NovelToon NovelToon

Emak Aku Pengen Kawin

1. Pertemuan Trah

"Ma, harus banget kita berangkat? Sekali-sekali nggak usah berangkat kan nggak apa-apa." Karen menawar.

"Hush, pertemuan trah itu cuma setahun sekali. Nanti kita dilupain sama saudara-saudara jauh kalau nggak datang. Lagian, sepeninggal papamu, saudara-saudaranya jadi jarang ke sini. Jangan sampai kita kehilangan saudara."

Karenina adalah seorang wanita lajang berusia 26 tahun. Dia tinggal bersama ibu (Mama Puri) dan adik laki-lakinya yang bernama Kendrik. Mereka tinggal di sebuah kota bernama Koja. Semenjak ayah Karen meninggal, pertemuan trah dari pihak keluarga ayah menjadi prioritas utama Mama Puri.

Dia khawatir jika tidak datang, keluarga dari pihak ayah akan melupakan mereka. Pada tahun-tahun sebelumnya, agenda pertemuan trah ini membahagiakan untuk Karen. Tetapi sejak umurnya kian bertambah, pertemuan ini menjadi momok. Pertanyaan klasik kepada wanita lajang berusia matang mulai dialaminya.

Awas aja kalau nanti ada yang tanya kapan nikah, aku telen hidup-hidup. (Karen).

"Ken, udah siap belum?" Mama Puri belum melihat batang hidung anak laki-lakinya.

"Bentar, Ma. Lagi siap-siap."

"Nggak usah ganteng-ganteng! Di sana semua saudara, nggak ada yang bisa diincer." Mama Puri mulai tidak sabar menunggu.

"Justru harus maksimal, Ma. Tahu sendiri kadang saudara itu penuh nyinyiran." Karen membela Kendrik.

"Alah, Mama udah kebal sama begituan, Ren, Ren."

"Itu kan Mama. Mama juga udah lewat masa-masa nyinyiran. Kalau aku sama Ken baru mulai," jawab Karen.

"Jangan pikir Mama udah berhenti terima nyinyiran ya, sampai sekarang Mama masih terima nyinyiran tuh."

Nggak cuma terima nyinyiran, mungkin mama sendiri juga nyinyirin orang. (Karen).

Memang dalam hidup tidak bisa lepas dari mengomentari dan dikomentari. Tidak bisa dipungkiri, terkadang Mama Puri juga melontarkan komentar yang mungkin menyinggung orang lain.

~

Lokasi pertemuan trah

Sampai di sana, mereka memasuki ruangan yang sudah dipenuhi oleh para saudara.

"Puri, udah ditunggu dari tadi. Sini, sini, kita lagi bahas Jeng Rini yang mau mantu bulan depan."

Mama Puri langsung sibuk mengobrol bersama para senior di keluarga itu. Karen dan Kendrik bergabung dengan para sepupu yang seumuran. Meskipun berlabel 'keluarga', tidak semua berbaur dengan baik.

Karen bahkan memiliki musuh besar yang selalu menjadi rivalnya. Mila, sepupu jauh Karen dan Kendrik, seolah selalu memiliki dendam kesumat kepada Karen. Padahal, saat mereka masih kecil, mereka sangat akrab.

Ketika mereka sama-sama mengenyam pendidikan SMA, Karen menjadi ketua tim cheerleader sekaligus memiliki prestasi di bidang akademis. Itu merupakan pukulan telak bagi Mila dan membuatnya selalu diceramahi orang tuanya. Sejak itu, Mila menunjukkan ketidaksukaannya kepada Karen.

Terlebih saat ini, Karen yang adalah seorang penulis konten, berhasil mendirikan sebuah agensi kepenulisan sendiri dan sudah memiliki 10 karyawan.

"Apa kabar, Ren?" sapa Mila.

"Baik, Mil. Kamu gimana?"

"Aku capek akhir-akhir ini, repot banget ngurusin nikahanku bulan depan. Ibuku nggak mau pakai WO (Wedding Organizer), jadi aku yang kerepotan sendiri. Kuno ya orang tua, padahal WO kan membantu banget."

"Hehehem, iya." Karen hanya bisa melemparkan tawa canggungnya.

Humble brag ya? Pamer udah mau nikah? (Karen).

Dengan geram Karen menggigit kue yang dipegangnya dengan kasar.

"Kamu kapan nikah?" Akhirnya pertanyaan mematikan itu terlontar pertama kali dari Mila.

Dasar kecoak! (Karen).

Karen menghela napas dengan susah payah, dengan geram dia menjawab, "Bulan Desember."

"Oh ya ampun, ternyata kamu nikah akhir tahun ini ya. Kok Tante Puri nggak cerita-cerita?"

"Iya, bulannya Desember, tahunnya nggak tahu kapan," kata Karen sembari menggigit lagi kue di tangannya.

"Hahaha, bisa aja kamu Ren, kirain beneran."

Lhoh, emangnya kenapa kalau beneran? Apa kamu kira aku seburuk itu sampai mustahil buat nikah? Aku mantan cheerleader lhoh, cheerleader. (Karen).

"Aku masih belum kepikiran buat nikah sih, masih fokus ngurusin perusahaanku dulu. Sama ngurus pindah rumah juga."

"Pindah ke mana? Rumah yang sekarang mau dijual?"

"Enggak, aku beli rumah sendiri. Umur segini malu lah masih numpang sama orang tua. Apalagi aku bos perusahaan, bisa diolok-olok sama kolega kalau masih numpang."

Mila tersedak. Serasa ditampar di pipinya. Di umur yang sama-sama 26, Mila masih keenakan tinggal bersama orang tua. Kemudian sebentar lagi menikah dan ikut suami. Dia benar-benar tidak pernah merasakan tinggal mandiri di rumahnya sendiri.

Kena nggak kamu sekarang, hah! Makanya jangan main-main sama Karenina Damartya. (Karen).

Awas kamu, Ren! (Mila).

"Mila selamat ya sebentar lagi nikah," kata saudara lain kepadanya.

Mila tersenyum angkuh sambil melirik Karen. Mendengar itu, Karen memakan 1 potong brownies sekaligus hingga mulutnya penuh.

Aku butuh makanan lebih banyak lagi. (Karen).

Datang lagi seorang saudara. Tak disangka, saudara itu justru ke arah Karen. "Selamat ya, Ren, udah mau punya rumah sendiri. Kamu bener-bener mandiri."

Giliran Karen yang tersenyum angkuh ke arah Mila.

Setelah saudara itu berlalu, Karen memberikan selamat kepada Mila. "Aku malah belum kasih selamat ya, aku lupa. Selamat ya Mila, sebentar lagi kamu akan jadi ibu rumah tangga. Jangan lupa pantengin jadwal sinetron, rata-rata ibu-ibu suka nonton sinetron kalau nggak ada kerjaan." Kata-kata Karen bagai lemparan granat yang meledak tepat sasaran.

Kendrik yang duduk di belakang mereka menggosok-gosok kedua telinganya.

Astaga, apa di dunia ini, perempuan bersaing dalam hal-hal begituan melulu? Main game aja akh, puyeng dengernya. (Kendrik).

Kendrik memainkan game-nya karena penat mendengar dua wanita itu saling melempar serangan.

Mila juga balas memberi selamat. "Aku juga belum kasih selamat buat kamu ya, selamat kamu udah punya perusahaan sendiri, mobil beli sendiri, sekarang rumah juga udah beli sendiri. Selamat kamu jadi wanita karir yang sukses. Biasanya wanita karir itu ya fokus ke karir, nikahnya nanti-nanti nunggu ubanan."

Jantung Karen berdegup kencang seperti bas drum yang dipukul dengan keras. Darahnya terasa panas seperti lahar gunung yang siap memancar ke segala penjuru. Napasnya cepat seperti pelari maraton yang baru sampai di garis finish.

Karen memasukkan lagi sepotong kue brownies hingga mulutnya penuh.

Minta dijambak nih nenek sihir. (Karen).

Pertarungan sindir menyindir yang dingin itu semakin sengit.

"Ken, ambilin minum!" titah Karen.

"Ntar dulu, lagi nanggung game-nya," bantah Kendrik yang sedang asyik bermain game dengan ponselnya.

"Cepat!" Karen tidak sabar dan marah karena emosi.

"Siap, Bos!" Dengan sigap, Ken mengambilkan minum untuk kakaknya yang sedang panas itu.

"Aku juga bentar lagi nikah kok, tahun depan. Tunggu aja!" Karen menjanjikan dirinya menikah.

"Lho, katanya tadi bulan Desember tahunnya entah kapan? Kok tiba-tiba ...."

"Maksudku Desember tahun depan!"

"Oke, aku tunggu undangannya. Oh, jangan lupa besok kalau ke nikahanku, calon kamu diajak ya!" kata Mila, penuh intimidasi dan ketidakpercayaan bahwa Karen memiliki calon suami.

Guandrik! Ngajak siapa? Kalau ke nikahan temen sih bisa nyuruh Ken nyamar jadi pacarku. Kalau ke nikahan dia kan nggak mungkin! (Karen).

"Oke, aku ajak ke nikahan kamu. Tenang aja, bakal aku kenalin ke semua orang."

Oke-in dulu. Nanti bisa ngajak atau nyewa orang sekalian buat nyamar jadi pacarku. (Karen).

"Aku nunggu banget lho, Ren. Tapi jangan nyuruh orang ngaku-ngaku jadi pacar kamu ya!" Mila seolah bisa membaca pikiran Karen.

Aaaaaaaaa gimana ini. (Karen)

To be continued...

Jogja, April 1st 2021

2. Karen vs Mila

Pernikahan Mila hanya dalam kurun waktu 45 hari ke depan. Dalam waktu tersebut Karen harus segera menemukan seseorang untuk diajak ke pesta pernikahan itu. Karen terdiam memutar otak di mana dia harus berkenalan dengan orang baru.

Pasalnya, saat ini Karen sedang tidak tergabung dalam komunitas apa pun. Dia juga telah lama menyelesaikan kuliahnya. Tidak ada tempat lagi untuk mencari kenalan baru.

Kolega bisnis dan client blogger atau pemilik web yang menjadi pelanggan di perusahaannya rata-rata sudah berkeluarga.

Kendrik membawakan sepiring kue untuk Karen.

"Kenapa ngambilin kue sebanyak ini, Ken? Aku nggak kelaperan kok."

"Perut Kakak emang nggak laper, tapi jiwa Kakak tuh yang laper. Ini bekal buat pura-pura bahagia, butuh tenaga besar lhoh." Kendrik menunjukkan wajah konyolnya.

Kecoak buntung! (Karen).

"Hai, Karen, gimana bisnis kamu?" sapa seorang saudara.

"Lancar, Tante."

"Bisnis lancar, mobil udah punya, terus bentar lagi pindah ke rumah sendiri, duh kamu super banget sih. Terus kapan nikahnya?"

Kecoak buntung! (Karen).

Karen menjawab dengan senyuman kecil sembari memasukkan sepotong kue ke dalam mulutnya. Dia mengunyah sambil memikirkan jawaban yang baik.

Tuh kan, butuh banyak makanan buat si Koreng. (Kendrik).

Mendengar hal yang membuat dirinya panas, dia reflek memakan makanan manis sebagai pereda stres. Meskipun pertanyaan itu sepertinya umum dilontarkan, nyatanya tidak sedikit yang merasa tak nyaman. Bahkan banyak yang menjadi depresi dan akhirnya menutup diri dari dunia luar.

"Kalau anak Tante, gimana nilai ujiannya? Kok nggak les aja, Tan? Temen saya banyak guru les yang bagus lho." Karen secara implisit membalas dengan sindiran tentang anak tantenya yang nilainya kurang baik di sekolah.

Saudara Karen melotot tapi bibirnya terkatup rapat. Dia beralih kepada Mila yang tak jauh dari tempat Karen. "Mila, duh si calon pengantin. Selamat ya, akhirnya kamu menikah. Emang harus disegerakan, jangan sampai jadi perawan tua!" Dia menaikkan intonasinya saat menyebut perawan tua sembari sudut matanya melirik kepada Karen.

Aaarrrggghhh. (Karen).

"Hey, Koreng, mau aku ambilin kue lagi nggak? Kayaknya hari ini bakal banyak cobaan," bisik Kendrik.

"Ambilin es cendol!"

Kendrik menurut. Walau setiap harinya mereka seperti anjing dan kucing yang selalu ribut, di luar, mereka saling membela dan membantu.

Dengan cepat, Karen menghabiskan es cendol yang diambilkan oleh Kendrik.

Acara formal pun dimulai. Salah seorang saudara tampil di depan sebagai pembawa acara. Tidak sulit diprediksi, agenda pernikahan Mila adalah yang paling marak dibicarakan.

Hal itu karena banyak saudara yang tinggal di luar kota akan berkunjung kembali ke Koja untuk hadir pada acara resepsi pernikahan Mila. Mereka harus mengatur jadwal mereka agar dapat hadir.

Mila tampak bangga. Beberapa kali dia menatap Karen seperti ingin mengatakan 'lihatlah aku jadi bintang hari ini'. Setelah puas membanggakan dan membahas masalah pernikahan Mila, pembawa acara itu mengganti topik.

"Ada juga yang sedang berbahagia di keluarga kita yaitu Karenina Damartya yang sebentar lagi akan menempati rumah baru."

Semua orang kini melihat takjub kepada Karen. Dia tersenyum sinis kepada Mila seolah dendamnya terbalas.

Buwahahah, yes. Tapi, dari mana dia tahu aku beli rumah ya? (Karen).

Di seberang sana, Mama Puri mengedipkan matanya. Jawaban dari pertanyaan Karen sudah jelas. Tentu saja kabar itu dari Mama Puri, ibunda Karen.

Mama Puri sudah dapat menebak dalam acara itu pasti mereka akan membicarakan pernikahan Mila dan mendiskreditkan Karen. Oleh karenanya, dia meminta sang pembawa acara untuk membahas prestasi Karen agar tidak terlalu 'jatuh' martabatnya.

"Dan memang Karen ini sangat bahagia hari ini ya, sedang masa pertumbuhan nih ye!" kata pembawa acara itu menyindir Karen yang memangku piring dengan tumpukan kertas alas kue yang telah dia habiskan.

Semua orang menatap Karen, kegelian. Baru saja Karen merasa bisa menandingi Mila seperti diangkat ke awang-awang, tetapi segera jatuh lagi dan lebih sakit. Skor mereka kali ini 1-0 dengan Mila sebagai pemenang.

Tidak hanya itu, skor kosong Karen bertambah dengan tumpukan malu yang dirasakannya karena makanan yang dia makan. Kesalnya tak seberapa, malunya bisa membekas hingga entah kapan. Skor menjadi 1 vs -1.

Kamu dulu boleh menang, Ren. Kamu selalu jadi kebanggaan dengan nilai kamu yang selalu bagus, kamu bahkan jadi cheerleader di sekolah kamu. Waktu SMA, pertemuan trah jadi sesuatu yang menakutkan buat aku. Setiap kali selesai acara ini, ibu dan ayahku selalu ceramahi dan menekan untuk bisa nandingin prestasi kamu. Lihat sekarang! Roda berputar, Karen! (Mila).

Kebencian Mila di masa itu semakin membuncah saat Karen memacari kapten tim basket di sekolahnya. Pasangan itu menjadi dreamy couple. Karen cantik dengan badan proporsional dan berprestasi, berpacaran dengan kapten tim basket yang berbadan atletis.

Meski Karen dan Mila tidak satu sekolah, gosip tentang the dreamy couple itu tersebar di penjuru kota Koja. Bahkan di kota sebelah yaitu Praga dan Batalu, semua siswa SMA membicarakannya.

Siapa sangka sang mantan cheerleader itu hingga kini belum ada juga yang meminangnya. Justu Mila, yang dulunya tidak begitu gemilang saat sekolah, lebih dulu mengakhiri masa lajangnya.

Sebelumnya, Karen tidak merasa keberatan dengan keadaannya yang masih lajang itu. Namun, pertanyaan orang yang sering terlontar tentang pernikahan membuat dia akhirnya terforsir ke arah sana.

Ya, hidupnya yang tadinya tenang dan menerima diri apa adanya berubah drastis menjadi obsesif untuk menikah gara-gara pertanyaan orang-orang. Orang-orang menganggap dirinya mendewakan karir hingga tidak ingin menikah. Padahal, Karen juga sedang sangat menunggu jodohnya yang tak kunjung datang.

~

Acara trah telah usai. Agenda yang sesungguhnya hanya beberapa jam, tetapi serasa puluhan tahun bagi Karen. Kerumunan orang yang terikat darah leluhur itu pun berhamburan membubarkan diri.

Sembari menunduk, Karen bersalaman dengan saudara-saudaranya. Dia tidak ingin lagi mendengar pertanyaan-pertanyaan dan komentar seputar pernikahan. Namun, menunduk berapa drajat ke bawah pun, orang-orang tetap tahu itu Karen.

Tetap saja ada yang dengan polos mereka bertanya. Ada pula yang memang sengaja. Mila seakan ingin menjadi santapan penutup bagi Karen.

Saat Karen, ibunya, dan Kendrik menuju mobil, Mila menarik lengan Karen. "Ren, ini undangan khusus buat kamu," kata Mila sembari memberikan undangan.

"Lhoh, kan mamaku udah dikasih sama Tante Rini."

"Itu yang versi orang tua, yang versi anak muda beda undangannya."

Karen mengamati undangan yang memang terlihat berbeda dari versi yang diterima ibunya itu.

Undangan aja musti 2 versi. Kamu pikir kamu itu hartis tenar terkenal seantero jagad raya, gitu? (Karen).

"Oke. Makasih, Mil." Karen menjawab dengan suara datar. "Aku pulang dulu, selamat buat pernikahan kamu."

"Aku tunggu kedatangan kamu ya, Ren." Mila melambaikan tangannya kepada Karen yang sedang memasuki mobilnya.

Karen membanting pintu itu dengan keras hingga ibu dan adiknya terlonjak kaget.

"Karen! Kamu mau bikin Mama jantungan?" Mama Puri memprotes.

"Koreng gila! Pelan-pelan! Kakak banting pintu juga nggak ngerubah status Kakak yang single terus tiba-tiba jadi punya pasangan."

Karen tidak menjawab sama sekali. Dia terdiam karena marah. Namun, di tengah perjalanan, perasaan marahnya telah berubah menjadi putus asa.

"Ren, jangan lupa mampir toko buah sebentar, Mama mau belanja buah." Mama Puri mengingatkan untuk berhenti. "Itu udah kelihatan, pelanin sedikit, Ren!"

Karen seakan tidak mendengar ibunya yang meminta berhenti. Roda mobil itu terus menggelinding membawa para penumpang melaju.

Mama Puri beradu pandang dengan Kendrik yang duduk di belakang. Kendrik menaikkan bahunya tanda tak mengerti apa yang terjadi kepada kakaknya.

Haduh, anakku kesambet apa ini. (Mama Puri).

To be continued...

Jogja, April 2nd 2021

3. Umur Berapa Menikah?

"Ren ... Karen." Mama Puri berusaha mengajak bicara.

Karen terus terdiam dan menyetir dengan tatapan kosong. Mama Puri dan Kendrik terus bertanya-tanya dalam hati apakah separah ini orang yang memikirkan kapan akan menikah. Mama Puri merasa bersalah sendiri. Meski dia tidak pernah menanyai Karen tentang pernikahan, dia pernah menanyakan pertanyaan mematikan itu pada anak temannya, anak saudaranya dan pada pemudi lain yang menginjak usia 24 ke atas.

Niatnya hanya basa basi mencari topik pembicaraan. Dia sama sekali tidak bermaksud menghakimi atau menekan orang-orang itu. Namun, ternyata dampaknya begitu besar. Dia membayangkan apakah orang-orang yang pernah dia tanyai juga stres seperti Karen? Dia amat menyesal sekarang.

Masih ada ribuan topik pembicaraan yang bisa dibicarakan, tidak perlu menanyai hal sensitif dan pribadi itu. Di masa mudanya, Mama Puri tidak mengalami hal serupa karena dia dimudahkan urusan jodohnya oleh Tuhan.

"Karen sayang." Mama Puri berbicara selembut mungkin.

Anak perempuannya itu tidak bergerak sama sekali.

"KARENINA DAMARTYA!"

"Hoah! Kaget, Ma! Apaan sih teriak-teriak gitu?" Akhirnya Karen berbicara juga. Ada kelegaan di hati Mama Puri melihat sang anak merespon.

Dia mengelus-elus dadanya. "Syukur kamu nggak kenapa-kenapa."

"Emangnya aku kenapa, Ma?" Karen bingung sendiri.

Apa dia tadi nggak sadar diajak ngomong dan dipanggil-panggil? (Mama Puri).

"Mama tadi panggil-panggil kamu, ngajak ngomong kamu, tapi kamu nggak jawab. Mama kira kamu stres karena peristiwa tadi di acara trah," kata Mama Puri masih sambil mengelus-elus dadanya, lega.

Karen meminggirkan mobil.

"Lhoh, kok berhenti, Ren? Apa biar Ken aja yang nyetir?"

Wajah Karen berubah menjadi sedih. "Aaarrrggghhh ... aku kesel! Malu!" Karen berteriak disusul bulir bening keluar dari matanya.

Dia membenamkan wajah di lipatan tangan di atas kemudi.

~

Di rumah

Ibunya bersyukur berhasil pulang dengan selamat meski jantungnya hampir terlepas. Karen menyetir dengan tidak stabil. Namun, dia juga tidak mau digantikan Kendrik. Kini, Karen hanya duduk di ruang televisi memandangi layar besar dalam keadaan mati. Dia duduk di lantai bersandar pada sofa. Tatapannya kosong.

Mama Puri membuatkan teh hangat agar Karen lebih rileks. "Minum tehnya, Ren!"

"Hm ...." Karen meraih teh itu dan meminumnya. Dia sedikit merasa rileks seperti yang diharapkan sang ibu.

Mama Puri yang duduk sofa itu sedikit lega, tapi masih takut untuk mengajak bicara anak perempuan satu-satunya itu.

Karen menyandarkan kepala ke kaki Mama Puri. "Ma, dulu Mama nikah umur berapa?" Dengan nada lemas Karen bertanya.

"Ehm, nggak penting, Ren. Jaman Mama sama jaman kamu kan beda," jawabnya dengan hati-hati, takut Karen akan membandingkan dengan kehidupannya.

"Mama! Kok jawabnya gitu sih? Aku kan nanya umur berapa Mama nikah. Jawabnya angka."

"Ehem ... Mama berumur 23 tahun waktu nikah."

Benar saja, Karen membandingkan kehidupan ibunya dengan miliknya sendiri.

Umur 23 tahun aku ngapain sih? Apa aku nggak punya pacar waktu itu? (Karen).

Mama Puri memberi petuah. "Setiap orang itu lini masanya beda-beda, jadi jangan gunakan standar orang lain. Kamu punya standar dan lini masamu sendiri."

Karen menghela napas panjang berkali-kali seolah tak menggubris petuah ibunya. "Kok aku nggak laku-laku sih, Ma? Aku kurang cantik? Apa aku operasi plastik aja kayak artis-artis di drama?"

"Hush, jangan aneh-aneh. Kamu itu cantik, karir bagus, prestasi waktu sekolah dan kuliah dulu juga bagus. Sabar aja!"

"Aku nerusin S2 aja sama S3 ya buat ngisi kekosongan."

Sekalian cari jodoh juga. Eh, itu yang utama, kuliahnya sampingan. (Karen).

"Jangan dulu!" larang Mama Puri dengan keras.

"Kenapa, Ma? Biasanya Mama mendukung soal pendidikan. Kan dulu Mama yang bilang kalau aku sama Kendrik harus lulus kuliah."

"Kalau S2 sama S3 nanti dulu. Nanti cowok tambah keder kalau kamu tinggi-tinggi sekolahnya, apalagi kamu punya perusahaan sendiri."

Mendengar itu, raut wajah Karen berubah menjadi sedih kembali dan hampir menangis. "Aku nggak serius pengen kuliah, Mama. Aku cuma pengen ngisi waktu aja sambil cari kenalan."

"Cup cup, Ren, nggak usah segitunya juga! Kuliah ya kalau kamu emang niat kuliah. Kalau kuliah cuma karena cari jodoh, nanti kalau udah ketemu jodohnya, kuliahnya mau ditinggal gitu aja?"

Karen mulai terisak. "Terus gimana dong, Ma? Apa kita ke dukun aja biar aku dikasih jimat atau apa gitu."

"Tambah ngaco aja sih, Ren?! Nggak boleh! Dosa! Doa aja yang rajin, Mama juga doain kamu terus."

"Aku udah doa terus, Mama. Komat-kamit tiap malam tapi belum dikasih jawaban juga."

"Tapi kan kuliah kamu lancar, kerjaan lancar. Mendingan kamu fokus aja ke perusahaan kamu! Nanti kalau udah waktunya, jodoh pasti datang."

"Nggak mau! Aku udah nggak pengen karir! Aku tuh pengen ngurus suami sama ngurus anak."

"Hish, kamu mau ngurus suami sama anaknya siapa?"

Tangis Karen tambah keras, karena ibunya tidak mengerti maksudnya. "Ya suami dan anakku lah, Ma!" teriak Karen seiring dengan tangisnya yang semakin menjadi.

Salah ngomong. (Mama Puri).

~

Malam hari

Karen sudah tenang dari segala kesedihan dan amukannya. Dia mencoba berpikir jernih dan rasional.

Gimana caranya kenal sama orang baru? Di lingkaran pertemananku nggak ada yang cocok, jadi harus cari orang baru. Tapi gimana caranya? (Karen).

Dia masuk ke kamar Kendrik dan membuka pintunya lebar-lebar. Meski mereka saudara kandung, tapi orang tua mereka mengajarkan untuk tidak seruangan berdua saja. Atau, minimal tidak menutup pintu kamar jika mereka harus berbincang di dalam kamar. Kendrik sedang mengerjakan tugas kuliahnya di atas meja belajar.

"Ken."

"Hm ...."

"Kamu punya temen yang jomblo nggak?"

"Banyak."

"Kenalin!" Karen tiba-tiba antusias.

"Kak, sadar umur napa! Temen-temenku ya rata-rata seusiaku lah, 20 tahun."

"Cih, ya udah, bukan temen deh. Kakak tingkat ada nggak?"

"Kakak tingkat paling tua yang masih ngampus maksimal umurnya 24. Masih lebih muda dari kamu."

Karen baru menyadari usianya bahkan sudah lebih tua dari pada usia mahasiswa aktif angkatan tertua. Tentunya mahasiswa yang dimaksud adalah yang masuk pada tahun yang semestinya, bukan mahasiswa dari program kelanjutan study yang biasanya adalah karyawan atau pegawai yang meneruskan jenjang kuliahnya.

"Cinta kan nggak pandang usia, Ken."

Kendrik tergelak. "Hahaha. Oke, let's say cinta nggak pandang usia. Mungkin jodoh kamu lagi sibuk belajar buat ujian kelulusan SMP, atau lagi sibuk main mainan superhero atau lagi baca komik di taman bacaan."

Karen melirik adiknya dengan kesal.

"Kalau bener begitu, kamu mau nunggu jodoh kecilmu itu, Kak?"

"Ya, jangan yang jauh juga selisihnya."

"Lhoh kan topiknya 'cinta nggak pandang usia'. Kalau kamu masih mikirin selisihnya, berarti itu mematahkan hypothesis kamu sendiri," kata Kendrik.

"Iya sih. Ehm, menurut kamu, cinta itu harus pandang usia?"

"Iya lah. Kakak kan perempuan, jodohnya minimal seumuran. Lebih bagus lagi yang lebih tua. Tapi ya jangan jauh-jauh juga selisihnya." Kendrik seolah lebih tahu tentang jodoh yang cocok daripada kakaknya itu.

"Hah, nyatanya mau yang muda, seumuran atau pun lebih tua, nggak ada satu pun yang jadi pasanganku."

"Kalau aku nikah duluan gimana, Kak?" kata Kendrik, serius.

"Apa! Kamu itu masih kuliah, Ken! Dan jangan berani-berani langkahin aku!"

To be continued...

Jogja, April 3rd 2021

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!