keponakan tersayang, apa kau tak merasa kasihan dengan paman dan bibimu itu? Jika kau bersikeras tidak menikah denganku, pikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada mereka berdua? Kau kira mereka ingin pergi sekarang setelah apa yang terjadi padamu hari ini?” Kayden menghembuskan napasnya dengan kasar. “Kau jangan egois, Gwen.”
Gwen menatap pria itu. Ia benar-benar lupa, bahwa Paman dan Bibinya berencana berlibur setelah keponakan yang telah mereka rawat dengan penuh kasih sayang selama sepuluh tahun meninggalkan rumah setelah menikah.
“Mereka tak perlu mencemaskanku,” kata Gwen goyah. “Dan bukan berarti aku harus membebankan diriku pada Anda sebagai gantinya!” serunya, terluka karena cara kejam yang dipilih Kayden agar ia menyadari kenyataan itu.
“Kenapa tidak?” Kayden menuntut, manik hitamnya yang penuh tekad menusuk mata cokelat Gwen yang terluka. “Jika ada yang pantas untuk itu, akulah orangnya. Kau bilang sendiri ini semua salahku dan aku tahu benar soal itu.” Dia mengakui dengan serak. “Akulah yang menelepon Valerie untuk memperingatkannya tentang kau dan Rainer. Aku lah yang menasihatinya agar dia kembali ke sini jika dia masih menyimpan perasaan terhadap adikku. Dan aku lah juga—” Ia menjeda kalimatnya, bersusah payah mengumpulkan seluruh keberaniannya. “Yang mendorong Rainer setiap saat agar dia melihat kesalahan mengerikan yang dilakukannya jika dia menikahimu!”
Gwen sangat terkesiap. “Ya Tuhan … Aku benar-benar membenci Anda, Mr. Kayden!” Suaranya mendadak bergetar karena menahan tangis yang mungkin sebentar lagi akan siap berselancar mulus dipipinya.
“Dengarkan aku, Gwen.” Kayden memegang kuat kedua bahu wanita itu. “Aku merasa tidak enak dengan semua ini. Merasa bersalah, jika kau ingin menyebutnya begitu. Aku berutang padamu. Biarkan aku membantumu melewati semua ini dengan terhormat.”
Gwen mengernyit. “Dengan mengajukan diri sebagai pengganti adik Anda?” Seketika ia tertawa dan suaranya melengkin nyaris histeris. Entah ia sedang menertawakan nasib malangnya atau barangkali menertawakan pengakuan dari pria yang sudah berani berlagak seperti pahlawan kesiangan. “Berapa usia Anda?” tanyanya yang menatap Kayden dengan getir.
Kayden meringis. “Tiga puluh dua tahun.”
“Aku dua puluh lima tahun,” Gwen memberitahunya. “Dan Rainer dua puluh tujuh tahun.”
“Baiklah,” tukas Kayden, lalu ia tersentak berdiri dan sedikit menjauh untuk menjaga jarak dari Gwen. “Aku memang tidak ada apa-apanya dibandingkan adikku! Aku tidak memintamu mencintaiku sebagai gantinya. Tapi tolong, beri aku kesempatan untuk membantumu melalui semua ini selama beberapa bulan ke depan, dan sementara kau dapat melupakan kejadian ini.”
“Mana mungkin aku bisa melupakan kejadian ini!” seru Gwen memberitahunya sambil mengernyit. Lantas ia mencoba berdiri tegak agar bisa menatap Kayden. “Dan apa yang akan Anda dapatkan dari semua ini?” Selama tiga tahun terakhir bekerja di perusahaan Kim yang berpusat di Jakarta, Gwen sangat tahu bahwa atasan mereka yang terhormat sekaligus sang pemilik perusahaan, tak pernah melakukan apapun tanpa alasan kuat.
“Apalagi kalau bukan untuk menyelamatkan nama keluargaku,” kata Kayden datar.
“Memangnya Anda sepeduli itu pada kehormatan keluarga?” Tatapan sinis Gwen membuat bibir Kayden semakin rapat.
“Tindakannya telah mencemari nama keluargaku, terutama namaku,” ujar Kayden setelah sebelumnya beberapa detik ia terdiam. “Dan dia pasti melarikan diri bersama Valerie ke luar negeri karena kejadian ini. Tentunya dia sangat malu sebab tindakannya yang telah memanfaatkanmu. Rainer tak pernah menyelesaikan masalahnya dengan baik.”
Seketika pandangan mata Gwen terselubung bayang-bayang Rainer. Ucapan Kayden memang sangat benar. Rainer telah memanfaatkannya. Sepanjang waktu dia telah memanfaatkannya dengan obralan cinta abadi dan juga janji-janji manisnya.
Dan menurut Gwen, Kayden salah tentang satu hal jika menganggap dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan adiknya. Hal itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan penampilan atau pesona bahkan cinta Gwen untuk adiknya yang masih berdenyut-denyut di dada Gwen, terlepas dari semua rasa sakit yang telah ditimpakan Rainer pada wanita itu.
Namun, karena rasa tanggung jawab mendalam yang dimiliki Kayden, ia harus segera memutuskan menikahi Gwen. Jenis tanggung jawab yang membuat Kayden harus memperingatkan mantan kekasih adiknya tentang niatan Rainer sebenarnya. Dan tentunya itu ada hubungannya dengan ini. Kebutuhan untuk meluruskan kekacauan yang dibuat anggota keluarganya sendiri.
“Aku tidak akan menikah dengan Anda, Mr. Kayden!” kata Gwen tegas. “Tidak untuk menyelamatkan nama Anda atau namaku sendiri. Aku tidak akan merendahkan diriku lebih jauh lagi.”
“Aku tidak ada maksud untuk merendahkanmu, Gwen,” sangkal Kayden muram, kemudia ia mendekati wanita itu. “Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki ini semuanya.”
Gwen bergeming. Ia mengangkat kepala dengan muram, menatap wajah keras dan suram milik Kayden, beriringan dengan air mata yang mulai menyengat di balik kelopak matanya. Wanita itu lantas menutupinya dengan kedua tangannya, dan tubuhnya gemetar oleh serangan lemah rasa mengasihani diri sendiri.
Kayden yang tidak tega melihatnya, seketika ia langsung memeluknya sehingga Gwen sendiri pun bisa merasakan helaan napas berat dari pria itu, saat Gwen berjuang menahan terbitnya air mata. Ia tidak bisa menghindarinya, terlebih menolak pelukan dari Kayden karena hatinya tiba-tiba menghangat, walau kesedihan belum menghilang sepenuhnya.
“Aku tidak punya apa-apa lagi …” kata Gwen lirih. “Tidak ada lagi ….”
“Tapi kau akan segera memilikinya lagi,” gumam Kayden meyakinkan, dan tiba-tiba ia mengeratkan pelukannya. “Ayo, menikahlah denganku!” Kayden mendesaknya parau. “Saat ini, hanya kau, aku dan Rainer, yang tahu alasan sebenarnya mengapa Rainer meninggalkanmu di hari pernikahan kalian.”
“Bagaimana dengan para tamu yang akan bertanya-bertanya, mengapa aku harus menikah dengan Anda, bukannya Rainer?” tanya Gwen muram.
“Kita bisa memberi tahu mereka bahwa aku telah menghentikan pernikahanmu dengan Rainer, karena aku sangat mencintaimu dan kau telah jatuh cinta kepadaku hingga Rainer mengetahui tentang hal itu.” Kayden menjeda kalimatnya untuk menghela napas lelah. “Aku yakin, Rainer tidak akan menyangkalnya. Dia hanya akan merasa lega karena kita telah menemukan cara untuk membuatnya kelihatan tidak terlalu bersalah," ujarnya mencoba meyakinkan Gwen. Pria itu lantas memeluk Gwen sejenak lebih erat untuk membesarkan hatinya, hingga beberapa detik kemudian ia melepaskan pelukannya. “Oke?” tanyanya.
Seolah terhipnotis, Gwen pun mengangguk. Ia tahu seharusnya tidak membiarkan ini terjadi. Namun, entah bagaimana wanita itu tidak menemukan kekuatan untuk melawan lagi tawaran suka rela dari Kayden.
Menurut Gwen, Kayden benar tentang satu hal. Dia satu-satunya orang yang Gwen rasa bisa memahami siksaannya karena Kayden yang mencetuskannya sejak awal.
“Biar aku yang bicara pada paman dan bibimu,” saran Kayden saat menggiring Gwen ke pintu.
Dan Gwen sendiri pun, ia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu harus percaya kepada Kayden sebagai orang yang masih waras. Hal itu satu-satunya cara agar ia bisa bertahan dan juga menyelamatkan nama baik paman juga bibinya.
Mereka berdua pun pergi menemui paman dan bibi Gwen yang menunggu mereka di ruang duduk untuk keluarga dekat mempelai.
Bibi Meli berdiri ketika Kayden dan Gwen masuk. Wanita paruh baya itu masih terguncang sampai-sampai membutuhkan bantuan sang suami. Tiba-tiba mereka tampak tua dan rapuh, sama sekali tak dapat mengatasi kengerian serta emosi yang ditimbulkan dalam kejadian ini.
Selama sepuluh tahun, kedua orang tua ini telah mencintai dan merawat Gwen, mengambil tanggung jawab mengurus anak Raul dan Tasya Decker, setelah gadis itu yatim piatu karena kedua orang tua kandungnya mengalami kecelakaan mobil.
Meskipun mereka sudah berusia empat puluhan saat itu, keduanya sangat baik hati dan penuh kasih sayang terhadap Gwen. Kedua orang tua itu memberi Gwen segala hal semampu mereka, menunda kesenangan hidup demi kepentingannya serta dengan senang hati melakukannya.
Melihat Gwen menikah, merupakan komitmen mereka terhadapnya. Dan sementara Gwen yang sibuk merencanakan hari pernikahannya kala itu, kedua orang yang tak lagi muda dan luar biasa ini juga sama bersemangatnya merencanakan liburan di rumah mereka yang berada di Cina, kota kelahiran paman Gwen.
Dengan lunglai, Gwen melangkahkan kakinya menuju ke arah Bibinya. Ia melihat wajah bibinya merah dan matanya bengkak akibat menangis. Sudah tidak tampak seperti perempuan ceria, bahagia, meski terlalu bersemangat, yang Gwen lihat pagi ini.
Hingga seketika membuat Gwen tersadar, bahwa apa yang dikatakan Kayden benar adanya. Dia tidak boleh egois dan tidak dapat merampas hal bahagia itu dari mereka.
“Gwen …” Suara serak dan gemetar Bibi Meli membuat air mata baru menetes di mata wanita paruh baya itu ketika ia bergegas memeluk sang keponakan tersayang.
“Aku baik-baik saja, Bibi." Gwen meyakinkan Bibi tersayangnya. Ia lantas memejamkan mata karena tak sanggup menanggung semua ini. Tak sanggup menahan kepedihan mereka dan kepedihannya sendiri. “Maafkan aku Bibi …” kemudian ia membuka matanya dan menatap pamannya. “Aku sangat menyesal, Paman,” ujarnya, tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya.
“Tidak, Nak," kata Paman Joe lembut seraya menggelengkan kepalanya. “Ini bukan salahmu.”
Kayden yang memahami bahwa Gwen tak sanggup mengutarakan keputusannya kepada paman dan bibinya, ia lantas berjalan ke samping Gwen. "Paman dan Bibi Huang.” Kayden menatap paman Joe dengan serius. “Kami sudah memutuskan, bahwa aku akan menikahi Gwen saat ini juga.”
Paman Joe mencoba tenang setelah mendengar pengakuan Kayden. Sejenak, ia menatap tajam manik hitam milik Kayden sebelum beralih menatap wajah keponakannya, lalu bertanya dengan suara lembut. “Gwen, apa kau bersedia menikahi pria ini, Nak?”
Butuh hitungan detik untuk Gwen menganggukkan kepalanya sebagai jawaban saat masih memeluk bibinya.
“Oh, anakku yang malang ..." Bibinya terisak-isak dengan sisa energinya dan semakin mengeratkan pelukannya.
Paman Joe seketika menghela napas panjang. "Baiklah, jika itu keputusanmu, Nak.” Pria paruh baya itu kemudian beralih menatap tajam Kayden. “Kuharap adikmu malu atas apa yang dia lakukan hari ini terhadap keponakanku,” kata Paman Joe tegas.
“Dengan segala hormat, Paman Huang,” balas Kayden sopan, “aku minta maaf,” tambahnya singkat.
“Paman, Bibi …” Gwen menarik tubuhnya terlebih dahulu untuk melepaskan pelukan hangat dari bibinya. "Jangan khawatirkan aku.” Wanita itu mencoba meyakinkan paman dan bibinya sambil memaksakan senyumnya. “Aku baik-baik saja.”
“Gwen!” seru Lusia yang baru saja datang ke ruangan tersebut dan berjalan ke arah Gwen, setelah sebelumnya beberapa menit yang lalu ia memastikan suasana di luar, bahwa para tamu sudah banyak berdatangan dan beberapa tamu lainnya menanyainya tentang mempelai yang tak kunjung muncul. “Maafkan aku, tapi aku harus mengatakannya. Para tamu sudah banyak berdatangan dan mereka menanyaimu. Tak ada waktu lagi, Gwen."
"Lusia …" Gwen pun memeluk sahabat baiknya itu. Mereka sudah menjadi sahabat baik sejak pertama kali mereka bertemu di bangku sekolah menengah atas, hingga masa-masa kuliah dan bekerja satu kantor pun mereka berdua masih bersama. “Terimakasih sudah menjadi sahabat yang terbaik untukku selama ini.”
“Gwen, kau harus menguatkan hatimu, hem? Aku selalu ada untukmu." Lusia mengusap-usap punggung sahabatnya sebagai bentuk dukungan. Ia begitu tahu, bahwa saat ini sahabatnya sangat rapuh. Beberapa detik setelahnya, Lusia melepaskan pelukannya terlebih dahulu, kemudian memegang bahu Gwen dan memaksanya agar menatap lurus ke matanya. “Apa kau sudah mengambil keputusan?”
Gwen pun mengangguk, lalu ia menjawab, “Sudah. Aku sudah mengambil keputusan. Aku akan menikah dengan …” Wanita itu sejenak menggantungkan kalimatnya, sebelum ia melanjutkannya kembali, “Mr. Kayden!”
Lusia yang mendengarkannya pun tersentak dan mengerutkan dahinya dalam. "Apa kau yakin?”
“Ya, aku yakin.” Gwen menjawab tegas tanpa keraguan sedikit pun.
Lusia sejenak menghela napas lelah. “Oke, jika itu memang keputusanmu. Sebagai sahabatmu, aku menginginkan kau bahagia, Gwen.” Pandangan mata Lusia beralih manatap tajam bosnya. “Bagaimanapun, dia harus menghadapi kewajibannya karena kekacauan yang disebabkan adiknya,” lanjutnya, langsung mengkritik Kayden.
“Sebagai anak tertua dikeluargaku, aku tahu apa yang harus aku lakukan, Nona Lusia.” Kayden menjawab dengan wajah datar dan dingin, serta tidak bereaksi terhadap serangan langsung dari Lusia tadi. "Aku akan bertanggung jawab penuh atas hidup, Gwen.”
“Benarkah?” Lusia bertanya dengan tatapan kurang percaya. "Sebaiknya Anda melakukannya atau Anda akan berhadapan denganku. Tak peduli sekalipun Anda memecatku, karena aku tak dapat mentolerir kejadian yang sangat buruk ini menimpa Gwen.”
“Lusia …” Gwen mengumamkan nama sahabatnya dengan lirih. Suaranya seakan tercekat ditenggorokan karena sahabat baiknya itu selalu ada disaat Gwen sangat rapuh seperti sekarang ini.
“Sebenarnya,” kata Kayden dengan tenang, "adikku menolak menikahi Gwen, karena dia tahu bahwa aku sangat mencintai Gwen dan Gwen telah jatuh cinta kapadaku.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!