NovelToon NovelToon

WHEN CEO WANTS ME

Permulaan

Semua orang pernah menyerah bukan? Dalam urusan hubungan maupun hidup. Kalau bukan semua orang, pasti ada yang sudah menyerah kan? Kalau memang diantara kalian ada yang sudah pernah menyerah dengan suatu hubungan, hidup, pekerjaan, hobi, atau apapun itu, apa boleh aku bertanya?

Bagaimana rasanya?

Menyesal kah?

Atau justru merasa lega?

Karena aku sedang berada ditahap, dimana aku ingin melepaskan semua tanggung jawab yang aku pegang, bisa dibilang aku ingin lari dari kenyataan. Begitulah, terlalu sulit untuk menyerah, tetapi aku juga lelah. Karena itu aku bertanya.

“Qyla? Sedang apa kamu?” tanya seseorang yang familiar sekali di telingaku.

Aku menutup buku harianku, tidak biasanya dia datang menemuiku tanpa memberitahu kedatangannya. Dia Radith, sahabatku, mungkin. Dia bilang, dia mengagumi dan menyukaiku. Tak perlu jawaban katanya, dia hanya ingin mengungkapkan bukan menyatakan.

“Hanya—” ucapanku terpotong.

“Mengutarakan kata hati melalui pena?”

Tepat. Dia mengenaliku lebih baik dari siapapun.

“Sendiri, Dit?” tanyaku berbasa-basi.

“Maunya sama siapa, Qyla?” goda Radith.

“Siapa tahu kamu mau kenalin pacarmu ke aku.”

“Althaf mana?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Mengalihkan pembicaraan kamu, Dit.”

Dia hanya tersenyum dan memasuki kamar Althaf, dia sedang tertidur pulas, Radith mengusap lembut kepalanya lalu keluar dari kamar Althaf dan menjelajahi rumahku, memang selalu begitu, dasar Radith. Aku membawanya untuk duduk diruang tengah, dengan segelas coklat panas kesukaannya.

“Jadi?” tanya Radith.

Aku mengkerutkan keningku, “Jadi apa, Dit?”

“Bagaimana perasaanmu?”

“Boleh kalau aku bilang, lelah?”

“Boleh. Tapi hanya didepanku, Qyla. Tidak boleh jika orang lain.”

Aku tersenyum. Ternyata Radith seromantis ini, ke mana saja diriku selama ini? Mengapa aku tidak menyadari bahwa orang yang begitu memperdulikanku dan mengertiku itu berada sedekat ini?

Aku terlalu fokus pada masalah hidupku.

“Kenapa hanya kamu?”

“Maunya siapa?”

Entahlah, Dit. Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Semua ini mulai salah, tetapi aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Rasanya sangat lelah terus berusaha untuk bersikap tidak apa-apa, rasanya lelah sekali untuk terus tersenyum, rasanya lelah untuk mengabaikan semua yang terjadi.

Tapi aku sendiri sadar, mengeluh bukanlah sebuah jalan keluar. Tapi kau tahu sendiri, Radith. Tidak ada satu halpun yang bisa aku sembunyikan darimu.

...***...

"Argh!"

Badan Asqyla terhempas menabrak dinding yang berasa dibelakangnya, Werrent menatap Asqyla dengan tatapan lapar. Tidak bisa dipungkiri wajah serta tubuh Asqyla membuat pria manapun tegang, Werrent menatap Aqyla dengan tajam, seakan laser akan keluar dari matanya.

"Berhenti, Kak. Kita bukan lagi--"

"SHUT UP, ****!"

Tangan Werrent terulur meraih dagu Asqyla mendekatkannya menuju wajah Werrent, Asqyla terpejam takut dengan sentuhan-sentuhan Werrent yang sudah menelusuri wajah juga lehernya.

"Setelah sekian lama menghilang, kau kembali bersama selingkuhanmu, Asqyla? How perfect isn't it?"

...***...

Bagaimana rasanya berada disatu rumah tapi tidak dihati yang sama?

- Asqyla Dinara

Lalu, bagaimana rasanya ditinggal bersama dengan harapan yang hanya angan, Asqyla?

- Werrent Grissham Orlov

...***...

Dipilih atau memilih?

Bertahan atau menyerah?

Berjuang atau putus asa?

Keputusan mana yang akan kalian ambil jika berada diposisiku?

Gadis yang baru saja berusia 17 tahun tiba-tiba menikah dengan orang yang tidak dia kenal.

Klise sekali bukan? Suami tampan juga mapan.

Tapi apa semua itu bisa membuat kalian bahagia walau hanya berada disatu rumah tetapi tidak dihati yang sama?

Bunda rindu, Qyla.

Tujuh belas tahun. Masa-masa di mana seorang manusia memasuki fase dewasa, di mana seorang manusia mendapat hak milik dan memiliki hak untuk berpendapat. Banyak yang bilang jika umur manusia sudah memasuki angka tujuh belas itu tandanya mereka sudah ‘Legal’. Entah itu kependudukkan atau status. Tapi, yang aku harapkan dari angka ini adalah kehidupanku yang sama seperti beberapa tahun kebelakang, aku tidak ingin hal yang aneh-aneh. Cukup mengikuti alur yang sudah diberikan sejak awal dalam ceritaku.

“QILA!” seru seorang lelaki yang sangat familiar.

Aku menutup buku harianku, berjalan menuju si pemilik suara. Dengan cengiran khasnya dia menerjangku, memeluk dengan erat. Hanya tawaan yang keluar dari bibirnya, aku diam. Tak membalas tawaan juga peluknya. Setelah dia merasa cukup dengan pelukan yang dia berikan, dia segera merangkulku.

“Cie, Qila-ku sudah legal,” godanya.

Aku melepas rangkulannya dan kembali duduk di bangku.

“Gak usah aneh-aneh deh,” balasku dengan ketus.

“Kamu kesal karena aku yang paling terakhir memberi ucapan selamat?” tanyanya disertai dengan godaan.

“Siapa yang kesal?!” jawabku dengan meninggikan suara.

“Gadis cantik di depanku.”

“Matamu rabun, Dit!” seruku kesal.

Dia menatapku dengan intens, menunduk dan menghampiri tempatku duduk. Meruntuhkan jarak di antara kita. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Dia tersenyum, kening kita sudah saling bersentuhan. Senyumnya semakin lebar, lalu pipinya pun merona. Aku bisa merasakan degupan jantung Radith yang kian detik, kian terdengar lebih kencang. Tiba-tiba dia memukul meja dengan keras membuatku mendorong tubuhnya dan menetralkan jantungku yang berteriak karna pukulan meja tadi.

Dia menggaruk lehernya dengan tawa hambar, pipinya masih merona, tapi, tak semerona tadi. Mencoba untuk mendekatiku lagi, dia duduk di bangku depan mejaku. Berbalik kearahku tentunya. Tangannya ia gunakan untuk menangkup wajahnya, masih saja tersenyum kearahku. Jujur. Aku bingung dengan kelakuannya, dia pasti ingin menyampaikan sesuatu yang akan membuatku kesal. Sudah terbaca jelas dari wajahnya.

“Wah, sepertinya aku memang rabun. Kamu hebat, Qyla,” ucapnya takjub.

Aku memutar bola mataku malas, “Periksakan matamu ke dokter, Dit. Bukan tersenyum tidak jelas seperti itu.”

“Gak mau tanya alasannya?”

“Apa?” tanyaku datar.

“Soalnya kamu lebih cantik dari dekat.”

Tangannya menggapai wajahku, menyeka keringat yang keluar dari pelipisku lalu mencubit hidungku gemas. Dengan cepat aku menarik tangannya, membuat lelaki di depanku ini menyentuhkan keningnya di bahuku. Tanganku dengan sigap langsung mencubit pinggangnya kesal. Senyum kemenangan tercetak di wajahku, dia berusaha melepaskan tangannya dan menahan tanganku agar tidak mencubitnya lebih lama.

“Cantik tapi tangannya nakal, suka deh.”

Tangannya kembali mencubit hidungku, kali ini lebih keras. Aku mengerang kesal, dan mencoba mencubitnya. Tapi, tangannya sudah mengunci tanganku dan mengambil tasku lalu berlari keluar kelas, lagi-lagi tasnya dia tinggalkan. Aku merapikan alat tulisku dan mengambil buku harian yang tadi aku tulis, kumasukkan buku dan alat tulis milikku kedalam tas Radith. Hanya dua buku tulis yang ada di dalam tas dia, aku hanya menggelengkan kepalaku.

Harus berapa kali lagi aku beritahu dia untuk lebih rajin membawa buku paket dan pelajaran lainnya? Toh, tidak akan seberat membawa kantung beras. Tapi harus aku akui kalau dia memang lebih pintar daripada aku, membayangkan senyum manis yang ia tunjukkan ketika dia mendapat peringkat pertama saja membuatku kesal. Tidak sebanding dengan yang aku lakukan saat ujian tiba.

Apanya yang belajar bersama ketika dia hanya memandangi wajahku. Memangnya semua materi pelajaran tercetak di wajahku apa?!

“Sedang memikirkan apa, Qila?” tanya Radith sesaat sesudah aku keluar dari ruang kelas.

“Kamu,” jawabku dingin.

Radith terkekeh, “Lho? Tumben banget.”

“Buku paketnya mana?”

“Aku duduk berdua, Qyla. Untuk apa aku bawa buku kalau teman sebangku ku bawa?”

“Tetap saja, Dit. Kamu itu harus ra—”

“Wah, Qyla cocok kalau pakai tasku. Lebih cool, ya, gak?”

“Kebiasaan.”

Aku memaksakan wajah kesalku, tetapi ekspresi Radith yang kikuk membuatku tertawa. Dia ikut tertawa dan kembali merangkulku, tidak lupa juga dengan cubitan di hidungku. Aku mengembungkan pipiku, kesal dengan kebiasaan Radith yang satu ini. Selalu saja hidungku yang menjadi sasaran dari tangan jahilnya itu.

Dengan cepat aku mengejar Radith yang berlari begitu saja setelah menertawaiku, larinya cepat sekali, tak sempat aku menyusulnya. Dengan kesal aku menghentakkan kakiku dan berjalan menuju gerbang. Pak Dadang seorang satpam sekolahku, menyapaku lembut. Aku menghampirinya dan ikut duduk di Posnya. Sesekali bercanda gurau dengan Bapak itu, banyak sekali yang aku bicarakan dengannya. Biasanya selalu diakhiri dengan cerita seram di sekolahku, tak pernah bosan aku mendengar ceritanya sampai Radith menyapa Pak Dadang dengan sapaan santai seperti teman sebaya.

Aku pamit dan menghampiri Radith yang sudah siap dengan motornya. Kuulurkan tanganku, meminta tasku kembali. Dia menatapku dengan heran, lalu memberikan helm kepadaku.

“Cie nungguin.”

“Tasnya, Radith,” kataku dingin.

Radith mencolek daguku, “Dingin amat, Neng.”

“Cepet! Aku mau pulang.”

“Yaudah ini pake, masa udah cantik gini terus ketilang.”

Aku menyilangkan tanganku di depan dada dan menatapnya dingin. “Di Angkot gak perlu helm, Radith.”

“Gak mau pulang sama aku?”

“Buat apa?” tanyaku acuh.

“Bunda kangen.”

Dia memasang helm yang tadi dia pegang di kepalaku, aku menatapnya sebal lalu menaiki motornya. Aku masih kesal dengan Radith, seenaknya mencubit hidungku. Tapi, Radith bilang, Bunda kangen. Aku harus menemuinya bukan?

Sudah lama juga aku tidak berkunjung ke rumah Radith karena ujian tengah semester yang baru saja kita lewati minggu lalu. Radiht menyalakan mesin motornya dan aku bersiap untuk naik. Kulambaikan tanganku kepada Pak Dadang dan berlalu meninggalkan sekolah.

Di tengah lampu merah, Radith masih membawa tasku di punggungnya, saat aku membuka tasku berusaha untuk menyimpan buku yang tadi aku titipkan di tasnya Radith. Tiba-tiba dia melepas tasku dan memindahkannya kedepan lalu menutup kembali resleting tasku, aku mencubit pinggangnya. Dia hanya tertawa dan mengatakan nanti saja di kembalikannya, lagipula dirinya tidak berniat untuk membakar buku harianku, katanya. Menyebalkan memang. Kalau bukan Bunda yang ingin menemuiku, sudah kutinggalkan dia lalu berpaling kepada Babang Angkot.

“Kenapa, Qyla?” Dia melirikku melalui kaca spion, aku mengejeknya dengan ekspresi sejelek mungkin. Dia malah tertawa dan menjalankan motornya dengan kencang saat lampu lalu lintas sudah berubah menjadi warna hijau, mau tak mau aku merangkul lehernya dan sedikit mencekik Radith agar menurunkan kecepatan motornya.

“Lepas, Qyla. Sakit lho ini.” Radith menepuk tanganku berkali-kali sembari terbatuk. Saat motornya sudah mencapai depan rumahnya, aku makin mengeratkan rangkulan di lehernya membuat dia kembali terbatuk dan mencubit tanganku. Nyeri. Cubitan kecil itu sangat mematikan, aku melepas rangkulanku dan turun dari motornya, melepaskan helm dan melemparkannya kepada Radith. Ternyata yang rindu bukan hanya Bunda, tapi aku juga.

Ada apa dengan Radith?!

Aku berlari menuju rumah Radith dan berteriak mencari Bunda, tidak sopan memang. Tapi, aku sudah menganggap Bundanya Radith seperti Mama ku sendiri. Ketemu. Dia sedang memasak, aku mengendap-endap dan mencoba mengagetkannya. Radith memang menyebalkan sekali. Dia berteriak memanggil Bunda berniat memberitahu kedatanganku kesini, kutengok wajahnya sembari memberikan tatapan mematikan. Dia hanya tertawa.

“Lho, Asqyla. Ke mana aja? Kalau Bunda gak suruh Radith buat datang ker umah, pasti gak bakal temui Bunda,” ucap bunda lembut. Aku menghampirinya dan mencium tangannya. Bunda mengelus kepalaku lembut, aku menerjang Bunda hingga dia hampir kehilangan keseimbangannya.

“Nggak gitu, Bun. Qyla males ketemu Adit, nanti Bunda kasih tahu Qyla aja kalau Adit lagi enggak di rumah. Qyla pasti datang!” sahutku semangat.

Bunda menghampiri Radith dan mencubit kupingnya, dia yang tidak tahu apa-apa menatapku dan meminta tolong. Aku tertawa melihat Radith kesakitan, “Kamu ngapain Qyla lagi? Nakal banget si jadi anak. Laki-laki itu harus jaga perempuan, gemes Bunda sama kamu.”

Bunda berhasil membuat telinga Radith memerah, aku tertawa melihat ekspresi kaget dia yang tidak tahu apa-apa sama sekali.

Radith mengusap telinganya, “Adit nggak ngapa-ngapain, Qyla, Bun.”

“Terus kenapa Qyla kesel sama kamu?” tanya Bunda dengan nada candaan.

Radith melirikku tajam. “Mana Adit tahu, Bun. Tanya aja sama, Qyla,” jawab Radith ketus.

Lagi-lagi aku tertawa melihat Radith yang pergi begitu saja, padahal aku yakin dia tahu kalau Bunda sedang bercanda. Bunda menatapku dengan tawaan kecil, kita berdua telah membuat Radith kesal. Aku hanya tersenyum senang melihat Radith kesal, dia juga harus merasakan apa yang aku rasakan saat dia menjahiliku. Impas bukan?

Bunda mengajakku ngobrol di ruang tengah, dengan secangkir coklat panas kesukaan Radith dan kue kering buatan Bunda. Seleraku memang tidak beda jauh dari Radith, apa yang Radith suka, pasti aku sukai juga. Tapi, itu hanya berlaku untuk makanan, kalau masalah hobi, itu beda jauh sekali. Radith lebih suka berpergian dan aku lebih suka membersihkan rumah. Namun, jika Radith mengajakku dengan alasan mencari makanan, aku tidak akan pernah menolaknya.

Aku mendengarkan keluh kesal Bunda yang harus mendidik Radith dengan susah payah, anak Bunda itu memang susah diatur. Kasihan sekali Bunda, memiliki anak seperti Radith, harusnya aku saja yang menjadi anak Bunda. Tapi, aku juga ingin menjadi anak Mama, apa aku harus menjadi anak dengan dua Ibu? Kalau bisa kenapa tidak? Radith pasti iri dengan ku.

“Sudahlah, Bunda lelah mengurus Radith. Qyla mau jadi anak Bunda?” tanya Bunda dengan kekehan.

Aku tertawa dan mengeraskan suaraku, “Mau, Bunda! Adit-nya buang aja, dia cuman bisa nyusahin Bunda!”

“Iya nanti Bunda buang dia!” balas Bunda tak kalah kencang juga.

Kami berdua tertawa, sengaja membesarkan suara kita agar Radith mendengarnya. Suara langkah kaki terdengar mendekati aku dan Bunda, aku yakin Radith akan duduk ditengah-tengah kita, antara Bunda dan aku. Lalu, dia akan terdiam dan melirik Bunda dengan tatapan tajam. Dan sekarang, dia tengah melakukan hal yang aku bicarakan tadi.

“Bunda nggak mau punya anak macem Radith?” tanya Radith merajuk.

Aku terkekeh, “Kita bercanda, Dit. Jangan masukin ke hati.”

“Diam kamu, Qyla. Aku lagi ngomong sama Bunda, bukan kamu.”

“Kalau begitu, aku pamit pulang.”

Radith melihatku dan menahan tanganku, dia tertawa renyah dan meminta maaf kepada Bunda karena telah menatapnya dengan tatapan tajam. Dilihatnya coklat panasku yang tinggal setengah, dia teguk sekaligus. Bisa-bisanya dia meminum minumanku. Radith memang menyebalkan!

“Radith! Kenapa nggak buat sendiri? Masih aku minum coklatnya.”

Rengekanku membuat Bunda terekeh dan menyentil kening Radith, Bunda beranjak dan membuatkan ku coklat panas lagi. Aku menolaknya dan bilang tidak apa-apa, tapi Bunda tetap membuatkanku coklat panas. Langkahnya sudah separuh perjalanan menuju dapur, tapi terhenti karena dia mengingat sesuatu.

“Qyla?” tanya Bunda dengan hati-hati.

“Iya, Bun?”

Aku menjawabnya dari balik sofa tanpa melihat Bunda karena Radith tiba-tiba tertidur di pangkuanku. Aku mengusap lembut rambutnya, sesekali menarik beberapa helai rambutnya karena kepalanya yang berat membuat pahaku kesemutan.

“Kamu nggak apa-apa deket sama Radith?”

“Kenapa harus apa-apa, Bun?” tanyaku bingung.

“Kamu kan sebentar lagi akan menikah.”

Menikah? Aku menatap Bunda bingung, Radith terbangun dan menatap Bunda bingung juga. Bunda sedang bercanda apa? Masa aku menikah? Maksudku, aku masih sekolah. Kenapa aku harus menikah secepat ini? Lalu, dengan siapa? Radith? Tidak mungkin bukan? Jelas-jelas tidak mungkin, dari perkataan Bunda saja sudah terdengar jelas kalau pria itu bukan Radith.

“Nikah?! Sama siapa, Bun?” tanyaku penasaran.

“Lho, Mama kamu nggak cerita sama kamu? Bunda tadi ngobrol sama Mama kamu, makannya Bunda minta kamu kesini. Kalau sudah menikah pasti susah kemari, apalagi ada Radith.”

Aku tertawa kaku, “Bunda bercanda, ya, sama Qyla?”

“Ngapain Bunda bercanda, Qyla?”

“Serius, Bun?”

Bunda hanya mengangguk lalu kembali menuju dapur, aku terdiam. Kenapa Mama tidak memberitahuku? Kenapa aku harus mendengar ini dari Bunda? Aku berpamitan kepada Bunda dan meminta Radith untuk mengantarku pulang. Mama pasti bercanda bukan? Hari ini adalah hari ulang tahunku, pasti Mama merencanakan sesuatu bersama Bunda.

Radith membawa tas ku juga mengambil buku harianku, dia mengantarku pulang. Tidak banyak bertanya, tumben sekali Radith diam. Selama perjalanan hanya keheningan yang aku rasa, bahkan suara angin saja membuat telingaku sakit. Ada yang salah, semuanya salah. Kenapa sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Kepalaku sudah tidak bisa memproses apapun, apa Mama benar-benar yakin aku menikah diumurku yang sangat muda?

Aku tak mempersalahkan keputusan Mama, jika memang itu yang dia mau, aku tidak harus menolak. Tapi, kenapa harus sekarang? Aku sandarkan kepalaku di punggung Radith, dia bertanya aku kenapa. Pertanyaan itu aku abaikan, sulit untuk aku jawab. Aku saja tidak tahu aku kenapa, lalu apa yang harus aku sampaikan kepadanya kalau diriku saja tidak tahu.

“Qyla?”

“Hm,” jawabku dengan dehaman.

“Yakin mau pulang?”

Radith memberhentikan motornya dan menatapku lewat kaca spion, dia menungguku menjawab pertanyaannya. Aku ingin segera pulang kerumah, bertanya kepada Mama apa yang dia maksud dengan pernikahan itu. Tapi Radith, dia menjadi pendiam semenjak Bunda menjelaskan tentang pernikahanku tadi.

Dia menyuruhku untuk turun, aku terdiam di sampingnya. Dia memarkirkan motornya dan menarik tanganku, aku terdiam lagi dan membiarkan dia membawaku ke tempat yang dia inginkan. Tiba-tiba dia terdiam, aku melihat punggungnya dan memperhatikan rambutnya yang tergerak karena angin. Dia membalikkan badannya dan melepas tanganku, tanpa melihat mataku, dia menyamping dan menyandarkan badannya di pembatas jembatan layang yang tengah kita pijak.

Ada apa dengan Radith?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!