Karen menghela napas panjang sambil melirik ibunya, Puri yang tengah menyiapkan tas kecil berisi makanan ringan dan minuman.
"Ma, aku di rumah aja ya. Nggak mau ikut," keluhnya dengan nada yang dibuat-buat.
"Dengar, Karen, pertemuan keluarga besar ini cuma setahun sekali. Pokoknya harus datang," jawab Puri tegas.
Karen, wanita berusia 28 tahun, tinggal bersama ibunya dan adik laki-lakinya, Ken. Sejak ayahnya tinggal di puar negeri untuk bekerja, Puri selalu memastikan keluarga kecil mereka hadir di setiap pertemuan besar keluarga dari pihak suaminya. Dia merasa kehadiran mereka penting agar tetap diingat oleh kerabat yang lebih jauh.
Semakin beranjak dewasa, momen itu berubah menjadi beban, apalagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering membuatnya merasa tidak nyaman. Dan lagi, tidak ada yang pasang badan membela mereka.
Ayahnya terlalu tekun bekerja sehingga sangat jarang pulang. Karmel dan Karel bahkan tak ingat kapan terakhir kali bertemu dengan ayah mereka. Namun, mereka masih kerap melakukan video call sehingga tidak akan pangling meski jarang bertemu.
Berat badan ayah mereka masih stabil, belum begitu membengkak sehingga tambah tidak pangling. Hanya saja kerutan makin banyak. Tambah tua tambah kerutan, karena tidak ada orang yang tambah tua tambah muda. Itu hanya terjadi pada Benjamin Button.
Dalam hati, Karen merutuk, "Kalau ada yang tanya soal kapan nikah, bakal aku lempar kue ini ke mukanya."
Puri memanggil, "Ken, kamu udah siap belum?"
"Sebentar, Ma. Lagi pilih baju biar nggak dinyinyirin!" teriak Ken dari kamarnya.
"Alah, nyinyir dipikirin. Lihat Mama dong nyantai sampai kebal banget."
"Itu kan Mama. Aku sama Ken masih syok," Karen membalas dengan lirih.
"Jangan kira Mama udah bebas dari nyinyiran, ya. Sampai sekarang Mama juga masih kena komentar sana-sini," Puri menjawab, kali ini lebih lembut.
Karen terdiam. Memang benar, dalam hidup, komentar orang lain adalah hal yang tidak bisa dihindari. Bahkan ibunya sendiri, kadang tanpa sadar, bisa melontarkan komentar yang menyakitkan.
***
Di hari pertemuan, Karen memutuskan untuk tetap di rumah. Puri dan Ken berangkat tanpa banyak protes lagi dari Karen. Ketika mobil keluarga melaju meninggalkan rumah, Karen duduk di ruang tamu sambil menonton serial drama yang sudah dia tonton berkali-kali.
"Akhirnya bisa napas lega," gumamnya. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sejenak. Telepon rumah berdering keras, mengejutkan Karmel. Dengan enggan, dia mengangkatnya.
"Halo, ini Karen?" Suara di seberang terdengar penuh semangat. Itu suara Dila, sepupu jauh yang selalu berhasil membuat darah Karmel mendidih.
"Oh, hai, Dila," jawab Karmel, suaranya terpaksa terdengar ramah.
"Karmel, kok nggak datang sih? Tante Puri udah cerita belum soal acara mendadak buat jodoh-jodohan ini? Seru banget lho!" Dila tertawa kecil, nadanya menggelitik telinga Karmel dengan kekesalan.
"Jodoh-jodohan?" Karmel hampir menjatuhkan teleponnya. *Apa-apaan ini?* pikirnya, langsung membayangkan betapa ibunya mungkin sedang diinterogasi tentang statusnya yang masih lajang.
"Iya, ada beberapa tamu dari keluarga jauh, anak-anak mereka sukses semua. Katanya, Tante Puri harus membawa kamu supaya bisa kenalan. Tapi, ya ampun, ternyata kamu nggak ikut. Sayang banget, kan?" Dila terus bercerocos tanpa sadar betapa Karen kini sudah menggigit bibirnya dengan geram.
"Yah, aku sibuk, Dil," Karen mencoba terdengar santai, padahal tangannya mulai berkeringat. Kepalanya dipenuhi bayangan ibu dan Karel yang mungkin sekarang sedang menjadi sorotan di acara itu. Puan, dengan wajah datarnya, pasti sedang mencari-cari alasan atas ketidakhadiran Karen.
Dila mendesah pura-pura kecewa. "Sayang sekali. Padahal tadi ada yang nanya-nanya soal kamu, loh. Cowok ganteng, lulusan luar negeri. Katanya pengin kenalan sama kamu. Tapi, ya gimana dong, kamu nggak datang."
*Cowok ganteng?* Kini, rasa penasarannya mulai beradu dengan rasa lega karena memutuskan untuk tinggal di rumah. "Wah, lain kali deh, Dil. Lagipula, aku lebih suka ketemu orang di tempat netral, bukan dalam acara keluarga yang penuh tekanan."
"Hahaha, bisa aja kamu, Mel. Eh, udah dulu ya, aku mau balik ke obrolan. Salam buat Tante Puri, ya!" Dila menutup telepon sebelum Karmel sempat menjawab.
Karmel meletakkan gagang telepon dengan perasaan campur aduk. Dia mencoba menenangkan diri dan kembali ke sofa. *Ini pasti akan jadi bahan pembicaraan besok*, pikirnya dengan senyum getir.
"Eh, salam buat Mama? Lha Mama kan di sana?! Ngada-ada banget emang si Bedil ini!"
***
Sementara itu, di lokasi pertemuan, Puri dan Ken duduk di meja yang dikelilingi oleh kerabat yang sibuk membahas berbagai topik, dari gosip politik hingga ramalan cuaca. Tiba-tiba, seorang tante yang terkenal suka mencampuri urusan orang lain, Bu Rona berseru, "Puri, Karenmana? Kok nggak kelihatan?"
Puri menarik napas panjang, siap menghadapi serangan pertanyaan. "Dia lagi sibuk, Ron. Ada urusan pekerjaan mendadak."
"Aduh, kasihan banget. Anak zaman sekarang sibuk terus. Tapi, ya, kapan dong dia nyusul si Dila? Sebentar lagi Dila mau nikah lho," Bu Rona menatap Puri dengan alis yang terangkat, seolah menunggu jawaban yang memuaskan.
Ken, yang sejak tadi asyik bermain game di ponselnya, menahan senyum sambil melirik ibunya. "Lihat, Ma. Ini salah satu alasan Kak Karen nggak mau datang," batinnya.
Puan tersenyum tipis. "Ah, jodoh itu kan nggak bisa dipaksakan, Ron. Nanti juga ada waktunya." Dia melirik Karel, yang kini sibuk menyesap minumannya.
"Iya, tapi jangan kelamaan, lho. Nanti keburu tua. Zaman sekarang, saingan makin banyak," Bu Rona menambahkan, kali ini dengan senyum yang lebih lebar.
Ken tak tahan lagi. "Tante Rona, Ken punya standar tinggi. Kalau nggak bisa memenuhi, mending nggak usah. Ntar salah pilih malah repot," celetuknya, sengaja mengundang tawa.
Beberapa kerabat tertawa, termasuk Puan. Bu Rona terdiam, terkejut dengan jawaban Karel yang tanpa basa-basi. Puri hanya bisa menepuk punggung anaknya sambil tersenyum lebih lebar. "Lihat tuh, Ron. Anak-anak sekarang memang beda," katanya, kali ini dengan nada yang terdengar menang.
Karel mengedipkan mata ke ibunya, merasa berhasil melindungi sang kakak meskipun dari kejauhan. Puri tahu, meskipun Karmel tak hadir, keluarganya masih bisa bertahan menghadapi pertanyaan-pertanyaan klasik yang seolah abadi di setiap pertemuan.
Tak lama kemudian, acara bergeser ke sesi hiburan di mana para sepupu bermain tebak-tebakan lucu. Puan memperhatikan Karel yang mulai ikut bercanda dengan beberapa saudara sebayanya. Di tengah tawa riuh itu, Bu Rona hanya bisa menatap dengan senyum setengah terpaksa.
Sementara itu, di rumah, Karen memutuskan untuk menelepon sahabatnya, Dina. "Dina, ada yang mau aku ceritain. Acara keluarga kali ini drama banget. Kamu harus dengar," katanya, dengan nada yang bercampur antara lega dan geli. Karen merasa, meski tidak hadir, dia tetap menjadi bagian dari cerita yang unik di pertemuan tersebut. []
Bersambung ....
Karen menghela napas panjang. “Udah ah, nggak usah ngomongin soal itu lagi. Aku bahkan nggak hadir, tapi entah gimana, aku yang jadi topik utamanya.”
Dina terkekeh, “Kamu tahu, Ren, mereka memang suka membuat drama dari hal kecil. Katanya kamu sekarang hidup mewah dan sibuk keliling dunia. Mereka bertanya-tanya dari mana uangmu berasal.”
“Aku capek, Din. Mengapa semua harus jadi bahan pembicaraan? Padahal aku cuma sibuk kerja keras demi masa depanku,” suara Karen terdengar sedikit getir.
“Aku tahu. Jangan pedulikan mereka,” kata Dina lembut. Ada jeda sejenak sebelum dia melanjutkan, “Tapi sebenarnya, aku juga sedang pusing dengan masalahku sendiri.”
Karen duduk lebih tegak, rasa lelahnya seketika tergeser oleh rasa penasaran. “Apa yang terjadi, Din?”
Dila menarik napas panjang di seberang sana. “Bisnis butikku sedang seret. Penjualan menurun drastis bulan ini, padahal aku sudah pasang diskon dan promosi besar-besaran. Aku mulai takut bagaimana harus bayar sewa bulan depan.”
Karen terdiam, meresapi kekhawatiran sahabatnya. Dina selalu terlihat ceria dan kuat, tapi di balik itu semua, ia menyimpan banyak beban. “Din, aku yakin kamu bisa melewati ini. Mungkin kita bisa brainstorming ide baru untuk menarik pelanggan.”
“Kamu serius mau bantu? Padahal kamu sendiri sedang di tengah kerumitan gosip keluarga?”
“Ya ampun, Din! Kamu lebih penting dari omongan mereka,” kata Karen tegas. “Kita atasi masalah ini bersama-sama. Besok aku ke tempatmu, kita cari cara agar butikmu bersinar lagi.”
Telepon itu diakhiri dengan janji pertemuan dan harapan yang baru. Di tengah hiruk-pikuk omongan keluarga dan masalah hidup, Karen dan Dina tahu bahwa persahabatan sejati adalah pelindung dari badai kehidupan yang tak henti-hentinya menguji.
***
Pernikahan Dila hanya dalam kurun waktu 45 hari ke depan. Dalam waktu tersebut, Karen harus menghadapi fakta bahwa dirinya menjadi bahan perbincangan keluarga besar, meski dia tidak hadir di acara keluarga tersebut. Karen memilih untuk tetap di rumah dan menghindari keramaian yang hanya akan membuatnya merasa terasing. Kendrik dan Mama Puri pun pulang dari acara itu dengan membawa cerita yang lebih dari cukup untuk membuat Karen kesal.
Saat Kendrik dan Mama Puri tiba di rumah, Karen yang sedang duduk di ruang tamu langsung menatap mereka penuh tanda tanya. “Gimana acaranya?” tanyanya datar, berusaha bersikap tak peduli.
“Acaranya? Hah, kamu pasti senang tidak ikut. Semua mata tertuju pada Dila dan undangan pernikahannya,” jawab Kendrik sambil meletakkan sepiring kue sisa acara di meja.
“Bukan hanya itu,” timpal Mama Puri dengan tatapan serius. “Mereka membicarakan kamu juga, Ren. Dan aku tidak tahu apakah itu lebih baik atau buruk untuk didengar.”
Karen mendengus sambil melipat tangannya. “Tentu saja. Apa lagi yang bisa mereka bicarakan selain status lajangku yang tak kunjung berubah?”
Mama Puri menghela napas, lalu duduk di sebelah Karen. “Tepat sekali. Tante Rona bahkan memulai percakapan dengan, ‘Oh, Karen apa kabar? Masih fokus sama karir ya? Tapi kapan nikahnya? Kok nggak bawa pasangan?’”
“Dan jangan lupa, Dila ikut-ikutan,” tambah Kendrik sambil melahap kue. “‘Ya ampun, Bunda, kasihan si Karen. Jangan-jangan dia terlalu sibuk sampai lupa cari jodoh.’ Begitu katanya, dengan senyum seolah dia bidadari.”
Karen memejamkan mata dan menghela napas panjang. Wajahnya memerah menahan marah. “Dila memang selalu seperti itu, pura-pura peduli tapi menusuk dari belakang.”
“Oh, belum selesai di situ, Ren,” kata Mama Puri, kali ini dengan nada geli. “Saat aku bilang kamu sedang sibuk mengurus rumah baru, Dila malah menjawab, ‘Wah, hebat ya, nanti kalau mau renovasi rumah, jangan sampai lupa renovasi status juga ya, Tante.’ Lalu semua orang tertawa. Kamu bisa bayangkan rasanya?”
Karen mengepalkan tangannya, tapi Kendrik menyela dengan ekspresi ceria, “Tapi tunggu, ada bagian lucu! Tante Rona salah paham soal karir kamu. Dia bilang, ‘Ah, karirnya Karen pasti bagus. Dengar-dengar sekarang jadi bos besar, ya?’” Kendrik tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Mama Puri yang tidak bisa menahan senyum.
Karen membuka matanya dan menatap kedua anggota keluarganya dengan tajam. “Kalian senang, ya? Ini semua hiburan buat kalian?”
Mama Puri menepuk lengan Karen dengan lembut. “Oh, sayang, bukan seperti itu maksud Mama. Tapi, tahu nggak, Dila juga sempat kesal karena aku bilang kamu sudah beli rumah sendiri. Wajahnya merah padam.”
“Yah, ‘kan si Dila nggak bisa terima kalau ada yang lebih dari dia,” Kendrik menambahkan dengan nada mengejek. “Jadi dia mulai bercerita tentang betapa sulitnya mempersiapkan pernikahan, seolah-olah itu pencapaian paling hebat di dunia.”
Tiba-tiba, suara bel pintu berbunyi. Kendrik, yang paling dekat dengan pintu, beranjak membukanya. Di sana berdiri Dila, lengkap dengan senyuman manis yang jelas penuh kepura-puraan.
“Hai, semua! Aku mampir sebentar, nih. Kebetulan lewat,” kata Dila tanpa menunggu undangan masuk. “Oh, Karen, kamu ada di sini. Syukurlah, aku nggak perlu cari-cari ke mana-mana. Katanya sibuk, eh tapi ternyata di rumah."
Wajah Karen berubah masam. “Tadi urusanku udah selesai. Terus juga besok udah ada jadwal sama temen buat bantuin usaha butik dia. Maklum kalau pengusaha ya temennya juga pengusaha. Kasihan bisnis temenku lagi seret, dia minta bantuan ya aku bantuin dong. Begitu lah, jadinya tambah sibuk. Kalau kamu sibuk nyiapin nikah ya? Tapi kamu beruntung sih."
Dila tersenyum melihat itu. Dia tampak menang sekarang karena akhirnya gadis di depannya ini tampak mengalah.
"Kamu beruntung cuma ngurusin satu hal doang, nggak kayak aku yang mikirin banyak bisnis. Bahkan ngurusin bisnis temen juga," tambah Karen.
Kali ini Dila terkena batunya. Namun, bukan Dila namanya kalau tidak mencari celah untuk menyerang balik. “Eh sampai lupa, aku cuma ingin memastikan kamu datang ke pernikahan aku. Undangan yang aku kirim mungkin belum sampai, jadi aku bawa sendiri,” katanya sambil menyerahkan undangan yang tampak mewah dengan pita emas.
“Wah, undangan dengan pita emas? Kayak mau undang presiden aja,” Kendrik berbisik sambil menyikut Karen, yang hampir tersenyum mendengar komentar itu.
Dila mendengar komentar Kendrik dan menatapnya tajam. “Kalau kamu mau mengomentari hal yang lebih bermutu, Kendrik, coba saja rencanakan pernikahan kamu sendiri. Lihat seberapa jauh kamu bisa bertahan tanpa stres.”
Mama Puri, yang menyadari ketegangan itu, berusaha menengahi. “Sudah, sudah. Kita semua sedang lelah. Bagaimana kalau kita istirahat sebentar?”
“Istirahat? Tante Puri pasti bercanda. Saat menjelang pernikahan, istirahat itu barang mewah,” kata Dila dengan dramatis, matanya melirik ke arah Karen. “Tapi aku yakin Karen paham, dia pasti sibuk juga dengan urusan karirnya. Tapi belum paham masalah sensitif kayak pernikahan karena menyangkut dua keluarga. Nanti kamu bakal ngerasain. Kapan katanya? Desember?"
Karen berdiri, matanya berkilat menahan emosi. “Iya! Jangan lupa dateng!"
Dila mengangkat alisnya, "Aku nunggu banget undanganmu soalnya sampai sekarang aku juga belum pernah lihat calon suamimu. Kalau calon suamiku tuh di mobil. Tadi Tante sama adekmu udah lihat meski belum ngobrol banyak."
Kendrik tak tahan lagi dan menyela, “Iya, tadi udah lihat. Yang mukanya kayak jamet itu kan?"
"Hush Ken! Maaf ya Dil, nggak usah dengerin Ken. Dia mulutnya suka keceplosan. Calonmu ganteng kok," ralat Mama Puri.
Meski benar seperti jamet, tapi tidak enak juga terlalu jujur.
Saat Dila akhirnya pergi, suasana rumah kembali hening. Karen duduk kembali di sofa dan menatap undangan itu dengan campuran perasaan marah dan frustrasi.
“Jangan pedulikan dia, Ren,” kata Mama Puri sambil memeluk bahunya. “Kita tahu siapa kamu, dan itu yang penting.”
“Iya, Kak,” tambah Ken sambil tersenyum licik. “Dan tenang saja, kalau acaranya membosankan, aku janji kita akan buat laporan lengkap untuk hiburan kamu."
"Apa sih kalian ini? Siapa bilang aku nggak mau dateng ke nikahan Dila? Aku mau dateng dan aku bakal bawa calon suamiku!" kata Karen mantap.
"Hah?! Siapa, Kak?!" Ken sungguh terkejut. []
Bersambung ....
Karen menggaruk kepalanya hingga terasa perih. "Nggak ngerti juga siapa."
Ken menepok dahinya. Sudah dia duga bahwa sebenarnya kakaknya tidak memiliki gacoan bahkan gandengan untuk diajak ke acara pernikahan Dila. Entah wanita itu memiliki kepercayaan jatuh dari langit mana sehingga berani berjanji kepada Dila bahwa akan membawa calon suami.
~
Mama Puri duduk di sofa dengan semangat. Dia baru saja berhasil menyeduh teh hangat dengan harapan bisa menenangkan anak perempuannya, yang sedang gundah. “Minum tehnya;” serunya dengan gaya seorang ibu yang sudah berpengalaman.
“Hm...” Karen mengangkat cangkir dan meminum teh, tetapi alih-alih rileks, dia justru merasa lebih bingung. Rasa teh itu seolah campuran antara gila dan masa depan yang tak menentu.
"Mama, ini teh apaan? Teh ini harusnya bisa mengubah hidupku bukan malah bikin tambah runyam!" protes Karmel dengan nada dramatis sambil menggapai cangkir teh itu seperti seorang penyanyi opera yang tersiksa.
Mama Puan tertawa, meski dalam hatinya dia merasa panik. “Makanya jangan terlalu berharap. Teh nggak ada hubungan sama jodoh. Ini teh baru, kata penjualnya ini teh herbal pengusir jomblo!”
“Rasanya kayak kencing kucing!”
"Kamu pernah minum kencing kucing?! Berobat! Nanti kena tokso!"
"Ya belom, ikh Mama."
"Sabar ya soal jodoh! Nggak usah jadiin nikahan Dila jadi standar kamu. Tunggu, nanti jodohmu muncul juga."
“Aku nggak bisa nunggu, Ma! Tiap kali aku ikut jodoh online, aku malah ditawarin diskon pulsa! Aku butuh cinta, bukan kuota!” raut muka Karen mencerminkan kesedihan yang luar biasa.
Mama Puan mengangguk dengan serius, "Oke lah, kita coba cara lain. Gimana kalau ikut seminar jodoh?"
Karen melotot. “Seminar? Kalau reality show, gimana? Sekalian nongol di TV." Dia membayangkan dirinya dikelilingi pria-pria ganteng yang siap dia tunjuk untuk menjadi calon suaminya.
"Tapi kalau nongol di TV, senegara tahu kalau kamu masih jomblo. Nanti Jeng Rona sama Dila bakal nonton sambil ketawa ngakak lihat kamu!"
"Iya juga ya. Hah!" Karen menenggelamkan wajahnya di bantal duduk.
~
Malam itu, ketika Karen bersiap untuk tidur, dia teringat kembali obrolan dengan adiknya. Karmel melangkah ke kamar sang adik dengan semangat luar biasa. “Karel, kamu punya temen jomblo?” tanya Karmel menembus kesunyian malam.
“Banyak,” jawab Karel, malas.
“Kenalin!” Karmel berseru seolah baru mendapatkan jackpot di mesin slot.
“Kak, umur temen-temenku masih 20, seumuran jualan es kelapa,” kata Karel sambil tertawa geli.
“Apa!? Terus kenapa? Cinta kan nggak kenal umur!” Karmel berargumen.
Karel masih tertawa. “Cinta nggak pandang umur? Makanya kamu jodoh sama toddler yang lagi asyik main Lego!”
Karmel hanya melirik tajam, “Ya nggak sejauh itu juga lah!"
“Ya, siapa tahu itu jodoh yang kamu cari selama ini,” Karel menjawab sambil tertawa.
Kaarmel menggelengkan kepala. “Gimana kalau aku nikah sama anak Lego, Rel?”
“Wah, bisa jadi masalah hukum. ‘Kakak dianggap nikah sama mainan!’” tawa Karel pecah.
"Anak lego itu maksudnya bukan mainannya, tapi cowok dewasa yang hobi main lego. Kan sebutannya 'anak lego'. Mereka jago menyatukan potongan-potongan lego, siapa tahu mereka bisa menyatukan serpihan hatiku yang sekian lama terpotek-potek," kata Karmel, bergaya pujangga gagal.
"Wuek! Pantesan nggak ada yang mau! Coba lebih feminim, lebih soft kalau ngomong, jangan nyablak gitu."
"Hah! Bomat!" Karen keluar dari kamar adiknya dan kembali ke kamarnya untuk tidur.
***
Pagi itu Karmel bangun dengan tiba-tiba. Napasnya terengah-engah karena dia baru saja bertemu dengan jodohnya di alam mimpi. Sayangnya, jodohnya tidak seperti yang diharapkan.
Pertama, lelaki dalam mimpinya adalah seorang pria tampan yang tinggi tegap dan perhatian. Namun, di tengah-tengah, dia berubah menjadi lelaki kemayu.
"Kenapa dalam mimpi pun apes gitu sih. Kam to the vret, alias kamvret!!!"
Ibunda Karmel memasuki kamar anak gadisnya. "Mel, anterin Mama dong. Eh iya, barusan Papa telpon katanya bulan depan mau pulang."
"Hah?! Mimpi nggak nih? Papa mau pulang?!"
"Seneng banget kamu ya?"
"Seneng lah, Ma! Kalau bulan depan Papa pulang, berarti ke nikahan Dila biar Papa sama Mama aja, aku nggak usah."
"Haish, kirain karena kangen, ternyata karena itu. Akh, Mama jalan dulu. Tuh sarapan udah siap."
Mama Puan segera pergi dari rumah. Karmel beranjak dari tempat tidur menuju meja makan sembari menenteng ponselnya. Dia menelpon Dina sahabatnya yang kemarin meminta bantuan.
"Halo, Din. Gimana, hari ini jadi kita ketemu?"
"Jadi dong, aku nggak sabar nih. Aku sekarang udah di butik lagi mau siap-siap buka. Karyawanku pada belum dateng."
"Ya iyalah, jam segini yang udah berkegiatan itu cuma anak sekolah! Eh ngomong-ngomong soal karyawan, aku malah jadi punya ide. Kamu kan belum tahu sebab butikmu redup. Gimana kalau aku nanti ke butikmu nyamar jadi customer. Tapi kamu jangan di butik biar orang-orang bertingkah alami."
"Ide bagus sih. Tapi bukannya kamu pernah ke butikku ya? Mereka bakal ngenalin kamu lah, Mel!"
"Tenang, kayak nggak tahu Karmel aja! Nyamar dong akh," jawab Karmel mantap sembari mengunyah sarapan paginya.
"Hei, Neng, kalau makan pelan-pelan! Suaranya sampai sini tahu!"
***
Butik Dinamis
Karmel tiba di butik sahabatnya. Tak lupa ia menggunakan rambut palsu keriting berwarna coklat terang yang bertolak belakang dengan rambut aslinya yang hitam lurus. Masker hitam ala covid juga ia kenakan.
Butik Dinamis dulunya sempat hits, tetapi belakangan makin sepi. Tanpa ragu, Karmel membuka pintu butik dengan harapan bisa membantu Dina mencari tahu apa yang salah.
“Selamat datang!” sapa salah satu karyawan dengan senyum lebar saat Karmel masuk. Wanita itu mengenakan baju seragam berwarna gelap, berdiri di dekat rak baju, dan tampak bersemangat. Make upnya rapi dan kekinian, tidak menor apalagi medhok.
"Kalau dari segi penampilan pegawai kayaknya baik-baik aja. Eh tar dulu, itu kan muka dan bajunya. Aku deketin dia dulu siapa tahu aromanya aroma jamban," batin Karmel.
“Ada yang bisa saya bantu?” Kebetulan sekali pegawai butik itu yang menyatroni Karmel.
Semerbak harum saat pegawai cantik itu mendekat, mematahkan tuduhan bau jamban dalam hati Karmel. "Wangi kok. Oke, penampilan pegawai no problemo. Sekarang kita lihat gimana kesabaran dia ngadepin pembeli resek kayak aku. Eh aku aslinya nggak resek lho ya, cuman sekarang ini perlu acting resek gitu deh," batin Karmel.
“Eh, iya, saya mau lihat-lihat,” kata Karmel sambil menahan rasa ingin tahunya. Nah, di sinilah momen observasi dimulai!
"Maaf, Kak, sepertinya familiar. Apa kita pernah lihat ketemu sebelum ini?" tanya seorang customer service.
"Ehm ... anu." []
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!