NADIA
"Bimasena? Yang mana ya? Kok aku nggak ingat?" tanyaku pada suamiku yang sedang sibuk di depan laptopnya.
Baru saja Admin group whatsapp Alumni SMA kami menambahkan satu orang yang bernama Bimasena ke dalam group. Sudah 12 tahun kami menjadi alumni SMA, dan sudah 6 tahun group kami terbentuk, barulah orang yang bernama Bimasena itu masuk ke dalam group. Kemana saja ia selama ini? Bahkan nama Bimasena sama sekali tidak ada dalam file SMA di otakku.
"Dia nggak sampai satu tahun sekelas dengan kita. Cuman kelas satu doang. Belum juga penaikan kelas dia udah pindah," jawab suamiku tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Ciri-ciri orangnya gimana sih?" Aku makin penasaran saja.
"Eh kamu tuh kepo banget sih, besok juga kalau dia datang di acaranya Mithalia kamu bakal liat kok. Nggak ada kerjaan lain? Kalau nggak ada mending baca-baca buku, biar otak kamu gak buntu. Jangan orang dikepoin terus," hardik suamiku.
Ya seperti itulah suamiku, Tristan Atmaja. Tristan teman sekelas sewaktu aku masih SMA dulu dan merupakan siswa yang paling pintar di kelas kami. Karena merasa pintar, selama kami menikah ia selalu membandingkan otak cerdasnya dengan otakku yang pas-pasan. Awalnya tentu saja membuatku sakit hati. Namun lama kelamaan hatiku sudah kebal.
Menurut suamiku, wanita cerdas dan berpengetahuan luas lebih menarik daripada wanita yang hanya mengandalkan kecantikannya semata. Wanita intelektual bisa menjadi problem solver yang baik bagi sebuah hubungan.
Tentu saja itu sangat menyinggung diriku, karena dari berbagai sudut pandang, aku sama sekali tidak termasuk dalam kriteria wanita cerdas, terlebih lagi wanita intelektual.
Saat kami masih sekelas di SMA, aku sama sekali tidak pernah melirik Tristan, pria berkacamata itu. Bahkan aku tidak pernah menyangka suatu ketika akan menjatuhkan pilihan pada Tristan. Ia jauh dari kriteria cowok yang aku tetapkan kala itu.
Aku gadis yang populer di sekolah karena kecantikan dan karena sering mengikuti lomba puteri-puterian serta lomba modeling.
Membuat aku harus mencari pria yang sepadan denganku. Tentu saja yang tampan dan juga populer.
Hatiku lalu tertambat pada kakak kelas, Ketua Osis pada saat itu. Pria tampan dan anak pejabat.
Setelah tamat SMA, saat teman-teman berlomba mendaftar pada universitas favoritnya masing-masing, aku malah memilih masuk sekolah modeling dengan harapan kelak bisa menjadi seorang model profesional. Ya, cita-citaku menjadi model papan atas sekelas Paula Verhoeven dan Laura Muljadi.
Namun setelah menggeluti dunia modeling, ternyata dunia itu tidaklah semenyenangkan yang aku duga. Cita-citaku menjadi model papan atas terlalu tinggi.
Kadang-kadang aku sudah letih dengan berbagai latihan, tapi ternyata tidak pernah dipanggil untuk tampil.
Persaingan dalam dunia modeling sangat ketat. Belum lagi stigma negatif yang sering aku terima sewaktu masih menjadi model, bahwa kami para model bisa dibooking untuk kepuasan pria hidung belang.
Tidak mudah menjadi model papan atas. Dan aku terlambat menyadarinya.
Saat Reuni pertama dengan teman-teman SMA, pada saat kami berusia 24 tahun, di saat itulah aku menyesal memilih jalur modeling untuk berkarir. Saat reuni, teman-temannya sudah ada yang menjadi dokter, perwira polisi, jaksa, atau bekerja pada perusahaan bonafit.
Sementara diriku? hanya kecantikan yang membuatku masih percaya diri. Selebihnya itu tidak ada sama sekali yang bisa dibanggakan. Bahkan titel sarjana pun aku tidak memilikinya. Sungguh malang nasibku.
Disaat itu pulalah, aku mencapai titik jenuh pada Dunia Modelling dan ingin segera meninggalkan dunia itu.
Saat reuni pertama, disitulah aku berjumpa dengan Tristan, siswa terpintar di kelasku. Saat itu bahkan sampai saat ini, Tristan menjadi Auditor BPK.
Hanya dengan melempar senyum manis padanya, Tristan sudah jatuh hati padaku, dan ingin menikahiku. Karena kegagalanku di dunia Modeling, kriteria pria yang aku inginkan berubah pula. Aku menginginkan pria yang pintar, bukan lagi yang tampan dan maskulin. Dan Tristan sudah masuk ke dalam kriteriaku.
Kami akhirnya mengikat janji suci dalam sebuah pernikahan.
Lima tahun pernikahanku dengan Tristan, kami belum juga juga dikaruniai keturunan. Beberapa kali aku mengajak Tristan untuk berkonsultasi dengan dokter, namun Tristan selalu menolak dengan alasan sibuk.
Memang benar, pekerjaannya sebagai auditor BPK membuat suamiku sangat sibuk. Ia bahkan sering Dinas keluar kota selama berhari-hari sampai berminggu-minggu lamanya.
Saat aku jenuh sering ditinggal oleh Tristan, aku pun memiliki ide untuk membuka salon. Tentu saja dengan meminjam modal pada mertua. Pada Ayah Tristan.
Sekarang aku sudah memiliki kesibukan, mengelola salon kecantikan yang aku bangun dengan bantuan modal ayah mertua.
Namun menjadi wanita yang memiliki pekerjaan belum cukup untuk membuat suamiku bangga padaku. Ia tetap saja selalu mengagungkan perempuan cerdas seperti otak yang dimilikinya. Tidak jarang bahkan ia menyebut nama perempuan cerdas yang ia kagumi.
Bila nama Menteri Keuangan Sri Mulyani atau pembawa acara TV Najwa Sihab yang ia sebutkan tidak ada masalah.
Namun bila ia sudah mengagumi orang di sekitarnya, harusnya ia sudah menyadari bila itu menjadi masalah dalam diamnya aku.
Tetapi aku berusaha untuk mengerti tentang pernikahan. Percikan asmara tidak lagi sama seperti waktu pacaran. Cinta sebenarnya tidak hilang diantara kami, namun romansa dan gairah sudah menurun karena kesibukan, kebosanan, kebencian, perasaan yang diabaikan, marah dan kesepian. Sehingga pernikahan kami seperti hambar. Terlebih lagi kami belum dianugerahi buah hati.
Ternyata orang yang tidak mengenal Bimasena bukan hanya diriku. Aku tertawa begitu group WA kami yang bernama Still Young diramaikan orang-orang yang mempertanyakan siapa Bimasena.
STILL YOUNG
Hendra:
Selamat bergabung Bro Bimasena, Selamat datang di Indonesia.
Bimasena:
Terimakasih Bro. Salam untuk teman-teman semua.
Mithalia:
Bimasena? yang mana ya? kok aku lupa.
You/ Nadia:
Sama...yang mana ya?
Hendra:
Bima sekelas dengan kita waktu kelas satu. Nggak sampai dua semester karena harus pindah ke Amrik.
Reyna:
Pasang foto dong Bimasena, foto profil kok pakai logo.
Alfredo:
Bimasena cowok yang berpostur tinggi, putih, berbadan subur, yang suka duduk paling belakang di pojok, jarang ngomong, tidak seperti kalian cerewet.
Reyna:
Oh oh oh, aku ingat, bukan yang sering telat datang itu ya?
Bimasena:
Tepat sekali.
Angga:
Bim, masih single ya? cewek2 masih banyak yang single tuh.
Bimasena:
Ha ha ha
Aku mulai bisa mengingat cowok bertubuh tinggi gemuk saat kami kelas satu dulu, namun aku sudah tidak bisa mengingat wajahnya. Ia bukan pria gaul dan tidak populer sehingga tidak masuk dalam lingkaran pertemananku. Bahkan aku tidak pernah melirik dan memperhatikannya sama sekali.
Yang membuat seorang siswa populer di sekolah, diantaranya:
Cantik dan tampan, seperti aku dan Hendra tentunya.
Pintar, seperti Tristan.
Anak orang kaya, seperti Mithalia.
Anak pejabat, seperti Hendra.
Bintang olahraga, seperti Alfredo.
Ketua Osis, seperti mantan pacarku.
Nakal, seperti Angga.
Dan Bimasena?, tidak masuk dalam penggolongan di atas.
Wajarlah bila teman-teman, jarang yang mengingat orangnya.
NADIA
Saung Pesona Alam.
Itulah nama tempat Mithalia mengundang kami untuk reuni kecil-kecilan teman sekelas saat kami SMA.
Suasananya sangat nyaman untuk dijadikan tempat refreshing. Suasana yang disuguhkan pada pengunjung, yaitu kembali ke alam dengan desain restoran ala pedesaan.
Fasilitas utama yang menjadi daya tarik di tempat ini adalah sederet saung yang menjadi tempat makan pengunjung. Saung-saung mengelilingi kolam ikan yang sangat luas seperti danau. Gubug-gubugnya dibuat dari daun alang-alang, sehingga sangat nyaman untuk bersantai dan sangat menarik mata.
Mithalia memilih saung yang besar untuk kami. Ada dua meja panjang di dalam saung yang kami tempati. Saung menghadap ke kolam renang. Di belakang saung terdapat pepohonan hijau yang menaungi tempat parkir di bawahnya.
Tidak percuma membuang waktu dan tenaga untuk datang ke tempat yang sangat jauh, yang terletak di pinggir kota ini. Terlebih lagi untuk mengobati kedongkolan hati akibat perdebatan kecil dengan Tristan sebelum berangkat ke tempat ini. Perdebatan yang hampir setiap hari terjadi.
"Lama banget sih, bisa lebih cepat dikit nggak? tempatnya lumayan jauh," tegur Tristan dari balik pintu kamar dengan wajah bersungut-sungut.
"Sabar, sebentar lagi."
"Dandan kok kayak mau ke kondangan saja."
"Emang kamu nggak bangga punya istri cantik?"
"Kecantikan di usia 30 tahun sudah tidak bisa dibanggakan. Apa sih yang kamu dapatkan dengan kecantikanmu itu? Bahkan ijazah S1 pun kamu nggak punya. Yang bisa dibanggakan di usia seperti ini adalah capaian yang kita sudah peroleh."
Memang ada benarnya apa yang dikatakan oleh suamiku, namun tidak urung ucapannya menyinggung perasaanku.
"Ya lalu kenapa kamu menikahiku kalau nggak bangga dengan diriku? kenapa nggak cari orang pintar saja seperti dirimu?"
"Sudah bukan waktunya lagi untuk mendebatkan itu lagi Nadia." katanya sambil meninggalkan aku di kamar.
Akhir-akhir ini aku berpikir untuk mengambil S1. Bukan karena mengejar ilmu ataupun ijazah. Hanya agar suamiku tidak terlalu merendahkan diriku dari segi pendidikan.
Di usia 30 tahun baru mengambil S1? apa tidak terlalu terlambat? Itu yang membuat aku masih ragu. Sementara teman-teman bahkan ada yang sudah menyandang gelar S2 dan mengambil S3 nya.
Tidak lama kemudian suaranya terdengar setengah berteriak.
"Nadiaaaa, buruan."
"Kamu berangkat duluan saja. Aku bisa kok ke sana sendiri."
Sungguh ia tidak mengerti bahwa wanita memiliki ritual khusus dan waktu yang lebih lama bila hendak bepergian.
Namun ia tetap menunggu meskipun dengan wajah bersungut-sungut.
Sepanjang jalan menuju Saung Pesona Alam kami lebih banyak diam, hanya berbicara sesuatu yang sangat penting saja.
‐-------------
Hampir semua yang memberi konfirmasi untuk hadir, sudah duduk di dalam saung. Mengobrol seru sambil menikmati indahnya suasana sore saat matahari akan kembali ke tempat peraduan.
Potret matahari terbenam sangat tampak indah dengan semburat jingga di langit yang cantik. Lampu taman mulai menyala, berwarna kuning temaram, dengan paduan suara air kolam.
Kami larut dalam obrolan seru. Aku duduk bersama teman-teman wanita. Membicarakan gosip selebritis, mode terbaru dan juga gosip teman-teman sekolah.
Para pria dengan topiknya sendiri. Kadang-kadang bola, ataupun situasi politik tanah air.
Namun obrolan kami mendadak berhenti, dan perhatian tertuju pada sebuah supercar berwarna grey yang berusaha mencari tempat parkir di belakang saung kami, saung nomor tiga.
"Wouw, mobilnya keren bingitz," satu suara memecah keheningan. Sepertinya suara Alena.
Teman-teman pria juga ikut memperhatikan supercar yang baru datang tersebut.
"Audi R8," gumam Tristan, suamiku.
Setelah supercar itu terpakir, pengendaranya turun dari mobil. Perhatian kami kembali beralih pada pengendaranya.
Seorang pria bertubuh tinggi tegap berkaca mata hitam turun dari mobil. Ia mengenakan jas slimfit casual juga berwarna grey lengkap dengan dasi.
"Wouuuuw," tanpa sadar Mithalia bergumam.
Sangat wajar, objek yang kami lihat sekarang melebihi pemandangan saung sore ini.
Tidak cukup sampai disitu, di samping mobilnya, pria itu membuka jasnya, lalu melempar ke dalam mobil. Kemudian pria itu membuka dasinya, juga dilempar ke dalam, ke jok mobil. Terakhir ia melepas kacamata hitamnya dan disimpan di atas dashboard mobil.
Beberapa bibir teman wanita berdecak. Termasuk diriku, meskipun dalam hati.
Sungguh sangat menarik bila adegan itu diulang kembali secara slow motion. Mirip iklan di TV.
Pria itu lalu menggulung lengan kemeja biru mudanya. Setiap aksi kecil yang dilakukan tampak mengagumkan. Tanpa sengaja ia menebarkan pesonanya.
Diluar dugaan, pria itu berjalan ke arah kami dan mulai melepas senyum kepada kami. Semakin dekat wajah tampannya semakin jelas.
Ia berjalan ke arah kami? siapa pria itu?
"Itu Bimasena ya?" suara Hendra terdengar di antara kami. Lalu mulai terdengar kegaduhan para wanita, atas sosok yang sedang berjalan mendatangi kami.
"Diakah yang bernama Bimasena? masa sih?"
"Perasaan dulu gak begitu."
"Beda banget jaman SMA dulu."
Para pria berdiri menyambutnya.
"Pa kabar bro?" mereka bersalaman khas pria satu persatu, berbasa-basi dan melepas candaan. Pria itu kemudian duduk di samping Hendra.
Diakah pria yang bertubuh gemuk dan tinggi teman sekelas dulu? Tidak banyak bicara dan lebih sering duduk pada kursi paling belakang di pojok?
Bagaimana aku tidak pernah memperhatikannya waktu sekelas di SMA dulu?
Perubahan yang sangat signifikan sejak lima belas tahun yang lalu. Teman-teman wanita yang masih single mulai gelisah. Berusaha mendapat perhatian Bimasena.
Mungkin yang paling cocok dengannya adalah Mithalia. Selain cantik, Mithalia juga berasal dari keluarga berada. Tapi apa ia masih single?
"Udah berapa ponakan Bro?" tanya Alfredo menepuk bahu Bimasena.
Bimasena tertawa ringan dan berujar,
"Jangan tanya berapa ponakan, tanya dulu sudah ada belum Ibunya ponakan."
Jawaban Bimasena disambut gelak tawa teman-teman.
"Ternyata masih single ya?" goda Rahmania sambil memberikan kode mata kepada Mithalia. Aku sudah tahu apa maksudnya.
Jawaban yang sangat melegakan untuk teman-teman wanita yang masih berstatus single.
Satu suara teman pria terdengar bertanya lagi, Angga. "Apa aktivitas sekarang Bro? kerja di mana?"
"Karyawan Bro. Di sebuah perusahaan,"
"Perusahaan apa?"
"Minyak Bro."
"Minyak goreng, minyak balur atau minyak bulus?" Hendra berseloroh.
Bimasena hanya tertawa tanpa memberikan penjelasan soal pekerjaannya.
Karyawan? yang jelas dari penampilannya ia tidak terlihat seperti karyawan biasa.
Bimasena tampaknya orang yang irit bicara. Ia hanya menanggapi pembicaraan teman-teman dengan satu dua kata, atau sekedar tertawa.
Ponselnya sebentar-sebentar berbunyi, sepertinya ia sangat sibuk, sehingga tidak begitu fokus pada topik yang dibicarakan teman-teman.
Bimasena mulai mengedarkan pandangannya satu persatu pada teman yang ada di saung ini sambil melepas senyum, dan menyapa beberapa diantaranya yang pernah akrab dengannya.
Aku? aku tidak pernah ingat kalau kami pernah saling berbicara dulu. Kesalahanku dulu adalah hanya bergaul pada orang-orang tertentu. Kaya, anak pejabat, cantik, tampan. Sehingga tentu saja aku malu bila tiba-tiba harus berakrab ria dengannya.
Belum lagi gerak-gerikku dalam pengawasan Tristan, yang akan mengatakan aku ganjen bila harus seperti teman-teman wanita yang masih single itu sudah mulai mendekat dan mencari-cari perhatian Bimasena.
Aku tetap duduk pada tempatku. Toh tidak ada gunanya lagi mendekat, bukankah aku sudah punya Tristan?.
Tidak seperti Reyna atau Mithalia, yang sudah meninggalkan tempatnya di dekatku demi berdekatan dengan Bimasena.
Pria yang tidak pernah kami perhitungkan dulu dan tidak pernah kami lirik.
Tapi anehnya, kenapa aku selalu mencuri-curi pandang ke arahnya.
Tidak salah kan bila hanya sekedar mengagumi makhluk ciptaan Tuhan yang satu itu?
Sosoknya masih misterius, namun dari mobil, serta segala property yang melekat di tubuhnya menunjukkan ia sosok high class, tapi dari cara berbicaranya ia adalah orang yang tertutup dan mungkin low profile, karena tidak pernah menyombongkan sesuatu. Entah itu bila nanti.
Sambil sesekali menanggapi Alfredo yang sedang berdongeng tentang kehebatannya, Bimasena kembali mengedarkan pandangannya.
Sebentar lagi sampai ke arahku.
Tiga...dua...satu....
Mata kami bertemu. Ia tertegun melihatku dan berhenti mengedarkan pandangannya. Karena ia tertegun aku jadi nervous, apa ada yang salah di wajahku? Riasanku terlalu over? Ada sisa makanan di wajahku?
Ia menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan, akupun balas menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tidak lama kemudian ia melempar senyum ke arahku.
Oh Tuhan, tatapan dan senyumnya itu membuat hatiku berdesir, persendianku seperti ngilu. Akupun membalas senyumnya, tanpa mampu lagi menatap wajahnya. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku dari dia.
Kenapa aku jadi grogi seperti ini? hanya karena ditatap seorang makhluk yang baru datang?
Keterampilanku membangun kepercayaan diri di dunia modelling mendadak hilang oleh satu tatapan dan senyuman.
Beberapa kali aku mencuri-curi pandang lewat sudut mataku, beberapa kali juga aku melihatnya menatap kearahku. Apakah aku yang terlalu kegeeran? Mudah-mudahan tidak.
Lah apa arti mudah-mudahan tidak untukku? toh aku bukan single lagi. Ah otak ini sudah ngaco hanya karena melihat barang bagus.
Setelah makan malam, dilanjut ngobrol sebentar, satu persatu dari kami pamit pulang. Bahkan sampai pulang pun aku tidak pernah bertegur sapa dengan Bimasena. Namun beberapa kali aku melihatnya mengobrol berdua dengan Tristan.
Pukul sembilan malam aku dan Tristan pamit, saat teman-teman yang tersisa masih asyik mengobrol. Termasuk Bimasena. Namun aku berusaha menghindari matanya. Belum tentu juga ia menatapku kok.
Baru juga sampai di tempat parkir, mendadak Tristan berkata, "Tunggu sebentar, aku ke toilet dulu."
Dan yang paling menyebalkan karena ia tidak membuka kunci mobil sebelum ke toilet, sehingga aku harus berdiri menunggunya di samping mobil dengan kesal.
"Apa kabar Nadia?"
Sebuah suara asing mengejutkanku, membuatku refleks menoleh ke sumber suara itu.
Dan....lututku mendadak gemetaran. Aku tidak tahu harus menjawab apa pada laki-laki yang kini berdiri santai di depanku, dengan satu tangan pada saku celana dan satunya lagi memegang ponsel.
Bimasena.
"Masih ingat namaku ya?" bukannya menjawab, malah aku bertanya dengan pertanyaan bodoh.
Ia tersenyum.
"Bagaimana aku bisa melupakan nama wanita yang pernah diidolakan di masa lampau, meskipun ia tidak pernah melirik sekalipun padaku. Tidak pernah berbicara padaku. Bahkan mungkin ia tidak tahu namaku."
Aku mencoba tertawa untuk menutupi rasa gugup dan malu serta lidah yang tiba-tiba kaku, tidak tahu harus berkata apa atas perkataannya yang sangat menohok jantung. Kalimat yang menunjukkan kesombonganku di masa lampau.
Ia tersenyum kecil menatapku.
Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Skill confidence building ku lenyap entah kemana.
Untunglah aku terselamatkan dengan kembalinya Tristan dari toilet. Mereka saling berbasa basi sejenak lalu akupun pamit padanya.
"Hati-hati Nadia Humeerah," ucapnya sambil melihat aku masuk ke dalam mobil. Setelah Tristan melajukan mobilnya, aku bisa melihat melalui rearview mirror mobil, Bimasena masuk ke dalam supercar nya.
Ia masih ingat nama lengkapku?
Betulkah ia mengidolakanku di masa lampau?
Nadia
--------------
Nadia duduk di depan meja rias, hendak melakukan ritual khususnya setiap malam sebelum tidur, yakni menggunakan skincare, diiringi pandangan sinis suaminya.
Ia mulai menggunakan make up remover untuk membersihkan debu, minyak dan kotoran lain yang yang menempel pada wajahnya.
Ia sudah tahu mengapa Tristan menatapnya dengan tatapan sinis. Karena ia menuntut istrinya bukan hanya memiliki kelebihan fisik saja, tapi juga harus intelektual.
Menurut Tristan, kelebihan fisik bisa membuat pria jatuh cinta, namun hubungan bisa bertahan lama bila sang wanita memiliki kecerdasan intelektual. Seorang suami lebih membutuhkan parner diskusi untuk menyelesaikan suatu masalah. Maka saat itulah dibutuhkan perempuan yang bisa diandalkan kecerdasannya. Bila hanya dengan modal cantik, pria akan cepat bosan.
Nadia menyadari bila ia sama sekali tidak memiliki 'Kecerdasan intelektual', hal yang selalu dituntut dan didengung-dengungkan oleh suaminya.
Hal itu yang membuat percaya dirinya tergerus ke titik nol. Dulu, ia memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi saat ia masih berprofesi sebagai seorang model. Namun rasa percaya diri yang telah ia bangun, pelan-pelan diruntuhkan oleh Tristan suaminya sehingga sekarang ia selalu merasa rendah diri.
Setelah membersihkan wajah dengan make up remover, ia mencuci wajahnya dengan sabun pencuci wajah, lalu mengeringkannya dengan handuk, dan kembali lagi ke meja riasnya melanjutkan ritual.
Nadia mengingat sebuah nama yang pernah diucapkan suaminya, Hakimah, pemeriksa pertama yang baru saja masuk di kantor suaminya. Tristan sangat memuji kemampuan verbal, kemampuan berinteraksi dan logika berpikir pemeriksa baru itu.
Tentu saja Tristan memujinya karena menginginkan istrinya seperti orang itu. Lebih kasarnya, menginginkan dirinya cerdas seperti Hakimah.
Bagaimana bisa?
Dirinya merupakan type manusia yang pelit secara kognitif. Ia enggan melakukan pekerjaan yang mengharuskan berpikir kecuali bila terpaksa. Ia lebih menyukai pekerjaan yang santai tanpa banyak menguras otak. Meskipun ia sadari bahwa otak lebih dihargai daripada otot.
Membaca buku bukan hobinya. Ia lebih senang membuka majalah fashion, make up terbaru, dan semua yang tidak ada dalam kamus Tristan.
Beberapa kali Tristan membawakan buku untuknya, ia hanya membaca sampai sampulnya saja. Bahkan halaman pertamanyapun tidak pernah ia habiskan. Buku pilihan Tristan sangat tidak menarik untuknya.
Nadia lalu menggunakan exfoliator, toner, serum, dan yang terakhir krim malamnya. Sebagai wanita yang memasuki usia 30 tahun, ia harus rajin merawat kulitnya agar tetap kencang dan glowing.
Ia melirik suaminya yang secara bersamaan juga melirik ke arahnya. Mencibir terlalu banyaknya jenis skincare yang ia gunakan. Seperti biasa, menjelang tidur Tristan sangat sibuk dengan laptopnya. Membuat laporan hasil pemeriksaan, yang tidak kelar di kantor, sehingga harus dibawa ke rumah.
Ia lalu melangkah ke tempat tidur, membaringkan tubuhnya di sana. Membuka handphonenya untuk berselancar di dunia maya.
Ia membuka pesan pada satu aplikasi. Pesan masuk dari Mithalia. Ia membaca lalu membalasnya.
Mithalia:
Dya, gimana tadi menurut kamu?
Dahi Nadia mengernyit.
Nadia:
Maksud kamu? Apa yang bagaimana?
Mithalia:
Maksud aku Bimasena Dya.
Nadia:
Emang ada apa dengan Bimasena?
Mithalia:
Ah kamu sih nggak peka. Gimana menurut kamu Bimasena? kok cowok itu bikin aku berdebar sih?. Kok aku suka sih orangnya Dya? Dia kalem tapi nggak dingin. Low profile. Kalau nyapa dia hangat. Kok bisa ya, zaman SMA kita nggak pernah perhatikan dia. Perubahannya amazing.
Ah, ternyata bukan cuma dirinya yang dibuat bersebar Bimasena tadi. Mithalia juga. Atau mungkin semua teman wanita yang hadir di reuni kecil-kecilan itu. Dan sepertinya Mithalia sudah jatuh cinta
Nadia:
Cakep sih. Sama cakep dengan mobilnya 😄😄😄.
Tapi tampaknya ia pria yang tertutup ya?
Mithalia:
Mungkin karena kita baru pertama kali bertemu setelah sekian lama. Dya, bantuin aku dong, plizzzzz, comblangin aku dengan Bima. Reyna tadi udah terang-terangan ngincar Bimasena. Jangan sampai aku keduluan dari Reyna.
Mitha pengen dicomblangi sama Bima?. Jangan ah, jangan sampai mamak ikut jatuh cinta pada Bima.
Nadia:
Idih, zaman gini masih pake comblang. Gunakan teknologi Non!
Mithalia:
Dari tadi aku kirim pesan, belum di read sampai sekarang Dya. 😭
Nadia:
Emang kamu tulis apa?
Mithalia:
Terimakasih sudah datang Bima. Eh kamu tinggal di mana?
Nadia:
Udah deh, nanti aku pikirkan gimana caranya kamu bisa ketemu dengan Bima.
Mithalia:
Makasih sayangku Nadia. Kamu tahu Bima ngomong apa waktu pulang tadi? buat aku melayang ke awan-awan.
Nadia:
Apa?
Mithalia:
Dia bilang gini, Mitha kamu nyetir sendiri? hati-hati ya, langsung pulang ke rumah, udah malam.
Hanya itu membuat kamu melayang? bagaimana kalau kamu dengar Bima bilang apa ke aku tadi?,
"Bagaimana aku bisa melupakan nama wanita yang pernah diidolakan di masa lampau, meskipun ia tidak pernah melirik sekalipun padaku. Tidak pernah berbicara padaku. Bahkan mungkin ia tidak tahu namaku."
Nadia mulai membuka foto-foto yang diupload di group. Ada beberapa foto Bimasena. Ia tampak lebih menonjol dari teman-teman pria yang lain.
Bimasena seperti seorang aktor pemeran utama yang sedang berfoto dengan pemain sepakbola kampung. Ia bersinar sendiri. Yang lain redup. Termasuk Tristan.
Maafkan istrimu Tristan. Hanya memuji kok.
Iseng-iseng Nadia menzoom foto Bimasena, sambil sesekali melirik ke arah Tristan, jangan sampai tertangkap basah sedang mengintip foto Bimasena.
****************
NADIA
Hari ini aku harus turun langsung melayani pelanggang salon, karena 8 karyawanku sudah penuh. Tiga orang siswa SMA mengantri untuk mendapat layanan Facial Jerawat.
"Mbak, kok kulitnya kinclong banget, nggak pernah kena jerawat ya?" tanya gadis SMA itu padaku.
Aku tertawa dengan keresahan yang dialaminya akibat jerawat, sama seperti aku saat SMA dulu. Satu biji jerawat muncul di wajah, membuatku stres memikirkannya. Karena bagi seorang model, haram hukumnya jerawat nempel di wajah.
Berbekal dengan sedikit ilmu jerawat yang kumiliki, aku mulai menjelaskan pada tiga anak itu.
"Jerawat itu biasa mulai muncul pada orang seusia adek yang memasuki masa pubertas. Faktor utama pemicu jerawat itu hormon Androgen. Hormon yang muncul pada masa pubertas. Hormon itu memicu kelenjar sebum untuk mengeluarkan minyak. Akibatnya kulit akan lebih berminyak. Apabila kulit kotor maka sel-sel kulit dapat tersumbat dan menjadi jerawat, makanya kulit harus rajin dibersihkan."
Ponselku kembali berdering. Mithalia lagi. Untuk ketiga kalinya ia menelpon. Bertanya urusan comblangnya dengan Bimasena.
Mithalia: Kamu udah telepon Bima ya Dya?
Nadia: Belum Mit, salon lagi ramai nih. Aku harus terjun langsung layani pelanggan.
Mithalia: Tega benar kamu Dya, 5 menit pun waktumu kamu nggak sisihkan untuk aku.
Nadia: Baik-baik aku telpon sekarang.
Nadia cepat memotong Mithalia, karena dari seberang sana suara Mithalia terdengar seperti orang yang hendak menangis saja. Betul-betul Bimasena sudah megobrak-abrik hatinya.
Aku telepon Bimasena?
Baru rencana menelponpun jantung sudah nggak bisa diajak kompromi.
Akhirnya aku hanya mengirim pesan padanya.
Pesan yang diketiknya hanya sebentar, namun lama baru dikirim.
Dengan seribu pertimbangan.
Bagaimana kalau ia tidak membaca?
Bagaimana kalau ia tidak membalas?
Nanti aku bisa malu dan sakit hati.
Loh kan yang naksir Mithalia, bukan aku, kenapa mesti malu?
Karena kembali teringat Mithalia, akhirnya pesan itu akupun kirim.
Bismillah.
Nadia:
Assalamualaikum. Maaf mengganggu. Sibuk ya?
Ternyata berkirim pesan pun jantung sama saja tidak terkendalinya.
Message sent but not read
Sepuluh menit berlalu. Sungguh memalukan. Akupun menyesal mengirim pesan padanya. Dan aku menjadi kesal pada Mithalia, penyebab pesan memalukan ini.
Setelah tiga puluh menit, ia sudah membaca pesanku. Tapi tidak dibalas.
Selamat Nadia....kamu dicuekin. Kamu nggak penting.
Terimakasih Bimasena, aku harap kemarin adalah waktu pertama dan terakhirnya kamu hadir di reuni. Aku tidak ingin bertemu kamu lagi.
Untuk mengalihkan kekesalanku pada Mithalia dan Bimasena, aku kembali melayani satu pelanggan untuk facial jerawat meskipun beberapa karyawanku sudah kosong.
Setelah beberapa saat sibuk dengan pelanggan, kekesalan akibat pesan memalukan itupun bisa teralihkan. Kini aku fokus membersihkan komedo dan jerawat anak SMA ini yang banyaknya seperti bintang di langit.
Saat aku hendak membersihkan masker pada wajah pelanggan, ponsel yang aku simpan pada rak di belakangku berdering. tanganku meraba-raba ke belakang untuk meraih ponsel. Saat berhasil meraihnya aku membaca siapa penelpon.
Tanpa sadar karena terkejut ponselku terlepas dari tangan, jatuh ke kaki dan akhirnya ke lantai. Tanganku seperti tersengat aliran listrik saat membaca siapa penelpon.
Bimasena
Calling
Sekarang aku hanya melihati ponsel itu berdering di lantai. Rasanya aku tidak punya kekuatan untuk menjawab telponnya.
Aku harus bilang apa? semua yang sudah terkonsep di otak buyar.
Padahal ini demi Mithalia, bukan untuk aku. Duuuh.
Akupun lega saat ponsel itu berhenti berdering. Kupungut ponsel itu dari lantai, untung saja layarnya tidak pecah.
Namun ponsel itu berdering lagi. Bimasena lagi. Jantungku rasanya hendak meloncat keluar.
Dengan tangan gemetar aku menjawab telepon Bimasena.
Tuhan tolong aku
Aku : Ha ha halo
Bimasena: Maaf Nadia, lama baru dijawab, lagi rapat. Ada apa Nadia?
Aku : eh ini...
Aku lupa harus bilang apa. Bodohnya aku Tuhan.
Bimasena: Kamu kenapa Nadia?
Aku : Mi mithalia...
Bimasena: Kenapa dengan Mithalia?
Aku: Mithalia ingin bertemu kamu.
Terdengar suara tergelak di seberang sana. Apa ia menertawakanku karena gelagapan?
Bimasena: Jadi kamu menghubungi aku hanya untuk menyampaikan Mithalia ingin bertemu denganku?
Aku: Iya.
Bimasena: Hanya itu? tidak ada yang lain?
Aku: I iya.
Bimasena: Betul gak ada yang lain?
Aku: Iyah.
Bimasena: Oke baik Nadia, terimakasih infonya, aku mau lanjut rapat lagi ya. Sampai ketemu lagi.
Aku: Iya.
Bimasena mematikan teleponnya.
Aku lupa, dulu aku pernah menjuarai Putri Pariwisata. Tidak tanggung-tanggung, aku juara I. Begitu luwesnya aku melenggang di atas panggung, dan begitu lancarnya aku menjawab setiap pertanyaan juri.
Tapi berbicara dengan Bimasena, itupun melalui saluran telepon, hanya iya, iya dan iya yang bisa keluar dari mulutku.
Sekarang aku tidak perlu tersinggung lagi pada Tristan. Memang benar dan aku sudah sepakat dengan Tristan.
Aku ini bo doh, gob lok dan semua kata-kata yang merupakan sinonimnya.
********************
Terimakasih telah membaca readers kesayangan.
Jangan lupa dukungannya yah.
Bila novel ini agak nakal, jangan ikutan nakal ya. Namun lihatlah pesan yang terkandung di dalamnya. Meskipun pesannya hanya seujung kuku.
Novel ini dibuat sekedar untuk menghibur readers.
Menemani readers pada waktu luang. Ataupun teman dikala sepi (alay ya?)
Tetap sehat dan bahagia selalu untuk kalian
😘😘😘😘😘😘
INA AS
Fb: INA AS
Instagram: INA AS
Readers, dapat salam rindu dari:
- Mas Hadi
- Mas Adit
- Pak Abraham
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!