" Sial! sial! sial. " Seorang gadis bernama Vanya mengumpat kesal setelah memergoki kekasih dan kakak tirinya kini tengah mengunjungi rumah sakit bersama. Perselingkuhan yang terjadi diantara mereka, kini tidak bisa lagi Vanya bantah. Kekasih yang dulu begitu ia percaya dan selalu ia bela, kini nampak jelas belangnya.
Kakak tiri yang selalu merebut miliknya, kini juga telah merebut kekasihnya. Vanya semakin dibuat meradang saat terus melihat pasangan selingkuh itu mengunjungi dokter kandungan. Bagaimana dan kapan penghianatan ini dimulai? hanya mereka yang tahu.
Dalam amarah, Vanya terus saja melangkah hingga tak sadar jarak mereka begitu dekat. Vanya memutar tubuhnya ke arah lain saat kekasihnya Tristan tak sengaja melihat ke arahnya. Tristan menajamkan matanya memperhatikan tubuh wanita dai belakang yang nampak familiar batinnya.
Tristan merasa penasaran juga gugup. Perlahan dia mencoba untuk berjalan mendekat ke arah Vanya.
Jangan! jangan mendekat! walaupun kau yang berselingkuh, tapi aku gugup sekarang. Vanya mengepalkan tangan seiring kaki Tristan melangkah. Tidak! aku harus kabur!
" Tunggu! " Tristan yang menyadari jika itu Vanya, mencoba untuk berlari mengejar.
Aku yakin itu Vanya. Bagaimana jika ini benar? aku belum siap untuk semua ini.
Tristan terus mencari dengan tatapannya. Berlari kesana kemari untuk menemukan Vanya.
" Oh ya ampun. Aku lelah. Kakiku pegal. " Vanya yang berhasil menyelinap masuk ke sebuah ruangan kini tengah membungkuk memegangi kedua lututnya dengan nafas yang terengah-engah. " Aku ini bodoh atau apa? kenapa aku berlari? aku adalah korbannya kan? argh.....!!! aku sangat marah hingga gugup sendiri.
Vanya melihat sebuah sofa dipinggiran ruangan yang nampak sepi dan memutuskan untuk singgah beberapa menit saja. Hanya ada seorang pria terbaring dengan begitu banyak alat yang terpasang ditubuhnya. Vanya terus memikirkan apa yang terjadi hari ini. Semakin dipikirkan, Vanya hanya terbakar oleh api kemarahan. Sedari kecil, kakak tiri nya lah yang terus di bangga-banggakan oleh Ayahnya. Selalu dianggap benar dan Vanya yang salah.
Mata Vanya tak sengaja melihat ke arah seorang pria yang saat ini tak sadarkan diri itu. Vanya berjalan mendekat dan menatap wajah Pria yang nampak sangat tampan.
" Heh....,?! sayang sekali, wajah setampan dirimu akan menghilang dari muka bumi ini. " Ujar Vanya yang sebelum berhasil menyelinap, dia sempat mendengar para suster berbicara. Pria yang terbujur tak berdaya ini, kemungkinan tidak akan bertahan lama lagi.
Vanya terus menatap wajah tampan yang tak bosan dipandang meski matanya tertutup.
" Kau tahu? hari ini, aku bukan hanya membenci Ayahku yang selalu membela kakak tiri ku. Tapi juga semua orang yang berpura-pura baik padaku. Seperti kekasihku. Kami sudah bersama selama lima tahun. Tapi, dia berselingkuh bersama kakak tiri ku. ck! dunia ini sangat kejam bukan? " Entah mengapa, Vanya yang biasanya tertutup tentang urusan pribadi, kini justru asyik berceloteh kesana kemari.
Vanya menghela nafasnya saat kembali menatap wajah Pria itu. Vanya kemudian melihat papan nama yang bertuliskan nama Nathan.
" Jadi namamu Nathan? salam kenal namaku Vanya. " Vanya menyentuh jemari Nathan dan membuatnya menjadi sebuah jabatan tangan. Vanya tersenyum dan menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah. Benar-benar membuatnya seperti sedang berjabat tangan. Hingga sesuatu yang ajaib terjadi. Vanya merasa jari Nathan seperti bergerak. Vanya mengerutkan dahinya sembari menatap Nathan. " Apa kau merespon ku? apa kau bisa mendengar ku?
Vanya meletakkan kembali tangan Nathan dengan hati-hati. " Benar, kau akan tiada. Mungkin, aku adalah orang pertama yang mengajakmu berkenalan disaat begini. Tapi kau tenang saja, aku akan mengingatmu Ok? "
Vanya tersenyum sembari menyentuh tangan Nathan. Lagi-lagi, Vanya merasakan jari Nathan sedikit bergerak. " Kau pasti senang berkenalan denganku.
Vanya semakin senang memandangi wajah Nathan hingga tanpa sadar, Vanya terus mendekatkan wajahnya ke wajah Nathan. Vanya terbuai dengan tampannya Nathan saat dilihat dari jarak yang begitu dekat. Vanya membelai wajah Nathan.
" Kau, benar-benar sangat tampan.
Vanya yang entah mengapa kehilangan kendali, dia mulai menggerayangi tubuh Nathan. Perlahan tangan Vanya terus menuju ke bawah.
" Dia? " Vanya terkejut saat tak sadar menyentuh area sensitif Nathan yang bereaksi meski ia tengah koma. " Kau? apa kau? " Vanya menelan ludahnya sendiri saat melihat area itu.
" Dengar Nathan, aku minta maaf untuk ini. Lagi pula, kau akan tiada kan? dan lagi, ini adalah yang pertama bagiku. Lebih baik aku memberikannya padamu.
Agh.....!
Vanya menutup bibirnya rapat agar tak mengeluarkan suara. Entah apa yang membuat Vanya begitu berani. Mungkin saja kekaguman? atau mungkin karena kecewa yang mendalam hingga dia melakukan pelampiasan semacam ini?
Satu jam kemudian. Vanya membenahi pakaian dan penampilannya yang berantakan. Malu bercampur kesal pada dirinya sendiri. Kenapa bisa melakukan hal yang tidak terpikirkan oleh orang normal? apakah memang tak normal? apakah ini pemerkosaan? meskipun Vanya lah yang paling rugi dalam hal ini, tapi tetap saja ini memalukan batinnya.
" Nathan, maafkan aku. Jangan menghantuiku saat kau sudah tiada nanti ya? aku hanya manusia bodoh yang kurang waras. Aku, aku menodai laki-laki. Aku memang pantas dihukum, tapi sungguh. Maafkan aku. Aku akan selalu mengingatmu. " Vanya mengatupkan kedua telapak tangannya. Ia benar-benar berharap agar Nathan tak akan marah atas perbuatan gilanya itu.
Vanya mendekatkan wajahnya lagi dan mencium pipi Nathan. " Ini, anggap saja ciuman perpisahan dariku. Dengar Nathan, sebagai manusia, aku harap ada keajaiban dan kau bisa sembuh. Tapi sebagai tersangka, aku takut saat kau bangun. Tapi, jika kau bangun, tolong jangan mengingat ini. Aku janji. Aku akan bersikap baik padamu. Dengar Nathan, jangan mengingat kejadian ini ya?.
Vanya pergi meninggalkan ruangan Nathan dan berlari keluar untuk mencari taksi.
" Ya ampun. Untung saja Tristan dan Rina tidak ada lagi. " Ujar Vanya setelah duduk dikursi penumpang setelah berhasil memberhentikan taksi. " Semoga aku mendapat keberuntungan setelah ini dan dijauhkan dari orang-orang sial yang hanya membuatku menderita.
" Amin. " Sopir taksi tersenyum mendengar seorang gadis dengan polosnya berdoa seperti anak-anak.
Vanya membalasnya dengan senyum ketir. Malu sekali rasanya, hari ini benar-benar adalah hari yang ekstrim bagi Vanya. Semoga saja Vanya dapat melupakan kejadian ini secepatnya. Begitu pula dengan Nathan
Vanya benar-benar tidak akan datang lagi kerumah sakit itu. Rumah sakit yang membuatnya menjadi seekor singa tanpa belas kasih. Vanya terus saja memaki dirinya sendiri. Betapa bodoh dan gilanya dia. Pria yang koma pun dia tega melakukanya.
Vanya menepuk-nepuk pelan kepalanya. Mengusir jauh ingatan-ingatan pahit hari ini. " tidak! tidak! ini bukan hanya salah ku. Ini juga salah nya. Kenapa juga itunya bereaksi?
To Be Continued
Satu bulan kemudian.
Vanya duduk termangu sembari memandangi alat uji kehamilan. Matanya menatap tak percaya. Tangannya gemetar mengingat ayah dari bayi yang ia kandung. " Bagaimana ini? aku tidak mungkin meminta pertanggung jawaban kan? mungkin saja dia sudah mati. Dan, mana berani aku meminta tanggung jawab? kan aku yang menodai laki-laki itu. " Vanya terus saja mengusap wajahnya. Bingung untuk menghadapi situasi ini. Belum lagi, ayahnya pasti akan memarahinya.
Tok...! Tok...! Tok...!
Suara ketukan pintu menyadarkan Vanya yang masih termangu dikamar mandi.
" Apa? " Jawab Vanya dengan wajah sebal. Bagaimana tidak sebal, yang mengetuk pintunya adalah kakak tirinya.
" Ayah dan Ibu memintamu untuk turun. Ada hal yang harus kita bahas bersama. " Rina berlalu begitu saja tanpa mendengar jawaban dari Vanya.
Vanya berjalan menuruni tangga. Matanya terhenti sesaat. " Cih! mereka sudah berkumpul? luar biasa. Tidak ada muka sama sekali." Gumamnya sembari melanjutkan kembali langkah kakinya.
" Vanya? " Tristan berdiri saat Vanya sudah sampai diruang tamu.
" Kenapa berdiri? aku kan tidak memintamu untuk menyambut ku. " Ujar Vanya berlalu melewati Tristan dan duduk di posisi paling terpencil diantara keluarganya.
Tristan mengepalkan tangannya. Wajah sedih penuh rasa bersalah nampak diwajah nya.
Kita sudah menjadi sangat asing? aku terus mencoba menghubungimu selama sebulan penuh. Dan sekarang, kita bertemu disaat seperti ini. Jika aku menjelaskan, apa kau akan percaya padaku?
" Vanya, Ayah tahu, ini sangat mengejutkan. Ayah harap, kau akan baik-baik saja. " Ayah menatap Vanya iba.
" Apa yang coba Ayah katakan? " Meskipun Vanya sudah menebaknya, tapi hatinya, benar-benar mulai terasa sakit.
" Rina hamil. " Ibu melanjutkan apa yang coba Ayah sampaikan.
" Lalu? " Vanya menatap dingin seolah mencibir melalui senyum disisi bibirnya.
" Tristan adalah Ayah dari bayi ini. " Rina melanjutkan apa yang ingin Ibu sampaikan.
" Hah? Hahaha... Lalu? " Meskipun tertawa, Vanya kini sedang menahan jutaan air mata yang meronta ingin keluar dari matanya.
Tristan yang hanya diam semakin tak kuat mendengarnya. Lima tahun bersama Vanya. Suka duka mereka lalui bersama. Dan kini, ia melihat orang yang dicintainya dan ia dambakan untuk menjadi istri, justru menjadi adik iparnya. Sakit. Benar-benar sakit rasanya. Andai waktu bisa diputar batinnya.
" Kami akan menikah. " Rina melengkapi ucapannya.
Ayah dan Ibu tidak bisa lagi berkata, mereka memilih diam. Begitu juga dengan Tristan dan orang tuanya. Vanya adalah menantu yang mereka dambakan. Tapi takdir berkata lain, mereka hanya bisa tertunduk menahan malu.
" Vanya, bisakah kau merelakan ini? " Ayah bertanya dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
" Ayah, pernahkah Ayah berbicara kepadaku selembut ini sebelumnya?
" Apa?
" Kau begitu lembut. Tapi, ini untuk Rina. Kau selalu begitu lembut kepadanya. Kau membuatku semakin sedih. " Vanya menyunggingkan senyum getirnya.
Ibu yang mendengar ucapan Vanya berjalan mendekatinya dan menggenggam tangannya.
" Maaf nak. Ini semua salah Ibu. Ibu yang tidak bisa mendidik kakakmu dengan baik. Maaf. " Pinta Ibu. Meskipun Ibu adalah Ibu tiri, dia sama sekali tidak seperti Ibu tiri jahat lainya. Dia tetap memperlakukan Vanya dan Rina dengan adil.
Vanya menarik tangannya. Menghela nafas adalah hal yang dilakukan Vanya. " Maaf? bukankah kata maaf ini lebih baik jika anakmu yang memintanya?
" Vanya! " Bentak Ayah. Dia hanya berharap, Vanya dapat menerima ini dengan lapang dada sehingga keluarga dapat hidup dengan damai seperti biasa.
" Apa?!
Semua orang yang berada di ruang tamu terperanjak saat Vanya dan Ayah sudah mulai emosi.
" Suamiku, Vanya. " Ibu mencoba menenangkan suasana. " Sudahlah, jangan memakai emosi. Suamiku, Rina dan Tristan memang bersalah. Vanya berhak untuk marah. Tolong, mengertilah keadaan Vanya.
Ayah memijat keningnya dan mulai kembali untuk tenang.
" Dengar, " Vanya mulai berucap dengan nada dan wajah yang mulai tenang. Tak ada lagi emosi yang nampak diwajahnya.
" Kalian, tidak perlu meminta maaf. Aku tidak perduli. Baik Tristan atau Rina. Aku tidak perduli. Ingat ini. Dan hari ini, Aku Vanya. "
Vanya mengangkat telapak tangannya seperti sedang mengambil sumpah. " Aku bukan lagi anggota keluarga Dirgantara.
" Apa?! " Semua orang tercengang mendengarnya.
Ibu mencengkram kedua lengan Vanya dengan wajah terkejutnya. " Apa yang kau katakan? kau adalah anak dari Rudi Dirgantara. Bagaimana mungkin kau mengatakan ini?! kau tidak boleh melakukannya. " Ibu mulai meneteskan air mata.
Vanya terdiam melihat buliran air mata yang jatuh di mata Ibu. Ingin sekali ia menghapus air mata itu. Meski wanita yang kini berada dihadapannya itu bukanlah orang yang telah melahirkannya, tapi wanita ini adalah wanita yang mencintainya tanpa membedakan antara dia dan anak kandungnya.
" Kau pasti sedang marah. Kau istirahatlah. Kita bicarakan lagi saat emosimu sudah mereda. " Ujar Ayah yang juga sangat terkejut mendengar ucapan Vanya. Sebesar apapun Ayah memarahi Vanya, tak pernah terlintas dipikirannya harus kehilangan putrinya.
Vanya menyunggingkan senyum dinginnya.
" Aku, juga memiliki hal untuk disampaikan kepada kalian.
" Katakan. " Ayah menimpali.
Tristan yang sedari tadi hanya diam, kini terlihat antusias menunggu apa yang ingin Vanya katakan.
Vanya menatap satu persatu anggota keluarganya. " Aku hamil.
Semua anggota keluarga termasuk Tristan dan kedua orang tuanya terkejut. Vanya adalah gadis yang baik. Mereka benar-benar tidak percaya.
" Sudahlah. Kau pasti sedang marah. Pergilah ke kamar. Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak lagi. " Ayah mengira, jika Vanya mengatakan ini karena rasa marahnya.
Vanya mengeluarkan alat tes kehamilan dari saku celananya. " Aku tidak bercanda.
Plak......!
Ayah menampar pipi Vanya. Ibu menutup mulutnya karena terkejut dengan apa yang dilakukan Ayah.
" Suamiku! " Bentak Ibu yang merasa sikap suaminya keterlaluan.
" Jangan membelanya terus menerus! kau juga bersalah! lihat ini! karena kau terus membelanya, dia menjadi lupa diri. " Wajah ayah yang begitu marah, justru membuat Vanya semakin mengepal geram.
Vanya memegang pipi bekas tamparan dari Ayah. " Apakah, Ayah juga menampar Rina saat Ayah tahu dia hamil?
Pertanyaan Vanya membuat terdiam sembari menyesali perbuatannya. " Vanya, " Nada bicara Ayah sudah merendah. Mungkin karena rasa bersalah atau rasa kasihan.
" Aku sudah tahu jawabannya. Dari awal hingga akhir, aku adalah anak yang memiliki peluang besar untuk disalahkan.
" Tidak Vanya. Ayahmu hanya terbawa emosi. Mari kita bahas ini setelah orang tua Tristan pergi. Kita akan menikahkan mu dengan Ayah dari bayimu. Kita akan melakukan apa yang harus dilakukan oleh orang tua. Jangan terbebani Vanya, kau masih memiliki kami. " Ibu semakin berderai air mata.
" Bibi, aku sudah memutuskan semuanya. Aku, tidak akan menjadi anggota keluarga Dirgantara lagi. Aku sudah muak. " Vanya memang masih memanggil Ibunya dengan sebutan bibi.
" Maafkan Ayah. Ayah bersalah padamu. Kita akan mencari jalan keluar untuk masalah ini. " Ayah terdengar tulus. Rasa bersalah juga mulai ia rasakan. Benar, ia selalu bersikap keras kepada Vanya. Bukan karena tidak menyayanginya. Tapi Vanya adalah anak kandungnya yang perlu ia perhatikan lebih. Batinnya.
" Sekarang, beri tahu kami. Siapa Ayah dari bayimu?
" Tidak perlu. Dia sudah mati.
To Be Continued.
Vanya memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam koper. Barang-barang lain juga sudah ia rapikan di beberapa box. Kisruh dari luar kamarnya tak Vanya gubris sama sekali. Saat suara bentakan mampu memfokuskan pikirannya.
" Vanya! " Suara Ayah yang sangat lantang di iringi pukulan pada pintu kamarnya. " Dengar, buka pintunya!
Vanya bangkit dari posisinya dan membuka pintu kamarnya. Buka saja. Anggap saja mendengar ceramah sebelum pergi batinnya.
" Kau mau membuat Ayah mati karena darah tinggi ya?! " Bentak Ayah setelah Vanya berhasil membuka pintu kamarnya.
Vanya menghela nafas sembari menatap kesal.
" Ada apa lagi?
Plak.........!
Satu lagi tamparan untuk Vanya. Ayah benar-benar kehilangan kesabaran saat mengetahui jika Vanya tak main-main dengan ucapannya.
" Suamiku! " Ibu sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Suaminya. Bagaimana tidak? sudah susah payah membujuk Vanya untuk membuka pintu, Ayah dengan tiba-tiba justru malah memukulnya.
" Diam! jangan membelanya lagi. Kau bukan Ibunya. Kau tidak berhak ikut campur. " Ayah semakin kehilangan kendali hingga tak sadar dengan apa yang ia katakan.
Ibu tak kuasa menahan tangisnya lagi. Lima belas tahun Ibu mencoba menjadi sosok Ibu untuk Vanya, ternyata tak ada artinya di mata suaminya. kini hatinya benar-benar hancur berkeping-keping.
Vanya menatap Ibu iba. Tangannya masih menempel pada pipi yang terasa panas. Belum hilang rasanya sakit dari tamparan yang pertama, kini sudah ditimpali lagi dengan tamparan kedua.
Ayah kembali menatap Vanya dengan tatapan marahnya. " Kau mau pergi?! sekarang pergilah. Kau bukan anakku lagi. Kau memang tidak pernah membuatku bangga. Kau selalu saja membuat masalah. Karena mu juga, aku harus kehilangan Tanti. ( Ibu kandung Vanya )
Vanya mengepal kuat tangannya. Kuat dan semakin kuat seiring Ayah yang terus saja berucap. " Heh? hehehe,... Bagus. Bagus sekali. Kau memang Ayah terbaik. " Vanya menatap Ayah tajam.
" Ayah bilang aku pembuat masalah? itu benar sekali. Kau tahu kenapa? Aku selalu membelamu saat teman-teman ku mengejek mu. Kau tahu kenapa mereka mengejek mu? " Vanya bertanya dengan senyum yang dibaluti kekesalan. Ayah mengerutkan dahi bingung.
" Suamiku, Vanya, sudah. Hentikan. " Ibu mencoba menghentikan perdebatan antara anak dan suaminya ini. Sayangnya, ini sama sekali tak berguna. Baik Vanya atau Ayah, mereka sudah dikuasai oleh amarah mereka masing-masing.
Vanya memajukan langkahnya. Berdiri tepat dihadapan Ayah dengan sorot mata yang tajam.
" Mereka semua, mengetahui keburukan mu. Kau selalu berselingkuh. Kau juga melakukanya dengan teman sekolah ku. Jika kau marah karena Ibuku mati, coba kau lihat dulu dirimu. Kenapa Ibuku memilih untuk bunuh diri? kau yang lebih tahu kan?
" Omong kosong apa yang kau bicarakan?! " Nada bicara ayah semakin melejit naik. Tatapannya juga semakin tajam penuh amarah.
Vanya menyunggingkan senyum palsunya.
" Cukup. Sudah cukup. Mengenai masa lalu mu, hanya kau yang tahu. " Vanya berjalan dan meraih koper yang sudah siap di dekat ranjangnya. Sebelah tangannya juga menjinjing box yang berisi beberapa barang miliknya.
Ibu mengikuti langkah Vanya dengan terus memohon agar Vanya tetap tinggal. Vanya yang sudah tidak tahan lagi, akhirnya memutar tubuhnya agar berada pada posisi yang saling berhadapan dengan Ibu. Vanya melepaskan tangannya dari koper dan meletakkan boxnya di atas kopernya. " Ini adalah pilihanku. Jadi, tolong dukung aku. " Ucap Vanya sembari meraih kedua tangan Ibu yang masih mengatup memohon.
Ibu hanya bisa menangis dan mengangguk. Apa lagi yang bisa ia lakukan? sebagai seorang Ibu, dia hanya ingin selalu bersama dalam keadaan apapun. Tapi takdir adalah kenyataan yang harus dijalani. Vanya telah memilih jalan takdirnya. Sebagai seorang Ibu, ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Vanya.
***
" Untung saja, Ibuku meninggalkan banyak uang sebelum meninggal. Ibu, aku akan meninggalkan Negara ini. Jagalah aku dan cucumu dari surga. Aku merindukan Ibu. " Ucap Vanya yang kini sudah duduk didalam pesawat sembari memandangi photo ibunya dari liontin peninggalannya.
LIMA TAHUN KEMUDIAN.
' Happy birthday to you... happy birthday to you....' Lagu peringatan ulang tahun kini sedang dinyanyikan oleh seorang bocah yang sangat berbakat dan tampan.
" Ibu selamat ulang tahun. Semua doa terbaik untuk Ibu. Aku akan selalu mencintaimu. " ucapnya sembari menyodorkan sebuah cake yang dihiasi lilin berangka dua puluh enam.
Vanya menahan genangan air mata harunya.
" Terimakasih Nathan. Aku juga akan selalu mencintaimu. " Vanya meniup lilinnya dan langsung memeluk Nathan erat.
Nathan, terimakasih karena telah memberikan Nathan kecil untukku. Kalau bukan karena mu, mungkin aku tidak memiliki alasan untuk tetap hidup. Aku selalu mendoakan kau bahagia di surga. Sekali lagi, Terimakasih untuk Nathan kecil yang kau berikan padaku.
" Ibu, kenapa kau menangis? " Tanya Nathan yang menyadari jika Ibunya menangis dibalik punggungnya.
" Tidak. Ibu menangis bukan karena sedih, tapi karena Ibu bahagia memiliki mu. " Vanya memegang wajah Nathan dan menciumnya.
" Ibu, ini adalah hari ulang tahunmu. Tapi, bolehkah aku yang meminta hadiah? " Nathan menatap Vanya dengan tatapan penuh harap.
Vanya tersenyum sembari mengangguk.
" Benarkah? " Nathan memastikan kembali.
" Ibu tidak akan marah? " Vanya masih mengangguk. " Berjanjilah Ibu akan menjawabnya. " Vanya juga mengangguk.
" Beri tahu aku tentang Ayah.
Senyum diwajah Vanya menghilang seketika. Kali ini, Nathan benar-benar terlihat serius. Pasti sulit untuk mengalihkan pembicaraan seperti biasanya. Mau tidak mau Vanya hanya bisa berbohong. " Em,.. Ayahmu ya?
" Ibu tidak boleh mengingkari janji!. " Nathan kembali mengungkit janji yang telah disepakati oleh Vanya. berharap jika ia benar-benar diberitahu tentang Ayahnya yang sebenarnya ia rindukan kehadirannya.
Vanya menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. " Baiklah. Akan Ibu beri tahu. Ayahmu adalah orang yang baik. Dia tampan. Sama sepertimu. Sangat mirip denganmu. Sayangnya, dia jatuh sakit dan meninggal sebelum kau lahir ke dunia ini. Ibu benar-benar terpukul saat itu. Sampai akhirnya, Ibu meninggalkan negara asal kita dan menetap di sini. Ibu berharap keadaan Ibu akan lebih baik. Dan, kau lihat sendiri. Ibu sudah jauh lebih baik. Apalagi semenjak kau hadir dalam hidup Ibu. Semuanya jadi terasa sangat indah.
Nathan mengerutkan alisnya. Vanya hanya bisa menahan gugup. Cemas juga bingung jika kebohongannya diketahui oleh Nathan.
" Lalu kenapa Ibu tidak pernah membawaku kembali ke negara kita jika Ibu sudah lebih baik?
Vanya menatap langit-langit sembari mencari alasan yang paling masuk akal. Ada beberapa alasan yang melintas di otaknya. Tapi tetap saja tidak ada alasan yang bisa meyakinkan Nathan. Nathan adalah anak yang kritis dan jenius. Tidak mudah jika membohonginya.
" Ibu? apa belum juga mendapatkan ide untuk beralasan? " Tanya Nathan dengan wajah yang seolah berkata, jangan mencari alasan! berapa banyak waktu yang akan Ibu habiskan untuk mencari alasan?
To Be Continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!