Prangg!!
Suara piring yang dibanting dengan sangat keras menggema ke seluruh ruangan. Pecahan-pecahan piring itu hampir saja mengenai kaki Alea kalau saja ia tak menghindar dan berlari ke pojok ruangan.
Seorang laki-laki yang baru saja melempar piring itu berdiri dengan sorot mata tajam penuh amarah menatap Alea. Sementara di belakang lelaki itu berdiri seorang perempuan cantik dengan baju yang sangat seksi bersidekap sambil tersenyum mengejek.
"Apa kau tuli? Atau telingamu sudah tidak berfungsi dengan baik? Sudah aku bilang jangan ikut campur urusanku, tapi kenapa kau masih tetap mencampuri urusanku?" Bian mencengkeram rahang Alea cukup keras hingga membuat Alea meringis kesakitan.
"Sakit, Bi .... " Alea mencoba melepaskan cengkraman tangan Bian di rahangnya
"Ini hukuman karena kau tidak mendengarkan ucapanku!" Bian melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar.
Alea memegang rahangnya yang terasa nyeri, air matanya sudah menetes membasahi pipinya.
"Tapi aku ini istrimu Bian, aku berhak marah karena kau membawa perempuan lain ke rumah ini," ucap Alea dengan isak tangisnya
"Kamu memang istriku Alea, tapi hanya di atas kertas, karena aku tidak pernah menginginkanmu sebagai istriku!"
"Bian .... "
"Cukup!"
"Aku malas berdebat denganmu, kalau kau masih juga mencampuri urusanku, aku akan mengusirmu dari sini!"
"Jangan! Aku mohon jangan usir aku, Bian. Aku mencintaimu, aku tidak ingin berpisah denganmu, aku mohon ... jangan usir aku dari rumah ini." Alea tiba-tiba bersimpuh di kaki Bian, ia memohon sambil menangis menatap Bian yang tersenyum sinis padanya.
"Kalau kau menurut dan mau mengikuti perintahku, aku akan membiarkanmu tetap tinggal di sini. Tapi jika kamu masih ikut mencampuri urusanku, aku tidak akan segan-segan menghukummu dan mengusirmu dari sini!" seru Bian penuh penekanan, kemudian melepaskan tangan Alea yang memegangi kakinya dengan kasar.
Alea duduk bersimpuh sambil menangis. Ia menatap Bian dengan derai air mata, saat melihat suaminya itu menggandeng perempuan tadi naik ke atas menuju kamarnya.
Alea dengan hati-hati membersihkan pecahan-pecahan beling yang berserak di lantai. Hatinya hancur seperti serpihan-serpihan beling di depannya yang sedang ia bersihkan.
'Kenapa kamu begitu tega, Bi?Tidakkah kau mengerti perasaanku?' Air mata Alea mengalir seiring rasa sakit di hatinya.
'Aku hanya marah karena kau membawa perempuan lain ke rumah ini, karena aku ini istrimu. Aku mencintaimu, Bian. Apa aku salah?' Alea menatap ke lantai atas, di mana Bian membawa perempuan itu ke dalam kamarnya. Air matanya kembali mengalir. Seandainya bisa, ia ingin sekali berlari dan menyeret perempuan itu dari kamar dan mengusirnya. Namun, ancaman Bian membuatnya takut. Alea takut Bian benar-benar mengusirnya dari rumah.
Setelah Alea selesai membereskan kekacauan yang dilakukan suaminya, ia kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tamu. Karena tidak mungkin ia masuk ke dalam kamarnya dan menyaksikan suaminya sendiri sedang bercumbu dengan perempuan lain.
Alea mengguyur tubuh lelahnya. Ia benar-benar lelah hati dan pikiran. Ia tidak menyangka, jika lelaki yang sangat dicintainya tega melakukan sesuatu yang menyakiti dirinya. Pernikahannya bahkan belum genap sebulan, tetapi suaminya sudah membawa perempuan itu dua kali, dan yang lebih menyakitkan lagi, suaminya membawa perempuan itu masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati oleh mereka berdua.
Alea menangis di bawah guyuran shower, meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.
"Kenapa kau setuju menikah denganku kalau hanya untuk menyakitiku, Bi? Seharusnya dulu kau menolak pernikahan ini kalau kau memang tidak menginginkanku," lirih Alea.
*****
Sebulan sebelum pernikahan.
"Alea, apa kau sudah punya pacar?" Anita menatap putrinya yang sedang asyik melahap makanannya siang itu.
"Kenapa Mama bertanya seperti itu?"
"Mama ingin lihat kamu menikah Al, lagipula usiamu sudah pantas untuk menikah." Anita menatap Alea dengan penuh kasih sayang.
"Ma, Alea mau menikah, tapi Alea hanya mau menikah dengan Bian, bukan yang lain."
"Bian?" Alea mengangguk.
"Bian anaknya Pak Aditama tetangga sebelah kita?"
"Iya, Ma. Alea sudah menyukainya dari dulu hingga sekarang. Alea hanya mau menikah dengan dia."
"Tapi Mama dengar, dia sudah punya kekasih, Alea."
"Iya, Ma, Bian memang sudah punya kekasih." Alea tertunduk, ***** makannya seketika hilang.
Melihat raut wajah anaknya yang berubah lesu, Anita merasa sedih. Alea adalah anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara.
'Aku harus melakukan sesuatu untuk Alea.'
Dua minggu setelah pembicaraan antara Alea dan mamanya di ruang makan saat itu, tiba-tiba saja keluarga Aditama datang ke rumah Alea bersama Bian. Alea yang saat itu baru saja pulang dari jalan-jalan sedikit terkejut, karena kedatangan mereka. Tetapi, Alea lebih terkejut lagi, saat mengetahui kalau kedatangan mereka ternyata untuk melamar dirinya.
Bian dan keluarganya datang untuk melamar dirinya. Alea begitu bahagia mendengarnya. Semuanya serasa mimpi baginya, karena orang yang selama ini dia cintai ternyata datang ke rumah untuk melamar dirinya, dan Alea lebih bahagia lagi setelah mendengar kalau dirinya dan Bian akan menikah secepatnya.
Benar saja, dua minggu setelah lamaran Bian, mereka berdua akhirnya menikah. Orang tua Alea menghadiahkan sebuah rumah besar untuk Alea sebagai kado pernikahan mereka. Bukan itu saja, orang tua Alea bahkan memberikan salah satu perusahaannya untuk dipimpin oleh Bian. Mereka memberikan perusahaan itu pada Bian karena Bian sudah menjadi anggota keluarga mereka. Demi kebahagiaan Alea, kedua orang tua Alea rela melakukan apapun agar Bian mau menikah dengan Alea. Termasuk memberikan perusahaan yang seharusnya menjadi milik Alea.
Setelah pernikahan digelar, kedua orang tua Alea memutuskan untuk tinggal di luar negeri bersama kakak tertuanya yang kebetulan menetap di sana bersama anak dan istrinya. Sementara, kakak Alea yang satu lagi mengurus beberapa bisnis orang tuanya yang sengaja di tinggalkan oleh mereka saat tinggal di luar negeri.
Keluarga Alea memang keluarga yang cukup berada, tetapi itu tidak membuat Alea sombong dan bersikap seenaknya seperti putri-putri dari keluarga kaya lainnya.
*****
Alea keluar dari kamar mandi, tubuhnya menggigil kedinginan karena terlalu lama berendam.
Ia berdiri di depan cermin, meneliti rahangnya yang nampak membiru bekas cengkraman tangan Bian. Alea juga meneliti bibirnya yang pecah akibat tamparan Bian kemarin. Wajah cantiknya kini terlihat begitu menyedihkan.
Alea tersenyum getir, pernikahan yang awalnya ia pikir bisa membawa kebahagiaan buat dirinya ternyata justru sebaliknya. Bian, lelaki yang sangat dicintainya selama bertahun-tahun secara diam-diam, ternyata tidak seperti yang dibayangkannya selama ini.
Sikap Bian yang kasar sungguh tidak sesuai dengan wajah tampannya yang terlihat meneduhkan dan penuh kasih sayang. Selama sebulan pernikahannya dengan Bian, Bian bahkan belum pernah menyentuhnya sama sekali. Mereka memang tidur bersama, tetapi hanya sekedar tidur tanpa melakukan aktivitas seperti yang dilakukan layaknya sepasang suami istri lainnya. Meskipun kadang Alea yang terlebih dahulu merayu Bian, tetapi Bian selalu menolaknya mentah-mentah.
Sedih, tentu saja sedih. Namun, Alea memilih untuk bertahan. Ia ingin mencoba berjuang untuk mendapatkan cinta suaminya. Siapa tahu nasibnya beruntung, seperti kisah cinta di novel-novel yang sering ia baca. Dari benci menjadi cinta.
'Semangat Alea! Mungkin saat ini Bian belum bisa melihatmu, tapi suatu saat, dia pasti akan mencintaimu!' Alea berteriak dalam hati, menyemangati diri sendiri. Meski ia sendiri pun tak yakin semua dapat terjadi, apalagi mengingat Bian yang sudah berani membawa kekasihnya ke rumah ini.
"ALEA ... !"
Terdengar suara teriakan Bian dari lantai atas memanggil dirinya.
Alea segera bergegas mengganti bajunya kemudian langsung berlari menuju kamar atas.
"ALEA ...!"
.
.
Terima kasih yang sudah membaca, ini novel keduaku, semoga suka.
Jangan lupa like n koment dan Votenya ya 🙏🙏🙏 dukung Authornya biar tambah semangat updatenya.
"Alea ...!"
Suara Bian menggema di seluruh ruangan. Alea bergegas berlari menuju ke lantai atas di mana suaminya berada.
"Ada apa Bian? Kenapa kau berteriak?" Alea sampai di depan kamar Bian dengan napas memburu.
"Siapkan makanan buat aku dan Amara."
"Sayang ... aku mau makan di kamar saja, aku capek banget nggak kuat jalan ke bawah," ucap Amara dari dalam kamar. Sementara Alea menatap Bian dengan mata berkaca-kaca.
"Tega banget kamu Bi, kamu melakukannya di kamar kita?" Alea menerobos masuk ke dalam kamar, menerjang tubuh Bian yang saat ini hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Terdapat begitu banyak tanda kissmark di tubuh Bian, membuat hati Alea semakin sakit.
Di dalam kamar, terlihat Amara terbaring di atas ranjang hanya dengan memakai selimut yang membungkus tubuh polosnya.
"Kalian berdua benar-benar keterlaluan!"
Alea menatap Amara dengan marah. Kedua pipinya sudah basah oleh air mata.
"Bian, kau bahkan melakukannya di ranjang kita? Kamu benar-benar tidak punya perasaan!" Alea menggelengkan kepala, menatap tak percaya pada lelaki di depannya itu. Hatinya benar-benar hancur melihat kelakuan suaminya.
"Kamar ini juga kamarku. Ranjang ini pun juga milikku, lalu kenapa kau harus marah?" jawab Bian enteng tanpa dosa.
"Bian, aku ini istrimu!"
"Memangnya kenapa kalau kau istriku? Istri di atas kertas kalau kau lupa! Kalau bukan karena orang tuamu yang memaksaku untuk menikah denganmu, aku pasti sudah menikah dengan Amara. Amara adalah kekasihku, selamanya akan tetap menjadi kekasihku, aku tidak peduli meskipun aku sudah menikah denganmu!" teriak Bian dengan lantang.
"Aku tidak perlu persetujuanmu untuk membawa Amara ke sini, ke kamar ini, dan bahkan bercinta di ranjang ini sekali pun, karena itu bukan urusanmu!" Bian berteriak dengan lantang tanpa merasa bersalah sedikitpun, membuat tangis Alea semakin kencang.
"Bian!"
"Kau lupa apa yang tadi ku katakan?" Bian menatap tajam ke arah Alea yang bersimbah air mata.
"Jangan ikut campur urusanku, atau aku akan mengusirmu dari sini!"
"Ini juga rumahku Bian, orang tuaku yang sudah menghadiahkan rumah ini untuk pernikahan kita!"
"Apa kau lupa, rumah ini atas namaku? Jadi, aku bisa mengusirmu dari sini kapan pun aku mau!"
"Bian ...."
"Kenapa? Apa kau menyesal telah menikah denganku?" Bian mendekati Alea yang masih berurai air mata.
"Bukankah kau sangat mencintaiku? Kalau kau memang mencintaiku, biarkan aku melakukan apapun yang kusukai. Kalau tidak, aku akan meninggalkanmu sekarang juga!"
"Bian." Alea menggeleng pelan.
"Aku tidak ingin berpisah denganmu, aku mencintaimu, Bian." Alea memegang tangan Bian. Namun, pria itu langsung menepisnya.
"Kalau begitu, lakukan apapun yang aku perintahkan! Kalau tidak, aku akan menceraikanmu sekarang juga!"
"Tidak! Jangan ceraikan aku. Aku akan menuruti perintahmu, tapi aku mohon, jangan ceraikan aku. Aku tidak mau berpisah denganmu, Bian." Alea memohon sambil menangis.
"Kalau begitu jadilah istri yang baik, turuti semua perintahku, dan jangan pernah campuri urusanku dengan kekasihku!" seru Bian sambil menekankan jarinya pada dahi Alea.
"Hapus air matamu, dan cepatlah memasak makanan untukku dan Amara. Kalau tidak, aku akan pergi dari sini sekarang juga!"
Alea menatap Bian dan Amara, hatinya sangat sakit, bagaikan dihantam palu yang begitu besar. Ia tidak menyangka, suami yang dicintainya begitu tega bercinta dengan perempuan lain di atas ranjangnya.
"Cepat!" teriak Bian.
"Ba-baik. Aku akan memasak untuk kalian." Alea menghapus air matanya, kemudian segera berlalu dari kamar itu dengan hati yang perih.
'Kenapa mencintaimu sesakit ini Bi? Jika tahu sakitnya akan seperti ini, lebih baik aku simpan saja rasa ini sendirian, daripada harus menikah denganmu tapi hanya membuatku semakin menderita.' Air mata Alea kembali mengalir.
"Mama, Papa, kenapa kalian tega melakukan ini padaku? Aku pikir, dulu Bian datang melamar karena dia menyukaiku. Namun, ternyata kalianlah yang sudah memaksa Bian dan keluarganya, agar Bian mau menikah denganku. Alea mengusap air matanya yang masih mengalir, kemudian melangkah menuju dapur.
Alea dengan cepat menyiapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasaknya. Meski dengan hati perih dan sakit, ia tetap mengerjakan perintah dari suaminya. Ia sangat mencintai Bian, dari dulu hingga sekarang. Bian adalah cinta pertamanya. Alea belum siap jika saat ini ia harus berpisah dari pria itu, meskipun Bian sudah berkali-kali melukainya.
"Aku akan terus bertahan meski kau akan terus menyakitiku, Bian, setidaknya untuk saat ini. Karena aku mencintaimu, sangat mencintai kamu." Alea kembali menghapus air matanya. Ia kemudian mulai memasak untuk Bian dan perempuan itu. Perempuan yang diakui suaminya sebagai kekasihnya.
Sementara di dalam kamar, Bian kembali mencumbu Amara. Wanita itu memang paling pintar menyenangkan Bian, karena itu, Bian tidak pernah bisa berpaling dari Amara. Bian sadar, kalau apa yang dia lakukan ini salah, tetapi, ia tidak peduli. Meskipun ia sudah menikah.
Bian sangat membenci Alea. Gara-gara Alea, orang tuanya tidak menyetujui hubungannya dengan Amara. Orang tua Alea telah memaksa kedua orang tuanya, agar dia menikah dengan Alea. Kedua orang tua Alea berjanji, akan memberikan salah satu perusahaannya pada Bian, jika Bian mau menikah dengan Alea.
Bian terus bermain di tubuh Amara hingga mereka berdua mencapai pelepasannya bersama-sama. Pada saat yang sama, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Alea berdiri di sana dengan nampan berisi makanan ditangannya.
Air matanya kembali mengalir melihat pemandangan di depannya. Ia melihat tubuh polos suaminya masih berada di atas tubuh polos Amara dengan keringat yang bercucuran di tubuh mereka.
Tubuh Alea melemas, hampir saja ia menjatuhkan nampan yang dipegangnya. Ia sungguh tidak kuat menyaksikan suaminya sendiri bercinta dengan perempuan lain, apalagi mereka bercinta di atas ranjang yang biasa ia tiduri bersama Bian.
"Kalian benar-benar brengsek!" teriak Alea. Perempuan itu meletakkan nampan berisi makanan itu di atas meja, kemudian segera berlari keluar kamar dengan membanting pintu. Alea berlari ke kamar tamu dan seperti biasanya, dia hanya bisa menangis di sana. Menangis dan terus menangis sampai dia merasa lelah.
Sementara Bian dan Amara saat ini sedang menikmati makanan yang disiapkan oleh Alea.
"Kenapa kau tidak menceraikan dia secepatnya, Bi?"
"Sabar, Sayang. Pernikahanku dengannya baru sebulan, aku tidak mungkin meninggalkan dia sekarang. Kau tahu kan, aku baru saja memimpin perusahaan yang dihadiahkan padaku, jadi aku tidak akan mungkin meninggalkan dia saat ini."
"Aku takut lama-lama nanti kamu menyukai istrimu dan melupakanku," ucap Amara manja.
"Itu tidak akan mungkin terjadi, Sayang. Lagipula, kau melihat sendiri bagaimana perlakuanku padanya, kan?"
Amara tersenyum puas, kemudian mengangguk.
"Aku tidak mau perempuan itu tidur di kamar ini, karena mulai sekarang, kamar ini adalah milikku. Aku tidak mau kau tidur dengannya lagi di ranjang ini. Mulai malam ini, perempuan itu tidak boleh tidur di sini," ucap Amara manja sambil mencium Bian.
"Jangan menggodaku lagi. Kita makan dulu, habis itu kita lanjutkan lagi. Malam ini aku ingin kau memuaskan aku, Amara."
"Tentu saja, malam ini kau adalah milikku, aku pasti tidak akan mengecewakanmu."
Mereka berdua tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua. Sementara di
kamar lain, Alea terus menangis meratapi suaminya yang begitu tega menyakiti dirinya.
.
.
Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya ... like, koment, dan votenya 🙏🙏🙏
Alea masih duduk di pojok kamar tidur sambil memeluk lututnya. Ia masih menangis sesunggukan mengingat kelakuan suaminya.
"Tega-teganya kamu bercinta di kamar kita dengan perempuan lain, Bi .... "
Alea teringat saat pertama kali Bian membawa perempuan itu ke rumahnya. Saat itu Alea tidak terima dan sangat marah pada Bian, tetapi bukannya merasa bersalah, Bian malah berbalik memarahi Alea.
"Pergi dari sini sejauh mungkin, karena aku muak melihatmu!" Bian berteriak keras
"Tapi aku ini istrimu! aku mencintaimu!" Alea berteriak sama kerasnya.
"Tapi aku tidak pernah mencintaimu!"
"Tetap saja kau tidak bisa seenaknya membawa perempuan itu ke rumah ini Bian, ini rumahku!"
Bian mendekati Alea kemudian menatap perempuan itu dengan tajam.
"Ini memang rumahmu, tapi ini juga rumahku! Orang tuamu sudah memberikannya padaku sebagai hadiah karena aku sudah mau menikahimu!" Bian berteriak, membuat air mata Alea langsung mengalir di pipinya.
"Apa kau lupa? Sertifikat rumah ini bahkan atas namaku," lanjut Bian dengan nada menghina.
"Orang tuamu rela memberikan perusahaan dan rumah ini untukku agar aku mau menikah denganmu. Kedua orang tuamu benar-benar keterlaluan! Mereka memaksa kedua orang tuaku agar aku mau menikah denganmu dengan memberikan perusahaannya sebagai kompensasi." Bian berkata dengan kesal mengingat kejadian sebulan sebelum pernikahan mereka.
"Kau benar-benar gadis manja dan beruntung. Memaksa kedua orang tuamu agar mau menuruti semua keinginanmu dan mencapai semua obsesimu. Benar-benar menjijikkan!" Alea semakin menangis mendengar ucapan Bian.
"Itu tidak benar Bian, aku tidak pernah memaksa orang tuaku agar menikahkan kamu denganku!"
"Kau bohong! Kalau bukan karena dirimu, aku pasti sudah menikah dengan dia!" Bian menunjuk ke arah gadis cantik yang saat ini sedang berdiri melihat pertengkaran mereka dengan tangan bersedekap.
"Dia Amara, satu-satunya orang yang kucintai. Gara-gara kamu, semua impianku dengan dia kandas di tengah jalan." Bian menatap wajah Alea yang di penuhi dengan air mata.
"Asal kau tahu, sampai kapan pun aku tidak akan pernah mencintaimu Alea, karena aku membencimu! Sangat membencimu!"
"Tapi aku mencintaimu, Bian. Aku tidak pernah memaksa orang tuaku untuk menikahkan aku denganmu, aku pikir kau yang menginginkan pernikahan ini!"
"Aku? Menginginkanmu? Jangan bermimpi! Kita bahkan tidak saling mengenal, Alea. Bagaimana bisa aku menginginkanmu?"
"Bian .... "
"Cukup Alea! Aku tidak akan mendengarkan apapun alasanmu. Kau memang istriku, tapi kau tidak berhak untuk mengaturku!" Bian berteriak dengan keras, membuat Alea semakin menangis.
"Tapi aku ini istrimu, Bian! Aku berhak marah karena kau telah membawa perempuan lain ke rumah ini!" Alea menarik tangan Bian yang berjalan meninggalkannya.
"Aku tidak peduli meski kau adalah istriku. Aku tetap akan membawanya ke rumah ini, karena hanya dialah yang berhak menjadi istriku, bukan kamu!" Bian melepaskan tangan Alea dengan kasar hingga perempuan itu hampir saja terjatuh.
"Kau jahat, Bian!" teriak Alea.
"Kau jauh lebih jahat Alea, karena kau sudah masuk ke dalam hubunganku dengan Amara, kalau bukan karena kau, aku pasti sudah menikah dengannya!" ucap Bian penuh penekanan membuat Alea semakin terisak. Tubuhnya merosot ke lantai, seiring langkah Bian yang meninggalkannya dan membawa perempuan itu masuk ke dalam kamarnya.
Alea menggeleng pelan.
"Kau benar-benar jahat, Bian .... "
Alea masih menangis di pojokan kamar tidurnya, sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak, saat mengingat kembali perlakuan Bian padanya.
Alea berdiri, kemudian melangkah mendekati meja rias. Ia melihat wajahnya di depan cermin. Alea tersenyum miris saat melihat wajahnya yang terlihat begitu menyedihkan.
Wajah cantiknya yang dulu sudah tidak ada lagi. Senyum cerianya pun pudar. Semenjak menikah dengan Bian, Alea bahkan lupa caranya tersenyum, apalagi tertawa. Kini, yang ada hanya kesedihan dan penderitaan, yang setiap hari ia rasakan.
Alea menghapus air matanya dengan kasar. Ia menatap kedua matanya yang sembab dan juga beberapa bekas luka di wajahnya akibat pukulan dari Bian.
Pernikahan mereka kini sudah menginjak lima bulan. Alea sudah sebisa mungkin melayani Bian dengan baik, tetapi, tetap saja suaminya itu belum bisa menerima dia sebagai istrinya.
Bian bahkan sampai sekarang masih sering mengajak kekasihnya ke rumah, bahkan menginap. Mereka berdua sudah seperti sepasang suami istri, sementara Alea hanya seperti pembantu yang melayani mereka berdua.
Di rumah Alea memang ada asisten rumah tangga, tetapi dia hanya bertugas untuk membersihkan rumah saja dan mengurus pakaian kotor mereka. Sementara untuk urusan makanan, Alea memilih untuk memasak sendiri, karena ia memang sangat suka memasak. Masakan Alea juga enak, hingga Bian pun tidak pernah protes dengan makanan apapun yang di masak oleh Alea.
Alea memegangi sudut bibirnya yang terluka akibat tamparan dari Bian kemarin. Rasa perihnya masih begitu terasa, tetapi tak seperih hatinya yang terus terluka.
"Bukan pernikahan seperti ini yang aku inginkan, Bian. Kau bukan hanya menyakitiku secara batin, tapi kau juga melukai aku secara fisik," lirih Alea sambil membelai wajahnya yang terlihat menyedihkan.
Saat pertama kali kau melukaiku, aku menangis dan memohon padamu agar kau tidak meninggalkan aku, kedua kali kau menyakitiku, aku masih memohon dan menangis agar kau tetap disisiku. Ketiga kali dan keempat kali kau menyakitiku, aku masih memaafkanmu dan berharap kau akan berubah. Namun, setelah berkali-kali kau menyakitiku, haruskah aku tetap bertahan?
"Aku sudah tidak kuat lagi Bian ... bahkan setiap tetes air mataku pun tak bisa membuat hatimu melihatku. Aku baru sadar, selamanya kau tidak akan mungkin berpaling padanya dan melihat ke arahku." Alea mengusap air matanya yang kembali mengalir.
Hatinya terasa sakit. Sakit, tetapi tak berdarah.
'Percuma saja kau terus menangis, Al, kalau tangisanmu pun tak mampu meluluhkan hati suamimu.'
Alea semakin terisak menangisi nasibnya. Menikah dengan orang yang dicintai tetapi tak pernah mencintainya. Awalnya Alea berharap, bisa menaklukkan hati suaminya. Seperti kisah di dalam novel yang sering ia baca, dari benci menjadi cinta. Namun, sayangnya kisah seperti itu hanya ada di dalam novel. Buktinya, hingga sekarang Alea masih saja merasakan kesakitan. Bahkan rasa sakitnya semakin dalam, karena semakin hari suaminya bukannya menyadari rasa cinta yang ia berikan, tetapi semakin hari suaminya justru berbuat sesuatu yang menyakitkan hatinya.
Alea masih menatap wajahnya di depan cermin.
'Kali ini, aku takkan membiarkan tanganmu menyentuh wajahku lagi, Bian.' Alea mengusap air matanya.
'Mulai sekarang, aku tidak akan menangis lagi karenamu. Aku akan menjadikan air mataku ini semahal berlian, agar aku tak lagi menangis, karena air mataku terlalu berharga.'
"Bian, mulai malam ini, di jam ini, dan detik ini juga, aku tidak akan lagi mencintaimu. Aku akan melepaskanmu dari hatiku," lirih Alea dengan luka dalam yang menganga di hatinya.
Alea melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang menusuk kulitnya. Ia tak mempedulikan tubuhnya yang mulai bergetar karena menggigil kedinginan. Ia seolah tak merasakan dingin yang menerpa tubuhnya. Tubuhnya seperti hatinya, yang terlalu sakit hingga mati rasa.
.
Jangan lupa like, koment, dan juga votenya ya .... 🙏🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!